Jumat, 11 Maret 2016

Menuju Ketungau, Beranda Indonesia yang Terlupakan

jembatan Kapuas yang menghubungkan Sintang dengan wilayah Ketungau
Hujan deras mengawali perjalanan kami dari kota Sintang menuju ke Ketungau Hilir. Sebuah kecamatan yang terletak di daerah aliran sungai Ketungau, anak sungai Kapuas. Ketungau Hilir merupakan pemekaran dari Kecamatan Ketungau, Kabupaten Sintang yang kini menjadi tiga kecamatan (Ketungau Hulu, Ketungau, Ketungau Hilir). Untuk menuju Ketungau dari Sintang hanya ada satu jalan penghubung. Jalan tanah merah, sama seperti jalan penghubung daerah hulu lain di Kalimantan Barat. Belum ada aspal, hanya tanah merah yang berdebu bila kering dan lengket selepas hujan.

Tanah merah nan licin harus ditapaki setelah melewati batas aspal terakhir di dekat jembatan. Bukannya berteduh menunggu hujan reda, justru perjalanan tetap dilanjutkan. Derasnya hujan memang menjadikan jalanan licin namun tanah di sisi lain tanah tidak menempel di roda karena langsung terguyur air. Jika selepas hujan maka tanah akan sangat lengket dan sangat mengganggu laju roda. Jika tanah yang melekat sudah banyak, seringkali pengendara terpaksa harus mencongkel gumpalan tanah itu. Untuk mengatasinya ada yang memakai semacam besi yang dilingkarkan melintang di roda untuk mengurangi tempelan tanah saat roda berputar. Namun tak semua motor dilengkapi dengan alat itu, jadi jalan saat hujan merupakan pilihan terbaik.

Langit masih saja melimpahkan airnya. Genangan mulai timbul di sana-sini. Sementara itu roda motor masih melaju sambil sesekali terseok karena licinnya jalan. Jika hujan terus mengguyur, lama-lama genangan kecil itu akan berubah jadi kubangan besar yang menutup seluruh badan jalan dengan kedalaman bisa mencapai semeter. Di puncak musim hujan biasanya banyak terdapat kubangan di sepanjang jalan menuju Ketungau ini. Di saat seperti inilah warga sekitar berinisiatif membangun jembatan sederhana dari papan kayu di tepi jalan yang hanya bisa dilalui motor. Jembatan itu dibuat di daerah yang terdapat kubangan lebar dan dalam sehingga sangat riskan jika dilalui motor. Tentunya fasilitas itu tak gratis, beberapa ribu harus dikeluarkan untuk melintas jembatan itu. Tidak hanya jembatan, kadang warga hanya memberi papan di beberapa kubangan kecil yang disediakan sebagai “fasilitas” khusus bagi pemotor. Ada belasan titik fasilitas darurat berbayar itu, sehingga membuat biaya perjalanan saat musim hujan jadi membengkak.

Sudah sekitar 5 jam perjalanan dari Sintang, sampailah kami di desa Semajau Mekar, Ketungau Hilir. Desa ini merupakan daerah transmigrasi dan kebanyakan penghuninya adalah orang Jawa. Ada juga warga lokal yang difasilitasi pemerintah untuk mendapat kaplingan transmigrasi. Di sini memang disediakan kuota khusus untuk warga lokal dengan tujuan pembauran dan agar daerah transmigrasi tidak terkesan eksklusif. Dan benar saja beberapa tahun kemudian mulai ada beberapa orang Dayak yang semula tinggal di dalam hutan mulai berpindah ke desa. Saat ini sudah banyak orang Dayak lokal yang bermukim di desa.

Rata-rata warga di desa Semajau Mekar ini bertani dan berladang. Buah, sayuran, singkong, jagung, dan padi adalah tanaman yang biasa mereka tanam. Khusus untuk padi, mereka memakai sistem ladang berpindah. Namun akhir-akhir ini mulai dikembangkan sawah irigasi. Dengan bantuan dari pemerintah, mereka buat saluran irigasi sehingga sawah itu bisa panen 3 kali dalam setahun. Akan tetapi sawah irigasi itu baru semacam percontohan saja, ladang berpindah masih jadi pilihan utama karena dinilai lebih praktis.

Malam ini kami menginap di rumah Pak Kepala Sekolah. Saat itu ada beberapa tetangga dan kerabat yang sedang berada di rumah Pak Kepsek. Malam mulai larut, salah seorang kerabat yang rumahnya agak jauh minta pinjam motor. Kemudian Pak Kepsek menyuruhnya untuk pakai motor Malaysia saja. Begitu orang sini menyebut motor yang dibeli dari Malaysia. Sekilas motor berwarna putih polos itu desainnya mirip Supra, tapi katanya performa mesinnya lebih bagus meski berasal dari merk yang sama. Beberapa warga di sini juga memiliki motor dari Malaysia karena secara kualitas memang lebih bagus dan harganya pun tak jauh beda. Apalagi jarak dengan Malaysia tidak begitu jauh.

Ketungau memang berbatasan langsung dengan negara bagian Serawak, Malaysia. Dari desa terdekat hanya butuh waktu beberapa jam saja untuk sampai di perbatasan. Perbatasan daerah itu tidaklah sebesar Entikong, karena hanya menghubungkan antar desa kecil saja. Meskipun demikian warga yang masuk ke Malaysia harus mendaftar dulu untuk mendapatkan semacam kartu. Warga biasanya ke Malaysia untuk menjual hasil ladang dan hutan untuk kemudian kembali membawa sembako dan kebutuhan pokok lain. Praktis dari Malaysia lah mereka bergantung, karena jarak dan aksesnya lebih terjangkau dibanding kota terdekat. Pilihan yang cukup rasional memang.   
pagi berkabut di desa Semajau Mekar
Langit cerah menaungi pagi di desa Semajau Mekar. Udara pagi sangat sejuk, kabut tipis tampak menggantung di kejauhan. Berbeda dengan di hilir daerah hulu seperti desa Semajau Mekar biasanya masih asri. Hutan belantara masih terlihat menutupi sebagian kawasan. Warga memulai aktivitasnya kembali, bertani, berkebun, dagang, sekolah, tak ada yang terlalu istimewa di sini. Hanya sebuah desa kecil nan sederhana di beranda Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar