Selasa, 02 Februari 2016

Langkah Awal Mengenal Indonesia dari Dekat


sekolah kami (Tim M)
Survei hari kedua, kami berdua mampir dulu ke SDK Necak untuk mengambil beberapa data. Menyedihkan, kelas berantakan, bangku kurang. Keadaan kelas yang sering kulihat di tv kini muncul secara nyata. Berbagai acara dokumenter yang menayangkan tentang ironi negeri sangat menarik bagiku. Perjalanan panjang menembus rimba, melalui tanah cadas berlumpur, mendaki gunung lewati lembah, di daerah pedalaman yang jauh dari hingar-bingar kota mengusik jiwa petualanganku.


Seringkali aku memimpikan bisa mengalami pengalaman seperti itu, namun itu hanya sebatas mimpi saja karena ketidakmampuan secara finansial dan jaringan tentunya. Lagi pula ngapain juga ke situ, buang-buang duit saja ga mungkin ada dermawan yang baik hati menyedekahkan sebagian hartanya untuk memberangkatkanku jalan-jalan ke sebuah tempat terpencil. Sampai beberapa tahun kemudian aku sadar bahwa kini sedang berada di tempat terpencil itu. Tempat di mana aku bisa melihat ironi negeri secara langsung, tempat di mana aku bisa merasakan perjalanan “mahal” yang bisa memuaskan jiwa petualanganku. Di antara jajaran bukit dan pegunungan Manggarai ini petualanganku dimulai, sebuah petualangan yang menguras fisik dan emosi.

Usai “menikmati tontonan” menyedihkan itu, kami bertemu dengan bapak-bapak penjual ikan dari Benteng Jawa. Dengan memikul ikan yang tak seberapa banyak, dia menempuh perjalan berjam-jam dari Benteng Jawa sampai ke kampung Gumbang. Entah, apa yang dia harapkan dari sepikul ikan yang dibawanya jalan berjam-jam. Kalau bicara untung, pastinya ga seberapa dengan usaha yang telah dilakukannya. Ya ampun.. baper banget sih aku ini.
Siang hari kami mampir ke rumah Pak Heribertus, salah seorang guru yang sering menemani kami. Nasi merah campuran dengan lauk sederhana menjadi sajian utama yang disediakan untuk kami. Nasi yang kumakan di sini sangatlah enak, tanpa lauk pun aku sangat menikmatinya. Entah bagaimana cara mereka menanam beras seenak ini. Pak Heri tinggal di rumah sederhana bersama istrinya, sambil istirahat kami pun ngobrol ditemani kopi yang dicampur kedelai (rasanya lebih “ringan” dari kopi yang biasa kami minum di sana).

Pak Heri dan istrinya begitu ramah menyambut kami. Meski belum lama kenal, mereka tak segan menjamu kami seperti keluarga sendiri. Menyuguhkan sajian terbaik yang mereka miliki untuk kami. Obrolan mengalir dengan lancar walau baru kenal kemarin. Dari obrolan itu, kami tahu bahwa di Flores sudah tidak ada suku asli karena banyak pendatang dari suku lain yang sudah kawin campur dan mereka pun mengaku sebagai suku Flores. Menurut beberapa literatur pun demikian, orang Flores merupakan campuran dari berbagai suku seperti Bajo, Bugis, termasuk juga orang lokal Flores sendiri.  
bentang alam Compang Necak (Tim M)
Tanah terbuka di sini masih sangat luas, bergunung-gunung luasnya. Penduduk yang mendiami daerah ini terbilang sedikit, tak sebanding dengan luasnya tanah yang ada. Sebagian tanah sudah diolah menjadi kebun atau sawah, namun masih banyak juga yang berupa hutan. Seluruh tanah yang ada di sini adalah milik adat yang peruntukannya diatur sedemikian rupa sehingga tiap-tiap warga punya hak atas sepetak tanah. Pembagian tanah ini dilakukan oleh tetua adat kepada para pendahulu, kemudian dibagi ke anak cucunya hingga saat ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar