Tampilkan postingan dengan label sosbud. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosbud. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Agustus 2015

Kisah Para Guru yang Mengabdi di Pelosok Negeri: Mengabdi dengan Hati (Manggarai, NTT)

Pak Gabriel (paling belakang), mengantar kami kembali ke kampung Heret
Seorang pria paruh baya menyambut dengan ramah sesaat setelah kami berada di depan pintu rumahnya sambil mengucap salam. Beliau segera mempersilahkan kami masuk ke rumahnya tanpa curiga sedikitpun terhadap kedatangan ketiga orang asing ini. Di dalam rumahnya, kami menyampaikan maksud dan tujuan datang ke kampung itu. Pak Gabriel, yang juga seorang guru di SDN Heret itu langsung bersedia membantu penelitian kami di sekolahnya.

Rabu, 17 Juni 2015

Cerita dari Tanah Gayo (2): “Kami Orang Gayo, Bukan Orang Aceh”



perkampungan di Bener Meriah
Kopi dan Gayo, perpaduan keduanya menciptakan komoditas unggulan yang dikenal hingga mancanegara. Para penikmat kopi mengakui kopi Gayo menjadi salah satu kopi terbaik di dunia. Dataran tinggi, tanah subur, Burni Telong, dan penduduknya yang ulet menciptakan salah satu jenis kopi terbaik di dunia. Selain di dataran tinggi Gayo, di dataran rendah Aceh bagian utara juga ada perkebunan kopi. Banyak orang lebih mengenal kopi Aceh daripada kopi Gayo, toh Gayo juga masuk daerah Aceh juga. Namun jika dilihat dari sejarahnya, Aceh dan Gayo adalah sesuatu yang berbeda.

Cerita dari Tanah Gayo (1), Catatan Tentang Kopi

sajian kopi Gayo
Hawa dingin begitu terasa ketika membuka pintu rumah. Sudah pukul 6 pagi, namun langit masih gelap. Masih belum tampak lalu lalang kendaraan di jalan desa depan rumah. Beberapa saat kemudian warna langit terlihat makin cerah. Sinar matahari muncul menyusup di sela rerimbunan pohon pete yang menaungi tanaman kopi. Kabut tipis menyelimuti area perkebunan kopi. Tetes embun masih membasahi butiran buah kopi. Perlahan matahari mulai menampakkan wujudnya, sinar keemasannya memapar buah kopi yang mulai ranum. Sementara itu kicauan burung terdengar bersahutan menyemarakkan pagi. Sunyi masih menanungi desa Gegerung, kabupaten Bener Meriah.

Pada Suatu Sore di Kota Banda

kota Banda Aceh
Melihat gedung-gedung pertokoan yang membentuk labirin jalan, tetiba ingatan saya kembali terlempar ke masa 10 tahun silam. Suatu masa di mana air laut meluap hingga ke kota ini. Menjadikan labirin jalan sebagai jalur masuk menuju pusat kota. Labirin jalan yang relatif sempit membuat arus air semakin deras. Dari video yang pernah saya lihat, pada awalnya air terlihat mengalir perlahan namun beberapa saat kemudian alirannya semakin deras seiring bertambahnya ketinggian air. Tanpa ampun, luapan air laut itu menyapu apapun yang dilewatinya. Terlihat puing-puing kayu terbawa arus kuat air laut  yang masuk jauh ke daratan. Dalam beberapa jam kota itu luluh lantak diterjang gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.

Selamat Datang di Serambi Mekkah

Add caption
“Mbak, itu masjid ya?”, tanya seorang bocah. “Bukan le (panggilan untuk anak laki-laki di Jawa), itu bandara”, jawab seorang perempuan yang duduk di sebelahnya. Percakapan itu terdengar sesaat setelah pesawat mendarat mulus di bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh. Dari jendela nampak dengan jelas bangunan bandara dengan kubah besar di bangunan utama dan beberapa menara kubah kecil di sampingnya. Sekilas bangunan bandara itu memang mirip masjid, dan banyak bangunan umum lain di Aceh yang bergaya Timur Tengah dengan kubah sebagai ciri khasnya. Selamat Datang di Serambi Mekkah.

Rabu, 11 Februari 2015

Sidomakmur yang Makmur, Kampung Kecil Dengan Perputaran Uang Besar




1390545599828703334

Jetty RKI (dok. Pribadi)

Ketinting mulai merapat, kami pun segera melompat ke jetty dan berjalan menuju warung kopi terdekat. Saya dan seorang kawan memesan kopi instan. Kembali lagi di Sidomakmur/RKI, seperti kembali di kampung sendiri. Suasana Jawa sangat kental di kampung yang terletak di tepi perairan Teluk Bintuni. Warung yang saya singgahi ini milik orang Probolinggo yang biasanya berbahasa Madura, namun bisa juga bahasa Jawa.

Kopi dan Sopi, Tradisi yang Tetap Lestari

Sebotol sopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja kayu. Terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja itu, ada kami sebagai tamu, tuan rumah, dan seorang tetua adat. Sang tetua terlihat komat-kamit berdoa dan mencoba komunikasi dengan roh leluhur. Tak sampai sepuluh menit kemudian, sang tetua selesai dengan ritualnya. Beliau kemudian menyampaikan bahwa kedatangan kami sudah diterima, tidak ada yang bisa ganggu kami karena telah dilindungi oleh para leluhur. Beliau juga berpesan agar kami menjaga perilaku selama tinggal di wilayah itu. Terakhir  beliau menyodorkan sopi dan rokok sebagai penghormatan untuk tamu. Tahu kalau kami pantang minum alkohol, beliau menyuruh masing-masing kami untuk memegang keduanya sebagai tanda kalau sajian sudah diterima.

14030653281117690922
sajian untuk menyambut tamu

Tak sampai di situ, ternyata tuan rumah juga telah menyiapkan seekor ayam putih. Tanpa basa-basi kami langsung disodori sebuah pisau untuk menyembelih ayam yang sudah disiapkan. Agak kaget memang, saat itu sudah jam 9 malam kami disuruh menyembelih ayam yang jadi hidangan utama kami nanti. Mereka masih sempat-sempatnya menyiapkan banyak hal untuk para tamu yang belum dikenal. Sebelumnya kami memang sempat menghubungi tuan rumah dan menjelaskan sedikit tujuan kami via telepon, namun tak disangka bakal dapat sambutan seperti ini. Pisau sudah ditangan, ayam pun sudah siap sedia menyerahkan batang lehernya. Tumpulnya pisau ditambah rasa grogi karena baru pertama menyembelih hewan membuat leher ayam malang itu putus seketika.

Kutemukan Indonesia di Papua



14080861821172809570
keceriaan anak-anak Papua, Indonesia

Orang-orang berkulit hitam dan berambut keriting adalah gambaran awal saya terhadap orang-orang yang menghuni Papua. Gambaran itu semakin kuat ketika saya melihat beberapa acara mengenai kehidupan di Papua. Di tayangan itu hanya tampak sekumpulan orang-orang Papua asli yang sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, gambaran yang selama ini terbentuk mengenai Papua berubah ketika berkesempatan mengunjunginya pada 2013 lalu.

Senin, 02 Februari 2015

Berburu Nyale, Mengharap Berkah dari Cacing Laut yang Bertuah

berburu nyale

Makhluk hijau itu tampak menggeliat di tangan saya. Bau amis tercium tatkala hewan itu saya dekatkan ke hidung. Sempat ragu, namun saya beranikan untuk memasukkan cacing laut sepanjang 25cm itu ke dalam mulut saya. Terasa lumer di mulut saat saya mencoba melumatnya, rasa asin dan aroma amis muncul seketika. Sangat aneh rasanya, tetapi akhirnya saya berhasil menelan tanpa harus memuntahkannya. Hal yang sama juga dilakukan beberapa kawan dan juga sejumlah orang lainnya di pantai Seger pagi itu. Kami semua sama-sama sedang berburu cacing laut atau biasa disebut nyale.

Nyale adalah sejenis cacing laut yang dapat ditemui di wilayah Nusa Tenggara. Uniknya nyale hanya muncul setahun sekali. Menurut salah seorang warga, tahun ini nyale muncul pada dini hari tanggal 20 Februari dan 21 Maret lalu. Belum diketahui secara pasti sebabnya, namun banyak warga percaya bahwa nyale adalah jelmaan dari rambut seorang putri yang sengaja muncul setiap tahunnya. Konon, pada jaman dulu ada seorang putri cantik di daratan Lombok yang coba dipersunting empat pangeran. Singkat cerita, sang putri akhirnya menceburkan diri ke laut untuk menghindari terjadinya peperangan antara keempat pangeran. Dengan menceburkan dirinya ke laut, jasadnya akan menjadi satu dengan laut. Pengorbanan sang putri tidaklah sia-sia karena setiap tahunnya, nyale selalu muncul dan dapat dinikmati oleh semua orang. Karena itu, warga sangat percaya akan khasiat nyale.

Putri Mandalika, begitulah masyarakat Sasak menamai sang putri. Untuk merayakan munculnya nyale, setiap tahun digelar festival bau nyale yang dipusatkan di Pantai Seger. Untuk tahun ini acara utama Bau Nyale digelar pada tanggal 19-20 Februari. Sejak beberapa tahun lalu pemerintah daerah menjadikan acara yang sering juga disebut Festival Putri Mandalika ini sebagai agenda wisata utama. Promosi digencarkan baik melalui spanduk yang dipasang di beberapa lokasi sampai di situs internet. Area Pantai Seger disulap layaknya pasar malam. Tidak tanggung-tanggung, pemda setempat mengundang beberapa artis ibu kota untuk tampil di panggung hiburan yang terletak di kaki bukit.

1400477419370855672
panggung hiburan, pusat kemeriahan festival Putri Mandalika

Sebenarnya festival serupa juga diadakan di Kaliantan, Lombok Timur. Namun dikarenakan fasilitas di sana yang belum memadai, pemerintah memilih Pantai Seger sebagai pusat perayaan Bau Nyale. Pantai Seger masih satu kompleks dengan pantai Kuta Lombok yang sudah memiliki fasilitas wisata lengkap dan sudah dikenal sampai mancanegara. Jadi, para turis asing pun juga turut meramaikan festival ini di samping wisatawan lokal dan para warga sekitar yang sudah menjadikan acara ini sebagai ritual tahunan.

Dibutuhkan usaha keras dan kesabaran ekstra untuk memasuki area festival Bau Nyale. Ribuan orang tumpah ruah di Pantai Seger untuk mengikuti acara tahunan ini. Di luar, terdapat antrian kendaraan sepanjang beberapa kilometer. Menjelang tengah malam, antrian kendaraan nyaris tak bergerak. Asap kendaraan yang terakumulasi menjadikan udara sesak. Sesekali terdengar teriakan dari beberapa orang yang emosi karena kendaraan di depannya menghalangi mereka. Malam yang seharusnya sejuk berubah menjadi panas. Kami berada di tengah lautan kendaraan itu. Sialnya, semua portal tempat parkir ditutup dengan alasan sudah penuh.

1400477734602865035
tepi pantai pun dipenuhi kendaraan yang terparkir

Di tengah ketidakpastian dan keputusasaan, petugas mulai membuka portal tempat parkirnya. Saat itu juga orang-orang berebutan membeli karcis dan masuk ke area parkir. Akhirnya kami yang kebetulan berada cukup dekat dengan area parkir bisa masuk juga. Usai memarkir kendaraan, kami harus melewati satu bukit untuk sampai ke pusat acara. Di Pantai Seger memang terdapat beberapa bukit. Dari puncak bukit terlihat jajaran tenda di bawah berhiaskan lampu yang menerangi kelamnya malam. Lereng dan puncak bukit dipenuhi orang-orang yang tengah menunggu pagi. Mereka menunggu munculnya nyale sekitar jam 3 pagi. Kami pun memutuskan bergabung dengan mereka dengan beristirahat sejenak di puncak sebuah bukit yang berbatasan langsung dengan laut.

14004778161774676847
menunggu pagi di puncak bukit

Malam itu cukup cerah meski di sudut langit masih terlihat mendung menggantung. Gerimis yang tadi malam turun enggan kembali lagi. Menurut kepercayaan warga, peristiwa keluarnya nyale selalu diawali gerimis atau hujan di malam harinya kemudian mulai tengah malam langit menjadi cerah. Udara dingin mulai menyergap, jam masih menunjukkan pukul setengah dua. Masih sekitar 1,5 jam lagi acara puncak dimulai. Dengan alas rumput dan beratapkan langit saya tertidur sampai kemudian terbangun karena mendengar suara gaduh dari arah pantai. Dan perburuan pun dimulai.

Sekumpulan titik cahaya terlihat menerangi sepanjang Pantai Seger disertai suara teriakan. Entah apa maksud orang-orang itu berteriak. Mungkinkah itu dilakukan untuk memanggil para nyale? Apa pun itu, yang pasti saya harus segera turun dan ikut gabung bersama mereka. Jalan masuk menuju pantai penuh sesak oleh orang-orang yang ingin mendekat ke pantai. Orang-orang yang menggelar tikar di area pantai mempersempit akses masuk ke pantai, akibatnya sempat terjadi dorong-dorongan di tempat itu.

14004779511578089301
keramaian dalam remang fajar pantai Seger

Jaring kecil di tangan dan senter di satu tangan yang lain, lengkap sudah peralatan para pemburu nyale itu. Tak lupa mereka juga menyediakan ember atau karung sebagai tempat untuk hasil buruan mereka. Biasanya mereka datang berombongan dan saling bahu-membahu untuk berburu nyale. Berbekal senter kecil yang menjadi fitur andalan HP, saya mencoba menangkap nyale menggunakan tangan kosong. Sangat sulit karena nyale lincah di air dan cukup licin ketika dipegang. Menyerah, saya pun hanya bisa menikmati suasana pantai Seger dan segala keriuhan di sekitarnya.


14004781271883348107
menjaring nyale

Fajar menjelang, pantai semakin penuh sesak oleh lautan manusia. Kawan-kawan yang sedari tadi masih merasa nyaman beristirahat di atas bukit akhirnya turun juga. Menggunakan wadah bekas mi seduh, satu per satu nyale kami tangkap lalu dimasukkan ke dalam botol bekas. Dalam keremangan fajar Pantai Seger kami memburu nyale bersama para pemburu lain yang semakin bersemangat menjaring nyale.
Tanpa tahu akan diapakan hasil tangkapan nanti, kami tetap menangkap nyale dan memasukkannya ke dalam botol. Makin surutnya laut mempermudah kami menangkap nyale karena banyak nyale terjebak di kubangan kecil. Temaram berganti menjadi terang, nyale mulai menghilang. Nyale kecil akan mencair ketika terkena panas, sedangkan nyale besar akan menghilang di balik karang.


1400478235459731411
berburu sampai pagi

Perlahan pantai mulai lengang. Tampaknya mereka sudah puas dengan hasil buruannya dan bergegas pulang. Begitu juga dengan kami, nyale sudah mengisi lebih dari setengah botol. Nantinya, nyale dalam botol itu akan dibuang begitu saja karena kami tidak bisa mengolahnya. Dari atas bukit terlihat pintu keluar parkir disesaki kendaraan, akibatnya terjadi antrian panjang di sekitar area parkir. Kami memutuskan untuk menunggu sejenak agar tidak terjebak kemacetan parah. Sementara itu, terlihat kerumunan orang-orang yang masih memadati Pantai Seger. Perbukitan yang semalam terlihat suram kini berubah menjadi hijau segar berselimut rumput. Di ujung cakrawala nampak Rinjani berdiri dengan anggunnya.

Bau Nyale menjadi acara spesial bagi warga Lombok. Di hari itu, mereka berlomba-lomba untuk menangkap nyale yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Masyarakat Sasak percaya bahwa nyale dapat membawa kesejahteraan, khususnya bermanfaat untuk kesuburan tanah. Banyak warga yang menabur nyale ke ladang mereka dengan harapan hasil panen yang memuaskan kelak. Selain itu, ada juga yang mengolah nyale menjadi beragam makanan seperti pepes dan rempeyek. Secara ilmiah, Nyale memang mengandung protein hewani yang tinggi sehingga baik untuk dikonsumsi.

1400478430443931967
nyale dalam baskom, banyak ditemui di pasar usai berakhirnya bau nyale

Kemunculannya yang hanya setahun sekali membuat warga begitu antusias menyambut acara ini. Pesta rakyat yang sudah berlangsung ratusan tahun itu sangat dinanti oleh masyarakat Sasak maupun wisatawan yang ingin menikmati momen langka ini. Kini tak hanya tanah yang subur, perekonomian warga sekitar juga turut tumbuh subur. Banyaknya wisatawan yang berkunjung tentunya memberikan “lahan” baru untuk digarap. Bau Nyale menambah satu lagi alasan bagi para pelancong untuk mengunjungi Lombok.

Rabu, 28 Januari 2015

Keramahan dalam Kesedarhanaan, Berkunjung ke Manggarai



masak dan makan bersama di rumah Pak Goris (dok. tim M_arapu)
Jam sebelas malam, waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat melepas penat setelah seharian bekerja. Sementara itu, kami justru sedang bingung karena mobil yang kami tumpangi gagal naik ke desa tujuan. Jalanan begitu terjal dan penuh lumpur membuat mobil selip sehingga si sopir menyerah untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga. Satu-satunya pilihan adalah kembali turun ke jalan aspal dan bermalam di salah satu rumah penduduk. Terdesak keadaan membuat kami berani mengetuk pintu sebuah rumah di pinggir jalan. Rumah sederhana itu begitu sepi, hanya remang lampu terlihat menembus jendela menandakan si empunya rumah ada dan sedang beristirahat
.
Dengan mata terlihat berat, seorang pria paruh baya membuka pintu dan segera mempersilahkan kami masuk. Setelah dijelaskan maksud dan tujuan kami dia dengan ramah menyuruh memasukkan semua barang yang masih berada di luar. Tanpa disangka, dengan mudahnya dia mempersilahkan orang asing yang baru dikenalnya untuk menginap di rumahnya. Bahkan dia rela menyiapkan satu kamar untuk cewek dan memasakkan mi instan yang kami bawa saat seharusnya mereka beristirahat. Pak Goris nama pria itu. Sama seperti orang Manggarai lainnya, dia begitu ramah dan memperlakukan tamu dengan istimewa.

Sudah adat orang Manggarai memang untuk memuliakan tamu. Tak jarang saat memasuki suatu desa, kami disambut dengan upacara adat kecil-kecilan. Setidaknya tuan rumah harus menyediakan ayam putih, sopi/tuak, dan rokok sebagai syarat sah upacara penyambutan tamu. Tidak hanya itu, segelas kopi menjadi “minuman selamat datang” di hampir setiap rumah yang kami kunjungi. Tak jarang dalam sehari kami bisa menghabiskan sampai enam gelas kopi. Jika kita datang bertepatan saat makan siang, tuan rumah akan segera menghidangkan makanan istimewanya. Tak jarang, mereka memaksa untuk makan meski tahu kalau kami sudah makan di rumah tetangga sebelah. Sederhana namun istimewa, begitulah sambutan yang diberikan orang Manggarai, NTT terhadap tamunya.
wellcome drink.. tak ada tuak bir pun jadi (dok. tim M_arapu)
Rumah kayu sederhana di daerah pegunungan yang terisolasi, jauh dari sumber air, lahan pertanian terbatas, itulah potret masyarakat di pedalaman Manggarai pulau Flores. Namun kehidupan yang begitu sederhana itu tak serta merta menyambut tamunya dengan ala kadarnya. Sambutan istimewa diberikan kepada siapapun (bertujuan baik) yang datang berkunjung ke rumah. Mereka tampak puas dan bahagia ketika tamunya merasa senang atas sambutannya.  
ramah tamah bersama tuan rumah (dok tim M_arapu)
Di pedalaman Manggarai, kita tak akan terlantar karena setiap pintu rumah selalu terbuka untuk dijadikan tempat berteduh. Kita tak akan kehausan karena persediaan kopi cukup melimpah sehingga selalu bisa mengisi gelas kosong untuk para tamu. Kita tak akan kelaparan karena selalu ada jatah nasi untuk setiap tamu yang berkunjung. Kita tak akan merasa asing karena senyuman ramah selalu menghiasi wajah orang Manggarai saat kita menyapanya. Bahkan tanpa segan mereka menyapa kami ketika lewat di depan rumahnya. Mereka dengan senang hati berbagi kepada orang lain, bahkan kepada orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Kebiasaan memuliakan tamu memang masih mengakar kuat di pedalaman Manggarai

Senin, 26 Januari 2015

Sekaroh, Desa Sederhana di Ujung Pulau Lombok

Jerowaru, nama yang masih terasa asing di telinga. Terletak di ujung tenggara pulau Lombok, pembangunan infrastruktur di kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Lombok Timur ini tergolong lambat. Jalan raya yang menghubungkan dengan kota Selong saja masih banyak berlubang pada 2014. Lebih parah lagi jalan antar desa yang kebanyakan masih berupa tanah dan sebagian lagi jalan aspal yang terkelupas.
jalan menuju desa Sekaroh
Sekaroh adalah salah satu desa yang terletak di wilayah paling ujung pulau Lombok. Untuk mencapainya diperlukan usaha dan kesabaran ekstra. Jalan aspal berlubang menuju Jerowaru menjadi pembuka perjalanan, sesampai di daerah selatan jalan sudah relatif mulus. Akan tetapi memasuki jalan menuju Sekaroh, kondisi jalan sangat buruk. Jalan aspal yang terkelupas dengan lubang menganga di beberapa titik cukup menyulitkan perjalanan. Belum lagi untuk masuk ke kampung-kampungnya kita harus melalui jalan tanah yang bergelombang dan terjal di beberapa tempat. Jika musim kemarau jalan berdebu, sedangkan jika musim hujan mendadak berubah jadi “kali asat” (sungai kering) yang berlumpur.

Seperti kebanyakan warga Lombok lain, pertanian menjadi mata pencaharian utama di desa Sekaroh. Karena kondisi tanahnya kering, mereka menjadi petani ladang dengan menanam tanaman yang sesuai seperti jagung dan ketela. Hanya hujan sumber air bagi tanaman mereka, aliran irigasi masih belum sampai desa. Tanah terlihat kering dan cenderung keras karena jarang terkena air. Konon nama Sekaroh diambil dari bahasa Sasak yang berarti menangis karena pada jaman dahulu warga sering menangis karena air tak kunjung membasahi tanah.
kebun jagung milik warga Sekaroh
Selain mengolah lahan, warga sekitar juga membuat garam untuk menambah penghasilan. Tambak-tambak garam mereka buat di daerah dekat pantai. Di bagian selatan kecamatan Jerowaru memang banyak didapati tambak-tambak garam. Nantinya, garam yang mereka hasilkan biasanya dijual dalam kemasan karung dengan harga relatif murah. Tak jarang mereka melakukan barter antara garam yang dihasilkannya dengan kebutuhan pokok. Nilai rupiah garam memang terbilang kecil namun hasilnya dirasa cukup untuk sekadar bertahan hidup.
penggembala sapi
Warga desa Sekaroh mayoritas merupakan petani ladang. Namun ada juga mereka yang mencoba peruntungan dengan beternak hewan seperti sapi, kerbau, dan kambing seperti yang ada di daerah pantai penyisuk. Padang rumput yang luas di sekitar pantai dijadikan padang gembalaan bagi pemilik hewan ternak. Di perbukitan sekitar pantai Penyisuk rumput tumbuh dengan suburnya. Ladang yang berpotensi untuk digarap masih relatif luas, namun hanya beberapa keluarga saja yang tinggal menetap di sini.
pemukiman di Penyisuk
merumput 
Penyisuk memang masih termasuk wilayah desa Sekaroh, namun letaknya cukup terpencil. Perjalanan panjang sekitar 7 km harus ditempuh menuju pantai Penyisuk dari kantor desa Sekaroh. Jalanan berupa tanah yang tidak rata, di beberapa tempat terdapat bebatuan, dan cukup licin. Di kejauhan, tampak perkebunan jagung yang terletak di lereng-lereng bukit. Sekilas dari jauh deretan tanaman jagung itu tampak seperti rerumputan hijau layaknya di padang sabana. Akses menuju pantai ini cukup sulit karena di beberapa tempat harus melewati tepian waduk kecil dengan jalur setapak yang begitu sempit.
jalan menuju Penyisuk dengan lanskap kebun jagung
masjid batu Penyisuk
Memasuki perkampungan, terdapat bangunan masjid dari batu yang belum jadi. Di kampung tersebut hanya tinggal beberapa keluarga saja. Mereka adalah petani yang memilih tinggal di ujung pulau agar lebih dekat dengan ladangnya. Tak jauh dari perkampungan terdapat beberapa sumur air tawar. Uniknya jarak antara sumur itu dengan pantai hanya sekitar 1 km, namun sumur milik warga kampung lain yang jarak dengan pantai lebih jauh airnya payau. Hal itu membuat sebagian warga kampung sebelah harus mengambil air tawar dari Penyisuk. Letak sumur hanya berkisar 300 meter dari perkampungan ke arah pantai melewati jalan setapak. Meskipun hanya ada tiga sumur, namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Penyisuk dan sekitarnya. Sumur tersebut juga biasa digunakan anak-anak untuk membilas badan selepas mandi di pantai pada sore hari.
sumur air tawar dekat pantai Penyisuk
pantai Penyisuk, tempat anak-anak main dan berenang dengan bebas  
Letak kampung ini sangatlah terpencil dan sampai pertengahan 2014 belum teraliri listrik PLN. Jarak rumah dengan kantor desa harus ditempuh selama dua jam jalan kaki. Jarak yang sama juga harus ditempuh anak-anak untuk menuju ke sekolahnya. Jika hujan lebat, jalanan sangat becek dan bahkan tergenang air luapan dari laut ataupun waduk. Praktis kampung ini menjadi terisolasi ketika hujan lebat terjadi. Kalau sudah demikian, anak-anak terpaksa tidak berangkat sekolah.
salah satu waduk kecil di Penyisuk
Dengan segala keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat warga. Mereka masih tetap bertahan, mengelola dan mengolah lahan semampunya. Anak-anak tetap bersemangat menempuh jarak yang begitu jauh ke sekolahnya meskipun kadang harus jalan kaki karena tidak dapat tumpangan di jalan. Seolah tak kenal lelah, selepas sekolah mereka segera bermain di pantai dekat rumah. Keceriaan masih terasa kental di tengah-tengah kesederhanaan hidup mereka. Kehidupan mereka yang terlihat menyenangkan itu bukannya tanpa keluhan. Kondisi sarana dan prasarana yang sangat memprihatinkan tetap menghambat mereka untuk bisa hidup layak. 

Kamis, 08 Januari 2015

Merangkai Mutiara Karimata (2): Berlabuh di Pulau Karimata

Kapal melaju cepat melewati pulau Maya. Kabut asap semakin tebal menggantung di atas permukaan laut. Kabut asap ini berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan saat musim kemarau. Posisi pulau dan karang sebagai penanda arah nyaris tak terlihat karena tertutup kabut. Dibutuhkan pengalaman dan kewaspadaan ekstra untuk mengemudikan kapal saat situasi seperti ini. Selat Karimata merupakan pertemuan arus antara laut Jawa dengan laut China Selatan. Besarnya gelombang dan kuatnya arus laut di kawasan ini sudah terkenal mampu membalikkan kapal-kapal yang kurang beruntung. Kebetulan saat itu musim angin selatan sudah mulai reda sehingga kapal cepat ukuran kecil yang kami tumpangi berani dibawa sampai pulau Karimata. Jika sedang musim angin selatan, nelayan-nelayan lokal yang handal pun urung melaut. Meski sudah reda, arus laut yang datang dari arah selatan cukup mengkhawatirkan bagi kami yang baru pertama naik kapal kecil di tengah laut. Tinggi gelombang yang bisa mencapai 3 meter membuat kami merasa was-was. Belum lagi gelombang-gelombang lain yang susul menyusul membuat kapal terhempas berkali-kali. Sementara itu di kokpit terlihat bang Sema dengan santainya ngobrol dengan bang Yos, kawannya yang bertugas sebagai navigator sekaligus co-pilot. Perlu diketahui, bang Sema seringkali ditugaskan untuk mengantar bupati Kayong Utara dalam melakukan kunjungan ke kepulauan Karimata. Kapal ini dikemudikan oleh pengemudi kapal VIP kabupaten, jadi kenapa mesti khawatir? Lagi pula ini rute yang biasa dia lalui. Tanpa sadar, hempasan gelombang yang menggoyang kapal membuat saya tertidur.

1420437879200619522
bang Sema menyiapkan kapal

Tiga jam sudah kapal mengarungi selat Karimata, jam 10 kami sudah sampai di dermaga dusun Betok, Pulau Karimata. Terbentang sepanjang 500 meter, dermaga Betok menjadi jembatan menuju ke area perkampungan. Di ujung dermaga terdapat keran air yang menjadi pemasok air segar dari pegunungan pulau Karimata. Keran yang masih saja mengalirkan air tawar meski saat ini sedang musim kemarau. Tepat di bawah dermaga, terlihat sekumpulan ikan renyok yang berenang bebas tanpa khawatir akan terjaring atau masuk perangkap bubu nelayan. Bagi nelayan dusun Betok, ikan kecil macam renyok bukanlah “level” mereka.

1420438238774570018
sekumpulan ikan renyok yang berenang bebas


14204397751665719981
mengambil air tawar

Selamat Datang di Desa Betok Jaya, sebuah gapura sederhana menjadi pintu masuk ke area pemukiman dusun Betok. Desa Betok Jaya merupakan bagian dari Kecamatan Kepulauan Karimata, sebuah kecamatan baru pemekaran dari kecamatan Pulau Maya Karimata. Betok adalah nama ikan yang dijadikan nama sebuah sungai dan kemudian menjadi nama kampung karena letaknya berada di muara sungai Betok. Betok awalnya hanya dijadikan sebagai tempat singgah para nelayan dari Belitung yang mencari ikan di perairan selat Karimata. Karena kesulitan air, pada tahun 20-an para nelayan memindahkan lokasi singgahnya tempat baru yang lebih dekat dengan sumber air tawar. Tempat baru itu kemudian berkembang menjadi perkampungan yang kini dihuni 248 KK atau sekitar 900-an jiwa. Tidak hanya dihuni orang Belitung saja, orang Bugis dan Buton pun juga banyak yang bermukim di sana.

1420438414924578238
jetty Betok

Penduduk pulau Karimata memang didominasi oleh para perantau dari pulau seberang. Melimpahnya hasil laut menjadi alasan utama bagi mereka untuk tinggal di kepulauan Karimata. Hasil laut biasa mereka jual ke Belitung dan Ketapang. Jarak antara Betok – Belitung dan Betok Ketapang sama jauhnya yaitu sekitar 94 mil laut yang biasanya ditempuh dalam waktu lebih kurang 15 jam oleh nelayan setempat. Nilai jual hasil laut ke Belitung jauh lebih tinggi karena menjadi komoditas ekspor sedangkan di Ketapang hanya dijadikan konsumsi rumah tangga. Karena itu, para nelayan lebih tertarik menjual hasil tangkapannya ke Belitung. Hanya hasil laut berkualitas rendah saja yang mereka jual ke Ketapang.

1420438686229248272
perkampungan dusun Betok

Sebagai kampung yang terisolasi di tengah selat Karimata, Betok bisa dikatakan memiliki fasilitas yang cukup memadai. Listrik sudah bisa dinikmati oleh sebagian besar penduduk di sini dengan menggunakan genset pribadi. Parabola juga sudah banyak ditemukan terpasang di banyak rumah. Untuk memenuhi kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan, di dusun ini sudah ada Pustu dan Sekolah SD-SMP Satu Atap. Bahkan untuk kebutuhan komunikasi sudah tersedia tower seluler meski sudah beberapa bulan mati akibat kerusakan di salah satu komponennya.

14204385641713970332
bangunan sekolah di Betok

Walaupun fasilitas sudah cukup lengkap, namun hidup di pulau yang terpencil seperti ini tidaklah mudah bagi para pendatang seperti beberapa guru yang ditugaskan di sini. Pak Edi, Kepala Sekolah yang sudah beberapa tahun mengabdi di Betok. Di usianya yang baru 30-an beliau dipercaya memimpin sebuah sekolah di pulau terpencil ini. Tidak mudah bagi pria yang bertempat tinggal di Seponti, KKU (Kabupaten Kayong Utara) bertugas di pulau dan harus rela meninggalkan keluarga. Hanya sebulan sekali beliau pulang ke rumah di sela-sela tugas mengantar laporan bulanan ke dinas pendidikan KKU. Lain lagi cerita Bu Sunarti, beliau ditugaskan ke Betok saat tengah mengandung. Beliau pun rela menempuh puluhan mil laut mengarungi selat Karimata dalam keadaan hamil demi sebuah tugas mulia. Dan sampai saat ini (Oktober 2014) mereka masih mengabdi di sana, tinggal bersama tiga guru lainnya di sebuah rumah sederhana di belakang sekolah. Rumah berukuran 8m X 6m dengan tiga kamar tidur menjadi tempat tinggal para guru yang berasal dari luar pulau.
Berada di tengah pertemuan antara Laut Jawa dengan Laut China Selatan menjadikan perairan Karimata berbahaya untuk dilalui. Sudah banyak kapal besar maupun kecil yang karam akibat keganasan gelombang perairan Karimata. Saat puncak musim angin barat dan selatan tak satupun nelayan lokal berani melaut, praktis saat itu mereka terisolasi. Akses ke luar pulau pun sangat terbatas, hanya ada kapal perintis menuju Ketapang yang berlabuh di Betok setiap 15 hari sekali. Sebuah kapal dengan panjang tak lebih dari 70 meter, tanpa tempat duduk (lesehan), alat keselamatan minim, karatan, dengan baling-baling yang ditambal sekenanya. Kapal yang sudah selayaknya dimuseumkan itu melayani rute Semarang – Sambas PP via Betok. Naik kapal perintis itu adalah pilihan paling aman, karena pilihan lain untuk keluar pulau adalah dengan menumpang perahu nelayan. Meski sudah tua dan karatan, kapal perintis itu telah berjasa mengirimkan pasokan kebutuhan pokok seperti beras dan BBM ke daerah kepulauan Karimata.

1420438841243633258
kapal perintis sedang merapat di dermaga Betok

Pulau Karimata merupakan wilayah administratif provinsi Kalimantan Barat yang paling barat. Terpisah sekitar 70 mil laut dari daratan utama Kalimantan menjadikan kepulauan Karimata menjadi daerah terpencil. Ketergantungan terhadap Kalimantan cukup besar mengingat sebagian besar kebutuhan akan beras dan BBM harus didatangkan dari sana. Jika kapal yang membawa logistik tak datang selama musim angin, warga terpaksa tak makan nasi jika kehabisan stok beras. Ditambah lagi komunikasi terputus setelah tower seluler di pulau itu rusak. Keterbatasan ini membuat sebagian warga memilih untuk pindah ke Belitung yang dinilai lebih menjanjikan. Beberapa waktu yang lalu sebanyak 70KK pindah ke Belitung. Keterikatan asal-usul bisa jadi menjadi salah satu faktor migrasi penduduk ke Belitung. Perpindahan itu sudah menjadi lumrah karena sejak dulu banyak anak-anak yang memilih Belitung sebagai tempat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.

142043964136364529
pulau Karimata

Hijaunya hutan di satu sisi dan bentangan biru air laut di sisi lainnya serta suasananya yang begitu tenang dan damai menjadikan pulau ini sebagai salah satu surga tropis di Indonesia. Lingkungan masih terjaga, nyaris tanpa polusi udara. Bahkan asap kebakaran hutan Kalimantan yang menyelimuti perairan disekitarnya tak sanggup menjangkau kepulauan Karimata. Hutan perawan dan perairan yang berlimpah ikan sangat menggoda iman. Tak kan cukup waktu seminggu untuk menjelajahi surga tropis itu. Namun keterbatasan waktulah yang membuat kami hanya bisa numpang bermalam saja di sana. Siang hari berikutnya speedboat membawa kami meninggalkan pulau Karimata, sebutir keindahan dari rangkaian mutiara nusantara.

Merangkai Mutiara Karimata (1): Singgah di Pulau Maya

Mesin speedboat telah dinyalakan, sang sopir menjalankan kapal perlahan menuju muara. Kanal yang sempit dengan beberapa perahu tertambat di pinggirnya membuat sopir harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya. Tak jauh memang, setelah melalui dua kelokan sampailah kami di muara. Pagi itu kami akan menempuh perjalanan panjang sejauh sekitar 76 mil laut Bang Sema begitu biasa sang sopir dipanggil, mulai memacu mesin kapal bertenaga 200 Tenaga Kuda. Beberapa menit melaju di perairan terbuka, kecepatan kapal di atas 20 knot. Gelombang laut di selat antara Kalimantan dengan pulau Maya begitu tenang pagi itu sehingga memungkinkan kapal dipacu hingga 30 knot. Selat yang memisahkan kedua pulau itu sebenarnya lebih mirip sungai karena jarak antar pulau hanya sekitar 1 – 2 km, tak jauh beda dengan lebar sungai Kapuas.

14201807301822233392
kanal sempit di Teluk Batang

Pemandangan hutan bakau pulau Maya masih menghiasi pemandangan sebelah kiri kapal. Pulau Maya adalah sebuah kecamatan induk (dulunya kecamatan Pulau Maya Karimata) yang sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi kecamatan Kepulauan Karimata. Kini nama kecamatan itu berubah nama menjadi kecamatan Pulau Maya yang wilayahnya terdiri dari 5 desa yang meliputi seluruh Pulau Maya.

1420180789925260247
hutan bakau pulau Maya

Kapal masih melaju dengan kecepatan rata-rata 25 knot, sementara dari kejauhan tampak muara sungai kecil menuju dusun Pancur. Di tengah lebatnya hutan bakau, ternyata ada pemukiman penduduk. Sekitar 300 meter dari muara, terdapat dermaga kecil yang biasa digunakan sebagai tempat bersandar nelayan setempat. Lebar sungai yang hanya sekitar 6 meter disesaki kapal-kapal nelayan milik warga. Bisa dikatakan hampir semua warga dusun Pancur bekerja sebagai nelayan dan tiap keluarga memiliki sebuah kapal motor. Selain digunakan untuk menangkap ikan, kapal motor biasa mereka pakai sebagai alat transportasi ke kota terdekat seperti Teluk Batang dan Sukadana.
Dusun Pancur ini merupakan bagian dari desa Dusun Kecil, salah satu desa di kecamatan Pulau Maya. Dusun Pancur dulunya terletak di sebuah hutan tak jauh dari lokasi sekarang. Namun karena suatu alasan warga satu dusun bersedia direlokasi oleh pemerintah setempat. Kini pemukiman tersebut kian berkembang dan dihuni oleh 105 KK. Penduduk dusun Pancur mayoritas adalah orang Melayu yang berasal dari Kalimantan. Mereka memilih untuk hijrah ke pulau Maya karena hasil laut yang menjanjikan.

1420180913601261179
dermaga kecil dusun Pancur

Tepat di sebelah utara dermaga terdapat pemakaman yang dibuatkan semacam tanggul sebagai pembatas dengan sungai. Pemukiman warga berjajar di sepanjang sungai dengan beberapa jembatan sebagai penghubung antara sisi barat dan sisi timur. Seluruh fasilitas umum seperti sekolah dan pustu terletak di sisi barat, karena itu di sepanjang barat sungai dibuat jalan beton selebar 2 meter. Jalan beton itu membentang sepanjang 1 km sampai ujung sungai yang kemudian bercabang ke arah barat dan timur mengikuti alur sungai yang bercabang pula. Jalan tersebut merupakan akses untuk menuju lahan pertanian masyarakat. Meski berprofesi sebagai nelayan, mereka juga menanam beberapa komoditas seperti padi, jagung, dan tebu sebagai usaha sampingan.

Berjalan 300 meter dari dermaga terdapat satu-satunya sekolah di kampung ini. Sekolah satu atap (SD dan SMP) menjadi tempat menuntut ilmu anak-anak dusun Pancur. Akses terhadap pendidikan dasar memang belum lama dinikmati anak-anak di dusun ini. Baru pada tahun 2008 mereka bisa mulai menikmati pendidikan dasar 9 tahun sejak dibangunnya gedung SMP. Bangunan sekolah tidak begitu luas karena jumlah muridnya pun tidak banyak. Bangunan SD terletak di depan dengan lapangan yang cukup luas dan bangunan SMP terletak di belakang SD. Antar bangunan kedua sekolah itu dihubungkan oleh jembatan kayu setinggi 70 cm. Beberapa bangunan di area sekolah memang dihubungkan oleh jembatan kayu termasuk juga perumahan guru yang ada di sebelah utara sekolah. Jembatan tersebut akan terlihat fungsinya ketika musim hujan tiba dan air sungai meluap menggenangi pemukiman termasuk sekolah. Namun di bulan November dan Desember biasanya jembatan itu pun ikut terendam bahkan air sampai menggenangi ruang kelas. Pada saat itu para guru dan beberapa siswa menggunakan sampan untuk menuju ke sekolah karena genangan air yang cukup dalam.

1420180981921140817
komplek sekolah dusun Pancur
Tepat di sebelah selatan sekolah ada sebuah masjid yang menjadi pusat ibadah warga dusun Pancur. Di sebelah masjid ada sebuah sumber air sumur bor yang selalu mengeluarkan air ke permukaan tanpa harus disedot menggunakan pompa. Di awal pembuatan sumur, warga harus menimba air memakai botol bekas air mineral 1,5 liter karena diameter sumur yang sangat kecil. Namun sejak beberapa tahun lalu, air selalu meluap sehingga tidak perlu ditimba lagi. Ada beberapa titik sumur di dusun Pancur namun tidak semua sumur mampu meluapkan airnya. Meski terletak sangat dekat dengan laut, air sumur terasa tawar. Namun di musim kemarau airnya berwarna kuning kecoklatan dan berbau besi meski masih tetap tawar. Walaupun demikian, air sumur itu tetap masih dimanfaatkan warga untuk mandi dan mencuci. Pada pagi dan sore hari sumur di masjid selalu dipenuhi oleh warga yang akan mandi, mencuci, atau sekedar mengambil stok air untuk persediaan di rumah. Untuk air minum biasa mereka menggunakan air hujan atau air galon.

14201810381310488037
sumber air dusun Pancur
Berjalan lebih jauh ke dalam kampung, kita akan mendapati sebuah bangunan kecil yang menjorok ke sungai persis di sebelah jembatan. Bangunan sederhana berdinding kayu dengan naungan seng sebagai atapnya berisikan sebuah mesin genset. Itu adalah sumber listrik warga dusun Pancur di malam hari. Genset itu merupakan hasil dari swadaya masyarakat dan dikelola secara mandiri. Tiap malam, genset itu rata-rata menghabiskan 13 liter solar untuk melayani kebutuhan listrik masyarakat dari jam 18.00 – 22.00 (waktu nyala listrik tidak pasti, kadang bisa sampai jam 11 malam tergantung maunya si operator). Untuk mendapat fasilitas listrik tersebut warga ditarik iuran 3 ribu/hari untuk biaya minyak dan perawatan mesin. Penggunaan listrik dibatasi hanya untuk 2 buah lampu dan 1 televisi.

1420181128997483036
genset kampung
Rumah-rumah warga hampir semua terbuat dari kayu dan cukup layak untuk ditinggali karena mereka mendapat bantuan perumahan dari pemerintah daerah. Selain itu taraf ekonomi mayoritas warga tergolong berkecukupan, hal ini bisa dilihat sepintas dari adanya parabola di hampir setiap rumah. Hasil laut yang cukup melimpah menjadi penyumbang utama kesejahteraan masyarakat. Di sepanjang sungai terdapat banyak jembatan penghubung. Tiap 50 meter terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan perumahan sebelah barat dan timur sungai. Namun makin ke arah hulu, jembatan-jembatan tidak terawat dan bahkan ada yang sudah rusak. Simpang jalan yang menjadi ujung kampung masih sekitar 200 meter lagi dari rumah terakhir. Dari ujung kampung terlihat lahan terbuka yang luas, itulah tanah yang coba digarap masyarakat dusun Pancur. Masyarakat yang dibesarkan dalam budaya kelautan kini mencoba peruntungannya di sektor agraris.

14201812191157251771
suatu siang di dermaga dusun Pancur
Dusun Pancur, adalah salah satu potret perkampungan yang ada di Pulau Maya. Pulau pertama dalam rangkaian kepulauan di selat Karimata. Pulau dengan berbagai potensi mulai dari perikanan, pariwisata, sampai ladang pertanian yang belum dioptimalkan. Kabarnya Pulau Maya menjadi salah satu daerah tujuan transmigrasi. Semoga saja dengan adanya transmigran Pulau Maya akan berkembang ke arah yang positif.

Jumat, 15 Agustus 2014

Harmoni di Teluk Bintuni, Sekilas Tentang Babo

Lantunan ayat-ayat suci Al Quran terdengar sayup-sayup dari arah masjid. Beberapa anak terlihat berlarian di serambi masjid. Di luar, senja sudah menua, gelap perlahan menyergap. Hanya beberapa titik cahaya lampu yang terlihat sepanjang jalan. Kala itu, Babo sedang dilanda krisis listrik. Sudah beberapa bulan terakhir PLN tak mampu memenuhi kewajibannya. Alhasil, Babo gelap gulita saat malam tiba. Hanya beberapa rumah dan kios yang memiliki genset saja yang bisa menyalakan lampu.
masjid di Babo
Raungan genset masjid mengiringi merdunya suara anak-anak yang sedang mengaji. Mereka tidak hanya melakukan rutinitas mengaji ba’da Maghrib saja, tetapi sedang melakukan latihan. Ya, latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi kejuaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Dalam beberapa tahun terakhir, Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Kini mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

Babo, salah satu distrik di kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Babo merupakan salah satu daerah yang maju di Teluk Bintuni. Terdapat bandara di distrik ini, sebuah bandara peninggalan jaman perang yang kembali difungsikan untuk keperluan transportasi bagi suatu perusahaan. Bandara Babo menjadi pintu masuk bagi para staf perusahaan gas asing tersebut untuk menuju ke beberapa lokasi proyek di wilayah Teluk Bintuni. Babo juga memiliki jetty/dermaga besar yang menjadi tempat transit kapal dari Sorong menuju Bintuni maupun sebaliknya. Selain itu, distrik ini juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Barang-barang dari Sorong didrop di Babo untuk kemudian disalurkan ke berbagai daerah di Teluk Bintuni termasuk di kota Bintuni sendiri.
kampung Babo
Suku Irarutu adalah warga asli di Babo, selain itu ada beberapa suku lain termasuk pendatang seperti dari Jawa, Buton, Toraja, dan suku-suku dari Papua lainnya. Pendatang, terutama orang Jawa dan Buton kebanyakan menempati area jetty kecil. Selain jetty besar, babo juga memiliki jetty kecil tempat ketinting dan perahu kecil nelayan bersandar. Banyak kios di sini yang menyediakan pakaian, peralatan elektronik, perkakas dapur, sampai sirih pinang yang sudah menjadi “candu” bagi orang Papua. Jual beli ikan dan hasil laut lain juga dapat ditemui di sini. Beberapa kios makanan besar berkumpul di sini, termasuk juga pangkalan minyak tanah. Bisa dikatakan pusat perdagangan di Babo ada di area jetty kecil.

Masyarakat Babo tergolong multietnis, karena terdiri dari berbagai suku meski Irarutu masih menjadi suku yang dominan. Beragamnya suku yang ada tidak menimbulkan perselisihan yang parah. Mereka hidup berdampingn dengan damai dan tenang. Keragaman suku di Babo menjadikan mereka saling melengkapi. Orang Jawa yang terkenal dengan masakannya membuka warung makan di sana, dan hampir semua warung makan di Babo dimiliki orang Jawa. Etnis Tionghoa yang dikenal pandai berdagang membuka beberapa toko kelontong besar. Orang Papua yang dikenal dengan fisiknya yang kuat berprofesi sebagai TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Sementara itu, orang Buton yang dikenal sebagai pelaut ulung bertugas menyediakan ikan dan hasil laut lain. Penggolongan pekerjaan berdasarkan suku tidaklah mutlak demikian, namun itu dapat menjadi sedikit gambaran tentang salah satu keuntungan masyarakat multietnis.
anak-anak Babo
Warga Babo juga cukup taat beribadah. Hal ini bisa dilihat dari masjid utama yang selalu ramai oleh anak-anak yang mengaji mulai ba’da maghrib sampai Isya’. Hampir tiap sore juga terlihat mace-mace berangkat pengajian ke rumah tetangganya. Di sini juga ada tradisi unik dalam menyelenggarakan upacara pernikahan. Tabuhan rebana dan sholawat mengiringi pengantin yang diarak keliling kampung. Mirip seperti di Jawa, di Babo juga sering diadakan semacam tahlilan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Meski bukan mayoritas, warga nampak antusias dalam merayakan natal. Suasana menjelang natal di Babo cukup meriah dengan letusan kembang api yang terdengar sambung-menyambung. Tiga gereja yang ada dipenuhi jemaat yang melakukan ibadah di malam natal. Semua acara keagamaan itu mereka tanggapi dengan saling toleransi sehingga tercipta harmoni.
gereja di seberang lapangan Babo
Itulah sedikit gambaran mengenai Babo. Salah satu Distrik di Teluk Bintuni yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Sebuah kota kecil yang memiliki peran penting di kawasan Teluk Bintuni.

Selasa, 22 Juli 2014

Safari Masjid Papua Barat (3): Sebuah Catatan

14056774801636613206
masjid Al Ikhlas Tofoi

Usai berkeliling di kampung Otoweri, kita lanjutkan perjalanan menuju ke Tofoi. Perjalanan total sekitar enam jam harus ditempuh dari Otoweri ke Tofoi. Kembali menyusuri teluk Bintuni ke arah timur, kemudian berbelok ke selatan masuk ke sebuah sungai menuju kampung Tofoi. Di kawasan teluk Bintuni, wilayah perairan menjadi jalur utama transportasi. Teluk Bintuni bisa diibaratkan sebagai jalan raya dengan banyak sungai di tepiannya sebagai jalan masuk menuju kampung-kampung. Dibutuhkan waktu lebih dari sejam perjalanan dari muara menuju ke kampung Tofoi.

14056773581505052513
jetty kampung Tofoi

Kampung Tofoi masuk dalam distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni. Terdapat 400-an KK yang menghuni kampung ini dengan jumlah penduduk mencapai hampir 2000 orang. Dibandingkan beberapa kampung sebelumnya, Tofoi relatif ramai. Sama seperti Babo, Tofoi juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Di sini terdapat perusahaan kayu yang cukup besar dan mempekerjakan ratusan karyawan. Kampung Tofoi juga memiliki warga yang multietnis. Warga asli suku Sumuri kebanyakan menghuni kampung bagian dalam sedangkan para pendatang tinggal di sekitar jetty.

14056774321615669528
senja di kampung Tofoi

Populasi Muslim di kampung Tofoi sekitar 25% dari penduduk Tofoi. Sebagian besar dari warga Muslim adalah pendatang, hanya sedikit warga asli (Papua) yang beragama Islam. Masjid yang ada di kampung ini pun hanya ada satu. Masjid Al Ikhlas, sebuah masjid sederhana terletak di puncak sebuah bukit kecil. Bangunan masjid berbentuk panggung dengan lantai kayu sebagai alasnya. Dinding masjid terbuat dari kayu bercat putih yang disusun secara vertikal. Pagar kayu berwarna hijau mengelilingi masjid dan berfungsi sebagai pembatas serambi yang cukup sempit. Atap masjid berupa seng yang disusun bertumpuk dua, atap bagian atas berbentuk seperti atap rumah Joglo. Lantai di bagian dalam masjid dilapisi oleh karpet hijau, sedangkan empat shaf pertama dilapisi lagi dengan karpet sajadah. Tidak ada ornamen dan hiasan yang menonjol di dalam masjid, hanya beberapa lukisan kaligrafi sederhana saja.

Ruangan utama masjid Al Ikhlas Tofoi hanya dapat menampung sekitar 200 jamaah, sehingga saat sholat Jumat jamaah membludak sampai serambi dan halaman masjid. Keterbatasan daya tampung ini adalah penyebab utama didirikannya bangunan masjid baru tepat di sebelah masjid Al Ikhlas. Letak masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman para pendatang yang beragama Islam seperti suku Jawa, Buton, dan Bugis. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai di bidang perdagangan, mulai dari pedagang kelontong kecil-kecilan, pedagang pasar, sampai buka warung penyetan. Para pendatang berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda. Namun sampai saat ini mereka tetap hidup rukun baik antar sesama pendatang maupun dengan warga asli sebagai pemilik tanah ulayat/adat.

14056775321324327812
ruangan utama masjid Al Ikhlas

Ada satu kesamaan yang mencolok dari kelima masjid tersebut yaitu memiliki atap tumpang. Pada bagian atap paling bawah menaungi ruangan berbentuk segiempat. Kemudian atap di atasnya semakin mengecil dengan puncak atap teratas biasanya diletakkan kubah kecil. Bentuk atap seperti itu sangat mirip dengan masjid-masjid di Jawa yang berakulturasi dengan kebudayaan Hindu.

Tidak banyak warga lokal yang tahu mengapa ada kemiripan bentuk atap masjid mereka dengan masjid di Jawa. Pengaruh arsitektur Jawa di masjid-masjid tersebut karena bantuan pembangunan masjid kebanyakan berasal dari luar termasuk juga desain bangunannya. Bisa jadi orang yang membangun masjid adalah tukang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan bentuk bangunan masjid di tempat asal mereka.

Tofoi adalah tujuan terakhir sebelum kembali lagi ke Babo untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Sorong dan kembali pulang. Lima masjid, lima kampung di Papua Barat. Kelimanya memiliki kisah tersendiri. Kisah tentang masjid dan para jamaahnya. Kisah tentang kondisi sosial masyarakat setempat. Dan kisah tentang keragaman budaya yang disatukan dalam naungan Islam.