Kamis, 04 Februari 2016

Senja Sempurna Sabana Sumba

gedung sekolah (Tim M)
Sore di Waitama biasa kami habiskan untuk bersantai-santai sambil menunggu waktu berbuka. Dua kawan cewek biasanya sibuk masak, sedangkan kami para lelaki sibuk melayani ajakan anak-anak main bola di lapangan sekolah. Cukup adil mungkin karena kami punya tugas dan kesibukan masing-masing. Meski kadang kami ikut juga bantu para nona, sekadar ngidupin kompor atau angkut air dari luar ke dalam.

Tak seperti biasanya, sore ini kebetulan anak-anak tak datang ke sekolah. Makanan untuk berbuka sudah hampir lengkap tersedia, tinggal menunggu “bedug” Maghrib. Bosan hanya berdiam diri saja, aku pun ngajak kawan-kawan untuk naik ke bukit belakang sekolah. Bukit dengan tinggi sekira seratus meter yang biasa dilewati para siswa dari kampung Paddi. Sudah sejak lama aku penasaran ingin sampai di puncak bukit itu sambil melihat matahari terbenam. Momen selo inilah yang kutunggu-tunggu. Namun tak ada yang mau, kecuali seorang kawan perempuan saja yang bersedia ikut. Akhirnya hanya kami berdua yang naik sore itu.

Jalan setapak menanjak harus dilalui untuk mencapai puncak. Cukup terjal dan sedikit licin karena kemarin habis hujan. Tak sampai 15 menit kami sudah sampai di atas. Sedikit ngos-ngosan memang karena kami jalan agak cepat untuk mengejar momen sunset. Dari puncak bukit, tampak dengan jelas hamparan sabana Sumba. Gundukan bukit-bukit terlihat menguning karena keringnya rerumputan di musim kemarau. Sementara di kejauhan nampak sekumpulan atap rumah menara, di situlah kampung Paddi berada. Kampung tempat beberapa siswa tinggal. Tiap hari dua bukit, dua lembah, dan dua jam perjalanan harus mereka tempuh untuk sekolah. Dan tepat di bawah bukit gedung sekolah yang sederhana tampak megah terpapar sinar mentari sore.
jelang terbenam, dari bukit belakang sekolah (Tim M)
Sedikit obrolan ringan mengantar kepulangan sang surya kembali ke peraduannya. Sementara itu angin musim kering berhembus makin kencang. Menggandakan hawa dingin yang terasa cukup menusuk. Beruntung, matahari masih menyisakan sedikit kehangatannya. Rerumputan tampak menunduk dalam-dalam, tak kuasa menahan hembusan angin yang begitu kuat menerpa. Matahari sudah hampir mendekati batas cakrawala. Berdua dalam diam, kami menatap jauh ke ufuk barat. Melihat ritual harian sang mentari setiap sore. Hening, hanya terdengar gemuruh lembut dari angin yang berhembus. Bola cahaya itu perlahan mulai menghilang di balik barisan bukit-bukit. Terang berubah remang, sabana yang tadinya menguning makin terlihat suram.

Tak bisa berlama-lama menikmati suasana senja Sumba. Kami harus segera turun karena keburu gelap, ga bawa senter pula. Lagian sekarang sudah Maghrib, waktunya buka puasa. Lupa tadi ga bawa minum, jadinya harus segera turun. Sudah seharian terpapar panasnya matahari Sumba, dengan kegiatan lapangan yang tetap berjalan seperti biasa. Membuat lapar dan haus kembali terasa setelah tadi terbius oleh senja sempurna di sabana Sumba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar