Jumat, 11 Maret 2016

Bertandang ke Kampung Dayak Iban Sungai Utik



Gaga Temuai Datai di Sungai Utik
Kota Putussibau berselimut kabut pagi itu. Sinar matahari belum sepenuhnya terpancar, sementara kabut masih enggan beranjak dari Bumi Uncak Kapuas. Kota tampak suram, terkesan mistis, namun terasa begitu romantis dan eksotis. Udara segar dari hutan hujan tropis sekitar membawa suasana sejuk dan damai. Jalanan kota sangat lengang, pagi yang begitu tenang.


Meski tergolong berada di dataran rendah, namun Putussibau terasa sejuk dan segar di pagi hari. Wajar saja karena 56% dari luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu adalah kawasan konservasi dalam bentuk taman nasional atau hutan lindung. Selain terlindung oleh status Taman Nasional, hutan Kapuas Hulu juga dilindungi dan dijaga oleh kearifan lokal masyarakat Dayak setempat. Salah satu suku yang memiliki kearifan lokal tersebut adalah Dayak Iban yang tinggal di Embaloh Hulu, tepatnya di Sungai Utik.

Sebelum terlalu jauh ke Sungai Utik, kembali ke tugas utama yaitu kunjugan ke sekolah. Tak bisa berlama-lama menikmati suasana mistis dan romantis di kota Putussibau, pagi ini juga kami harus segera menuju lokasi. Kabut masih setia menaungi ketika kami bergerak meninggalkan kota Putussibau menuju jalan lintas utara. Tepat seperti yang diceritakan, jalan ini masih baru. Permukaan jalan sangat mulus dengan warna hitam cerah keabuan, cukup kontras dengan warna hijau tua pepohonan di sekitar. Tidak terlalu lebar, hanya sekitar 6 meter lebarnya. Namun jalanan tampak sangat sepi, jarang terlihat kendaraan melintas.

Jalan lintas utara menghubungkan kota Putussibau dengan Badau yang merupakan pintu lintas perbatasan Indonesia – Malaysia. Kondisi jalan lintas utara kini sudah jauh lebih baik dari beberapa tahun yang lalu. Dulu jalan lintas ini masih berupa jalan tanah merah. Jalanan yang berdebu menyesakkan saat kering dan licin serta lengket saat musim hujan. Belum lagi lubang, kubangan, dan kontur jalan yang naik turun. Dibutuhkan ketrampilan dan kelihaian pengendara serta kesabaran ekstra untuk melalui jalan ini. Kondisinya sangat memprihatinkan, letaknya yang jauh di pedalaman Kalimantan membuatnya seolah terlupakan.
jalan lintas utara Kapuas Hulu, di balik bukit paling ujung itu masuk wilayah Serawak 
Kondisi jalan hancur ini membuat banyak warga yang protes. Berbagai protes mereka lancarkan dengan berbagai cara untuk mendesak pemerintah memperbaiki jalan. Menurut seorang warga, beberapa desa di perbatasan mengancam akan membakar fasilitas umum milik pemerintah atau bergabung dengan Malaysia jika jalan tidak segera diaspal. Bahkan ada salah satu Kades yang nekat mengibarkan bendera Malaysia karena sudah jengkel dengan harapan palsu yang diberikan pemerintah. Baru pada 2010-an jalan lintas utara ini secara bertahap diperbaiki hingga seperti sekarang ini.

Motor masih melaju di jalanan yang lurus, dan tetap sepi. Di kejauhan tampak perbukitan yang menjadi batas negara Indonesia – Malaysia. Di balik bukit-bukit itu sudah merupakan bagian dari wilayah Serawak. Ladang padi tampak membentang luas di sekitar jalan. Di beberapa tempat terlihat rumah betang yang merupakan rumah adat khas suku Dayak. Sementara itu, kondisi jalan yang lurus dan mulus membuat laju motor semakin kencang. Akhirnya menjelang siang sampailah kami di tempat tujuan yaitu desa Apan.

Di sela waktu bertugas ada kesempatan untuk mampir ke Sungai Utik. Kebetulan lokasinya dekat dengan desa Apan, hanya sekitar 10 menit. Gapura bertuliskan “Gaga Temuai Datai” (Selamat Datang) menjadi penanda kalau kami sudah sampai di desa Sungai Utik. Di salah satu sudut gapura ada tulisan KKN PPM UGM 2014, berarti beberapa bulan lalu desa ini jadi tempat KKN mahasiswa UGM. Gapura itu tepat berada di pinggir jalan raya dan menjadi pintu masuk menuju desa Sungai Utik. Tak jauh dari gapura terdapat rumah panggung kecil yang dijadikan tempat mempertunjukkan hasil karya warga desa berupa ukiran, kain tenun, dan kerajinan lainnya. Sejak beberapa tahun lalu, Sungai Utik dijadikan semacam desa wisata.
rumah betang Dayak Iban Sungai Utik
Hanya sekitar 200 meter dari gapura, berdiri dengan megah rumah betang. Rumah khas suku Dayak ini membentang sepanjang 180 m dan dihuni sekitar 28 KK. Rumah Betang ini sudah dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Meskipun sudah berusia tua, namun rumah Betang ini masih tampak kokoh. Tak sembarang orang bisa masuk rumah ini. Katanya jika orang luar mau masuk harus ada semacam upacara adat dulu. Pantas saja, meski aku sudah coba mengakrabi dua ibu penghuni rumah dan meminta secara tak langsung. Sempat mereka berdiskusi sebentar dengan bahasa mereka, dan dapat disimpulkan aku memang tak boleh masuk. Rumah Betang milih suku Dayak Iban ini memang sakral jadi orang asing tak boleh masuk begitu saja.  

Aku pun hanya bisa berkeliling di sekitar rumah. Pagi itu desa masih sepi, jalan di depan rumah masih kosong. Nyaris tak ada aktivitas warga yang terlihat. Di beberapa bagian tampak pakaian yang dijemur di pagar rumah. Parabola berjajar terlihat di sepanjang beranda rumah. Rumah Betang ini berada di ketinggian sekitar 1,5 meter dengan dibatasi pagar kayu berwarna biru. Ada beberapa pintu masuk dengan tangga sederhana terbuat dari kayu. Dilihat dari bawah, sepertinya beranda rumah itu cukup luas. Di bagian ujung terdapat bangunan WC yang letaknya terpisah beberapa meter dari rumah yang tampak kurang terawat.

Waktu memang terlalu singkat berada di Kapuas Hulu. Namun apa daya, memang harus begitu. Tugas lah yang menuntunku bisa sampai di ujung Kapuas, karena tugas pulalah yang membuatku harus segera meninggalkannya. Sudah untung, bisa ditempatkan di sini. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kujelajahi. Tapi tak apalah, mungkin lain kali bisa ke sini lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar