Tampilkan postingan dengan label ntt13. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ntt13. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Februari 2016

Malam di Sabana Sumba, Menikmati Benderang Bulan dan Dinginnya Angin Musim Kering

jelang malam musim kering, langit Sumba biasanya cerah
Sudah sejam yang lalu matahari menghilang di balik perbukitan. Kini gantian rembulan muncul, menyembul dari sebuah bukit. Bulat dan begitu terang, kebetulan saat ini waktunya bulan purnama. Awalnya sinar bulan terlihat biasa saja, sama seperti bulan purnama yang biasa kulihat di tempat lain. Tapi makin lama, sinar bulan makin terang. Dari jendela tampak dengan jelas puncak bukit belakang sekolah. Seperti ada lampu yang dinyalakan, setiap sudut tak luput dari limpahan cahaya bulan. Bukit belakang sekolah yang biasanya hanya tampak temaram, kini bisa terlihat dengan jelas detail rumputnya yang bergoyang-goyang tertiup angin malam.

Bertandang ke Kampung Maling

bukan di kampung maling, cuma foto salah satu lokasi aja (biar ada gambarnya)
Sejak awal kami tiba di Sumba Barat ini sudah diwanti-wanti sama orang sini kalau harus hati-hati jika pergi ke suatu kampung. Katanya di kampung itulah para begal dan rampok berasal. Konon katanya mereka tak segan-segan membunuh korban saat merampas motornya. Tidak hanya di Sumba Barat saja, daerah operasi mereka meliputi hampir seluruh pulau Sumba. Sepak terjang para begal dari kampung itu sudah terkenal di seantero Sumba. Katanya para begal itu sebagian juga punya ilmu kebal dan terkenal berani. Sialnya, ada sekolah dan beberapa rumah yang harus kami kunjungi di sana.

Senja Sempurna Sabana Sumba

gedung sekolah (Tim M)
Sore di Waitama biasa kami habiskan untuk bersantai-santai sambil menunggu waktu berbuka. Dua kawan cewek biasanya sibuk masak, sedangkan kami para lelaki sibuk melayani ajakan anak-anak main bola di lapangan sekolah. Cukup adil mungkin karena kami punya tugas dan kesibukan masing-masing. Meski kadang kami ikut juga bantu para nona, sekadar ngidupin kompor atau angkut air dari luar ke dalam.

Susahnya Air di Tanah Sumba

halaman sekolah di Waitama (Tim M)

Waitama, sebuah kampung kecil di pedalaman Sumba Timur. SD SMP Satu Atap Waitama adalah sekolah tujuan kami. Di sekolah ini pula kami tinggal, tepatnya di ruang kelas 9 yang masih belum diisi. Pada tahun ajaran 2013/2014 ini SMP Waitama dibuka setahun yang lalu sehingga baru menerima dua angkatan. Setelah menimbang-nimbang dan mikir-mikir, kami serta pengelola sekolah sepakat menggunakan ruang kelas 9 sebagai beskem. Di sinilah ruang kerja, kamar, ruang makan sekaligus dapur kami.

“Mati Rasa” dan Musiknya Orang Manggarai

bersiap menyanyi lagu lokal, saat menyambut kedatangan tim (Tim M)

“Sungguh.. sayang beta mati rasa Nona, cinta yang beta kasi cuma pelarian semata...” itulah sepenggal lagu berjudul “Mati Rasa” yang sering kudengar dalam berbagai kesempatan. Mulai dari di dalam mobil dari Ende menuju Borong hingga rumah-rumah penduduk. Lagu “Mati Rasa” bisa dibilang sangat ngehits pada tahun 2013. Mulai dari Sulawesi hingga Papua, termasuk NTT lagu ini seringkali diputar di berbagai tempat. Anak-anak di kampung pun seringkali terdegar mendendangkan lagu Ambon ini. Lagu ini memiliki beberapa versi, dan versi yang sering diputar konon kabarnya dinyanyikan oleh Pasha “Ungu”.

Melihat Lingko, Harapan yang Jadi Kenyataan


sawah lingko yang baru masuk masa tanam (Tim M)

Sekitar tiga bulan lalu, seorang kawan menunjukkan foto epiknya hasil dari traveling di Flores. Dari layar ponselnya tampak hamparan sawah dengan pola jaring laba-laba jika dilihat dari atas. Sawah yang saat itu sedang hijau-hijaunya terlihat sangat menakjubkan karena polanya yang unik. Dia pun cerita pengalamannya selama di Flores hingga sampai ke sawah lingko itu. Sempat ngiler juga, pengen rasanya ke sana. Tapi apa daya, uang tak ada. Aku pun hanya bisa bertanya dalam hati, kapan bisa ke sana?  Dan jawabannya pasti “kapan-kapan”

Kembali ke Ruteng, Meresapi Dinginnya Hawa Pegunungan Manggarai

langit biru Elar sebelum kembali ke Ruteng

Hampir seminggu berada di Elar, kembali gunung harus didaki dan lembah harus dilewati. Penat, lelah, dan capek sudah pasti. Namun dengan keterbukaan dan keramahan orang Manggarai, itu semua jadi terobati. Kini, sudah saatnya kami kembali melanjutkan tugas di tempat lain yang sudah menanti.

Selasa, 02 Februari 2016

Menembus Kabut Menuju Elar


kabut mistis Elar

Selepas dari Bawe kami harus ke Ruteng dahulu untuk mencari mobil yang sesuai. Katanya medan menuju Elar cukup terjal dan jalannya rusak sehingga dibutuhkan mobil yang tangguh. Singkat cerita, akhirnya kami dapat mobil yang dibutuhkan. Berangkatlah kami menuju ke kecamatan Elar.

Terimakasih Bawe, Terimakasih Wae Togong Atas Malamnya yang Begitu Romantis

jembatan Wae Togong nan Sepi (Tim M)

Tak terasa sudah hampir seminggu kami nge-beskem di Bawe dan sekitarnya. Jalan-jalan dari kampung Nangarema di muara hingga kampung Rondon di atas gunung. Dari perjalanan itulah kami temukan orang-orang Manggarai yang ramah dan bersahaja. Salah satunya ya Pak Cornelis, pemilik rumah beskem sekaligus kepala sekolah SD-SMP SATAP saat itu. Keramahan dan kemurahan hatinya menimbulkan kenangan tersendiri. Akhirnya tiba saat kami harus berpisah dengan keluarga pak Cornelis yang menyenangkan. Berpisah dengan sungai dekat rumah yang meski airnya agak keruh namun tetap memberi kesegaraan saat dipakai mandi. Dan berpisah dengan jembatan Wae Togong yang romantis.

Menyeberang Sungai ke Kampung Muslim di Nangarema

sungai yang harus diseberangi (Tim M)

Sekembalinya dari atas gunung, kini wilayah kerja kami berpindah ke arah pantai. Nangarema, sebuah kampung di pantai utara pulau Flores tak jauh dari beskem kami di Bawe. Akses menuju desa ini pun cukup mudah karena berada di dekat jalan raya dan bisa dijangkau motor. Wilayah kampung ini tebagi menjadi dua, dipisahkan sungai yang cukup lebar. Kampung utama, letaknya di dekat jalan memiliki beberapa fasilitas seperti sekolah dan pustu. Uniknya, warga kedua daerah itu menganut keyakinan yang berbeda. Warga yang tinggal di sisi dekat jalan beragama Kristen, sedangkan warga di seberang sungai beragama Islam.

Menanti Sunrise di Halaman Belakang Sekolah

dari halaman belakang sekolah (Tim M)

Jam 4 pagi, perut mules, panik, mengingat tak ada WC di rumah ini dan rumah-rumah lain di kampung. Setelah tanya pak guru Gabriel, beliau hanya bisa menyarankan tempat di kebun belakang rumah atau di belakang sekolah. Aku pun memilih untuk buang hajat di belakang sekolah saja, sekalian menanti sunrise pikirku. Sepuluh menit kemudian sampailah di tempat yang dituju, sebuah puncak bukit batu datar dengan beberapa lubang yang terisi air hujan. Lubang yang terisi air sering dimanfaatkan warga untuk mencuci. Area sekolah dulunya adalah sebuah bukit. Namun banyaknya warga yang memanfaatkan bebatuan bukit untuk berbagai keperluan, menjadikan bukit itu hilang dan menyisakan dataran di belakang sekolah.

Langkah Awal Mengenal Indonesia dari Dekat


sekolah kami (Tim M)
Survei hari kedua, kami berdua mampir dulu ke SDK Necak untuk mengambil beberapa data. Menyedihkan, kelas berantakan, bangku kurang. Keadaan kelas yang sering kulihat di tv kini muncul secara nyata. Berbagai acara dokumenter yang menayangkan tentang ironi negeri sangat menarik bagiku. Perjalanan panjang menembus rimba, melalui tanah cadas berlumpur, mendaki gunung lewati lembah, di daerah pedalaman yang jauh dari hingar-bingar kota mengusik jiwa petualanganku.

Kopi, Sopi, dan Ayam, Selamat Datang di Manggarai

kopi, rokok, dan bir, suguhan untuk menyambut tamu

Setelah sebelumnya menginap di Borong, Manggarai Timur kamipun bergerak menuju ke Benteng Jawa (BJ) kota kecamatan wilayah cacah pertama. Naik mobil, perjalanan Borong – Benteng Jawa ditempuh sekitar 3 jam. Jalan aspal cukup mulus tapi sempit. Sesampai di BJ kami mampir di rumah pak “dewan”. Di sinilah kami disuguhi kopi manggarai yang katanya nikmat. Pas pertama nyoba, biasa aja. Cuma segelas kopi, agak pait campur manis, ga ada bedanya sama kopi kapal api. Setelah ngobrol basa-basi, kami lanjutkan perjalanan ke rumah bapak kepala dinas.