dari halaman belakang sekolah (Tim M) |
Jam 4 pagi, perut mules, panik,
mengingat tak ada WC di rumah ini dan rumah-rumah lain di kampung. Setelah
tanya pak guru Gabriel, beliau hanya bisa menyarankan tempat di kebun belakang
rumah atau di belakang sekolah. Aku pun memilih untuk buang hajat di belakang
sekolah saja, sekalian menanti sunrise pikirku. Sepuluh menit kemudian
sampailah di tempat yang dituju, sebuah puncak bukit batu datar dengan beberapa
lubang yang terisi air hujan. Lubang yang terisi air sering dimanfaatkan warga
untuk mencuci. Area sekolah dulunya adalah sebuah bukit. Namun banyaknya warga
yang memanfaatkan bebatuan bukit untuk berbagai keperluan, menjadikan bukit itu
hilang dan menyisakan dataran di belakang sekolah.
Aku harus sedikit turun ke lereng
bukit untuk mendapatkan alas tanah sebagai tempat yang layak. Belum lama “nyemak”,
seekor anjing mendekat dan menggonggong kemudian beberapa anjing lagi menyusul.
Bulan purnama dan hembusan angin dingin menambah horor pagi buta itu. Namun
demi melepas hasrat yang tak tertahan ini, aku cuek saja. Dan benar saja,
merasa tak digubris gerombolan anjing kampung itu menjauh bersamaan dengan
usainya kegiatan “nyemak” itu.
Jam HP masih menunjukkan pukul 5 kurang. Cahaya merah
sudah terlihat di ufuk timur. Sendiri dalam sunyi, kunanti sang surya keluar
dari peraduannya. Gradasi warna tampak cantik di ufuk timur. Perlahan matahari
menampakkan wujudnya, sinarnya mulai menerangi bumi Manggarai.
Matahari makin tinggi, sudah waktunya kami
kembali. Selesai packing kami langsung berpamitan ke pak Gabriel dan keluarga.
Tanpa kuduga, istri pak Gabriel memberikanku syal tenun Manggarai kepunyaannya.
Sepertinya dia kasihan melihatku yang belum punya syal, sementara dua kawan
lain sudah memamerkan syal masing-masing. Berulangkali kuucapkan terimakasih
atas pemberiannya itu sambil berpamitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar