Selasa, 02 Februari 2016

Menanti Sunrise di Halaman Belakang Sekolah

dari halaman belakang sekolah (Tim M)

Jam 4 pagi, perut mules, panik, mengingat tak ada WC di rumah ini dan rumah-rumah lain di kampung. Setelah tanya pak guru Gabriel, beliau hanya bisa menyarankan tempat di kebun belakang rumah atau di belakang sekolah. Aku pun memilih untuk buang hajat di belakang sekolah saja, sekalian menanti sunrise pikirku. Sepuluh menit kemudian sampailah di tempat yang dituju, sebuah puncak bukit batu datar dengan beberapa lubang yang terisi air hujan. Lubang yang terisi air sering dimanfaatkan warga untuk mencuci. Area sekolah dulunya adalah sebuah bukit. Namun banyaknya warga yang memanfaatkan bebatuan bukit untuk berbagai keperluan, menjadikan bukit itu hilang dan menyisakan dataran di belakang sekolah.


Aku harus sedikit turun ke lereng bukit untuk mendapatkan alas tanah sebagai tempat yang layak. Belum lama “nyemak”, seekor anjing mendekat dan menggonggong kemudian beberapa anjing lagi menyusul. Bulan purnama dan hembusan angin dingin menambah horor pagi buta itu. Namun demi melepas hasrat yang tak tertahan ini, aku cuek saja. Dan benar saja, merasa tak digubris gerombolan anjing kampung itu menjauh bersamaan dengan usainya kegiatan “nyemak” itu.

Jam HP masih menunjukkan pukul 5 kurang. Cahaya merah sudah terlihat di ufuk timur. Sendiri dalam sunyi, kunanti sang surya keluar dari peraduannya. Gradasi warna tampak cantik di ufuk timur. Perlahan matahari menampakkan wujudnya, sinarnya mulai menerangi bumi Manggarai. 

Matahari makin tinggi, sudah waktunya kami kembali. Selesai packing kami langsung berpamitan ke pak Gabriel dan keluarga. Tanpa kuduga, istri pak Gabriel memberikanku syal tenun Manggarai kepunyaannya. Sepertinya dia kasihan melihatku yang belum punya syal, sementara dua kawan lain sudah memamerkan syal masing-masing. Berulangkali kuucapkan terimakasih atas pemberiannya itu sambil berpamitan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar