kampung Otoweri dan muaranya yang konon banyak buaya |
Selepas
menuntaskan tugas di Tomage, saatnya kami berpindah ke kampung selanjutnya
yaitu Otoweri yang masih masuk distrik Bomberai, Fakfak. Kembali kapal
mengarungi kelok demi kelok sungai menuju ke arah muara. Kami berangkat agak
sore, sampai di Otoweri sudah senja. Disambut gelombang dari laut yang kencang,
ketinting mendekat ke jetty dengan hati-hati. Sempat beberapa kali terbentur
jetty, akhirnya ketinting berhasil merapat dengan selamat.
Hari
sudah larut, ketua tim bergegas mencari tempat tinggal sementara agar kami bisa
segera bermalam. Setelah bertemu pengurus kampung setempat, didapatlah rumah
sederhana untuk kami tinggali sementara. Sebuah rumah bekas tempat tinggal guru
di pinggir hutan bakau. Namanya juga di dekat rawa, pastinya banyak nyamuk.
Losion anti nyamuk sepertinya tak mempan menangkal keganasan nyamuk Papua.
Sleepingbag pun jadi pertahanan terakhir, meski cuaca panas kubungkus seluruh
tubuh. Alamak!! Kulit tangan dan kaki masih saja terasa bagai tertusuk-tusuk
jarum kecil. Ternyata jarum makhluk penghisap darah ini begitu besar dan kuat
hingga bisa menembus sleepingbag. Tak tahan dengan penderitaan ini kamipun
pindah rumah.
Otoweri
bisa dikatakan adalah kampung Muslim karena semua penduduknya beragama Islam.
Suku asli Papua Fakfak adalah yang terbanyak di sini, ada juga orang dari
Bugis, Buton, dan Jawa. Kampung ini tak terlalu luas hanya ditinggali 70an KK.
Siang hari kampung begitu sepi karena sebagian warga melaut, dan kebetulan saat
itu banyak warga yang pergi ke kota Fakfak untuk suatu acara. Karena tak ada
kerjaan aku dan seorang kawan pergi ke jetty, sekedar untuk istirahat siang
sambil menikmati angin laut. Jetty memang tempatnya pelarian sepi.
Riak
gelombang memberi warna muara yang begitu hampa. Nyaris tak ada tanda
kehidupan, begitu sepi di sini. Tak tampak perahu pencari udang yang hilir
mudik, tak nampak pula moncong buaya muara yang begitu melegenda. Buaya muara Otoweri
memang sudah terkenal di kalangan warga setempat. Buaya-buaya di sini sudah
banyak makan korban manusia. Terakhir dan yang paling sering dibicarakan adalah
beberapa tahun silam seorang guru dimakan hidup-hidup oleh seekor buaya besar.
Kejadiannya saat rombongan sang guru melintas di muara Otoweri. Tetiba tanpa
diduga seekor buaya melompat ke atas perahu kemudian langsung melahap tubuh Pak
guru yang tak berdaya itu. Beberapa waktu kemudian sang buaya berhasil
ditangkap dan ditemukanlah potongan tubuh manusia yang baru disantapnya itu.
Kini tulang belulang buaya itu disimpan di rumah salah seorang warga Otoweri.
Katanya
sih buaya memang ada banyak di muara sungai. Bisa dikatakan buaya memang suka
tinggal dan beredar di lingkungan muara. Alasannya hanya para buaya dan ilmuwan
selo yang tahu. Namun selain surganya
buaya, muara Otoweri juga jadi surganya udang. Udang di sini cukup murah, pada
2013 sekilo udang dijual seharga 40 hingga 50 ribu. Jangan dibandingkan dengan
udang di Jawa, udang di sini besar-besar. Sangat mantab disantap dan rasanya
mak nyuss...
mas Yudi dan hasil tangkapannya untuk kami |
Tak
perlu pergi jauh ke tengah laut, cukup mendayung keliling muara sejam dua jam
sampan sudah terisi penuh udang. Seperti yang dilakukan oleh mas Yudi menjelang
kepergian kami. Mas Yudi saat itu merupakan satu-satunya orang Jawa yang
tinggal di Otoweri. Di rumahnya dia buka kios kecil-kecilan sebagai usaha
sampingan selain pekerjaan utamanya sebagai nelayan udang sama seperti
kebanyakan warga Otoweri. Beberapa saat sebelum ketinting kami angkat jangkar,
dengan sampannya dia mendekat. Terlihat tumpukan udang sekitar 5 kilo dan
beberapa kepiting di sampannya. Padahal belum sampai satu jam yang lalu dia
bersampan. Tanpa basa-basi dia pun segera menghamburkan seluruh isi sampannya
ke atas ketinting. Ya.. semua hasil tangkapannya saat itu diberikan kepada kami
secara cuma-cuma . Suwun mas Yudi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar