Tampilkan postingan dengan label bintuni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bintuni. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 November 2017

Mengenal Lebih Dekat Tenaga Kesehatan di Papua Barat

jalan utama Kampung Tofoi (2013)
Sesosok perempuan muda muncul membuka pintu rumah dinas di komplek puskesmas Tofoi. Memakai kaos, rambut diikat sekenanya, dengan kesadaran yang masih belum pulih benar. Sepertinya dia baru saja bangun tidur, karena agak lama saya mengetuk pintu dan menunggu. Tubuhnya mungil, wajahnya pun masih terlihat imut. Hampir saja saya bilang, “adik, bu dokter ada ka tidak?”. Tapi untungnya pertanyaan bodoh itu tidak jadi keluar dari mulut saya. Setelah tahu maksud dan tujuan saya, dia pun mempersilahkan masuk. Rumah dinas dengan beberapa kamar, satu ruang tamu, dan dapur, cukup besar untuk ditinggali sendiri. Setelah mempersilahkan duduk, dia pun segera membuatkan teh.

Rabu, 11 Februari 2015

Sidomakmur yang Makmur, Kampung Kecil Dengan Perputaran Uang Besar




1390545599828703334

Jetty RKI (dok. Pribadi)

Ketinting mulai merapat, kami pun segera melompat ke jetty dan berjalan menuju warung kopi terdekat. Saya dan seorang kawan memesan kopi instan. Kembali lagi di Sidomakmur/RKI, seperti kembali di kampung sendiri. Suasana Jawa sangat kental di kampung yang terletak di tepi perairan Teluk Bintuni. Warung yang saya singgahi ini milik orang Probolinggo yang biasanya berbahasa Madura, namun bisa juga bahasa Jawa.

Asyiknya Naik Ketinting ke Sekolah


1397542958667612301
keceriaan dalam ketinting sekolah

Tampak raut kekecewaan di wajah anak-anak berseragam merah putih itu. Mereka kecewa lantaran ketinting yang biasa mengantar mereka ke sekolah urung datang. Ketinting itu rupanya kandas karena kebetulan air terlalu surut. Jetty/dermaga kampung yang tadinya disesaki anak-anak sekolah perlahan mulai ditinggalkan. Mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Jam hampir menunjukkan pukul tujuh pagi, sementara jetty sudah sepi. Dari kejauhan tampak seorang anak berseragam putih biru berlari tergesa ke arah jetty. Rupanya dia mengejar perahu yang dipakai temannya untuk menyeberang ke sekolah. Pagi itu, hanya tiga siswa yang berhasil berangkat ke sekolah.

Jumat, 15 Agustus 2014

Harmoni di Teluk Bintuni, Sekilas Tentang Babo

Lantunan ayat-ayat suci Al Quran terdengar sayup-sayup dari arah masjid. Beberapa anak terlihat berlarian di serambi masjid. Di luar, senja sudah menua, gelap perlahan menyergap. Hanya beberapa titik cahaya lampu yang terlihat sepanjang jalan. Kala itu, Babo sedang dilanda krisis listrik. Sudah beberapa bulan terakhir PLN tak mampu memenuhi kewajibannya. Alhasil, Babo gelap gulita saat malam tiba. Hanya beberapa rumah dan kios yang memiliki genset saja yang bisa menyalakan lampu.
masjid di Babo
Raungan genset masjid mengiringi merdunya suara anak-anak yang sedang mengaji. Mereka tidak hanya melakukan rutinitas mengaji ba’da Maghrib saja, tetapi sedang melakukan latihan. Ya, latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi kejuaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Dalam beberapa tahun terakhir, Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Kini mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

Babo, salah satu distrik di kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Babo merupakan salah satu daerah yang maju di Teluk Bintuni. Terdapat bandara di distrik ini, sebuah bandara peninggalan jaman perang yang kembali difungsikan untuk keperluan transportasi bagi suatu perusahaan. Bandara Babo menjadi pintu masuk bagi para staf perusahaan gas asing tersebut untuk menuju ke beberapa lokasi proyek di wilayah Teluk Bintuni. Babo juga memiliki jetty/dermaga besar yang menjadi tempat transit kapal dari Sorong menuju Bintuni maupun sebaliknya. Selain itu, distrik ini juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Barang-barang dari Sorong didrop di Babo untuk kemudian disalurkan ke berbagai daerah di Teluk Bintuni termasuk di kota Bintuni sendiri.
kampung Babo
Suku Irarutu adalah warga asli di Babo, selain itu ada beberapa suku lain termasuk pendatang seperti dari Jawa, Buton, Toraja, dan suku-suku dari Papua lainnya. Pendatang, terutama orang Jawa dan Buton kebanyakan menempati area jetty kecil. Selain jetty besar, babo juga memiliki jetty kecil tempat ketinting dan perahu kecil nelayan bersandar. Banyak kios di sini yang menyediakan pakaian, peralatan elektronik, perkakas dapur, sampai sirih pinang yang sudah menjadi “candu” bagi orang Papua. Jual beli ikan dan hasil laut lain juga dapat ditemui di sini. Beberapa kios makanan besar berkumpul di sini, termasuk juga pangkalan minyak tanah. Bisa dikatakan pusat perdagangan di Babo ada di area jetty kecil.

Masyarakat Babo tergolong multietnis, karena terdiri dari berbagai suku meski Irarutu masih menjadi suku yang dominan. Beragamnya suku yang ada tidak menimbulkan perselisihan yang parah. Mereka hidup berdampingn dengan damai dan tenang. Keragaman suku di Babo menjadikan mereka saling melengkapi. Orang Jawa yang terkenal dengan masakannya membuka warung makan di sana, dan hampir semua warung makan di Babo dimiliki orang Jawa. Etnis Tionghoa yang dikenal pandai berdagang membuka beberapa toko kelontong besar. Orang Papua yang dikenal dengan fisiknya yang kuat berprofesi sebagai TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Sementara itu, orang Buton yang dikenal sebagai pelaut ulung bertugas menyediakan ikan dan hasil laut lain. Penggolongan pekerjaan berdasarkan suku tidaklah mutlak demikian, namun itu dapat menjadi sedikit gambaran tentang salah satu keuntungan masyarakat multietnis.
anak-anak Babo
Warga Babo juga cukup taat beribadah. Hal ini bisa dilihat dari masjid utama yang selalu ramai oleh anak-anak yang mengaji mulai ba’da maghrib sampai Isya’. Hampir tiap sore juga terlihat mace-mace berangkat pengajian ke rumah tetangganya. Di sini juga ada tradisi unik dalam menyelenggarakan upacara pernikahan. Tabuhan rebana dan sholawat mengiringi pengantin yang diarak keliling kampung. Mirip seperti di Jawa, di Babo juga sering diadakan semacam tahlilan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Meski bukan mayoritas, warga nampak antusias dalam merayakan natal. Suasana menjelang natal di Babo cukup meriah dengan letusan kembang api yang terdengar sambung-menyambung. Tiga gereja yang ada dipenuhi jemaat yang melakukan ibadah di malam natal. Semua acara keagamaan itu mereka tanggapi dengan saling toleransi sehingga tercipta harmoni.
gereja di seberang lapangan Babo
Itulah sedikit gambaran mengenai Babo. Salah satu Distrik di Teluk Bintuni yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Sebuah kota kecil yang memiliki peran penting di kawasan Teluk Bintuni.

Selasa, 22 Juli 2014

Safari Masjid Papua Barat (3): Sebuah Catatan

14056774801636613206
masjid Al Ikhlas Tofoi

Usai berkeliling di kampung Otoweri, kita lanjutkan perjalanan menuju ke Tofoi. Perjalanan total sekitar enam jam harus ditempuh dari Otoweri ke Tofoi. Kembali menyusuri teluk Bintuni ke arah timur, kemudian berbelok ke selatan masuk ke sebuah sungai menuju kampung Tofoi. Di kawasan teluk Bintuni, wilayah perairan menjadi jalur utama transportasi. Teluk Bintuni bisa diibaratkan sebagai jalan raya dengan banyak sungai di tepiannya sebagai jalan masuk menuju kampung-kampung. Dibutuhkan waktu lebih dari sejam perjalanan dari muara menuju ke kampung Tofoi.

14056773581505052513
jetty kampung Tofoi

Kampung Tofoi masuk dalam distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni. Terdapat 400-an KK yang menghuni kampung ini dengan jumlah penduduk mencapai hampir 2000 orang. Dibandingkan beberapa kampung sebelumnya, Tofoi relatif ramai. Sama seperti Babo, Tofoi juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Di sini terdapat perusahaan kayu yang cukup besar dan mempekerjakan ratusan karyawan. Kampung Tofoi juga memiliki warga yang multietnis. Warga asli suku Sumuri kebanyakan menghuni kampung bagian dalam sedangkan para pendatang tinggal di sekitar jetty.

14056774321615669528
senja di kampung Tofoi

Populasi Muslim di kampung Tofoi sekitar 25% dari penduduk Tofoi. Sebagian besar dari warga Muslim adalah pendatang, hanya sedikit warga asli (Papua) yang beragama Islam. Masjid yang ada di kampung ini pun hanya ada satu. Masjid Al Ikhlas, sebuah masjid sederhana terletak di puncak sebuah bukit kecil. Bangunan masjid berbentuk panggung dengan lantai kayu sebagai alasnya. Dinding masjid terbuat dari kayu bercat putih yang disusun secara vertikal. Pagar kayu berwarna hijau mengelilingi masjid dan berfungsi sebagai pembatas serambi yang cukup sempit. Atap masjid berupa seng yang disusun bertumpuk dua, atap bagian atas berbentuk seperti atap rumah Joglo. Lantai di bagian dalam masjid dilapisi oleh karpet hijau, sedangkan empat shaf pertama dilapisi lagi dengan karpet sajadah. Tidak ada ornamen dan hiasan yang menonjol di dalam masjid, hanya beberapa lukisan kaligrafi sederhana saja.

Ruangan utama masjid Al Ikhlas Tofoi hanya dapat menampung sekitar 200 jamaah, sehingga saat sholat Jumat jamaah membludak sampai serambi dan halaman masjid. Keterbatasan daya tampung ini adalah penyebab utama didirikannya bangunan masjid baru tepat di sebelah masjid Al Ikhlas. Letak masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman para pendatang yang beragama Islam seperti suku Jawa, Buton, dan Bugis. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai di bidang perdagangan, mulai dari pedagang kelontong kecil-kecilan, pedagang pasar, sampai buka warung penyetan. Para pendatang berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda. Namun sampai saat ini mereka tetap hidup rukun baik antar sesama pendatang maupun dengan warga asli sebagai pemilik tanah ulayat/adat.

14056775321324327812
ruangan utama masjid Al Ikhlas

Ada satu kesamaan yang mencolok dari kelima masjid tersebut yaitu memiliki atap tumpang. Pada bagian atap paling bawah menaungi ruangan berbentuk segiempat. Kemudian atap di atasnya semakin mengecil dengan puncak atap teratas biasanya diletakkan kubah kecil. Bentuk atap seperti itu sangat mirip dengan masjid-masjid di Jawa yang berakulturasi dengan kebudayaan Hindu.

Tidak banyak warga lokal yang tahu mengapa ada kemiripan bentuk atap masjid mereka dengan masjid di Jawa. Pengaruh arsitektur Jawa di masjid-masjid tersebut karena bantuan pembangunan masjid kebanyakan berasal dari luar termasuk juga desain bangunannya. Bisa jadi orang yang membangun masjid adalah tukang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan bentuk bangunan masjid di tempat asal mereka.

Tofoi adalah tujuan terakhir sebelum kembali lagi ke Babo untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Sorong dan kembali pulang. Lima masjid, lima kampung di Papua Barat. Kelimanya memiliki kisah tersendiri. Kisah tentang masjid dan para jamaahnya. Kisah tentang kondisi sosial masyarakat setempat. Dan kisah tentang keragaman budaya yang disatukan dalam naungan Islam.

Safari Masjid Papua Barat (2): Sepinya Surau Kami



1405406496297737940
luas dan lengang

Di seberang kampung Sidomakmur, terdapat kampung Wimro. Sama seperti Sidomakmur, Wimro dulunya adalah wilayah transmigrasi. Pabrik udang menjadi daya tarik pendatang untuk mengadu nasib di sana. Pabrik udang Jayanti yang sempat berjaya di era 90-an mempekerjakan ribuan buruh. Jayanti adalah perusahaan milik keluarga Cendana yang memiliki beberapa unit usaha di Teluk Bintuni, salah satunya adalah pabrik udang di Wimro. Seiring dengan runtuhnya era orde baru, pada awal 2000-an Jayanti bangkrut dan menghentikan kegiatan operasional pabriknya. Perlahan Wimro semakin sepi ditinggal para buruh yang kehilangan pekerjaannya.

1405406650387075953
jalan masuk kampung Wimro

Tak lebih dari 100 KK tinggal di kampung utama. Itu pun sebagian dari mereka adalah nelayan yang sering meninggalkan kampung beberapa hari saat melaut. Begitu sepi kampung itu, sama seperti masjidnya yang sepi dari aktivitas ibadah. Masjid Miftahul Huda, sebuah masjid besar nan megah memiliki halaman yang luas. Masjid yang dindingnya terbuat dari kayu itu memiliki atap tumpang berwarna hijau. Serambi masjid berlantai tegel hitam dibatasi pagar kayu. Ruangan dalam masjid begitu luas, dengan lantai keramik putih dan keramik merah yang menjadi pembatas shaf. Di empat sisi dindingnya terdapat kaligrafi ayat-ayat suci Al Quran. Banyak kipas angin menggantung di langit-langit, siap sedia untuk membuat nyaman para jamaah di tengah cuaca Papua yang sangat panas. Masjid megah itu mampu menampung ratusan jamaah.

1405406714914945614
masjid Miftahul Huda Wimro

Namun kini tak lagi didapati masjid penuh sesak oleh Jamaah. Selama lima hari saya di sana, tak satu warga pun terlihat sholat di masjid. Bahkan saya tak pernah sekalipun mendengar suara adzan berkumandang dari masjid itu. Bukannya sudah tidak ada muslim lagi di sana. Justru penghuni beberapa rumah di dekat masjid beragama Islam. Memang di kampung Wimro ini, umat muslim cukup sedikit karena sudah banyak di antaranya yang pindah akibat tidak memiliki pekerjaan lagi di sana. Sebenarnya di area masjid sendiri tinggal sepasang suami-istri, si suami didaulat menjadi takmir masjid. Selama kami di sana kebetulan Bapak itu sedang melaut sehingga aktivitas di masjid  berhenti total. Jika si Bapak sedang di rumah, dialah yang mengumandangkan adzan dan mengimami sholat jika ada jamaah.

14054068461031178919
Entah sejak kapan aktivitas ibadah di masjid ini berhenti total dan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang pasti setiap memasuki ruangan masjid, hanya kesunyian yang menyambut kami. Tak ada barisan rapat jamaah yang sedang sholat, tak terdengar keriuhan anak-anak yang sedang mengaji, tak pula terdengar suara adzan. Debu tipis menyelimuti lantai, meski demikian keramik putih itu masih bisa memantulkan bayangan walaupun tidak sesempurna dulu. Beberapa eksemplar Al Quran teronggok rapi di dalam lemari, sepertinya sudah lama tidak dijamah. Masjid Miftahul Huda Wimro, masjid megah yang ditinggalkan. Sampai sekarang masjid itu masih berdiri dengan kokoh meski hanya segelintir orang yang peduli terhadapnya.

Tak ingin ikut larut dalam kesepian, sudah saatnya untuk berpindah ke kampung selanjutnya. Destinasi selanjutnya adalah kampung Otoweri. Untuk menuju ke sana, kita harus mengarungi perairan terbuka teluk Bintuni menggunakan ketinting. Perjalanan cukup mulus ketika melewati sungai besar di kawasan Wimro. Memasuki muara, ombak makin meninggi disertai angin kencang. Sempat kembali ke sungai untuk menunggu badai reda, akhirnya siangnya kapal bisa melewati muara dan lanjut mengarungi teluk Bintuni.
Perjalanan seharian harus kami tempuh setelah terjebak badai di muara. Jam 8 malam sampailah kami di Otoweri. Otoweri masuk dalam wilayah Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kampung kecil ini hanya dihuni sekitar 70-an KK yang mayoritasnya bekerja sebagai nelayan. Cukup banyak pendatang seperti orang Buton, Bugis, dan Jawa yang tinggal di sini. Namun orang Papua masih jadi yang terbanyak. Berbeda dengan beberapa kampung sebelumnya, orang Papua di kampung ini cukup beragam karena terdiri dari beberapa suku dan marga.

14054070771851413516
jalan kampung

Kampung Otoweri hanya memiliki satu tempat ibadah, yaitu Masjid Baburrahman. Dinding masjid ini berupa tembok berwarna putih. Atapnya bersusun tiga, terbuat dari seng yang dicat hijau. Di puncak atap terdapat kubah kecil dengan hiasan bintang di atasnya. Di sekeliling masjid terdapat pagar kayu setinggi setengah meter yang berfungsi mencegah hewan masuk ke area masjid. Serambi masjid dibatasi oleh pagar tembok dengan dua buah pintu di dua sisi.

14054071362092666930
masjid Baburrahman Otoweri

Ruangan utama masjid cukup luas, dapat menampung sekitar 250 jamaah. Lantai masjid berupa keramik putih dan keramik hijau sebagai batas shaf. Terdapat empat tiang penyangga utama terbuat dari kayu besi, jenis kayu ini masih sangat mudah ditemukan di Papua. Terdapat beberapa lampu menempel di langit-langit, namun sayangnya lampu ini tidak berfungsi karena tak ada listrik.

1405407274823830275
ruang utama masjid Baburrahman

Masjid Baburrahman ini bisa dibilang megah dan luas untuk ukuran kampung kecil nan terpencil seperti Otoweri. Namun sangat disayangkan, masjid ini juga sepi dari aktivitas ibadah. Sangat jarang suara adzan dikumandangkan dari dalam masjid. Dari pagi sampai sore hampir tidak ada warga yang berkunjung ke masjid. Hanya pada malam hari saja seseorang datang ke masjid untuk menyalakan pelita. Bahkan saat jumat siang, hanya berkumpul lima orang warga termasuk seorang anak kecil di masjid. Ditambah kami, jamaah sholat jumat hanya delapan orang. Sempat terjadi kebingungan di antara kami karena jamaah terlalu sedikit untuk menunaikan sholat Jumat.

Menurut sang imam, kejadian ini sudah biasa. Siang hari kebanyakan warga laki-laki pergi melaut. Sebenarnya sempat diberlakukan sebuah peraturan bahwa setiap hari Jumat tidak ada kegiatan melaut. Barang siapa yang pergi melaut di hari Jumat dan tidak menunaikan sholat Jumat akan diberi sanksi berupa denda sejumlah uang. Peraturan itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, setelah itu kembali ke kondisi semula. Sang Imam sempat menawarkan salah satu di antara kami sebagai orang yang menyerahkan tongkat ke Imam karena orang yang biasa melakukan itu sedang melaut. Karena di antara kami tidak ada yang bisa ritual penyerahan tongkat itu, khotbah pun urung terlaksana. Sang Imam memutuskan untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat saja.

Hampir semua warga Otoweri adalah Muslim, baik warga asli maupun pendatang. Kondisi ekonomi mereka bisa dikatakan relatif bagus karena ditunjang sektor perikanan yang sangat menghasilkan. Udang sebagai komoditas andalan nelayan di sini sangat mudah diperoleh. Hanya dengan mendayung sampan di sekitar muara, berkilo-kilo udang bisa mereka dapatkan. Jetty/dermaga kampung sering kali dijadikan sebagai tempat bersandar sampan dari kampung sebelah dan kadang sebagai tempat transit ketinting. Bisa dikatakan kegiatan perekonomian di sini cukup ramai. Warga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing sehingga tidak sempat ke masjid dan bahkan tidak bisa menyisihkan waktu luang untuk menunaikan sholat Jumat.

Safari Masjid Papua Barat (1): Mengenal Muslim Lokal dan Masjidnya

Pesawat baling-baling yang kami tumpangi baru saja mendarat di sebuah bandara kecil yang berada di tengah padang rumput luas dengan hutan hujan sebagai batasnya. Bandara ini dulunya digunakan sebagai lapangan udara militer saat perang dunia kedua. Saat ini bandara Babo diambil alih sebuah perusahaan gas yang biasanya digunakan untuk memfasilitasi karyawannya namun dapat dipakai juga oleh pesawat komersial umum. Babo adalah persinggahan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat lain di kawasan Teluk Bintuni. Sebuah kota kecil yang menjadi salah satu pusat perekonomian di kawasan Teluk Bintuni. Dibanding beberapa distrik/kecamatan lain di Teluk Bintuni, distrik Babo terbilang modern dan memiliki fasilitas umum relatif lengkap.

1405329785663307591
mendarat di bandara Babo
Tak sampai lima menit menggunakan mobil sampailah kami di kantor distrik, yang juga merupakan pusat distrik Babo. Dari sini kita dapat dengan mudah mengakses berbagai fasilitas umum seperti puskesmas, sekolah, dan masjid. Untuk mencapai masjid hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit dari kantor distrik. Masjid Miftahul Jannah adalah masjid terbesar di Babo. Masjid yang mampu menampung sekitar 200 jamaah ini memiliki serambi yang luas. Serambi masjid dibatasi oleh pagar setinggi sekitar setengah meter. Sebuah bedug ukuran cukup besar diletakkan di serambi masjid bagian depan. Ruangan dalam dan serambi masjid dilapisi lantai keramik. Empat buah tiang beton yang terletak di bagian dalam menjadi penopang utama atap masjid yang berbentuk tumpang.

1405329898569478215
masjid Miftahul Jannah Babo
Ada tiga masjid/mushola di Babo, namun masjid Miftahul Jannah lah yang paling sering mengadakan berbagai kegiatan di luar sholat berjamaah. Saat saya ke sana pada Oktober 2013, setiap ba’da Maghrib diadakan latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Beberapa tahun terakhir Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ Papua Barat mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Saat itu mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

14053301131469923901
serambi tempat anak-anak mengaji
Warga Babo terbilang multietnis karena terdiri dari beragam suku seperti Jawa, Buton, Toraja, dan Irarutu sebagai suku asli. Suku Irarutu yang tinggal di Babo kebanyakan beragama Islam. Beberapa suku asli di Papua Barat memang sudah memeluk Islam sejak lama. Banyak sumber yang menjelaskan sejarah dakwah Islam di Papua, salah satunya adalah pengaruh kesultanan Tidore yang memiliki wilayah kekuasaan di sebagian Papua Barat. Pengaruh tersebut berdampak pada adat dan budaya warga Babo cukup kental dengan nilai keislaman. Prosesi pernikahan, adalah salah satu tradisi lokal yang sarat nilai keislaman. Dalam tradisi tersebut pengantin akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana dan sholawatan. Di sore hari seringkali dijumpai mace-mace yang jalan berombongan ke rumah tetangganya untuk mengikuti pengajian. Tradisi dan kebiasaan itu masih lestari hingga kini.

Beranjak dari Babo, kita menuju ke kampung Sidomakmur. Ketinting menjadi satu-satunya transportasi umum dari Babo ke Sidomakmur. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kampung Sidomakmur. Sidomakmur, sebuah nama yang sangat berbau Jawa. Dan memang kampung ini banyak dihuni oleh perantau asal Jawa sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah membangun sebuah area transmigrasi di era 90-an. Kampung ini sangat kecil dan hanya dihuni oleh 100 KK. Tidak begitu luas, hanya dihubungkan oleh rangkaian papan kayu yang mengelilingi kampung. Semua rumah dan fasilitas di Sidomakmur terbuat dari kayu karena itu kampung ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Kayu Indonesia (RKI).

1405330335319923185
salah satu sudut kampung Sidomakmur
Sidomakmur hanya memiliki sebuah masjid yang terletak di tengah kampung. Masjid itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, hanya atapnya saja yang dari seng. Di serambi masjid terdapat bedug ukuran sedang yang diletakkan di salah satu sudut bagian depan. Ruangan dalam masjid begitu bersih dengan keramik yang menutupi seluruh lantainya. Warna dominan biru memberikan kesejukan saat memasuki masjid. Ditopang oleh empat kayu utama, semakin memperkokoh masjid ini. Meski tidak ada pasokan listrik dari PLN, masjid tetap terang saat malam dan bisa mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Itu semua berkat listrik hasil swadaya masyarakat dengan menggunakan genset kampung.

14053304801848382992
tetap terang saat malam
14053306721447776769
ruangan utama masjid
Selalu ada sholat jamaah di awal waktu. Kebanyakan warga yang ikut sholat jamaah adalah warga di sekitar masjid, wajah-wajah mereka tidak asing lagi. Ya.. mereka adalah orang Jawa yang menjadi mayoritas di kampung ini. Penggunaan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari sangat lumrah di sini. Orang Madura yang di tempat asalnya kesulitan berbahasa Jawa, di sini dapat diajak ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Bahkan orang non Jawa seperti orang Maluku, Buton, dan Papua sendiri sesekali terdengar menggunakan bahasa Jawa saat berbelanja di kios milik orang Jawa. Bisa dibilang, Sidomakmur adalah Papua rasa Jawa.

Senin, 21 Juli 2014

Senandung Merdu dalam Kesunyian Kampung Wimro

Hitam kulit, keriting rambut... Aku Papua” seorang pemuda berkulit hitam dan berambut keriting pendek mendendangkan lagu “Aku Papua”. Diiringi petikan gitar, dia bernyanyi di teras rumahnya yang terletak di pinggir kali. Suaranya yang merdu khas orang timur memecah kesunyian kampung Wimro sore itu.


1391754555637453696
kampung Wimro (dok. pribadi)

Wimro, sebuah kampung kecil di kawasan Teluk Bintuni Papua Barat memiliki sejarah yang unik. Kampung ini dulunya merupakan area pabrik udang Jayanti milik keluarga Cendana. Di era 90-an, perusahaan udang Jayanti mengalami kejayaan di Wimro. Ribuan karyawan menyesaki area pabrik dan tinggal di mess-mess yang disediakan perusahaan. Orang-orang dari luar daerah terutama transmigran berbondong-bondong datang menambah populasi di Wimro. Bahkan dibangun juga kampung transmigran di sebelah Wimro yang dinamakan kampung Sidomakmur. 
Udanglah yang menjadi daya tarik bagi pengusaha dan pendatang yang membuat perekonomian di Wimro berkembang pesat. Berton-ton udang dijaring dan kemudian diolah di pabrik. Perairan Wimro memang surganya nelayan udang. Tak perlu jauh-jauh berlayar, cukup mendayung sampan beberapa menit dan menebar jala. Tak lama kemudian jaring sudah dijejali udang. Bisa dibayangkan berapa hasil yang didapat kapal besar milik Jayanti waktu itu. Namun, kejayaan Jayanti tidak berlangsung lama. Awal tahun 2000-an, perusahaan itu bangkrut. Tidak hanya pabrik udangnya saja tetapi pabrik loging di Tofoi (masih di area Teluk Bintuni) milik Jayanti Group juga ikut tutup. Di masa jayanya, Jayanti memang memiliki beragam usaha di Teluk Bintuni. Akhirnya perusahaan milik penguasa Orde Baru itu kolaps seiring jatuhnya kekuasaan Orba di akhir 90-an.
Tutupnya pabrik, membuat kampung menjadi sepi kembali. Para karyawan yang sudah tak punya pekerjaan lagi pergi meninggalkan kampung. Namun ada juga beberapa yang bertahan di sana sampai sekarang. Mereka memilih bertahan dengan berbagai alasan salah satunya karena hasil laut yang masih menjanjikan. Meski sudah berkurang banyak, udang di perairan Wimro masih dirasa cukup layak untuk dijadikan “pegangan”. Selain udang, masih ada kepiting mangi-mangi (rawa) yang juga memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Sampai sekarang, warga masih bisa dengan mudah mendapatkan kepiting. Menggunakan perangkap kawat berbentuk balok, mereka tinggal memasangnya di pinggir rawa. Tak sampai sehari, perangkap itu sudah penuh sesak oleh kepiting dengan ukuran yang beragam.


1391754633917053439
nelayan penangkap kepiting (dok. pribadi)
13917546781817900356
kepiting mangi-mangi yang berhasil ditangkap (dok. pribadi)

Sebenarnya ada beberapa perusahaan yang mencoba menghidupkan pabrik udang di Wimro karena hasil udang masih cukup menjanjikan. Namun karena beberapa kendala, pabrik itu kembali tutup. Saat saya ke Wimro pada November 2013, pabrik udang kembali dibuka oleh PT Timika Samudera sejak 4 bulan sebelumnya. Beberapa warga sekitar direkrut sebagai karyawan. Kapal-kapal yang mangkrak di jetty pabrik, sebagian kembali dioperasikan. Menurut pengakuan seorang nahkoda, dalam sekali trip (2 minggu) mereka bisa menjaring udang 3 ton dengan kapal besarnya. Jika harga udang 50 ribu/kg, maka udang 3 ton bernilai 150 juta. Jadi dalam sebulan, satu kapal bisa menghasilkan 300 juta. Sebuah hasil yang cukup menjanjikan meski setelah dikurangi berbagai biaya operasional. Meski demikian, dikabarkan pabrik udang itu akan tutup beberapa bulan lagi. Alasannya adalah karena adanya konflik dengan warga lokal pemilik tanah adat.


1391754783143043357
kapal milik perusahaan udang bersandar di jetty pabrik (dok. pribadi)

Tak terlihat kesibukan di sekitar pabrik. Hanya sayup-sayup terdengar suara mesin dari dalam pabrik. Sementara mess-mess di sekitar pabrik tampak terbengkalai, hanya beberapa kamar saja yang dihuni karyawan. Di jetty, banyak kapal teronggok begitu saja karena sudah lama tidak terpakai. Bahkan sebagian sudah menjadi onggokan besi tua tak berguna. Meski sudah beroperasi kembali namun kapasitas produksinya masih belum optimal.


13917548361075256546
area pabrik udang Wimro (dok. pribadi)
13917548741401899753
kapal yang terbengkalai (dok. pribadi)

Tak lebih dari 100 KK yang mendiami kampung utama. Selebihnya, populasi terkonsentrasi di di mess-mess sekitar pabrik yang dihuni karyawan yang kebanyakan berasal dari luar kampung. Tidak banyak warga kampung yang bekerja di pabrik. Mereka lebih banyak bekerja sebagai nelayan udang dan kepiting. Sunyi, begitu kesan pertama saya ketika memasuki kampung ini. Jalanan utama tampak sepi, hanya terlihat beberapa orang beraktivitas di dalam rumah. Selain karena penduduknya yang sedikit, siang itu warga masih banyak yang bekerja baik itu melaut maupun kerja di pabrik. 
Sunyi, lagi-lagi saya rasakan di kampung itu. Empat hari tinggal di sana tidak sekalipun saya dengar suara adzan. Muslim memang bukan lagi menjadi mayoritas di Wimro. Dahulu memang mayoritas warga yang didominasi pendatang beragama Islam. Karena itu, di kampung ini terdapat masjid yang cukup megah. Sampai sekarang masjid itu tetap berdiri kokoh. Ironisnya, tidak terlihat satupun warga yang sholat di masjid itu. Padahal di sekitarnya terdapat beberapa keluarga Muslim. Memang takmir masjidnya sedang pergi melaut, tapi tidak adakah warga yang berinisiatif memakmurkan masjid? Ah... kampung sunyi ini terlalu sulit untuk saya pahami.


13917549471100875482
masjid megah yang sepi (dok. pribadi)

Kampung yang terlupakan, begitulah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Wimro. Sisa-sisa kejayaan tempo dulu hanya dapat dilihat dari pabrik udang yang saat ini “mati segan hidup tak mau”. Nyaris tak ada fasilitas umum di kampung ini. Untuk sekolah anak-anak harus menyeberang ke kampung sebelah karena tidak ada sekolah di sini. Bahkan seorang ibu harus membawa anaknya yang sering sakit-sakitan menyeberang ke Sidomakmur untuk mendapatkan perawatan di Pustu (Puskesmas Pembantu). 
Senandung dari sang pemuda sudah tak terdengar lagi. Sunyi pun kembali, mengiringi sang surya menuju peraduannya. Beberapa perahu tertambat di jetty, kosong ditinggalkan pemiliknya. Air begitu tenang, tak mau membuat keriuhan dengan riak gelombangnya. Mentari sudah menghilang di balik cakrawala. Kini, merahnya langit senja menaungi kampung sunyi itu.


1391755067529330118
senja yang sunyi di kampung Wimro (dok. pribadi)

Catatan Kecil: Cinta Bersemi di Jayanti


13917549982123306154
salah satu gedung di pabrik udang Wimro (dok. pribadi)

Jayanti, sebuah perusahaan pengolahan udang besar dengan ribuan karyawan. Orang Jawa, Sulawesi, Maluku, dan tak ketinggalan orang asli Papua bekerja di tempat itu. Banyak dari mereka yang masih lajang. “Terjebak” di sebuah kampung kecil di pelosok Papua dalam waktu yang lama membuat  sering terjadi cinlokdiantara mereka. Mess yang terpisah antara laki-laki dan perempuan tak menyurutkan langkah seorang lelaki untuk mendapat perhatian wanita pujaannya. Seringkali mereka menyambangi mess perempuan untuk mengajaknya kencan atau sekedar cari-cari perhatian. Di sinilah kawin campur terjadi dan melahirkan anak-anak Indonesia, bukan anak Jawa, Maluku, atau Papua. Belasan tahun kemudian, beberapa keluarga memilih untuk menetap di kampung tempat mereka dipertemukan.

Bertandang ke Kampung RKI (Rumah Kayu Indonesia)



139037041558794154
pintu masuk kampung Sidomakmur/RKI (dok. pribadi)

Segelas es dawet menjadi penawar haus yang nikmat siang itu. Matahari Papua terasa begitu terik menyengat. “Bu, dawet e pinten (dawetnya berapa)?” tanyaku, “Tiga ribu, Mas,” jawabnya. Meski sedikit kaget (murah untuk ukuran Papua), kurogoh selembar dua ribuan dan seribuan kumal lalu kuserahkan kepadanya.
Ibu Jawa itu adalah salah satu dari warga kampung Sidomakmur yang mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Ada juga orang Jawa yang kesehariannya berbahasa Madura, mereka berasal dari Probolinggo yang tinggal di dekat jetty (dermaga). Mayoritas mereka bekerja sebagai nelayan udang. Selain orang Jawa, terdapat pula orang Maluku, Buton, dan tentunya orang asli Papua yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Banyaknya orang Jawa, membuat saya tidak merasa asing di sini. Percakapan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Jawa. Orang non-Jawa juga kadang memakai bahasa Jawa untuk percakapan ringan seperti membeli barang di kios, terdengar kaku dan wagu tapi lucu.
Sidomakmur, dikenal juga dengan sebutan RKI (Rumah Kayu Indonesia) terletak di distrik Aroba, Teluk Bintuni, Papua Barat. Sesuai dengan namanya, semua rumah di sana terbuat dari kayu. Tidak hanya itu, jalan penghubung antarrumah juga terbuat dari kayu papan. Kampung kecil yang dihuni sekitar 100 KK itu dulunya adalah kawasan transmigrasi di era 90-an. Namun, banyak transmigran yang tidak betah dan meninggalkan tempat itu. Rumah-rumah yang kosong itu, kemudian ditempati para nelayan udang yang mengadu nasib di perairan RKI. Sebagai bekas area transmigrasi infrastruktur seperti jalan dan perumahan sudah tertata dengan baik. Rumah-rumah panggung tersusun rapi mengikuti jalur jalan papan yang mengelilingi kampung.


13903705131721493617
jalan kampung penghubung antar rumah (dok. pribadi)

Fasilitas publik di RKI terbilang cukup lengkap untuk ukuran kampung di Papua. Fasilitas pendidikan mulai dari TK sampai SMP tersedia di tempat itu. Bangunan sekolah juga terbuat dari kayu, tampak masih baru. Siswanya tidak hanya dari RKI saja, tetapi juga berasal dari kampung Wimro yang tidak memiliki sekolah. Selain sekolah di kampung ini juga terdapat sebuah PUSTU (Puskesmas Pembantu) dan tempat ibadah seperti masjid dan gereja.


13903706171823359701
SD-SMPN Satu Atap Wimro, kampung Sidomakmur (dok. pribadi)

Perairan di sekitar RKI payau airnya. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar, mereka biasa menampung air hujan. Dengan talang, mereka menampung air hujan di drum-drum yang sudah disiapkan. Jika air drum habis, mereka biasa menyedot air dari kolam penampungan air hujan yang ada di sebelah sekolah. Sebagian warga memilih untuk menjadikan air galon untuk memenuhi kebutuhan air minum.


13903707632000579351
kolam penampungan air hujan (dok. pribadi)


Catatan Kecil: Tetap Terang Meski Malam


13903709672111481374
malam tetap terang di jetty RKI (dok. pribadi)

Seperti perkampungan kecil di Papua lain, PLN masih belum bisa menjangkau RKI. Namun berbeda dengan kampung lain yang selalu diselimuti kegelapan dan kesunyian saat malam. Lampu listrik sudah menjadi sumber utama penerangan, bahkan kebanyakan rumah sudah memiliki televisi lengkap dengan parabolanya. Selain itu, ada pula lampu penerangan umum yang dipasang di beberapa titik. Listrik tersebut berasal dari genset, baik genset pribadi maupun genset umum. Ada beberapa genset umum yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan warga. Tidak sedikit rupiah yang harus dikeluarkan untuk menebus fasilitas itu. Dibutuhkan sekitar 10 liter (15 ribu/liter) bensin semalam untuk menghidupkan genset. Bagi warga yang tidak punya genset, bisa memanfaatkan genset umum atau numpang dari genset tetangga dengan tarif tertentu. Biaya listrik biasa dibayar bulanan kepada pemilik genset. Biaya pemakaian listrik, dihitung per alat elektronik (lampu apa pun jenisnya tarifnya 100 ribu/bulan, sedangkan untuk TV tarifnya 300 ribu/bulan). Untuk alat elektronik lain, menyesuaikan dengan besaran watt-nya. Ratusan ribu hingga jutaan rupiah mereka keluarkan tiap bulannya untuk kebutuhan listrik. Cukup besar memang, tapi perekonomian di RKI yang relatif mapan membuat mereka mampu memenuhinya.