Jumat, 30 Desember 2016

Singgah di Ngabang, Menapak Jejak Sejarah Kerajaan Tertua Kalimantan Barat


komplek Keraton Ismahayana 
Seorang lelaki paruh baya menghampiri kami yang sedang bersantai di beranda. Hanya tersenyum, lalu dia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk. Sebuah rumah panggung kecil dengan warna kuning yang dominan dipermanis dengan warna hijau di bagian pintu, jendela, dan tiang. Bagian beranda dibatasi pagar kayu bermotif unik dibalut dengan warna kuning cerah. Enam pilar kayu berwarna hijau menjadi bagian dari pagar beranda sekaligus menjadi selingan dari warna kuning yang mendominasi. Di bagian tengah beranda terdapat lampu gantung klasik. Di samping beranda, terdapat selasar kecil yang masih terhubung dengan beranda namun tidak beratap. Bangunan beraksitektur khas Melayu itu cukup kecil, sama seperti beberapa rumah di sekitarnya.


Kompleks Keraton Ismahayana ini tak seperti kebanyakan keraton lain yang biasanya terdapat satu bangunan megah sebagai istana raja. Namun di sini hanya terdapat beberapa bangunan kecil yang identik baik ukuran maupun desainnya. Rumah panggung beratap sirap dengan warna kuning yang dominan memberi kesan jadul dan unik. Kini rumah khas Melayu seperti ini memang sudah sangat langka. Diantara beberapa rumah itu terdapat satu rumah yang letaknya paling depan. Di rumah itulah kami dipersilahkan masuk oleh Pak Udin, yang merupakan salah satu warga keraton.

Rumah yang terletak paling depan itu dulunya merupakan bagian dari istana keraton Kerajaan Ismahayana. Istana Keraton Ismahayana dulu memang cukup besar dan megah. Namun beberapa puluh tahun yang lalu istana mengalami kebakaran besar dan hanya menyisakan bagian depan. Jadi hanya bangunan inilah yang masih terdapat bagian yang asli, karena bangunan lain di bagian samping dan belakang sudah direnovasi total. Sekarang rumah ini difungsikan sebagai museum, tempat memajang koleksi kerajaan. Bangunan di sekitarnya difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat kerajaan. Sementara itu keluarga Raja Alm. Gusti Suryansyah Amiruddin tinggal di Pontianak. Saat kami berkunjung ke sana pada November 2016, Kerajaan sedang berduka karena sekitar sebulan yang lalu sang Raja mangkat.

bangunan keraton yang masih tersisa
Keraton atau lebih tepatnya disebut Museum Kerajaan Landak, berisi benda-benda peninggalan kerajaan di masa lampau. Di ruang tamu terdapat foto-foto koleksi kerajaan serta ada juga beberapa plakat dari kerajaan-kerajaan di Nusantara. Memasuki ruang tengah, terdapat singgasana raja lengkap dengan hiasan-hiasannya. Selain itu terdapat beberapa koleksi kerajaan lainnya seperti mahkota raja Landak, Keris Sikanyut, sepasang pedang, tempat tidur panembahan, duplikat payung kebesaran raja, dan dua kipas raja. Menariknya di kamar bagian belakang tersimpan benda-benda bersejarah seperti sebuah meriam, permainan dakon/congklak, dan seperangkat gamelan. Beberapa benda yang tersimpan di sini menandakan adanya hubungan antara kerajaan Landak dengan Jawa.

Diawali dengan ekspedisi Pamalayu yang diinisiasi raja Singasari, Kertanegara. Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk memperluas wilayah kerajaan ke daerah Sumatera yang dimulai pada tahun 1275 hingga 1292. Saat raja Kertanegara wafat, para punggawa dan prajurit ekspedisi ini kembali ke Jawa. Namun salah satu rombongan yang dipimpin Ratu Sang Nata Pulang Pali I membelokkan armadanya ke Nusa Tanjungpura (Kalimantan). Dengan menyisir sungai, akhirnya mereka tiba di daerah Sekilap (kini masuk dalam wilayah kabupaten Landak) yang kemudian diganti namanya menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur. Di Angrat Batur inilah kerajaan Landak didirikan oleh Ratu Sang Nata Pulang Pali I, sekaligus menjadikannya sebagai raja Landak pertama.

Berdiri pada tahun 1292, kerajaan Landak menjadi kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Dari tahun 1292 hingga sekarang, kerajaan Landak telah dipimpin oleh puluhan raja dan wakilnya (sebagai pengganti sementara). Dalam kurun waktu lebih dari 7 abad, sejarah kerajaan Landak dibagi dalam empat periode dan dua fase keagamaan. Keempat periode tersebut didasarkan pada keberadaan istana kerajaan Landak yang pernah menempati empat lokasi yang berbeda. Keempat lokasi tersebut adalah: Ningrat Batur (1292 – 1472), Mungguk Ayu (1472 – 1703), Bandong (1703 – 1768), dan Ngabang (1768 – sekarang).

Fase pertama merupakan masa awal kerajaan yang masih berhaluan Hindu dan merupakan kepercayaan dari pendiri kerajaan Landak. Pada fase pertama keraton masih berada di Ningrat batur dan raja masih bergelar “Ratu Sang Nata Pulang Pali”. Setelah Ratu Sang Nata Pulang Pali VII mangkat, kepemimpinan beralih ke putera mahkota yaitu Pangeran Ismahayana. Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke daerah hulu sungai Landak (Mungguk Ayu). Pada masa inilah pengaruh Islam masuk melalui orang-orang Bugis dan Banjar. Di kemudian hari Pangeran Ismahayana masuk Islam dan dimulailah fase baru kerajaan Landak yang bercorak Islam. Kemudian Kerajaan Landak berganti nama menjadi Kerajaan Ismahayana Landak sesuai dengan nama raja pertama yang memeluk Islam. Hingga saat ini nama “Ismahayana” tetap dipertahankan sebagai penanda bahwa kerajaan ini pernah bercorak Hindu.

Tak lama kami berada di dalam keraton Ismahayana yang mungil itu. Hanya ruang tengah, dua kamar, dan ruang tamu yang bisa dikunjungi. Hari juga semakin sore, kami pun berpamitan kepada Pak Udin. Pintu masuk pun ditutup, keraton kembali sepi. Berbeda dengan bangunan keraton, halamannya yang cukup luas makin ramai dikunjungi warga sekitar. Halaman keraton dimanfaatkan warga untuk menghabiskan waktu sore dengan beragam kegiatan seperti jalan-jalan, bermain, hingga latihan silat. Keraton ini memang cukup sederhana jika dibandingkan dengan keraton/istana yang lain. Tapi di balik kesederhanaannya, Kerajaan Ismahayana Landak menyimpan sejarah yang panjang.

singgasana raja 
Tujuh abad sudah kerajaan ini berdiri, puluhan raja memimpin silih berganti. Dimulai dengan kejayaan tambang emas dan intan, lalu bertahan di masa penjajahan. Sempat mengalami kevakuman kekuasaan setelah peristiwa pembantaian keluarga kerajaan di masa pendudukan Jepang. Namun pada akhirnya kerajaan Landak kembali dibangkitkan oleh rakyat Landak sendiri ditandai dengan diangkatnya Gusti Suryansyah Amirudin sebagai Raja Landak ke-39. Sejarah kerajaan yang “seumuran” dengan Majapahit itu kembali berlanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar