jembatan Kapuas yang menghubungkan Sintang dengan wilayah Ketungau |
Hujan deras mengawali perjalanan
kami dari kota Sintang menuju ke Ketungau Hilir. Sebuah kecamatan yang terletak
di daerah aliran sungai Ketungau, anak sungai Kapuas. Ketungau Hilir merupakan
pemekaran dari Kecamatan Ketungau, Kabupaten Sintang yang kini menjadi tiga
kecamatan (Ketungau Hulu, Ketungau, Ketungau Hilir). Untuk menuju Ketungau dari
Sintang hanya ada satu jalan penghubung. Jalan tanah merah, sama seperti jalan
penghubung daerah hulu lain di Kalimantan Barat. Belum ada aspal, hanya tanah
merah yang berdebu bila kering dan lengket selepas hujan.
Tanah merah nan licin harus
ditapaki setelah melewati batas aspal terakhir di dekat jembatan. Bukannya
berteduh menunggu hujan reda, justru perjalanan tetap dilanjutkan. Derasnya
hujan memang menjadikan jalanan licin namun tanah di sisi lain tanah tidak
menempel di roda karena langsung terguyur air. Jika selepas hujan maka tanah
akan sangat lengket dan sangat mengganggu laju roda. Jika tanah yang melekat
sudah banyak, seringkali pengendara terpaksa harus mencongkel gumpalan tanah
itu. Untuk mengatasinya ada yang memakai semacam besi yang dilingkarkan
melintang di roda untuk mengurangi tempelan tanah saat roda berputar. Namun tak
semua motor dilengkapi dengan alat itu, jadi jalan saat hujan merupakan pilihan
terbaik.
Langit masih saja melimpahkan
airnya. Genangan mulai timbul di sana-sini. Sementara itu roda motor masih
melaju sambil sesekali terseok karena licinnya jalan. Jika hujan terus mengguyur,
lama-lama genangan kecil itu akan berubah jadi kubangan besar yang menutup
seluruh badan jalan dengan kedalaman bisa mencapai semeter. Di puncak musim
hujan biasanya banyak terdapat kubangan di sepanjang jalan menuju Ketungau ini.
Di saat seperti inilah warga sekitar berinisiatif membangun jembatan sederhana
dari papan kayu di tepi jalan yang hanya bisa dilalui motor. Jembatan itu
dibuat di daerah yang terdapat kubangan lebar dan dalam sehingga sangat riskan
jika dilalui motor. Tentunya fasilitas itu tak gratis, beberapa ribu harus
dikeluarkan untuk melintas jembatan itu. Tidak hanya jembatan, kadang warga
hanya memberi papan di beberapa kubangan kecil yang disediakan sebagai
“fasilitas” khusus bagi pemotor. Ada belasan titik fasilitas darurat berbayar itu,
sehingga membuat biaya perjalanan saat musim hujan jadi membengkak.
Sudah sekitar 5 jam perjalanan
dari Sintang, sampailah kami di desa Semajau Mekar, Ketungau Hilir. Desa ini
merupakan daerah transmigrasi dan kebanyakan penghuninya adalah orang Jawa. Ada
juga warga lokal yang difasilitasi pemerintah untuk mendapat kaplingan
transmigrasi. Di sini memang disediakan kuota khusus untuk warga lokal dengan
tujuan pembauran dan agar daerah transmigrasi tidak terkesan eksklusif. Dan
benar saja beberapa tahun kemudian mulai ada beberapa orang Dayak yang semula
tinggal di dalam hutan mulai berpindah ke desa. Saat ini sudah banyak orang
Dayak lokal yang bermukim di desa.
Rata-rata warga di desa Semajau
Mekar ini bertani dan berladang. Buah, sayuran, singkong, jagung, dan padi
adalah tanaman yang biasa mereka tanam. Khusus untuk padi, mereka memakai
sistem ladang berpindah. Namun akhir-akhir ini mulai dikembangkan sawah
irigasi. Dengan bantuan dari pemerintah, mereka buat saluran irigasi sehingga
sawah itu bisa panen 3 kali dalam setahun. Akan tetapi sawah irigasi itu baru
semacam percontohan saja, ladang berpindah masih jadi pilihan utama karena
dinilai lebih praktis.
Malam ini kami menginap di rumah
Pak Kepala Sekolah. Saat itu ada beberapa tetangga dan kerabat yang sedang
berada di rumah Pak Kepsek. Malam mulai larut, salah seorang kerabat yang
rumahnya agak jauh minta pinjam motor. Kemudian Pak Kepsek menyuruhnya untuk
pakai motor Malaysia saja. Begitu orang sini menyebut motor yang dibeli dari
Malaysia. Sekilas motor berwarna putih polos itu desainnya mirip Supra, tapi
katanya performa mesinnya lebih bagus meski berasal dari merk yang sama.
Beberapa warga di sini juga memiliki motor dari Malaysia karena secara kualitas
memang lebih bagus dan harganya pun tak jauh beda. Apalagi jarak dengan
Malaysia tidak begitu jauh.
Ketungau memang berbatasan
langsung dengan negara bagian Serawak, Malaysia. Dari desa terdekat hanya butuh
waktu beberapa jam saja untuk sampai di perbatasan. Perbatasan daerah itu
tidaklah sebesar Entikong, karena hanya menghubungkan antar desa kecil saja.
Meskipun demikian warga yang masuk ke Malaysia harus mendaftar dulu untuk
mendapatkan semacam kartu. Warga biasanya ke Malaysia untuk menjual hasil
ladang dan hutan untuk kemudian kembali membawa sembako dan kebutuhan pokok
lain. Praktis dari Malaysia lah mereka bergantung, karena jarak dan aksesnya
lebih terjangkau dibanding kota terdekat. Pilihan yang cukup rasional memang.
pagi berkabut di desa Semajau Mekar |
Langit cerah menaungi pagi di desa Semajau Mekar. Udara
pagi sangat sejuk, kabut tipis tampak menggantung di kejauhan. Berbeda dengan
di hilir daerah hulu seperti desa Semajau Mekar biasanya masih asri. Hutan
belantara masih terlihat menutupi sebagian kawasan. Warga memulai aktivitasnya
kembali, bertani, berkebun, dagang, sekolah, tak ada yang terlalu istimewa di
sini. Hanya sebuah desa kecil nan sederhana di beranda Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar