Senin, 16 November 2015

2015


ijo royo-royo
Gunung Kidul, DIY

rumah Pek Sin Kek
Sawahlunto, Sumatera Barat

sudut masjid
Masjid Raya Baiturrahman, Aceh

rumah Pek Sin Kek (2)
Sawahlunto, Sumatera Barat

anak tangga
Tamansari, Yogyakarta

danau Lut Tawar
Takengon, Aceh

siang di Siung
Gunung Kidul, DIY



2014


membelah belantara Kalimantan
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

dermaga pasar Mardika
Ambon, Maluku

Gede Pangrango
T.N. Gunung Gede Pangrango

jalan sunyi
Sorong, Papua Barat

lanskap mewah pantai Sadranan
Gunung Kidul, DIY

di antara pasir berbisik dan raungai jip yang berisik
T.N. Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur

sabana dan langit biru
Sorong, Papua Barat



2013


danau Toba
Tanah Karo, Sumut

sabana Sumba
Sumba Timur, NTT

di bawah naungan pelangi Teluk Bintuni
Teluk Bintuni, Papua Barat

bukit belakang sekolah
Sumba Timur, NTT

wilujeng enjing
Garut, Jawa Barat

lelap
Teluk Bintuni, Papua Barat

biru
Raja Ampat, Papua Barat

danau Toba
Tanah Karo, Sumatera Utara

sungai Otoweri
Fakfak, Papua Barat



2012


kering kerontang
T.N. Baluran, Jawa Timur

face to face
T.N. Baluran, Jawa Timur



Rabu, 11 November 2015

Selamat Datang di Kota Juang Nanga Pinoh


Tugu Juang Nanga Pinoh
Sekitar enam jam perjalanan dari Pontianak sampailah di pertigaan jalan dengan sebuah tugu berada tepat di tengah persimpangan jalan. Simpang Pinoh, begitu orang menamai simpang jalan yang ditandai dengan tugu yang menggambarkan dua orang yang sedang mengibarkan bendera merah putih. Sesuai namanya, simpang Pinoh menjadi jalan masuk ke kota Nanga Pinoh. Sekitar setengah jam kemudian sampailah di kota Nanga Pinoh ditandai dengan jembatan yang membelah sungai Pinoh. Dari jembatan kita bisa melihat muara sungai Pinoh yang terhubung dengan sungai Melawi. Muara sungai atau dalam bahasa setempat disebut “nanga” seringkali dijadikan pusat perdagangan dan kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Setelah melewati jembatan kita memasuki kawasan pertokoan dan pasar yang menjadi pusat keramaian di kota Nanga Pinoh.

Rabu, 28 Oktober 2015

Menanti Senja di Karimata, Mengantar Kepergian si Tua Arungi Samudera


mengantar kepergian sang Perintis arungi samudera

Raungan sirene terdengar dari arah dermaga. Sebuah kapal barang tua dengan tulisan “PERINTIS” di bagian atas telah merapat dengan sempurna. Beberapa orang yang sedari tadi menunggu di dermaga, segera menuju ke arah kapal. KM Terigas I, merupakan kapal perintis yang melayani rute Semarang – Sambas PP. Kapal barang tua yang juga difungsikan sebagai kapal penumpang ini menjadi satu-satunya transportasi umum yang singgah di kepulauan Karimata. Dari sekian banyak pulau dan kampung, hanya dermaga kampung Betok, Pulau Karimata lah yang dijadikan titik singgah kapal perintis. Kapal perintis yang berlabuh di Karimata akan menuju ke Sambas atau Ketapang, tergantung rute tujuan. Hanya dua kali dalam sebulan, kapal perintis menyinggahi Karimata oleh karena itu kedatangan kapal ini selalu dinanti oleh warga Karimata.

Rabu, 19 Agustus 2015

Bertandang ke Watu Ling (2), Mengagumi Kemegahan Sekolah di Atas Awan

lanskap dari halaman belakang sekolah



Siang yang terik, membuat kami memilih berteduh di rumah Pak Kepala Sekolah. Di meja sudah tersedia bir dan rokok, sebagai sajian dalam ritual penyambutan tamu. Sementara itu seekor ayam juga sudah disiapkan untuk kami potong nanti sore. Orang Manggarai sudah memahami betul tentang toleransi, mereka mempersilahkan tamu Muslim untuk menyembelih sendiri ayam yang biasanya menjadi hidangan spesial untuk menyambut tamu. 

Bertandang ke Watu Ling (1), Mengenal Lebih Dekat Orang Manggarai

kabut pun mulai turun saat sore menjelang di Elar
Terpencil jauh di antara perbukitan Manggarai Timur kampung kecil bernama Ledu berada. Tak mudah mencapai kampung yang masuk dalam wilayah kecamatan Elar. Sore itu kami berangkat menggunakan mobil dari Ruteng menuju Elar. Jalan gunung meliuk-liuk mewarnai perjalanan menuju Elar. Seringkali ditemui bukit-bukit yang tergerus akibat longsor. Jalan makin menyempit dan banyak lubang ketika mendekati Elar. Jalan rusak dan menanjak membuat pengemudi harus selalu waspada. Selain pengemudi yang handal, dibutukan pula kendaraan bergardan ganda untuk melalui medan semacam ini. Meski kadang dibuat was-was akibat kondisi jalan yang buruk, namun itu terbayar tuntas dengan pemandangan pegunungan Manggarai. Perbukitan dan lembah hijau terlihat suram berselimut kabut, suasana begitu mistis namun romantis. Kebun kopi terhampar luas, katanya tempat ini merupakan sentra penghasil kopi terkenal di Elar.

Sekolah di Atas Awan, Sunrise yang Manis dari Halaman Belakang Sekolah

pantulan matahari terbit dari jendela SDN Heret
“Bangunan sekolah jelek, mirip kandang kambing kan?”, cerita singkat dari Pak Gabriel sambil menunjukkan foto SDN Heret di awal pembukaannya. Cerita yang diakhiri dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Bangunan berdinding bambu dan kayu serta beratapkan ilalang, sekilas mirip kandang kambing. Kumuh dan tak layak pakai adalah kesan pertama melihat gambar “kandang kambing” yang dijadikan tempat belajar anak-anak. Gambar yang diambil sekitar enam tahun yang lalu pada awal beroperasinya SD Heret terpajang di dinding bambu rumah Pak Gabriel.

Selamat Pagi Sumba



matahari pagi pulau Sumba
Seuntai senyum menghiasi wajah manis gadis berseragam merah putih diikuti dengan suara terlontar dari mulutnya. “Selamat Pagi!”, sambil berjalan dia menyapa kami yang naik motor berlawanan arah dengan tujuannya. Gadis itu sedang dalam perjalanan menuju sekolahnya, SD-SMP Satu Atap Waitama yang masih satu kilometer perjalanan lagi. Perjalanan yang cukup melelahkan di jalan yang membelah padang sabana harus dia tempuh untuk sekolah. Meski kelelahan, bukan keluhan yang dia tunjukkan melainkan sapaan hangat dan bersahabat.

Kisah Para Guru yang Mengabdi di Pelosok Negeri: Mengabdi dengan Hati (Manggarai, NTT)

Pak Gabriel (paling belakang), mengantar kami kembali ke kampung Heret
Seorang pria paruh baya menyambut dengan ramah sesaat setelah kami berada di depan pintu rumahnya sambil mengucap salam. Beliau segera mempersilahkan kami masuk ke rumahnya tanpa curiga sedikitpun terhadap kedatangan ketiga orang asing ini. Di dalam rumahnya, kami menyampaikan maksud dan tujuan datang ke kampung itu. Pak Gabriel, yang juga seorang guru di SDN Heret itu langsung bersedia membantu penelitian kami di sekolahnya.

Kamis, 25 Juni 2015

DI Yogyakarta

Ladang Pasir          

Tanah pasir yang dulunya gersang itu kini telah berubah menjadi perkebunan yang subur. Berbagai jenis sayuran seperti terong dan cabe sudah lumrah ditemui di area pantai Parangkusumo, Bantul. Di beberapa petak bahkan ditanami padi yang ditanam setahun sekali. Sebelum mulai tanam, para petani membutuhkan tanah untuk menimbun pasir di ladang sebagai alas agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kebutuhan air untuk tanaman dapat dipenuhi dengan menggali sumur bor sedalam sekitar 8 meter. Meskipun hanya berjarak puluhan meter dari pantai, air tanahnya tawar. Cukup banyak sumur bor yang dibuat, sehingga memudahkan petani untuk mengairi ladang mereka. Hak kelola lahan juga sudah diperoleh atas tanah Sultan tersebut. Rencananya di sebagian area gumuk pasir Parangkusumo akan dijadikan tempat wisata pertanian di tanah pasir. 

Jawa Barat

Jadi Buruh di Tanah Sendiri
area perkebunan kampung Mojang

Perkebunan dengan beragam jenis sayur tampak menghiasi lanskap pedesaan di kecamatan Samarang, Garut. Hawa sejuk dengan pemandangan perkebunan menjanjikan ketenangan dan kenyamanan. Begitu pula saat saya singgah di kampung Mojang Lebak, terasa sekali suasana pedesaan khas tanah Priangan. Warganya ramah dan seringkali menggunakan bahasa Sunda ketika mengobrol. Rumah-rumah di kampung ini sangat sederhana, hanya beberapa saja yang bisa dikatakan relatif bagus. Kebanyakan warga kampung ini memang memiliki kebun luas, namun tidak bisa diolah sendiri karena kekurangan modal. Tanah mereka telah disewa pihak lain sebesar 1 juta rupiah per 100 tumbak (1400m2) tiap tahunnya. Ironisnya, untuk memenuhi keperluan sehari-hari mereka bekerja menjadi buruh dengan menggarap lahan sendiri yang telah disewa pihak lain. Penyewa yang memiliki hak guna atas tanah mempekerjakan para pemilik tanah sebagai buruh. 

Sabtu, 20 Juni 2015

Sumatera Barat


Sawahlunto
Lembah Sungai Lunto masa lalu (foto koleksi museum "Goedang Ransoem"
Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut dibelah oleh aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan sungai “lunto”. Lembah sungai lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara setelah ditemukannya kandungan batubara oleh seorang geolog yang ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda meneliti daerah itu. Sejak saat itu, Sawahlunto berkembang menjadi daerah pertambangan batubara yang modern kala itu.

Lubang Tambang Mbah Soero     
terowongan tambang "Mbah Soero"
Dibangun pada tahun 1880-an dengan mengerahkan para pekerja paksa dari luar pulau, terowongan ini menjadi salah satu titik penambangan batubara di Sawahlunto. Para pekerja paksa itu merupakan narapidana dari berbagai penjara, dan dipekerjakan dengan belenggu rantai di kaki karena itu mereka disebut juga sebagai orang rantai. Pada awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan Soerono atau lebih dikenal sebagai mbah Soero dari Jawa untuk dijadikan mandor di sini. Ada beberapa versi cerita mengenai sosok mandor yang didatangkan dari Jawa ini. Menurut cerita, mbah Suro adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya memiliki ilmu kebal. Namun dalam versi lain diceritakan bahwa mbah Suro seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. Entah versi mana yang benar, yang pasti mbah Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs wisata ini.

Museum Goedang Ransoem
tungku raksasa sebagai pemasok uap panas di dapur
Museum ini dulunya merupakan dapur umum yang menyediakan makanan untuk para pekerja tambang dan pasien rumah sakit di Sawahlunto. Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. Maklum saja keterisian perut ribuan orang bergantung pada tempat ini. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu. Bahkan di awal abad 20, dapur umum ini sempat menjadi dapur umum dengan fasilitas paling modern di Indonesia.

Stasiun Kereta Api Sawahlunto
stasiun KA Sawahlunto
Stasiun Kereta Api Sawahlunto diresmikan pada 1918 oleh pemerintah Hindia Belanda. Stasiun ini terhubung dengan pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Rute Sawahlunto – Teluk Bayur merupakan jalur terpenting saat itu karena menjadi jalur pasokan batubara dan transportasi. Saat ini Stasiun KA Sawahlunto ini dijadikan museum oleh pemda setempat. Museum ini menyimpan berbagai koleksi perlengkapan dan peralatan perkeretaapian dari masa ke masa.

Silokek
Nagari Silokek
Tersembunyi di suatu lembah yang sunyi. Diapit oleh tebing tinggi dengan aliran sungainya yang deras. Di sanalah Nagari Silokek berada. Berada tak jauh dari kota Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, akses menuju daerah ini tidaklah sulit. Jalan aspal relatif bagus menjadi penghubung antara Muaro dengan Silokek. Hanya saja jalan itu tidaklah lebar, tak lebih dari 4 meter dengan tebing batu di satu sisi dan sungai di sisi lainnya. Pemandangan alam di sepanjang jalan menuju Silokek ini sangatlah menarik. Bukit, tebing, dan sungai terangkai menjadi lukisan alam indah yang dibingkai sunyi.


Sumpur Kudus Kampung Kecil Penyelamat Republik

tugu PDRI di nagari Sumpur Kudus
Tersembunyi dalam sunyi di belantara lembah Bukit Barisan, tak banyak orang tahu tentang nagari Sumpur Kudus. Sebuah nagari (desa) kecil yang terletak di kecamatan Sumpur Kudus, kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Letaknya yang terpencil dan tersembunyi mungkin jadi pertimbangan bagi para pejuang PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk menjadikannya sebagai salah satu basis pemerintahan. Pada Mei 1949 Sumpur Kudus dijadikan tempat pertemuan bagi para pejabat PDRI untuk melaksanakan sidang paripurna kabinet. Sumpur Kudus merupakan bagian penting dari PDRI dalam rangka mempertahankan eksistensi Republik Indonesia di dunia internasional. Meskipun demikian, selama lebih dari setengah abad Sumpur Kudus seakan terlupakan seiring dengan pengecilan peran PDRI dalam catatan sejarah. Perjuangan PDRI sepertinya kalah pamor dibandingkan heroiknya Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta ataupun Palagan Ambarawa. Akhirnya pada 2006 diterbitkan Keppres mengenai penetapan “Hari Bela Negara” untuk memperingati hari terbentuknya PDRI. Di waktu yang hampir bersamaan, nagari kecil di belantara lembah Bukit Barisan itu mulai dibenahi. Kini tugu sederhana di antara rerimbunan bambu menjadi penanda bahwa tempat itu pernah menjadi bagian perjuangan PDRI untuk menyelamatkan Republik Indonesia.

Aceh


Gudang Kopi
ruang penyimpanan biji kopi
Puluhan jenis kopi tersimpan di gudang Oro Coffee, Takengon, Aceh. Oro Coffee adalah salah satu pabrik pengolahan sekaligus distributor kopi Gayo. Pabrik milik Pak Rosyid ini sudah ada sejak tahun 1998 lalu. Sempat mengalami guncangan akibat gempa Gayo 2013 lalu yang menyebabkan bangunan pabrik rusak parah dan harus diratakan, usaha Oro Coffee tetap berlanjut. Bahkan menurut pengakuan Pak Rosyid, mereka saat ini menjadi salah satu pemasok untuk Starbucks. Saat ini dalam seminggu Oro Coffee bisa mengekspor satu kontainer kopi atau setara dengan 20 ton. Menyediakan biji kopi sebanyak 20 ton bukanlah masalah bagi mereka karena selalu ada pasokan dari para petani kopi melalui beberapa koperasi. Untuk penyimpanan, mereka juga memiliki gudang yang cukup luas. Selain dalam bentuk biji, Oro Coffee juga menjual kopi bubuk dalam bentuk kemasan serta memiliki ruangan khusus untuk memamerkan produk mereka. Jika berkunjung ke sana kita akan disambut ramah oleh Pak Rosyid. Kalau sedang tidak sibuk beliau bersedia meluangkan waktunya untuk mengobrol dan akan disuguhi kopi nikmat dengan racikan tepat.

Burni Telong
lanskap alam tanah Gayo, dengan Burni Telongnya
Berketinggian 2624 mdpl, Burni Telong merupakan satu-satunya gunung berapi di dataran tinggi Gayo. Burni Telong dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Gunung Berapi. Adanya Burni Telong menyediakan pasokan tanah vulkanis yang subur bagi warga sekitar. Berbagai tanaman tumbuh subur di sana termasuk komoditas andalan Gayo yaitu kopi. Tanaman kopi yang ditanam di dekat gunung, akan menghasilkan kopi dengan cita rasa yang unik karena tanahnya mengandung belerang. Munculnya sumber air panas di kaki Burni Telong dimanfaatkan warga sekitar dengan membuat beberapa tempat pemadian air panas yang selalu ramai tiap akhir pekan. Meski memberikan potensi bencana, namun Burni Telong juga memberikan manfaat besar bagi warga yang tingga di sekitarnya. Selain itu adanya Burni Telong makin mempermanis lanskap alam dataran tinggi Gayo.  

Dipilih-dipilih...
penjual bongkahan batu dengan mobil bak terbuka
Dipilih-dipilih.. ada nefrite, black jade, solar, bio solar, extra joss, idocrase, cempaka madu, lavender.. entah batu apa apa saja yang dijual si Bapak itu. Yang pasti, banyak jenisnya dan hampir semuanya fresh from the nature. Di pasar Takengon seringkali dijumpai penjual bongkahan batu akik yang menggunakan mobil bak terbuka. Maret 2015, saat itu batu akik sedang populer di Indonesia tak terkecuali di Aceh. Sejak ditemukannya bongkahan batu giok puluhan ton di Nagan, batu akik Aceh semakin populer. Mulai sore hingga malam, di pasar-pasar dan pinggiran jalan ada saja lapak batu akik yang ramai dikunjungi. Mulai dari ribuan hingga ratusan juta rupiah rela dikeluarkan untuk menebus sebongkah batu akik. 

Kebun Kopi
kebun kopi di bawah naungan pohon pete
Sinar matahari muncul menyusup di sela rerimbunan pohon pete yang menaungi tanaman kopi. Kabut tipis menyelimuti area perkebunan kopi. Sunyi masih menanungi desa Gegerung, kabupaten Bener Meriah. Kopi merupakan komoditas andalan di Dataran Tinggi Gayo. Kopi Gayo memang terkenal sebagai salah satu kopi terbaik di Indonesia bahkan dunia. Lahan pertanian di daerah ini didominasi oleh perkebunan kopi. Letaknya yang berupa dataran tinggi memungkinkan daerah Gayo ditanami jenis kopi Arabica.     

Rumah Jendela Dunia
ruang perpustakaan sekolah Sukmabangsa Lhokseumawe
Jika buku disebut sebagai jendela dunia, mungkin perpustakaan bisa diibaratkan sebagai rumahnya. Rumah yang rapi, bersih, dengan interior menarik akan membuat nyaman siapapun yang bertandang ke sana. Suasana yang nyaman tentu akan membuat pengunjung betah berlama-lama di sana. Kondisi itulah yang coba dibuat di perpustakaan sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe, Aceh. Ruang perpustakaan ditata sedemikian rupa agar tampak luas. Rak-rak buku ditempatkan di dekat dinding dengan jarak yang cukup rapat antar rak agar menyisakan ruang yang luas di tengah. Di dekat rak buku, digelar alas duduk dengan meja rendah. Lesehan dinilai merupakan pilihan yang tepat untuk membuat nyaman dalam membaca. Karena dengan duduk lesehan, pengunjung akan lebih leluasa karena bisa baca dengan berbagai gaya. Hasilnya sejumlah siswa nampak betah berlama-lama nongkrong di perpustakaan.

Pulang Sekolah Rame-Rame
naik bentor
Murah dan mudah ditemukan menjadikan becak (bentor) sebagai alat transportasi favorit bagi warga Lhokseumawe. Hanya dengan 5 ribu hingga 30 ribu (Maret 2015) kita bisa berpindah antar lokasi di dalam kota. Jumlah penumpang pun tak dibatasi, asal masih muat semua bisa naik. Maka tak heran jika di Lhokseumawe sering terlihat becak yang dijejali oleh siswa-siswi sekolah.

Karya Seni Akik
karya seni abstrak
Seseorang tetiba menghampiri kami yang sedang asyik berfoto di depan Museum Tsunami Aceh. Sambil membawa sebuah benda berbentuk abstrak, dia setengah berlari menyeberang jalan. Tanpa basa-basi dia memberikan benda itu ke saya dan menyuruh untuk berfoto dengan hasil karyanya. Entah apa nama benda itu, bagi saya terlihat abstrak. Namun benda yang terdiri dari puluhan batu akik berbagai jenis itu berbentuk gajah menurut si pembuat. Setelah dicermati di satu bagian batu yang berwarna putih mirip belalai dengan satu daun telinga yang ditempel dari batu putih lain. Namun di bagian atas tampak batu berbentuk kubah masjid dengan bulan sabit dan bintang. Dibutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk menyusun puluhan batu akik dalam berbagai bentuk menjadi wujud yang diinginkan. Berat memegang benda itu, selain memang bobotnya yang cukup berat risikonya juga berat. Jika sampai menjatuhkannya, bisa dipastikan puluhan batu akik itu akan tercerai berai. Beberapa saat kemudian, benda itu menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar. Sebuah karya seni unik dari batu akik hasil kreativitas Abang-abang “selo” (punya banyak waktu luang) ini. 

Menapak Jejak Sejarah Tambang Batubara di Sawahlunto



pemukiman di Sawahlunto

Sawahlunto, pertama kali mendengarnya saat saya SD sekitar kelas 4 (akhir tahun 90an). Dalam buku IPS yang juga disampaikan oleh guru, Sawahlunto yang terletak di Sumatera Barat merupakan salah satu situs tambang batubara di Indonesia. Terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang, Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut dibelah oleh aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan sungai “Lunto”. Lembah sungai Lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara.

Nagari Kecil di Dasar Lembah itu Bernama Silokek



Nagari Silokek
Tersembunyi di suatu lembah yang sunyi. Diapit oleh tebing tinggi dengan aliran sungainya yang deras. Di sanalah Nagari Silokek berada. Dalam pemerintahan tradisional Minang, nagari merupakan wilayah hukum yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat termasuk masalah adat. Secara administratif, nagari adalah bagian dari wilayah kecamatan yang dipimpin oleh wali nagari. Dengan kata lain, nagari setara dengan wilayah desa. Nagari Silokek, suatu tempat di mana kedamaian dan ketenangan khas pedesaan begitu terasa.

Rabu, 17 Juni 2015

Cerita dari Tanah Gayo (2): “Kami Orang Gayo, Bukan Orang Aceh”



perkampungan di Bener Meriah
Kopi dan Gayo, perpaduan keduanya menciptakan komoditas unggulan yang dikenal hingga mancanegara. Para penikmat kopi mengakui kopi Gayo menjadi salah satu kopi terbaik di dunia. Dataran tinggi, tanah subur, Burni Telong, dan penduduknya yang ulet menciptakan salah satu jenis kopi terbaik di dunia. Selain di dataran tinggi Gayo, di dataran rendah Aceh bagian utara juga ada perkebunan kopi. Banyak orang lebih mengenal kopi Aceh daripada kopi Gayo, toh Gayo juga masuk daerah Aceh juga. Namun jika dilihat dari sejarahnya, Aceh dan Gayo adalah sesuatu yang berbeda.