Jumat, 30 Desember 2016

Singgah di Ngabang, Menapak Jejak Sejarah Kerajaan Tertua Kalimantan Barat


komplek Keraton Ismahayana 
Seorang lelaki paruh baya menghampiri kami yang sedang bersantai di beranda. Hanya tersenyum, lalu dia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk. Sebuah rumah panggung kecil dengan warna kuning yang dominan dipermanis dengan warna hijau di bagian pintu, jendela, dan tiang. Bagian beranda dibatasi pagar kayu bermotif unik dibalut dengan warna kuning cerah. Enam pilar kayu berwarna hijau menjadi bagian dari pagar beranda sekaligus menjadi selingan dari warna kuning yang mendominasi. Di bagian tengah beranda terdapat lampu gantung klasik. Di samping beranda, terdapat selasar kecil yang masih terhubung dengan beranda namun tidak beratap. Bangunan beraksitektur khas Melayu itu cukup kecil, sama seperti beberapa rumah di sekitarnya.

Jumat, 11 Maret 2016

Mudik Ke Uncak Kapuas (1), Mulai Dari Pontianak Hingga Sekadau

jembatan Kapuas kota Pontianak
Membentang dari pegunungan Muller hingga selat Karimata, menjadikan Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Setidaknya untuk keperluan MCK, air sungai ini menjadi pilihan utama warga sekitar. Meskipun sudah ada jalan raya, sungai ini masih dijadikan sebagai jalur transportasi alternatif. Sungai sepanjang 1.143 km ini membelah Kalimantan Barat mulai dari selat Karimata hingga wilayah Kapuas Hulu.

Mudik ke Uncak Kapuas (3), Menggapai Bumi Uncak Kapuas


hutan di desa Apan, Embaloh Hulu
Beranjak dari Sintang, kembali perjalanan mudik dilanjutkan melalui sungai Kapuas. Setelah perjalanan panjang melewati banyak kelokan sungai, sampailah kita di Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Bumi Uncak Kapuas adalah julukan dari Kapuas Hulu yang merupakan kabupaten paling timur di Kalimantan Barat. Kabupaten ini beribukotakan di Putussibau, sebuah kota yang berjarak 814 km jalan darat/846 km via sungai Kapuas dari Pontianak. Ada banyak versi terkait asal mula penamaan Putussibau. Secara umum, nama “Putussibau” berasal dari putusnya aliran sungai Sibau oleh sungai Kapuas. Kedua sungai ini membelah kota Putussibau dan berarti penting bagi warganya. Kota Putussibau didirikan pada 1 Juni 1895 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun jauh sebelum itu kota ini sudah didiami oleh orang-orang dari suku Dayak Taman dan Dayak Kantu’.

Mudik ke Uncak Kapuas (2), Menengok Sekilas Anak-Anak Sungai Kapuas

tepi sungai Melawi
Kembali ke Kapuas, kemudian berlayar ke hulu sampai Bumi Senentang. Disebut Bumi Senentang karena di sanalah tempat sungai Kapuas dan Melawi bertemu/saling berhadapan (dalam bahasa setempat disebut “senentang”). Bumi Senentang adalah julukan kota Sintang yang kini jadi kota terbesar di daerah hulu sungai Kapuas. Sejak masa kolonial Belanda, Sintang sudah dijadikan kota penting di daerah hulu dengan dibukanya jalan darat dari Pontianak. Jalur sungainya pun tak kalah penting karena menjadi penghubung antara wilayah Melawi dengan Kapuas. Jalur sungai Melawi – Kapuas juga dijadikan sebagai jalur angkut hasil logging. Dulu kayu-kayu tersebut berasal dari daerah Melawi, tetapi karena hutan di sana sudah hampir habis diambillah kayu dari Kalimantan Tengah yang persediaan kayunya masih ada. Dari Kalteng, kayu-kayu tersebut diangkut melalui jalur darat yang telah dibuat perusahaan menuju suatu tempat di kecamatan Ella Hilir. Setelah jumlahnya mencukupi, kayu-kayu itu diangkut menggunakan tongkang melalui sungai Melawi.

Bertandang ke Kampung Dayak Iban Sungai Utik



Gaga Temuai Datai di Sungai Utik
Kota Putussibau berselimut kabut pagi itu. Sinar matahari belum sepenuhnya terpancar, sementara kabut masih enggan beranjak dari Bumi Uncak Kapuas. Kota tampak suram, terkesan mistis, namun terasa begitu romantis dan eksotis. Udara segar dari hutan hujan tropis sekitar membawa suasana sejuk dan damai. Jalanan kota sangat lengang, pagi yang begitu tenang.

Putussibau, Kota di Ujung Sungai Kapuas

tugu di pusat kota Putussibau
Perjalanan Maraton keliling Kalimantan Barat kali ini akan diakhiri di Kapuas Hulu, tepatnya di kecamatan Embaloh Hulu. Kapuas Hulu dikenal juga dengan sebutan Bumi Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Jadi tujuan berikutnya adalah Hulunya sungai Kapuas. Kata salah seorang kawan yang pernah ke Embaloh Hilir, dia harus naik speedboat untuk sampai ke lokasi. Tak ada jalan darat memang, hanya sungai lah satu-satunya pilihan. Daerah hilir aja harus naik kapal, apalagi di hulunya? Mantab, langsung terbayang bakalan lewat sungai yang masih alami dengan hutan di kanan kiri. Betapa menyenangkannya petualangan ini.

Menuju Ketungau, Beranda Indonesia yang Terlupakan

jembatan Kapuas yang menghubungkan Sintang dengan wilayah Ketungau
Hujan deras mengawali perjalanan kami dari kota Sintang menuju ke Ketungau Hilir. Sebuah kecamatan yang terletak di daerah aliran sungai Ketungau, anak sungai Kapuas. Ketungau Hilir merupakan pemekaran dari Kecamatan Ketungau, Kabupaten Sintang yang kini menjadi tiga kecamatan (Ketungau Hulu, Ketungau, Ketungau Hilir). Untuk menuju Ketungau dari Sintang hanya ada satu jalan penghubung. Jalan tanah merah, sama seperti jalan penghubung daerah hulu lain di Kalimantan Barat. Belum ada aspal, hanya tanah merah yang berdebu bila kering dan lengket selepas hujan.

Mudik ke Hulu Sungai Belitang

antri menyeberang
Perahu penyeberangan terlihat mondar-mandir dari tepi ke tepi mengantar orang dan motor. Tak besar, hanya perahu bermesin kecil yang muat maksimal 3 sepeda motor dan beberapa penumpang saja. Terlihat antrian di terminal penyeberangan kecil di tepi Kapuas. Beberapa motor tampak berjajar membentuk shaf beberapa baris di dalam terminal kecil itu. Sementara itu di sebelah, terlihat tongkang berisi belasan mobil dan truk merapat ke daratan. Pagi itu kesibukan di demaga penyeberangan Sungai Ayak dimulai.

Sekilas Tentang Kompak (Komunitas Ngapak) di Hulu Sungai Kapuas

menyeberang menuju SP 1
Sebelum masuk ke kelas, terdengar suara gaduh anak-anak. Seperti biasa, jika tak ada guru atau yang mengawasi selalu saja suasana kelas riuh oleh celoteh anak-anak. Namun sekilas terdengar cengkok medok Banyumasan dalam tutur mereka. Bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa Indonesia memang biasa mereka gunakan sehari-hari karena lingkungan di sini banyak orang Jawanya.

Naik Klotok, Menyusur Sungai Kapuas Menuju Pontianak

Klotok siap berangkat
Jam 5 sore, kami sudah berada di kapal klotok. Sebelumnya kami sempatkan untuk beli nasi bungkus dan snack di warung dekat pelabuhan. Katanya perjalanan dari Teluk Batang ke Pontianak biasanya butuh waktu sekitar 14 jam. Para penumpang mulai berdatangan masuk ke dalam kapal dengan berbagai barang bawaannya. Biasanya barang bawaan mereka taruh di bagian tengah ruang penumpang berupa lantai papan yang cukup luas. Di dinding ruang penumpang diberi papan memanjang yang berfungsi sebagai tempat duduk.

Karimata, Mutiara yang Terlupakan

pulau Karimata dan gunung Cabang di kejauhan
Karimata dikenal sebagai nama selat yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Kalimantan. Pertemuan arus Laut Cina Selatan dan Laut Jawa menjadikan wilayah ini memiliki gelombang laut yang ganas. Gelombang laut yang seringkali memangsa kapal-kapal yang kurang beruntung. Benar saja, gelombang setinggi hampir 2 meter selalu setia mengombang-ambingkan speedboat kecil yang kami tumpangi. Berlayar di perairan terbuka selat Karimata memang menawarkan sensasi unik yang memacu adrenalin. Beruntung, kami akhirnya bisa sampai di dermaga Betok, Pulau Karimata dengan selamat.

Dusun Betok, Terkucil di Tengah Selat Karimata

dermaga dusun Betok
Dusun Betok, secara administratif masuk dalam wilayah desa Betok Jaya, kecamatan Karimata, Kabupaten Kayong Utara (KKU), Kalimantan Barat. Terpisah sekitar 100 km dari pulau Kalimantan membuat dusun kecil yang ada di pulau Karimata ini seolah terkucilkan. Akses menuju ke sana tergolong sulit, mahal, dan berisiko tinggi. Hanya ada tiga pilihan untuk menuju ke Karimata. Pertama adalah menumpang perahu nelayan yang biasanya singgah di Ketapang atau Sukadana. Dari sisi biaya, pilihan ini adalah yang paling ekonomis karena hanya numpang. Tapi sebanding dengan risikonya yang besar, berlayar belasan jam dengan perahu bermesin kecil. Belasan jam pula terombang ambing gelombang selat Karimata yang dikenal ganas, tentu bukanlah hal aneh jika pas lagi apes perahu bisa terbalik.

Bertandang ke Kampung Nelayan di Selat Karimata

warga setempat sedang membuat Bubu (alat tangkap ikan tradisional)
Sekitar seabad silam, perairan Karimata khususnya sekitar dusun Betok sudah sering didatangi nelayan dari Belitung. Melimpahnya ikan di Karimata menjadi daya tarik bagi para nelayan dari berbagai daerah. Mulai dari beberapa gubuk sebagai tempat singgah, lalu berkembang menjadi pemukiman kecil. Dulu, letak pemukiman nelayan berada di muara sungai Betok. Betok adalah nama ikan yang dijadikan nama sebuah sungai. Karena kesulitan air, pada tahun 20-an para nelayan memindahkan lokasi singgahnya tempat baru yang lebih dekat dengan sumber air tawar. Tempat baru itu kemudian berkembang menjadi perkampungan yang kini dihuni 248 KK atau sekitar 900-an jiwa. Tidak hanya dihuni orang Belitung saja, orang Bugis dan Buton pun juga banyak yang bermukim di sana.

Berlayar ke Pulau Karimata, Merasakan Ayunan Gelombang Selat Karimata


pulau Kepayang, salah satu pulau kecil di kepualauan Karimata
Kapal masih tertambat di sebuah warung dekat dermaga ketika kami datang. Bang Sema dan seorang kawannya terlihat sedang duduk santai di warung. Setelah ngobrol sebentar tentang teknis keberangkatan nanti, segera mereka menyiapkan kapal. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 10 menit mesin kapal sudah dinyalakan dan siap untuk berangkat. Bang Sema selaku nakhoda sudah bersiap di belakang kemudi ditemani Bang Yos. Tepat jam 6.45 speedboat kecil dengan 8 kursi penumpang mulai bergerak menuju muara. Kanal yang sempit dengan beberapa perahu tertambat di pinggirnya membuat nakhoda harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya. Tak jauh memang, setelah melalui dua kelokan sampailah kami di muara.

Menyeberang ke Pulau “Malaria”, Pulau Maya

dermaga dusun Pancur
Pulau Maya dan malaria, menjadi dua hal yang tak terpisahkan bagi warga Kalimantan Barat. Beberapa orang yang mengetahui rencana kami untuk pergi ke pulau Maya pun mengingatkan untuk berhati-hati selama di sana. Sudah sejak lama pulau Maya dikenal menjadi daerah endemi malaria di Kalimantan Barat. Beberapa orang bahkan mengaku pikir-pikir dulu jika diharuskan ke pulau Maya. Seakan pulau ini digambarkan sebagai pulau menyeramkan yang sangat dihindari.

Mereguk Manisnya Sawit di Manismata

simpang sawit, dekat perbatasan Kalimantan Tengah
Sejarah perkebunan sawit di Manismata sudah berlangsung sejak awal masa penempatan transmigran di sini, pada tahun 1980-an. Manismata masuk wilayah administratif kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang saat ini bisa ditempuh dalam waktu 4 – 6 perjalanan darat. Tapi kota terdekat dari sini adalah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang bisa ditempuh sekitar sejam lewat jalan darat. “Dulu sekitar sekolah ini masih hutan lebat, hanya ada beberapa rumah saja di sekitarnya.”, kisah Pak Saka. Beliau adalah salah satu guru pertama yang ditempatkan di sekolah yang kini menjadi lokasi SMPN 1 Manismata. Bersama dua orang guru lainnya, beliau ditugaskan untuk mengajar anak-anak warga lokal dan transmigran pertama.

Kamis, 04 Februari 2016

Malam di Sabana Sumba, Menikmati Benderang Bulan dan Dinginnya Angin Musim Kering

jelang malam musim kering, langit Sumba biasanya cerah
Sudah sejam yang lalu matahari menghilang di balik perbukitan. Kini gantian rembulan muncul, menyembul dari sebuah bukit. Bulat dan begitu terang, kebetulan saat ini waktunya bulan purnama. Awalnya sinar bulan terlihat biasa saja, sama seperti bulan purnama yang biasa kulihat di tempat lain. Tapi makin lama, sinar bulan makin terang. Dari jendela tampak dengan jelas puncak bukit belakang sekolah. Seperti ada lampu yang dinyalakan, setiap sudut tak luput dari limpahan cahaya bulan. Bukit belakang sekolah yang biasanya hanya tampak temaram, kini bisa terlihat dengan jelas detail rumputnya yang bergoyang-goyang tertiup angin malam.

Bertandang ke Kampung Maling

bukan di kampung maling, cuma foto salah satu lokasi aja (biar ada gambarnya)
Sejak awal kami tiba di Sumba Barat ini sudah diwanti-wanti sama orang sini kalau harus hati-hati jika pergi ke suatu kampung. Katanya di kampung itulah para begal dan rampok berasal. Konon katanya mereka tak segan-segan membunuh korban saat merampas motornya. Tidak hanya di Sumba Barat saja, daerah operasi mereka meliputi hampir seluruh pulau Sumba. Sepak terjang para begal dari kampung itu sudah terkenal di seantero Sumba. Katanya para begal itu sebagian juga punya ilmu kebal dan terkenal berani. Sialnya, ada sekolah dan beberapa rumah yang harus kami kunjungi di sana.

Senja Sempurna Sabana Sumba

gedung sekolah (Tim M)
Sore di Waitama biasa kami habiskan untuk bersantai-santai sambil menunggu waktu berbuka. Dua kawan cewek biasanya sibuk masak, sedangkan kami para lelaki sibuk melayani ajakan anak-anak main bola di lapangan sekolah. Cukup adil mungkin karena kami punya tugas dan kesibukan masing-masing. Meski kadang kami ikut juga bantu para nona, sekadar ngidupin kompor atau angkut air dari luar ke dalam.

Susahnya Air di Tanah Sumba

halaman sekolah di Waitama (Tim M)

Waitama, sebuah kampung kecil di pedalaman Sumba Timur. SD SMP Satu Atap Waitama adalah sekolah tujuan kami. Di sekolah ini pula kami tinggal, tepatnya di ruang kelas 9 yang masih belum diisi. Pada tahun ajaran 2013/2014 ini SMP Waitama dibuka setahun yang lalu sehingga baru menerima dua angkatan. Setelah menimbang-nimbang dan mikir-mikir, kami serta pengelola sekolah sepakat menggunakan ruang kelas 9 sebagai beskem. Di sinilah ruang kerja, kamar, ruang makan sekaligus dapur kami.

“Mati Rasa” dan Musiknya Orang Manggarai

bersiap menyanyi lagu lokal, saat menyambut kedatangan tim (Tim M)

“Sungguh.. sayang beta mati rasa Nona, cinta yang beta kasi cuma pelarian semata...” itulah sepenggal lagu berjudul “Mati Rasa” yang sering kudengar dalam berbagai kesempatan. Mulai dari di dalam mobil dari Ende menuju Borong hingga rumah-rumah penduduk. Lagu “Mati Rasa” bisa dibilang sangat ngehits pada tahun 2013. Mulai dari Sulawesi hingga Papua, termasuk NTT lagu ini seringkali diputar di berbagai tempat. Anak-anak di kampung pun seringkali terdegar mendendangkan lagu Ambon ini. Lagu ini memiliki beberapa versi, dan versi yang sering diputar konon kabarnya dinyanyikan oleh Pasha “Ungu”.

Melihat Lingko, Harapan yang Jadi Kenyataan


sawah lingko yang baru masuk masa tanam (Tim M)

Sekitar tiga bulan lalu, seorang kawan menunjukkan foto epiknya hasil dari traveling di Flores. Dari layar ponselnya tampak hamparan sawah dengan pola jaring laba-laba jika dilihat dari atas. Sawah yang saat itu sedang hijau-hijaunya terlihat sangat menakjubkan karena polanya yang unik. Dia pun cerita pengalamannya selama di Flores hingga sampai ke sawah lingko itu. Sempat ngiler juga, pengen rasanya ke sana. Tapi apa daya, uang tak ada. Aku pun hanya bisa bertanya dalam hati, kapan bisa ke sana?  Dan jawabannya pasti “kapan-kapan”

Kembali ke Ruteng, Meresapi Dinginnya Hawa Pegunungan Manggarai

langit biru Elar sebelum kembali ke Ruteng

Hampir seminggu berada di Elar, kembali gunung harus didaki dan lembah harus dilewati. Penat, lelah, dan capek sudah pasti. Namun dengan keterbukaan dan keramahan orang Manggarai, itu semua jadi terobati. Kini, sudah saatnya kami kembali melanjutkan tugas di tempat lain yang sudah menanti.

Selasa, 02 Februari 2016

Menembus Kabut Menuju Elar


kabut mistis Elar

Selepas dari Bawe kami harus ke Ruteng dahulu untuk mencari mobil yang sesuai. Katanya medan menuju Elar cukup terjal dan jalannya rusak sehingga dibutuhkan mobil yang tangguh. Singkat cerita, akhirnya kami dapat mobil yang dibutuhkan. Berangkatlah kami menuju ke kecamatan Elar.

Terimakasih Bawe, Terimakasih Wae Togong Atas Malamnya yang Begitu Romantis

jembatan Wae Togong nan Sepi (Tim M)

Tak terasa sudah hampir seminggu kami nge-beskem di Bawe dan sekitarnya. Jalan-jalan dari kampung Nangarema di muara hingga kampung Rondon di atas gunung. Dari perjalanan itulah kami temukan orang-orang Manggarai yang ramah dan bersahaja. Salah satunya ya Pak Cornelis, pemilik rumah beskem sekaligus kepala sekolah SD-SMP SATAP saat itu. Keramahan dan kemurahan hatinya menimbulkan kenangan tersendiri. Akhirnya tiba saat kami harus berpisah dengan keluarga pak Cornelis yang menyenangkan. Berpisah dengan sungai dekat rumah yang meski airnya agak keruh namun tetap memberi kesegaraan saat dipakai mandi. Dan berpisah dengan jembatan Wae Togong yang romantis.

Menyeberang Sungai ke Kampung Muslim di Nangarema

sungai yang harus diseberangi (Tim M)

Sekembalinya dari atas gunung, kini wilayah kerja kami berpindah ke arah pantai. Nangarema, sebuah kampung di pantai utara pulau Flores tak jauh dari beskem kami di Bawe. Akses menuju desa ini pun cukup mudah karena berada di dekat jalan raya dan bisa dijangkau motor. Wilayah kampung ini tebagi menjadi dua, dipisahkan sungai yang cukup lebar. Kampung utama, letaknya di dekat jalan memiliki beberapa fasilitas seperti sekolah dan pustu. Uniknya, warga kedua daerah itu menganut keyakinan yang berbeda. Warga yang tinggal di sisi dekat jalan beragama Kristen, sedangkan warga di seberang sungai beragama Islam.

Menanti Sunrise di Halaman Belakang Sekolah

dari halaman belakang sekolah (Tim M)

Jam 4 pagi, perut mules, panik, mengingat tak ada WC di rumah ini dan rumah-rumah lain di kampung. Setelah tanya pak guru Gabriel, beliau hanya bisa menyarankan tempat di kebun belakang rumah atau di belakang sekolah. Aku pun memilih untuk buang hajat di belakang sekolah saja, sekalian menanti sunrise pikirku. Sepuluh menit kemudian sampailah di tempat yang dituju, sebuah puncak bukit batu datar dengan beberapa lubang yang terisi air hujan. Lubang yang terisi air sering dimanfaatkan warga untuk mencuci. Area sekolah dulunya adalah sebuah bukit. Namun banyaknya warga yang memanfaatkan bebatuan bukit untuk berbagai keperluan, menjadikan bukit itu hilang dan menyisakan dataran di belakang sekolah.

Langkah Awal Mengenal Indonesia dari Dekat


sekolah kami (Tim M)
Survei hari kedua, kami berdua mampir dulu ke SDK Necak untuk mengambil beberapa data. Menyedihkan, kelas berantakan, bangku kurang. Keadaan kelas yang sering kulihat di tv kini muncul secara nyata. Berbagai acara dokumenter yang menayangkan tentang ironi negeri sangat menarik bagiku. Perjalanan panjang menembus rimba, melalui tanah cadas berlumpur, mendaki gunung lewati lembah, di daerah pedalaman yang jauh dari hingar-bingar kota mengusik jiwa petualanganku.

Kopi, Sopi, dan Ayam, Selamat Datang di Manggarai

kopi, rokok, dan bir, suguhan untuk menyambut tamu

Setelah sebelumnya menginap di Borong, Manggarai Timur kamipun bergerak menuju ke Benteng Jawa (BJ) kota kecamatan wilayah cacah pertama. Naik mobil, perjalanan Borong – Benteng Jawa ditempuh sekitar 3 jam. Jalan aspal cukup mulus tapi sempit. Sesampai di BJ kami mampir di rumah pak “dewan”. Di sinilah kami disuguhi kopi manggarai yang katanya nikmat. Pas pertama nyoba, biasa aja. Cuma segelas kopi, agak pait campur manis, ga ada bedanya sama kopi kapal api. Setelah ngobrol basa-basi, kami lanjutkan perjalanan ke rumah bapak kepala dinas.

Punten, abdi teu tiasa bahasa Sunda

salah satu sudut jalan yang sepi 
Pagi itu telinga ini mendengar suara-suara yang cukup asing di telinga. Orang-orang berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Mirip seperti percakapan antara si Aa dengan Aa lainnya di warung “Burjo” dekat kampus. Ya.. aku sedang berada di Jawa Barat, Garut tepatnya. Hari pertama di Garut, kuhabiskan di beskem hanya ngobrol dengan kawan dan tidur-tiduran. Masih sungkan rasanya untuk keluar dan berinteraksi dengan warga sekitar. Padahal aku di sini bertugas sebagai enumerator/pewawancara suatu survei yang mau tidak mau harus berinteraksi secara intensif dengan orang-orang berbahasa asing itu. Entah apa yang dipikirkan kawan-kawan lain yang juga tidak bisa berbahasa Sunda.

Berjuang di Medan Perjuangan

keramaian malam di salah satu sudut kota Medan
Jam baru menunjukkan pukul 8 pagi, matahari juga belum memancarkan sinar panasnya. Namun jalanan pagi ini terasa begitu panas dan pengap. Kendaraan bermotor berdesakan memenuhi jalanan. Jalan sebenarnya cukup lebar, tapi terasa begitu sesak akibat banyaknya kendaraan pagi itu. Mobil, bentor, angkot, dan tentu saja motor menguasai jalanan. Dengan bodi ramping kendaraannya, para pemotor berebutan mencari ruang kosong di depannya. Celah sesempit apapun diterabasnya asal masih bisa ditembus setang motor. Mereka nampak lihai meliuk-liuk di sela kendaraan lain.

Bonus: Liburan Hemat di Raja Ampat




pantai tersembunyi yang sering terlewatkan

Berbekal sisa waktu sebelum kepulangan ke Jogja, kami ber-16 mampir dulu ke Raja Ampat. Sayang rasanya sudah sampai Papua Barat tapi ndak mampir ke Raja Ampat. Salah satu destinasi impian para traveler, yang dinobatkan menjadi surga wisata Indonesia bagian timur. Gugusan pulau karang kecil di tengah lautan nan jernih jadi bayangan sebagian besar orang ketika mendengar "Raja Ampat". Itulah tempat terbaik di Raja Ampat, Wayag nama tempatnya. Setidaknya sampai saat ini karena kebanyakan foto-foto epik Raja Ampat yang menghiasi dunia maya diambil dari Wayag. Ada harga ada rupa, belasan juta harus dirogoh untuk menyewa kapal saja jika ingin ke Wayag. Tak sampai hati merogoh kocek terlalu dalam, kami urungkan niat untuk ke Wayag. Kami hanya perlu "menengok" Raja Ampat saja. 

Setelah dihitung-hitung, kami cukup pergi ke Waisai dan sekitarnya saja. Dengan komitmen berusaha mencari opsi termurah, meski minim info dan diantara kami belum pernah ada yang ke Raja Ampat. Kami pun berangkat ke Raja Ampat dengan tekad mencari tempat liburan terbaik dengan harga semurah mungkin. Jika punya kehendak kuat, maka semesta akan mendukung. Niat kami untuk liburan hemat akhirnya terwujud berkat kebetulan-kebetulan dalam perjalanan dari Sorong menuju Waisai. Sekedar catatan kecil liburan hemat di Raja Ampat 25 - 27 Desember 2013    


Merapat ke Raja Ampat

Bersantai Menikmati Senja di Pantai WTC

Tak Bisa Sampai Wayag, Waisai pun Jadi

Liburan Kere Hore di Raja Ampat (1), Santai di Pantai

Liburan Kere Hore di Raja Ampat (2), Menyapa Lumba-Lumba di Kampung Keren Saporkren 

Senja di Waisai Torang Cinta

SampaiJumpa Lagi Waisai

Sampai Jumpa Lagi Waisai

sampai jumpa lagi Waisai
Jam 9 Pagi, kapal bergerak meninggalkan pelabuhan Waisai. Tulisan “Port of Waisai” yang kemarin menyapa kami, kini makin tampak kecil. Sepuluh menit kemudian pulau Waigeo sudah menghilang di balik cakrawala. Beberapa pulau kecil dilewati kapal begitu saja. Sementara itu suasana di dalam kapal cukup ramai meski tak seramai waktu ke Waisai kemarin. Kalau kemarin aku hanya duduk manis di ruang penumpang sambil melihat pemandangan dari kaca yang buram, kini aku memilih berada di bagian luar kapal. Dari luar tampak dengan jelas keindahan selat Dampir dengan pulau-pulau kecilnya.

Senja di Waisai Torang Cinta


senja di Waisai

Sebelum maghrib, kami sudah sampai di penginapan. Sebagian kawan tampak kecapekan dan memutuskan untuk istirahat di penginapan saja. Hanya aku dan seorang kawan yang keluar untuk sekedar menikmati senja di pantai. Mumpung masih di Raja Ampat, kapan lagi bisa ke sini. Jadi meski agak capek juga kami tetap ingin ke pantai jelang senja. Jalanan begitu lengang sore itu, pantai pun juga sepi. Tanah masih menyisakan genangan air hujan tadi.

Liburan Kere Hore di Raja Ampat (2), Menyapa Lumba-Lumba di Kampung Keren Saporkren



kampung keren Saporkren
Destinasi kami selanjutnya terletak tak jauh dari Saleo. Kali ini mobil berhenti tepat di pinggir pantai. Sebuah pantai kecil dengan hamparan pasir putihnya, sepi seperti pantai pribadi. Tapi bukan pantai ini tujuan kami. Abang sopir dan kawannya menuntun kami masuk ke dalam hutan. Jalan setapak menanjak menjadi permulaan. Vegetasi cukup lebat, masih banyak pohon besar di sekitar. 

Liburan Kere Hore di Raja Ampat (1), Santai di Pantai

jetty Waiwo Resort 
Mobil terparkir di tepi jalan pinggir hutan. Jalan setapak nampak mengarah ke hutan. Tak jauh dari jalan terdapat sebuah pondokan sedehana. Setelah melewati pondokan, terlihatlah pantai kecil. Pantai kecil berpasir putih yang dibatasi hutan. Di beberapa titik terdapat pondokan kecil, yang di salah satunya terdapat baliho bertuliskan Waiwo Dive Resort. Jetty atau dermaga kayu membujur ke arah laut. Jetty tampak bagus dan terawat, sepertinya masih baru. Di tengah ada semacam pondok kayu kecil beratap alang. Di tengah jetty dibuat semacam tempat istirahat dengan beberapa tempat duduk dengan atap yang juga terbuat dari alang. Dari situ ada tangga kayu yang mengarah ke ujung jetty.

Wayag tak sampai, Waisai pun Jadi

"Raja Ampat, Kabupaten Bahari"

Ketika orang pertama dengar Raja Ampat, pasti yang terpikir adalah gugusan kepulauan karang yang tersusun epik di tengah laut tenang nan jernih. Itulah Wayag, pulau karang yang letaknya di sebelah barat pulau Waigeo. Dibutuhkan waktu tiga hingga empat jam perjalanan dari Waisai ke Wayag menggunakan speed boat. Kabarnya untuk sewa speed boat kecil saja butuh biaya belasan juta. Perkiraannya seorang harus bayar sedikitnya 2 juta untuk sewa kapal saja, belum untuk penginapan, retribusi, dll. Ada harga ada rupa.

Bersantai Menikmati Senja di Pantai WTC


tengara pantai WTC

Selepas berfoto dan berselfie ria di pelabuhan Waisai, salah seorang kawan mengontak nomor yang didapat dari penumpang yang ditemui tadi. Kebetulan pas di kapal tadi kami ketemu dengan ibu-ibu yang juga berasal dari Jawa. Seperti biasa, ketemu orang Jawa di perantauan sangat menyenangkan. Seperti saudara sendiri saja, mereka dengan senang hati menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Si Ibu memberikan nomor kontak kenalannya di Waisai yang bisa menyediakan kebutuhan transportasi kami selama di sana. Beberapa saat kemudian muncullah, mobil pick up yang sedianya akan mengantar kami ke penginapan.

Merapat ke Raja Ampat


selamat datang di Waisai

Port of Waisai, tulisan yang tampak di daratan seberang setelah sekitar dua jam perjalanan menyeberangi selat Dampir. Perlahan kapal mendekat dan merapatkan badannya ke dermaga. Dibanding pelabuhan di Sorong, pelabuhan di Waisai ini terbilang kecil. Hanya kapal sedang seukuran feri penyeberangan saja yang tampak di pelabuhan ini. Beberapa porter memasuki kapal, memburu penumpang yang terlihat kepayahan dengan barang bawaannya. Para penumpang satu per satu mulai keluar dari kapal cepat ini, termasuk kami. Melalui papan kayu sebagai jembatan kecil kulangkahkan kaki keluar dari kapal, dan sampailah di Waisai. Kini resmi sudah aku menginjakkan kaki di Raja Ampat, 25 Desember 2013.

Senin, 11 Januari 2016

Celoteh Kala Hujan Tentang Jogja, Kota Kita


Dengan senyum ceria kau tunjukkan padaku endog abang yang barusan kamu beli dari mbah-mbah sebelah. Dulu, telur rebus yang kulitnya dicat merah kemudian ditusuk sehelai ruas bambu dengan hiasan kertas warna-warni itu biasa dibelikan orangtuaku saat kami jalan-jalan di pasar malam sekaten. Ada makna mendalam dari telur unyu yang jadi ciri khas Sekaten itu. Telur melambangkan kelahiran, merah berarti kesejahteraan, dan helai ruas bambu menggambarkan hubungan vertikal dengan Tuhan. Jadi endog abang menyimbolkan kelahiran kembali untuk masa depan yang sejahtera, berpedoman pada garis ketentuan Tuhan. Dulu, rasanya belum ke sekaten kalo ga beli endog abang. Itu dulu, kalau sekarang ya gitu deh..

Catatan Papua Barat

Teluk Bintuni dan Fakfak 2013

Akhirnya Sampai Juga di Papua

Jalan-Jalan di Babo

Menikmati Papua Rasa Jawa (Nyaris) Dapat Bonus "Susu Gantung"

Kisah Sunyi dari Kampung Wimro yang Sepi

Menembus Ganasnya Gelombang Teluk Bintuni

Bermalam di Muara Otoweri

Tomage, Kampung yang Tersembunyi di Belantara Papua

Nikmatnya Manisan Pala Buatan Ibu Guru

Di Sini Harga Kangkung Sepuluh Ribu Seikat

Kembali ke Otoweri, Surganya Udang dan Buaya

Di Bawah Naungan Pelangi Teluk Bintuni

Jangan Bikin Onar di Kampung Onar

Sampai di Tofoi, Kembali ke "Peradaban"

Kulit "Hancur" Karena Agas

Kulit “Hancur” Karena Agas

jetty tempat nongkrongnya para agas nan ganas

“aduh.. mas kasian ee, kulit ancur kena agas” seloroh seorang mama ketika melihat tanganku yang penuh koreng. Akupun hanya bisa cengar-cengir sementara si mama malah ketawa. Haduh.. ternyata bekas gigitan agas ini makin tampak jelas. Baru kuingat, ternyata kemarin aku barusan main ke jetty milik sebuah perusahaan gas di tengah hutan bakau. Di sana ada banyak sekali agas dan nyamuk-nyamuk ganas. Hanya sebentar saja di sana tapi hasilnya ya seperti ini, kulit jadi ancur.

Sampai di Tofoi, Kembali ke “Peradaban”

salah satu suduh kampung Tofoi

Dan wilayah cacah terakhir dalam kegiatan tahun 2013 ini adalah Tofoi. Tofoi merupakan kota dari distrik Sumuri, yang juga menjadi salah satu kampung penting di kabupaten Teluk Bintuni. Kampung ini tergolong modern dibanding kampung-kampung lain di area Teluk Bintuni. Sebagian jalan utama sudah diaspal. Banyak fasilitas-fasilitas umum seperti Puskesmas, kantor distrik, gereja, masjid, dan pasar, namun jetty nya kurang memadai. Sekolah di sini tersedia mulai dari TK – SMA.

Jangan Bikin Onar di Kampung Onar

kampung Onar Lama
Seorang pengurus kampung tiba-tiba berteriak sambil mengacung-acungkan parang ketika beberapa kawan hendak mengurus perijinan. Sontak mereka pun lari terbirit-birit menjauh dari Bapak yang menyambut mereka dengan acungan parang. Kejadian ini ternyata hanya salah paham saja, si Bapak merasa kami sudah melakukan kegiatan di kampungnya tanpa ijin. Padahal sebenarnya waktu itu kami mau minta ijin, tapi si Bapak keburu menghunus parangnya. Singkat cerita akhirnya si Bapak mengijinkan kegiatan kami tak lama setelah insiden itu. Orang sini memang gampang emosi, karena itu kami harus berhati-hati agar tidak timbul keonaran lagi.

Di Bawah Naungan Pelangi Teluk Bintuni

di bawah naungan pelangi teluk Bintuni

Sore ketinting kami meninggalkan jetty Otoweri. Kali ini gelombang teluk Bintuni begitu tenang. Langit cukup cerah, sementara itu matahari mulai mengendurkan sengatannya. Sejuk, duduk di atap ketinting, dibersamai sepoi angin laut, sangat menyenangkan. Sepanjang mata memandang hanya tampak lautan, hanya di sisi kanan kapal terlihat daratan cukup dekat. Saat ini kapal ketinting bergerak ke arah timur menuju kampung Onar. Sebuah kampung yang terletak di tepi teluk Bintuni.

Kembali ke Otoweri, Surganya Udang dan Buaya

kampung Otoweri dan muaranya yang konon banyak buaya

Selepas menuntaskan tugas di Tomage, saatnya kami berpindah ke kampung selanjutnya yaitu Otoweri yang masih masuk distrik Bomberai, Fakfak. Kembali kapal mengarungi kelok demi kelok sungai menuju ke arah muara. Kami berangkat agak sore, sampai di Otoweri sudah senja. Disambut gelombang dari laut yang kencang, ketinting mendekat ke jetty dengan hati-hati. Sempat beberapa kali terbentur jetty, akhirnya ketinting berhasil merapat dengan selamat.

Di Sini, Harga Kangkung Sepuluh Ribu Seikat

kebun sekolah
Menu makan siang kami kali ini sangat spesial. Tak ada sarden kalengan yang kalau cium baunya saja udah berasa enek. Sayuran segar, kangkung dan terong yang barusan dipetik dari kebun menjadi pembeda. Kalau lauk lain ya masih tetep telur dadar, tapi gapapa lah asal bukan sarden. Selama beberapa minggu terakhir ini kami jarang makan sayur. Di daerah pesisir Teluk Bintuni, pertanian bukanlah budaya dari masyarakat setempat. Kalaupun ada yang bertani, mereka adalah para transmigran yang kebanyakan berasal dari Jawa. Baru beberapa tahun terakhir ini pemda setempat membekali warga di kampung-kampung pengetahuan tentang pertanian salah satunya di Tomage ini. Perwakilan warga tiap kampung di Fakfak diberikan pelatihan singkat mengenai pertanian. Mereka dikirim ke Malang untuk selanjutnya diberi tanggungjawab mengembangkan ilmunya di kampung masing-masing.

Nikmatnya Manisan Pala Buatan Ibu Guru

sekolah tempat Ibu Guru mengabdi

“Mas.. masuk sudah, di dapur su ada manisan pala”, Ibu guru menyuruhku masuk ke dapur. Di sana sudah ada Pak Eli yang baru saja selesai makan. Dia pun menyuruhku buat makan manisan Pala yang terhidang di meja makan. Pertama mengunyahnya terasa aneh, agak pahit, berbau kuat dengan nuansa hangat ketika masuk ke tenggorokkan. Tapi selanjutnya makin terbiasa dan mulai menikmatinya. Manisan pala ini menjadi teman ngobrol kami, menghabiskan waktu siang yang lengang.

Tomage, Kampung yang Tersembunyi di Belantara Hutan Papua.

secarik pelangi di langit teluk Bintuni

Pagi di muara Otoweri, hening sesekali ditimpali kicauan burung di rerimbunan hutan. Langit sedikit berawan membiaskan cahaya matahari yang mulai menampakkan wujudnya. Di ufuk barat langit memerah berhiaskan secarik pelangi. Jangkar masih mengakar di dasar muara. Sejak malam tadi ketinting kami berlabuh di muara Otoweri sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung Tomage, kampung yang letaknya berada di daerah hulu.

Bermalam di muara Otoweri

tiduran di atap ketinting, melepas lelah  

Nasi yang terhampar di nampan kecil itu masih mengepulkan asap tipis. Kemudian sarden yang juga masih hangat ditumpahkan di atas nasi disusul dengan mi instan yang baru saja matang. Sebagai sentuhan akhir, beberapa potong telur dadar dijadikan sebagai topping. Seketika itu juga tangan-tangan kami segera menjamah makanan yang sudah melambai-lambai itu. Nasi yang sudah becek dengan kuah sarden kalengan itu makin becek akibat beberapa tangan masih lembab karena barusan cuci tangan pakai air laut. Potongan telur dan ikan sarden menjadi incaran, siapa cepat dia dapat. Makan bareng dengan nampan seperti ini memang sudah jadi kebiasaan kami terutama saat berada di ketinting. Tak peduli cowok maupun cewek, semua bisa ikutan makan kembulan. Satu nampan memang tidak cukup buat kami bersebelas (termasuk awak kapal). Karena itu kami punya satu nampan lagi dan beberapa piring sebagai cadangan.