Selasa, 02 Februari 2016

Merapat ke Raja Ampat


selamat datang di Waisai

Port of Waisai, tulisan yang tampak di daratan seberang setelah sekitar dua jam perjalanan menyeberangi selat Dampir. Perlahan kapal mendekat dan merapatkan badannya ke dermaga. Dibanding pelabuhan di Sorong, pelabuhan di Waisai ini terbilang kecil. Hanya kapal sedang seukuran feri penyeberangan saja yang tampak di pelabuhan ini. Beberapa porter memasuki kapal, memburu penumpang yang terlihat kepayahan dengan barang bawaannya. Para penumpang satu per satu mulai keluar dari kapal cepat ini, termasuk kami. Melalui papan kayu sebagai jembatan kecil kulangkahkan kaki keluar dari kapal, dan sampailah di Waisai. Kini resmi sudah aku menginjakkan kaki di Raja Ampat, 25 Desember 2013.


Sebelum keberangkatan ke Teluk Bintuni aku sempat disarankan beberapa kawan untuk sekalian mampir ke Raja Ampat. Tapi setelah lihat peta, kok jauh ya antara Bintuni dan Raja Ampat. Sepertinya mustahil bisa punya waktu dan duit selo untuk sekedar mampir ke Raja Ampat. Dan ternyata benar, tempat tujuan kami bukanlah ke Bintuni namun ke Babo, lebih jauh lagi ke arah selatan.  Dari Sorong butuh waktu sekitar sejam untuk sampai di bandara Babo. Sudahlah, tak perlu lagi mikir Raja Ampat. Sudah untung juga bisa sampai di Papua.
Hari-hari yang berat namun menyenangkan kami lalui selama perjalanan di Teluk Bintuni dan Fakfak. Berbagai lanskap dan bentang alam menakjubkan belantara Papua dan perairannya sudah lebih dari cukup bagiku. Tak terbersit keinginan untuk ke Raja Ampat. Sampai pada suatu ketika saat tugas sudah hampir usai dan kami kembali ke Babo. Entah siapa yang mulai, tiba-tiba saja beberapa kawan usul untuk mampir ke Raja Ampat sebelum pulang ke Jogja. Akhirnya permintaan kami disetujui kantor dan dibelikan tiket kepulangan Sorong – Jogja pada 28 Desember.

24 Desember malam, kerjaan kami di Babo sudah resmi berakhir. Paginya dijadwalkan berangkat dari Babo menuju Sorong. Tidak seperti saat kedatangan dua bulan yang lalu, dari beskem menuju bandara kami berjalan kaki. Lumayan juga, sekira 3 km jaraknya. Namun langkah kaki ini terasa ringan, seringan beban tugas lapangan yang sudah tandas. Jam sembilan pesawat tinggal landas dari Bandara Babo, sejam kemudian sampai Sorong.
Dari Bandara kami langsung menuju rumah Pak Yono, dengan mencarter mobil. Pak Yono adalah pemilik ketinting yang kami sewa selama tugas di Teluk Bintuni kemarin. Dia adalah salah satu pengusaha sukses di sini, meskipun jika dilihat dari penampilan kesehariannya tak tampak demikian. Pria paruh baya yang sempat kami temui di Wimro ini berpenampilan santai dan ramah. Mengetahui rencana kami yang akan ke Raja Ampat, dia dengan sukarela menawarkan rumahnya di Sorong dijadikan tempat transit, menyimpan barang, dan sekaligus tempat menginap. Setelah nitip barang dan istirahat seperlunya di rumah Pak Yono, kami berangkat menuju pelabuhan rakyat Sorong untuk selanjutnya memesan tiket kapal cepat seharga 130.000. Sebenarnya kami tak tahu menahu tentang Raja Ampat, namun berbekal info seadanya dari sana-sini kami ber-16 nekat berangkat ke sana.

boarding pass Raja Ampat
Tak pernah terbayang aku bakalan sampai ke Raja Ampat secepat ini. Raja Ampat bagiku hanyalah mimpi yang berusaha kuwujudkan dengan setengah yakin. Kalau dipikir mana mungkin bisa sampai tempat yang katanya “surga” di timur Indonesia itu. Kecuali aku punya duit berlimpah, pasti bukan mustahil kalau “hanya” piknik ke Raja Ampat saja. Namun takdir berkata lain, dengan jalan yang tak terduga aku bisa sampai di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar