Senin, 11 Januari 2016

Kembali ke Otoweri, Surganya Udang dan Buaya

kampung Otoweri dan muaranya yang konon banyak buaya

Selepas menuntaskan tugas di Tomage, saatnya kami berpindah ke kampung selanjutnya yaitu Otoweri yang masih masuk distrik Bomberai, Fakfak. Kembali kapal mengarungi kelok demi kelok sungai menuju ke arah muara. Kami berangkat agak sore, sampai di Otoweri sudah senja. Disambut gelombang dari laut yang kencang, ketinting mendekat ke jetty dengan hati-hati. Sempat beberapa kali terbentur jetty, akhirnya ketinting berhasil merapat dengan selamat.


Hari sudah larut, ketua tim bergegas mencari tempat tinggal sementara agar kami bisa segera bermalam. Setelah bertemu pengurus kampung setempat, didapatlah rumah sederhana untuk kami tinggali sementara. Sebuah rumah bekas tempat tinggal guru di pinggir hutan bakau. Namanya juga di dekat rawa, pastinya banyak nyamuk. Losion anti nyamuk sepertinya tak mempan menangkal keganasan nyamuk Papua. Sleepingbag pun jadi pertahanan terakhir, meski cuaca panas kubungkus seluruh tubuh. Alamak!! Kulit tangan dan kaki masih saja terasa bagai tertusuk-tusuk jarum kecil. Ternyata jarum makhluk penghisap darah ini begitu besar dan kuat hingga bisa menembus sleepingbag. Tak tahan dengan penderitaan ini kamipun pindah rumah.

Otoweri bisa dikatakan adalah kampung Muslim karena semua penduduknya beragama Islam. Suku asli Papua Fakfak adalah yang terbanyak di sini, ada juga orang dari Bugis, Buton, dan Jawa. Kampung ini tak terlalu luas hanya ditinggali 70an KK. Siang hari kampung begitu sepi karena sebagian warga melaut, dan kebetulan saat itu banyak warga yang pergi ke kota Fakfak untuk suatu acara. Karena tak ada kerjaan aku dan seorang kawan pergi ke jetty, sekedar untuk istirahat siang sambil menikmati angin laut. Jetty memang tempatnya pelarian sepi.

Riak gelombang memberi warna muara yang begitu hampa. Nyaris tak ada tanda kehidupan, begitu sepi di sini. Tak tampak perahu pencari udang yang hilir mudik, tak nampak pula moncong buaya muara yang begitu melegenda. Buaya muara Otoweri memang sudah terkenal di kalangan warga setempat. Buaya-buaya di sini sudah banyak makan korban manusia. Terakhir dan yang paling sering dibicarakan adalah beberapa tahun silam seorang guru dimakan hidup-hidup oleh seekor buaya besar. Kejadiannya saat rombongan sang guru melintas di muara Otoweri. Tetiba tanpa diduga seekor buaya melompat ke atas perahu kemudian langsung melahap tubuh Pak guru yang tak berdaya itu. Beberapa waktu kemudian sang buaya berhasil ditangkap dan ditemukanlah potongan tubuh manusia yang baru disantapnya itu. Kini tulang belulang buaya itu disimpan di rumah salah seorang warga Otoweri.

Katanya sih buaya memang ada banyak di muara sungai. Bisa dikatakan buaya memang suka tinggal dan beredar di lingkungan muara. Alasannya hanya para buaya dan ilmuwan selo yang tahu. Namun selain surganya buaya, muara Otoweri juga jadi surganya udang. Udang di sini cukup murah, pada 2013 sekilo udang dijual seharga 40 hingga 50 ribu. Jangan dibandingkan dengan udang di Jawa, udang di sini besar-besar. Sangat mantab disantap dan rasanya mak nyuss...
mas Yudi dan hasil tangkapannya untuk kami
Tak perlu pergi jauh ke tengah laut, cukup mendayung keliling muara sejam dua jam sampan sudah terisi penuh udang. Seperti yang dilakukan oleh mas Yudi menjelang kepergian kami. Mas Yudi saat itu merupakan satu-satunya orang Jawa yang tinggal di Otoweri. Di rumahnya dia buka kios kecil-kecilan sebagai usaha sampingan selain pekerjaan utamanya sebagai nelayan udang sama seperti kebanyakan warga Otoweri. Beberapa saat sebelum ketinting kami angkat jangkar, dengan sampannya dia mendekat. Terlihat tumpukan udang sekitar 5 kilo dan beberapa kepiting di sampannya. Padahal belum sampai satu jam yang lalu dia bersampan. Tanpa basa-basi dia pun segera menghamburkan seluruh isi sampannya ke atas ketinting. Ya.. semua hasil tangkapannya saat itu diberikan kepada kami secara cuma-cuma . Suwun mas Yudi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar