Jumat, 11 Maret 2016

Mudik Ke Uncak Kapuas (1), Mulai Dari Pontianak Hingga Sekadau

jembatan Kapuas kota Pontianak
Membentang dari pegunungan Muller hingga selat Karimata, menjadikan Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Setidaknya untuk keperluan MCK, air sungai ini menjadi pilihan utama warga sekitar. Meskipun sudah ada jalan raya, sungai ini masih dijadikan sebagai jalur transportasi alternatif. Sungai sepanjang 1.143 km ini membelah Kalimantan Barat mulai dari selat Karimata hingga wilayah Kapuas Hulu.

Mudik ke Uncak Kapuas (3), Menggapai Bumi Uncak Kapuas


hutan di desa Apan, Embaloh Hulu
Beranjak dari Sintang, kembali perjalanan mudik dilanjutkan melalui sungai Kapuas. Setelah perjalanan panjang melewati banyak kelokan sungai, sampailah kita di Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Bumi Uncak Kapuas adalah julukan dari Kapuas Hulu yang merupakan kabupaten paling timur di Kalimantan Barat. Kabupaten ini beribukotakan di Putussibau, sebuah kota yang berjarak 814 km jalan darat/846 km via sungai Kapuas dari Pontianak. Ada banyak versi terkait asal mula penamaan Putussibau. Secara umum, nama “Putussibau” berasal dari putusnya aliran sungai Sibau oleh sungai Kapuas. Kedua sungai ini membelah kota Putussibau dan berarti penting bagi warganya. Kota Putussibau didirikan pada 1 Juni 1895 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun jauh sebelum itu kota ini sudah didiami oleh orang-orang dari suku Dayak Taman dan Dayak Kantu’.

Mudik ke Uncak Kapuas (2), Menengok Sekilas Anak-Anak Sungai Kapuas

tepi sungai Melawi
Kembali ke Kapuas, kemudian berlayar ke hulu sampai Bumi Senentang. Disebut Bumi Senentang karena di sanalah tempat sungai Kapuas dan Melawi bertemu/saling berhadapan (dalam bahasa setempat disebut “senentang”). Bumi Senentang adalah julukan kota Sintang yang kini jadi kota terbesar di daerah hulu sungai Kapuas. Sejak masa kolonial Belanda, Sintang sudah dijadikan kota penting di daerah hulu dengan dibukanya jalan darat dari Pontianak. Jalur sungainya pun tak kalah penting karena menjadi penghubung antara wilayah Melawi dengan Kapuas. Jalur sungai Melawi – Kapuas juga dijadikan sebagai jalur angkut hasil logging. Dulu kayu-kayu tersebut berasal dari daerah Melawi, tetapi karena hutan di sana sudah hampir habis diambillah kayu dari Kalimantan Tengah yang persediaan kayunya masih ada. Dari Kalteng, kayu-kayu tersebut diangkut melalui jalur darat yang telah dibuat perusahaan menuju suatu tempat di kecamatan Ella Hilir. Setelah jumlahnya mencukupi, kayu-kayu itu diangkut menggunakan tongkang melalui sungai Melawi.

Bertandang ke Kampung Dayak Iban Sungai Utik



Gaga Temuai Datai di Sungai Utik
Kota Putussibau berselimut kabut pagi itu. Sinar matahari belum sepenuhnya terpancar, sementara kabut masih enggan beranjak dari Bumi Uncak Kapuas. Kota tampak suram, terkesan mistis, namun terasa begitu romantis dan eksotis. Udara segar dari hutan hujan tropis sekitar membawa suasana sejuk dan damai. Jalanan kota sangat lengang, pagi yang begitu tenang.

Putussibau, Kota di Ujung Sungai Kapuas

tugu di pusat kota Putussibau
Perjalanan Maraton keliling Kalimantan Barat kali ini akan diakhiri di Kapuas Hulu, tepatnya di kecamatan Embaloh Hulu. Kapuas Hulu dikenal juga dengan sebutan Bumi Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Jadi tujuan berikutnya adalah Hulunya sungai Kapuas. Kata salah seorang kawan yang pernah ke Embaloh Hilir, dia harus naik speedboat untuk sampai ke lokasi. Tak ada jalan darat memang, hanya sungai lah satu-satunya pilihan. Daerah hilir aja harus naik kapal, apalagi di hulunya? Mantab, langsung terbayang bakalan lewat sungai yang masih alami dengan hutan di kanan kiri. Betapa menyenangkannya petualangan ini.

Menuju Ketungau, Beranda Indonesia yang Terlupakan

jembatan Kapuas yang menghubungkan Sintang dengan wilayah Ketungau
Hujan deras mengawali perjalanan kami dari kota Sintang menuju ke Ketungau Hilir. Sebuah kecamatan yang terletak di daerah aliran sungai Ketungau, anak sungai Kapuas. Ketungau Hilir merupakan pemekaran dari Kecamatan Ketungau, Kabupaten Sintang yang kini menjadi tiga kecamatan (Ketungau Hulu, Ketungau, Ketungau Hilir). Untuk menuju Ketungau dari Sintang hanya ada satu jalan penghubung. Jalan tanah merah, sama seperti jalan penghubung daerah hulu lain di Kalimantan Barat. Belum ada aspal, hanya tanah merah yang berdebu bila kering dan lengket selepas hujan.

Mudik ke Hulu Sungai Belitang

antri menyeberang
Perahu penyeberangan terlihat mondar-mandir dari tepi ke tepi mengantar orang dan motor. Tak besar, hanya perahu bermesin kecil yang muat maksimal 3 sepeda motor dan beberapa penumpang saja. Terlihat antrian di terminal penyeberangan kecil di tepi Kapuas. Beberapa motor tampak berjajar membentuk shaf beberapa baris di dalam terminal kecil itu. Sementara itu di sebelah, terlihat tongkang berisi belasan mobil dan truk merapat ke daratan. Pagi itu kesibukan di demaga penyeberangan Sungai Ayak dimulai.

Sekilas Tentang Kompak (Komunitas Ngapak) di Hulu Sungai Kapuas

menyeberang menuju SP 1
Sebelum masuk ke kelas, terdengar suara gaduh anak-anak. Seperti biasa, jika tak ada guru atau yang mengawasi selalu saja suasana kelas riuh oleh celoteh anak-anak. Namun sekilas terdengar cengkok medok Banyumasan dalam tutur mereka. Bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa Indonesia memang biasa mereka gunakan sehari-hari karena lingkungan di sini banyak orang Jawanya.

Naik Klotok, Menyusur Sungai Kapuas Menuju Pontianak

Klotok siap berangkat
Jam 5 sore, kami sudah berada di kapal klotok. Sebelumnya kami sempatkan untuk beli nasi bungkus dan snack di warung dekat pelabuhan. Katanya perjalanan dari Teluk Batang ke Pontianak biasanya butuh waktu sekitar 14 jam. Para penumpang mulai berdatangan masuk ke dalam kapal dengan berbagai barang bawaannya. Biasanya barang bawaan mereka taruh di bagian tengah ruang penumpang berupa lantai papan yang cukup luas. Di dinding ruang penumpang diberi papan memanjang yang berfungsi sebagai tempat duduk.

Karimata, Mutiara yang Terlupakan

pulau Karimata dan gunung Cabang di kejauhan
Karimata dikenal sebagai nama selat yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Kalimantan. Pertemuan arus Laut Cina Selatan dan Laut Jawa menjadikan wilayah ini memiliki gelombang laut yang ganas. Gelombang laut yang seringkali memangsa kapal-kapal yang kurang beruntung. Benar saja, gelombang setinggi hampir 2 meter selalu setia mengombang-ambingkan speedboat kecil yang kami tumpangi. Berlayar di perairan terbuka selat Karimata memang menawarkan sensasi unik yang memacu adrenalin. Beruntung, kami akhirnya bisa sampai di dermaga Betok, Pulau Karimata dengan selamat.

Dusun Betok, Terkucil di Tengah Selat Karimata

dermaga dusun Betok
Dusun Betok, secara administratif masuk dalam wilayah desa Betok Jaya, kecamatan Karimata, Kabupaten Kayong Utara (KKU), Kalimantan Barat. Terpisah sekitar 100 km dari pulau Kalimantan membuat dusun kecil yang ada di pulau Karimata ini seolah terkucilkan. Akses menuju ke sana tergolong sulit, mahal, dan berisiko tinggi. Hanya ada tiga pilihan untuk menuju ke Karimata. Pertama adalah menumpang perahu nelayan yang biasanya singgah di Ketapang atau Sukadana. Dari sisi biaya, pilihan ini adalah yang paling ekonomis karena hanya numpang. Tapi sebanding dengan risikonya yang besar, berlayar belasan jam dengan perahu bermesin kecil. Belasan jam pula terombang ambing gelombang selat Karimata yang dikenal ganas, tentu bukanlah hal aneh jika pas lagi apes perahu bisa terbalik.

Bertandang ke Kampung Nelayan di Selat Karimata

warga setempat sedang membuat Bubu (alat tangkap ikan tradisional)
Sekitar seabad silam, perairan Karimata khususnya sekitar dusun Betok sudah sering didatangi nelayan dari Belitung. Melimpahnya ikan di Karimata menjadi daya tarik bagi para nelayan dari berbagai daerah. Mulai dari beberapa gubuk sebagai tempat singgah, lalu berkembang menjadi pemukiman kecil. Dulu, letak pemukiman nelayan berada di muara sungai Betok. Betok adalah nama ikan yang dijadikan nama sebuah sungai. Karena kesulitan air, pada tahun 20-an para nelayan memindahkan lokasi singgahnya tempat baru yang lebih dekat dengan sumber air tawar. Tempat baru itu kemudian berkembang menjadi perkampungan yang kini dihuni 248 KK atau sekitar 900-an jiwa. Tidak hanya dihuni orang Belitung saja, orang Bugis dan Buton pun juga banyak yang bermukim di sana.

Berlayar ke Pulau Karimata, Merasakan Ayunan Gelombang Selat Karimata


pulau Kepayang, salah satu pulau kecil di kepualauan Karimata
Kapal masih tertambat di sebuah warung dekat dermaga ketika kami datang. Bang Sema dan seorang kawannya terlihat sedang duduk santai di warung. Setelah ngobrol sebentar tentang teknis keberangkatan nanti, segera mereka menyiapkan kapal. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 10 menit mesin kapal sudah dinyalakan dan siap untuk berangkat. Bang Sema selaku nakhoda sudah bersiap di belakang kemudi ditemani Bang Yos. Tepat jam 6.45 speedboat kecil dengan 8 kursi penumpang mulai bergerak menuju muara. Kanal yang sempit dengan beberapa perahu tertambat di pinggirnya membuat nakhoda harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya. Tak jauh memang, setelah melalui dua kelokan sampailah kami di muara.

Menyeberang ke Pulau “Malaria”, Pulau Maya

dermaga dusun Pancur
Pulau Maya dan malaria, menjadi dua hal yang tak terpisahkan bagi warga Kalimantan Barat. Beberapa orang yang mengetahui rencana kami untuk pergi ke pulau Maya pun mengingatkan untuk berhati-hati selama di sana. Sudah sejak lama pulau Maya dikenal menjadi daerah endemi malaria di Kalimantan Barat. Beberapa orang bahkan mengaku pikir-pikir dulu jika diharuskan ke pulau Maya. Seakan pulau ini digambarkan sebagai pulau menyeramkan yang sangat dihindari.

Mereguk Manisnya Sawit di Manismata

simpang sawit, dekat perbatasan Kalimantan Tengah
Sejarah perkebunan sawit di Manismata sudah berlangsung sejak awal masa penempatan transmigran di sini, pada tahun 1980-an. Manismata masuk wilayah administratif kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang saat ini bisa ditempuh dalam waktu 4 – 6 perjalanan darat. Tapi kota terdekat dari sini adalah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang bisa ditempuh sekitar sejam lewat jalan darat. “Dulu sekitar sekolah ini masih hutan lebat, hanya ada beberapa rumah saja di sekitarnya.”, kisah Pak Saka. Beliau adalah salah satu guru pertama yang ditempatkan di sekolah yang kini menjadi lokasi SMPN 1 Manismata. Bersama dua orang guru lainnya, beliau ditugaskan untuk mengajar anak-anak warga lokal dan transmigran pertama.