gedung sekolah (Tim M) |
Sore di Waitama biasa kami
habiskan untuk bersantai-santai sambil menunggu waktu berbuka. Dua kawan cewek
biasanya sibuk masak, sedangkan kami para lelaki sibuk
melayani ajakan anak-anak main bola di lapangan sekolah. Cukup adil mungkin
karena kami punya tugas dan kesibukan masing-masing. Meski kadang kami ikut
juga bantu para nona, sekadar ngidupin kompor atau angkut air dari luar ke dalam.
Tak seperti biasanya, sore ini
kebetulan anak-anak tak datang ke sekolah. Makanan untuk berbuka sudah hampir
lengkap tersedia, tinggal menunggu “bedug” Maghrib. Bosan hanya berdiam diri
saja, aku pun ngajak kawan-kawan untuk naik ke bukit belakang sekolah. Bukit
dengan tinggi sekira seratus meter yang biasa dilewati para siswa dari kampung
Paddi. Sudah sejak lama aku penasaran ingin sampai di puncak bukit itu sambil
melihat matahari terbenam. Momen selo
inilah yang kutunggu-tunggu. Namun tak ada yang mau, kecuali seorang kawan
perempuan saja yang bersedia ikut. Akhirnya hanya kami berdua yang naik sore
itu.
Jalan setapak menanjak harus
dilalui untuk mencapai puncak. Cukup terjal dan sedikit licin karena kemarin
habis hujan. Tak sampai 15 menit kami sudah sampai di atas. Sedikit ngos-ngosan
memang karena kami jalan agak cepat untuk mengejar momen sunset. Dari puncak
bukit, tampak dengan jelas hamparan sabana Sumba. Gundukan bukit-bukit terlihat
menguning karena keringnya rerumputan di musim kemarau. Sementara di kejauhan
nampak sekumpulan atap rumah menara, di situlah kampung Paddi berada. Kampung
tempat beberapa siswa tinggal. Tiap hari dua bukit, dua lembah, dan dua jam
perjalanan harus mereka tempuh untuk sekolah. Dan tepat di bawah bukit gedung
sekolah yang sederhana tampak megah terpapar sinar mentari sore.
jelang terbenam, dari bukit belakang sekolah (Tim M) |
Sedikit obrolan ringan mengantar
kepulangan sang surya kembali ke peraduannya. Sementara itu angin musim kering berhembus
makin kencang. Menggandakan hawa dingin yang terasa cukup menusuk. Beruntung,
matahari masih menyisakan sedikit kehangatannya. Rerumputan tampak menunduk
dalam-dalam, tak kuasa menahan hembusan angin yang begitu kuat menerpa.
Matahari sudah hampir mendekati batas cakrawala. Berdua dalam diam, kami
menatap jauh ke ufuk barat. Melihat ritual harian sang mentari setiap sore.
Hening, hanya terdengar gemuruh lembut dari angin yang berhembus. Bola cahaya
itu perlahan mulai menghilang di balik barisan bukit-bukit. Terang berubah
remang, sabana yang tadinya menguning makin terlihat suram.
Tak bisa berlama-lama menikmati suasana senja Sumba.
Kami harus segera turun karena keburu gelap, ga bawa senter pula. Lagian
sekarang sudah Maghrib, waktunya buka puasa. Lupa tadi ga bawa minum, jadinya
harus segera turun. Sudah seharian terpapar panasnya matahari Sumba, dengan
kegiatan lapangan yang tetap berjalan seperti biasa. Membuat lapar dan haus
kembali terasa setelah tadi terbius oleh senja sempurna di sabana Sumba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar