Gaga Temuai Datai di Sungai Utik |
Kota Putussibau berselimut kabut
pagi itu. Sinar matahari belum sepenuhnya terpancar, sementara kabut masih
enggan beranjak dari Bumi Uncak Kapuas. Kota tampak suram, terkesan mistis,
namun terasa begitu romantis dan eksotis. Udara segar dari hutan hujan tropis
sekitar membawa suasana sejuk dan damai. Jalanan kota sangat lengang, pagi yang
begitu tenang.
Meski tergolong berada di dataran
rendah, namun Putussibau terasa sejuk dan segar di pagi hari. Wajar saja karena
56% dari luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu adalah kawasan konservasi dalam
bentuk taman nasional atau hutan lindung. Selain terlindung oleh status Taman
Nasional, hutan Kapuas Hulu juga dilindungi dan dijaga oleh kearifan lokal
masyarakat Dayak setempat. Salah satu suku yang memiliki kearifan lokal
tersebut adalah Dayak Iban yang tinggal di Embaloh Hulu, tepatnya di Sungai
Utik.
Sebelum terlalu jauh ke Sungai
Utik, kembali ke tugas utama yaitu kunjugan ke sekolah. Tak bisa berlama-lama
menikmati suasana mistis dan romantis di kota Putussibau, pagi ini juga kami
harus segera menuju lokasi. Kabut masih setia menaungi ketika kami bergerak
meninggalkan kota Putussibau menuju jalan lintas utara. Tepat seperti yang
diceritakan, jalan ini masih baru. Permukaan jalan sangat mulus dengan warna
hitam cerah keabuan, cukup kontras dengan warna hijau tua pepohonan di sekitar.
Tidak terlalu lebar, hanya sekitar 6 meter lebarnya. Namun jalanan tampak
sangat sepi, jarang terlihat kendaraan melintas.
Jalan lintas utara menghubungkan
kota Putussibau dengan Badau yang merupakan pintu lintas perbatasan Indonesia –
Malaysia. Kondisi jalan lintas utara kini sudah jauh lebih baik dari beberapa
tahun yang lalu. Dulu jalan lintas ini masih berupa jalan tanah merah. Jalanan
yang berdebu menyesakkan saat kering dan licin serta lengket saat musim hujan.
Belum lagi lubang, kubangan, dan kontur jalan yang naik turun. Dibutuhkan
ketrampilan dan kelihaian pengendara serta kesabaran ekstra untuk melalui jalan
ini. Kondisinya sangat memprihatinkan, letaknya yang jauh di pedalaman
Kalimantan membuatnya seolah terlupakan.
jalan lintas utara Kapuas Hulu, di balik bukit paling ujung itu masuk wilayah Serawak |
Kondisi jalan hancur ini membuat
banyak warga yang protes. Berbagai protes mereka lancarkan dengan berbagai cara
untuk mendesak pemerintah memperbaiki jalan. Menurut seorang warga, beberapa
desa di perbatasan mengancam akan membakar fasilitas umum milik pemerintah atau
bergabung dengan Malaysia jika jalan tidak segera diaspal. Bahkan ada salah
satu Kades yang nekat mengibarkan bendera Malaysia karena sudah jengkel dengan
harapan palsu yang diberikan pemerintah. Baru pada 2010-an jalan lintas utara
ini secara bertahap diperbaiki hingga seperti sekarang ini.
Motor masih melaju di jalanan
yang lurus, dan tetap sepi. Di kejauhan tampak perbukitan yang menjadi batas
negara Indonesia – Malaysia. Di balik bukit-bukit itu sudah merupakan bagian
dari wilayah Serawak. Ladang padi tampak membentang luas di sekitar jalan. Di
beberapa tempat terlihat rumah betang yang merupakan rumah adat khas suku
Dayak. Sementara itu, kondisi jalan yang lurus dan mulus membuat laju motor
semakin kencang. Akhirnya menjelang siang sampailah kami di tempat tujuan yaitu
desa Apan.
Di sela waktu bertugas ada
kesempatan untuk mampir ke Sungai Utik. Kebetulan lokasinya dekat dengan desa
Apan, hanya sekitar 10 menit. Gapura bertuliskan “Gaga Temuai Datai” (Selamat
Datang) menjadi penanda kalau kami sudah sampai di desa Sungai Utik. Di salah
satu sudut gapura ada tulisan KKN PPM UGM 2014, berarti beberapa bulan lalu
desa ini jadi tempat KKN mahasiswa UGM. Gapura itu tepat berada di pinggir
jalan raya dan menjadi pintu masuk menuju desa Sungai Utik. Tak jauh dari
gapura terdapat rumah panggung kecil yang dijadikan tempat mempertunjukkan
hasil karya warga desa berupa ukiran, kain tenun, dan kerajinan lainnya. Sejak
beberapa tahun lalu, Sungai Utik dijadikan semacam desa wisata.
rumah betang Dayak Iban Sungai Utik |
Hanya sekitar 200 meter dari
gapura, berdiri dengan megah rumah betang. Rumah khas suku Dayak ini membentang
sepanjang 180 m dan dihuni sekitar 28 KK. Rumah Betang ini sudah dijadikan
sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Meskipun sudah berusia tua,
namun rumah Betang ini masih tampak kokoh. Tak sembarang orang bisa masuk rumah
ini. Katanya jika orang luar mau masuk harus ada semacam upacara adat dulu.
Pantas saja, meski aku sudah coba mengakrabi dua ibu penghuni rumah dan meminta
secara tak langsung. Sempat mereka berdiskusi sebentar dengan bahasa mereka,
dan dapat disimpulkan aku memang tak boleh masuk. Rumah Betang milih suku Dayak
Iban ini memang sakral jadi orang asing tak boleh masuk begitu saja.
Aku pun hanya bisa berkeliling di
sekitar rumah. Pagi itu desa masih sepi, jalan di depan rumah masih kosong.
Nyaris tak ada aktivitas warga yang terlihat. Di beberapa bagian tampak pakaian
yang dijemur di pagar rumah. Parabola berjajar terlihat di sepanjang beranda
rumah. Rumah Betang ini berada di ketinggian sekitar 1,5 meter dengan dibatasi
pagar kayu berwarna biru. Ada beberapa pintu masuk dengan tangga sederhana
terbuat dari kayu. Dilihat dari bawah, sepertinya beranda rumah itu cukup luas.
Di bagian ujung terdapat bangunan WC yang letaknya terpisah beberapa meter dari
rumah yang tampak kurang terawat.
Waktu memang terlalu singkat berada di Kapuas Hulu.
Namun apa daya, memang harus begitu. Tugas lah yang menuntunku bisa sampai di
ujung Kapuas, karena tugas pulalah yang membuatku harus segera meninggalkannya.
Sudah untung, bisa ditempatkan di sini. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin
kujelajahi. Tapi tak apalah, mungkin lain kali bisa ke sini lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar