sekolah kami (Tim M) |
Survei hari kedua, kami berdua
mampir dulu ke SDK Necak untuk mengambil beberapa data. Menyedihkan, kelas
berantakan, bangku kurang. Keadaan kelas yang sering kulihat di tv kini muncul
secara nyata. Berbagai acara dokumenter yang menayangkan tentang ironi negeri
sangat menarik bagiku. Perjalanan panjang menembus rimba, melalui tanah cadas
berlumpur, mendaki gunung lewati lembah, di daerah pedalaman yang jauh dari
hingar-bingar kota mengusik jiwa petualanganku.
Seringkali aku memimpikan bisa
mengalami pengalaman seperti itu, namun itu hanya sebatas mimpi saja karena
ketidakmampuan secara finansial dan jaringan tentunya. Lagi pula ngapain juga
ke situ, buang-buang duit saja ga mungkin ada dermawan yang baik hati menyedekahkan
sebagian hartanya untuk memberangkatkanku jalan-jalan ke sebuah tempat
terpencil. Sampai beberapa tahun kemudian aku sadar bahwa kini sedang berada di
tempat terpencil itu. Tempat di mana aku bisa melihat ironi negeri secara
langsung, tempat di mana aku bisa merasakan perjalanan “mahal” yang bisa
memuaskan jiwa petualanganku. Di antara jajaran bukit dan pegunungan Manggarai
ini petualanganku dimulai, sebuah petualangan yang menguras fisik dan emosi.
Usai “menikmati tontonan”
menyedihkan itu, kami bertemu dengan bapak-bapak penjual ikan dari Benteng
Jawa. Dengan memikul ikan yang tak seberapa banyak, dia menempuh perjalan
berjam-jam dari Benteng Jawa sampai ke kampung Gumbang. Entah, apa yang dia
harapkan dari sepikul ikan yang dibawanya jalan berjam-jam. Kalau bicara
untung, pastinya ga seberapa dengan usaha yang telah dilakukannya. Ya ampun..
baper banget sih aku ini.
Siang hari kami mampir ke rumah Pak
Heribertus, salah seorang guru yang sering menemani kami. Nasi merah campuran
dengan lauk sederhana menjadi sajian utama yang disediakan untuk kami. Nasi
yang kumakan di sini sangatlah enak, tanpa lauk pun aku sangat menikmatinya.
Entah bagaimana cara mereka menanam beras seenak ini. Pak Heri tinggal di rumah
sederhana bersama istrinya, sambil istirahat kami pun ngobrol ditemani kopi
yang dicampur kedelai (rasanya lebih “ringan” dari kopi yang biasa kami minum
di sana).
Pak Heri dan istrinya begitu
ramah menyambut kami. Meski belum lama kenal, mereka tak segan menjamu kami
seperti keluarga sendiri. Menyuguhkan sajian terbaik yang mereka miliki untuk
kami. Obrolan mengalir dengan lancar walau baru kenal kemarin. Dari obrolan itu,
kami tahu bahwa di Flores sudah tidak ada suku asli karena banyak pendatang
dari suku lain yang sudah kawin campur dan mereka pun mengaku sebagai suku
Flores. Menurut beberapa literatur pun demikian, orang Flores merupakan
campuran dari berbagai suku seperti Bajo, Bugis, termasuk juga orang lokal
Flores sendiri.
bentang alam Compang Necak (Tim M) |
Tanah terbuka di sini masih sangat luas,
bergunung-gunung luasnya. Penduduk yang mendiami daerah ini terbilang sedikit,
tak sebanding dengan luasnya tanah yang ada. Sebagian tanah sudah diolah
menjadi kebun atau sawah, namun masih banyak juga yang berupa hutan. Seluruh
tanah yang ada di sini adalah milik adat yang peruntukannya diatur sedemikian
rupa sehingga tiap-tiap warga punya hak atas sepetak tanah. Pembagian tanah ini
dilakukan oleh tetua adat kepada para pendahulu, kemudian dibagi ke anak
cucunya hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar