Dengan senyum ceria kau tunjukkan
padaku endog abang yang barusan kamu
beli dari mbah-mbah sebelah. Dulu, telur rebus yang kulitnya dicat merah
kemudian ditusuk sehelai ruas bambu dengan hiasan kertas warna-warni itu biasa
dibelikan orangtuaku saat kami jalan-jalan di pasar malam sekaten. Ada makna
mendalam dari telur unyu yang jadi ciri khas Sekaten itu. Telur melambangkan
kelahiran, merah berarti kesejahteraan, dan helai ruas bambu menggambarkan
hubungan vertikal dengan Tuhan. Jadi endog abang menyimbolkan kelahiran kembali
untuk masa depan yang sejahtera, berpedoman pada garis ketentuan Tuhan. Dulu,
rasanya belum ke sekaten kalo ga beli endog abang. Itu dulu, kalau sekarang ya
gitu deh..
Senin, 11 Januari 2016
Catatan Papua Barat
Teluk Bintuni dan Fakfak 2013
Jalan-Jalan di Babo
Menikmati Papua Rasa Jawa (Nyaris) Dapat Bonus "Susu Gantung"
Kisah Sunyi dari Kampung Wimro yang Sepi
Menembus Ganasnya Gelombang Teluk Bintuni
Bermalam di Muara Otoweri
Tomage, Kampung yang Tersembunyi di Belantara Papua
Nikmatnya Manisan Pala Buatan Ibu Guru
Di Sini Harga Kangkung Sepuluh Ribu Seikat
Kembali ke Otoweri, Surganya Udang dan Buaya
Di Bawah Naungan Pelangi Teluk Bintuni
Jangan Bikin Onar di Kampung Onar
Sampai di Tofoi, Kembali ke "Peradaban"
Kulit "Hancur" Karena Agas
Kulit “Hancur” Karena Agas
jetty tempat nongkrongnya para agas nan ganas |
“aduh..
mas kasian ee, kulit ancur kena agas” seloroh seorang mama ketika melihat tanganku
yang penuh koreng. Akupun hanya bisa cengar-cengir sementara si mama malah
ketawa. Haduh.. ternyata bekas gigitan agas ini makin tampak jelas. Baru
kuingat, ternyata kemarin aku barusan main ke jetty milik sebuah perusahaan gas
di tengah hutan bakau. Di sana ada banyak sekali agas dan nyamuk-nyamuk ganas.
Hanya sebentar saja di sana tapi hasilnya ya seperti ini, kulit jadi ancur.
Sampai di Tofoi, Kembali ke “Peradaban”
salah satu suduh kampung Tofoi |
Dan
wilayah cacah terakhir dalam kegiatan tahun 2013 ini adalah Tofoi. Tofoi
merupakan kota dari distrik Sumuri, yang juga menjadi salah satu kampung
penting di kabupaten Teluk Bintuni. Kampung ini tergolong modern dibanding
kampung-kampung lain di area Teluk Bintuni. Sebagian jalan utama sudah diaspal.
Banyak fasilitas-fasilitas umum seperti Puskesmas, kantor distrik, gereja,
masjid, dan pasar, namun jetty nya kurang memadai. Sekolah di sini tersedia
mulai dari TK – SMA.
Jangan Bikin Onar di Kampung Onar
kampung Onar Lama |
Seorang
pengurus kampung tiba-tiba berteriak sambil mengacung-acungkan parang ketika
beberapa kawan hendak mengurus perijinan. Sontak mereka pun lari terbirit-birit
menjauh dari Bapak yang menyambut mereka dengan acungan parang. Kejadian ini
ternyata hanya salah paham saja, si Bapak merasa kami sudah melakukan kegiatan
di kampungnya tanpa ijin. Padahal sebenarnya waktu itu kami mau minta ijin,
tapi si Bapak keburu menghunus parangnya. Singkat cerita akhirnya si Bapak
mengijinkan kegiatan kami tak lama setelah insiden itu. Orang sini memang
gampang emosi, karena itu kami harus berhati-hati agar tidak timbul keonaran
lagi.
Di Bawah Naungan Pelangi Teluk Bintuni
di bawah naungan pelangi teluk Bintuni |
Sore
ketinting kami meninggalkan jetty Otoweri. Kali ini gelombang teluk Bintuni
begitu tenang. Langit cukup cerah, sementara itu matahari mulai mengendurkan
sengatannya. Sejuk, duduk di atap ketinting, dibersamai sepoi angin laut,
sangat menyenangkan. Sepanjang mata memandang hanya tampak lautan, hanya di
sisi kanan kapal terlihat daratan cukup dekat. Saat ini kapal ketinting bergerak
ke arah timur menuju kampung Onar. Sebuah kampung yang terletak di tepi teluk
Bintuni.
Kembali ke Otoweri, Surganya Udang dan Buaya
kampung Otoweri dan muaranya yang konon banyak buaya |
Selepas
menuntaskan tugas di Tomage, saatnya kami berpindah ke kampung selanjutnya
yaitu Otoweri yang masih masuk distrik Bomberai, Fakfak. Kembali kapal
mengarungi kelok demi kelok sungai menuju ke arah muara. Kami berangkat agak
sore, sampai di Otoweri sudah senja. Disambut gelombang dari laut yang kencang,
ketinting mendekat ke jetty dengan hati-hati. Sempat beberapa kali terbentur
jetty, akhirnya ketinting berhasil merapat dengan selamat.
Di Sini, Harga Kangkung Sepuluh Ribu Seikat
kebun sekolah |
Menu
makan siang kami kali ini sangat spesial. Tak ada sarden kalengan yang kalau
cium baunya saja udah berasa enek. Sayuran segar, kangkung dan terong yang
barusan dipetik dari kebun menjadi pembeda. Kalau lauk lain ya masih tetep
telur dadar, tapi gapapa lah asal bukan sarden. Selama beberapa minggu terakhir
ini kami jarang makan sayur. Di daerah pesisir Teluk Bintuni, pertanian
bukanlah budaya dari masyarakat setempat. Kalaupun ada yang bertani, mereka
adalah para transmigran yang kebanyakan berasal dari Jawa. Baru beberapa tahun
terakhir ini pemda setempat membekali warga di kampung-kampung pengetahuan
tentang pertanian salah satunya di Tomage ini. Perwakilan warga tiap kampung di
Fakfak diberikan pelatihan singkat mengenai pertanian. Mereka dikirim ke Malang
untuk selanjutnya diberi tanggungjawab mengembangkan ilmunya di kampung
masing-masing.
Nikmatnya Manisan Pala Buatan Ibu Guru
sekolah tempat Ibu Guru mengabdi |
“Mas..
masuk sudah, di dapur su ada manisan pala”, Ibu guru menyuruhku masuk ke dapur.
Di sana sudah ada Pak Eli yang baru saja selesai makan. Dia pun menyuruhku buat
makan manisan Pala yang terhidang di meja makan. Pertama mengunyahnya terasa
aneh, agak pahit, berbau kuat dengan nuansa hangat ketika masuk ke
tenggorokkan. Tapi selanjutnya makin terbiasa dan mulai menikmatinya. Manisan
pala ini menjadi teman ngobrol kami, menghabiskan waktu siang yang lengang.
Tomage, Kampung yang Tersembunyi di Belantara Hutan Papua.
secarik pelangi di langit teluk Bintuni |
Pagi
di muara Otoweri, hening sesekali ditimpali kicauan burung di rerimbunan hutan.
Langit sedikit berawan membiaskan cahaya matahari yang mulai menampakkan
wujudnya. Di ufuk barat langit memerah berhiaskan secarik pelangi. Jangkar
masih mengakar di dasar muara. Sejak malam tadi ketinting kami berlabuh di
muara Otoweri sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung Tomage, kampung yang
letaknya berada di daerah hulu.
Bermalam di muara Otoweri
tiduran di atap ketinting, melepas lelah |
Nasi
yang terhampar di nampan kecil itu masih mengepulkan asap tipis. Kemudian
sarden yang juga masih hangat ditumpahkan di atas nasi disusul dengan mi instan
yang baru saja matang. Sebagai sentuhan akhir, beberapa potong telur dadar
dijadikan sebagai topping. Seketika itu juga tangan-tangan kami segera menjamah
makanan yang sudah melambai-lambai itu. Nasi yang sudah becek dengan kuah
sarden kalengan itu makin becek akibat beberapa tangan masih lembab karena barusan
cuci tangan pakai air laut. Potongan telur dan ikan sarden menjadi incaran,
siapa cepat dia dapat. Makan bareng dengan nampan seperti ini memang sudah jadi
kebiasaan kami terutama saat berada di ketinting. Tak peduli cowok maupun
cewek, semua bisa ikutan makan kembulan.
Satu nampan memang tidak cukup buat kami bersebelas (termasuk awak kapal).
Karena itu kami punya satu nampan lagi dan beberapa piring sebagai cadangan.
Kamis, 07 Januari 2016
Menembus Ganasnya Gelombang Teluk Bintuni
nakhoda dan asistennya serta ketua tim (dalam bingkai) saat badai |
Hujan
deras mengiringi perjalanan menuju jetty. Kami putuskan berangkat pagi-pagi
benar karena perjalanan menuju kampung selanjutnya butuh waktu seharian.
Tomage, adalah nama kampung yang akan kami tuju selanjutnya. Sebuah kampung
kecil di tengah hutan, dan masuk wilayah kabupaten Fakfak. Katanya untuk ke sana
kita harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok. Karena itu nakhoda menyarankan
berangkat pagi-pagi agar saat masuk ke sungai keadaan masih terang. Akan sangat
riskan jika memaksakan masuk ke sungai saat gelap karena sungai relatif sempit
dan di kanan kirinya berupa hutan lebat.
Kisah Sunyi dari Kampung Wimro yang Sepi
pabrik udang Jayanti yang dulu pernah jaya |
Wimro,
kampung kecil yang berada di seberang RKI tujuan kami selanjutnya. Beda dengan
RKI, Wimro cukup sepi. Tak nampak jajaran kapal yang tertambat di jetty. Tak
ada warung atau kios di dekat jetty, hanya terlihat beberapa rumah berdinding
kayu kusam saja. Sepanjang jalan kampung yang kami lewati hanya tampak beberapa
warga siang itu.
Menikmati Papua Rasa Jawa (Nyaris) Dapat Bonus "Susu Gantung"
selamat datang di Rumah Kayu Indonesia |
Sekitar
dua jam berketinting dari Babo sampailah kami di kampung Sidomakmur. Kampung
Sidomakmur, kok namanya njawani? Macam kampung di Jawa aja. Katanya sih di sini
emang banyak orang Jawanya. Jetty sudah penuh sesak oleh beberapa kapal, kami
hanya bisa merapat di kapal terdekat. Lompat dari satu kapal ke kapal lain
sampailah di atas jetty. Banyaknya barang bawaan membuat kami harus bersusah
payah membawanya ke atas jetty. Untungnya beberapa orang di sekitar jetty
membantu kami dengan sukarela.
Jalan-Jalan di Babo
jalan utama "kota" Babo |
Mobil
melaju pelan melintas jalan aspal sempit di tengah padang rumput. Tak lama,
tampak sebuah rumah di pinggir jalan di kejauhan juga terlihat beberapa rumah.
Di persimpangan, mobil berbelok ke kanan di sini sudah mulai nampak
perkampungan yang cukup padat. Di tengah perkampungan itu terdapat sebuah
masjid yang cukup besar, tak jauh dari situ ada kantor Distrik (kecamatan).
Sesampai di kantor distrik, kami langsung disambut oleh seseorang berperawakan
kurus tinggi, berkumis, berkulit sawo matang, dan agak medhok cara ngomongnya.
Ya.. dia orang Jawa dan dialah Pak Distrik Babo, sebut saja dia Pak Distrik
(lupa namanya). Pak Distrik sudah dua puluhan tahun tinggal di Papua dan sudah
cukup lama berada di Babo. Di Babo memang banyak orang Jawa nya.
Dan Akhirnya Sampai Juga di Papua
Bandara DEO Sorong, sebuah awal |
Hutan,
malaria, konflik, jauh, mahal, itulah lima kata yang terlintas di pikiranku
tentang Irian Jaya atau saat ini dikenal dengan nama Papua. Suatu tempat di
ujung timur Indonesia, tempat di mana hutan hujan tropis perawan terhampar luas
dengan kekayaan alam seperti tanpa batas, namun sayang konflik masih mengisi
berita tentang Papua. Dengan segala kelebihan dan kekurangannyannya Papua
adalah tempat yang unik sekaligus menarik untuk dikunjungi. Sayangnya kondisi
keuangan membuat pergi ke Papua hanya sebatas angan. Tak terbayangkan bagiku
untuk sampai ke sana, yang katanya lebih mahal daripada ke Singapura atau
Malaysia. Jangankan Papua, untuk bisa traveling ke Taman Nasional Baluran dan
kawah Ijen aja harus nabung dan kerja 8 bulan dulu.
Senin, 04 Januari 2016
CATATAN SI ENUM
Enum, biasa digunakan untuk menyebut sebuah profesi di bidang survei. Enumerator istilah lengkapnya, tugas utamanya wawancara/mengumpulkan data lapangan. Banyak yang bilang kalau jadi enumerator adalah sebuah kutukan. Konon katanya orang yang sudah masuk ke dunia survei akan susah keluarnya. Bekerja di dunia survei membuat sebagian enum terlena oleh nikmatnya pekerjaan ini. Pada akhirnya banyak di antara kami yang gagal move on, enggan berpindah ke pekerjaan lain yang menetap. Inilah salah satu pekerjaan idaman para traveler, bisa jalan-jalan gratis dapet duit pula. Wilayah kerjanya mencakup seluruh pelosok Nusantara, jadi akan sangat menyenangkan bagi para penyuka jalan-jalan.
Mulai dari beberapa hari hingga bulanan, kami berpetualang di seantero Nusantara. Meneroka belantara, melintas sungai, menyeberang lautan, mendaki gunung lewati lembah. Hanya untuk menemui responden atau sekadar jalan-jalan melepas penat. Di lain waktu kami harus bergelut dengan debu dan polusi kota besar dengan kemacetan serta terik matahari yang begitu menyengat tanpa ampun. Seringkali dikira debt collector lah, orang dealer lah, sales obat lah, apalah apalah. Kadang diberi sajian mewah oleh tuan rumah, hingga disambut dengan acungan parang dan teriakan (untung cuma disambut, ga sampe disambit).
Inilah pekerjaan kami, bekerja di lapangan. Penuh suka-duka, cinta-benci, senang-susah, dan berbagai perasaan campur aduk lain. Di sini pula dapat ditemukan realita yang tak terduga, dari yang membuat kita berdecak kagum hingga merasa miris teriris. Rasanya sangat disayangkan jika cerita ini hanya mengendap menjadi kenangan yang mudah terlupakan. Melalui Catatan si Enum ini, tertulis beberapa catatan perjalanan selama "ngenum". Cuma untuk mengabadikan kisah perjalanan dan sekadar mengisi waktu luang penulis yang begitu selo.
Jawa Barat
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Utara
Papua Barat (Teluk Bintuni dan Fakfak, Raja Ampat)
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
Aceh
Sumatera Barat
Inilah pekerjaan kami, bekerja di lapangan. Penuh suka-duka, cinta-benci, senang-susah, dan berbagai perasaan campur aduk lain. Di sini pula dapat ditemukan realita yang tak terduga, dari yang membuat kita berdecak kagum hingga merasa miris teriris. Rasanya sangat disayangkan jika cerita ini hanya mengendap menjadi kenangan yang mudah terlupakan. Melalui Catatan si Enum ini, tertulis beberapa catatan perjalanan selama "ngenum". Cuma untuk mengabadikan kisah perjalanan dan sekadar mengisi waktu luang penulis yang begitu selo.
Jawa Barat
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Utara
Papua Barat (Teluk Bintuni dan Fakfak, Raja Ampat)
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
Aceh
Sumatera Barat
CORAT CORET
Tentang isi pikiran yang tetiba muncul dan sempat diketik. Bisa berupa pikiran abstrak yang rumit, tapi bisa juga hanya catatan harian yang sederhana. Kemudian dirangkai kata demi kata. Intinya cuma sekadar corat-coret saja.
Celoteh Kala Hujan Tentang Jogja, Kota Kita
CATPER
Tentang perjalanan dari satu titik ke titik lain, melewati ribuan huruf dan tanda baca.
Menuju Jogja, Mengenang Kereta Ekonomi yang Masih Ekonomis
Lempuyangan - Senen
Menuju Jogja, Mengenang Kereta Ekonomi yang Masih Ekonomis
Lempuyangan - Senen
TULISAN
Tentang curahan pikiran dan ulasan mengenai masalah sosial ekonomi. Yang ini agak serius.
Peran Penting Koperasi dalam Manajemen Risiko Bencana
Sehari Tanpa Internet Bagai Sehari Tanpa Nasi
Tingginya Gunung Tak Hanya Sekadar 5 cm
Peran Penting Koperasi dalam Manajemen Risiko Bencana
Sehari Tanpa Internet Bagai Sehari Tanpa Nasi
Tingginya Gunung Tak Hanya Sekadar 5 cm
Langganan:
Postingan (Atom)