jelang malam musim kering, langit Sumba biasanya cerah |
Sudah sejam yang lalu matahari
menghilang di balik perbukitan. Kini gantian rembulan muncul, menyembul dari
sebuah bukit. Bulat dan begitu terang, kebetulan saat ini waktunya bulan
purnama. Awalnya sinar bulan terlihat biasa saja, sama seperti bulan purnama
yang biasa kulihat di tempat lain. Tapi makin lama, sinar bulan makin terang.
Dari jendela tampak dengan jelas puncak bukit belakang sekolah. Seperti ada
lampu yang dinyalakan, setiap sudut tak luput dari limpahan cahaya bulan. Bukit
belakang sekolah yang biasanya hanya tampak temaram, kini bisa terlihat dengan
jelas detail rumputnya yang bergoyang-goyang tertiup angin malam.
Penasaran, akupun keluar menuju
lapangan sekolah. Dan benar, ternyata sinar bulan lah yang menjadi pelita dalam
gulita sabana. Entah kenapa, bulan tampak lebih besar dari yang biasanya
kulihat. Pancaran cahayanya pun begitu benderang. Lapangan sekolah dan sekitar
yang biasanya gelap, tetiba menjadi terang. Di sini listrik PLN memang belum
masuk, jadi sangat wajar jika malam hari tak ada setitik cahaya pun tampak di
luar. Kalaupun nampak cahaya, itu berasal dari lampu tenaga surya yang
cahayanya terpancar menembus sela dinding kayu di rumah tinggal guru. Malam ini
sang bulan dengan leluasa memantulkan cahaya yang diterimanya dari matahari
untuk menerangi tanah Sumba.
Angin malam kian kencang
berembus, kuurungkan niatku untuk mendaki bukit belakang sekolah. Tadinya
memang muncul keinginan untuk naik ke puncak dan melihat padang sabana yang
dilimpahi cahaya bulan. Ya sudah lah, daripada nantinya malah sakit kena angin
malam padahal kerjaan masih banyak. Aku pun kembali ke dalam dan melanjutkan
kegiatan seperti biasa. Angin semakin bertiup kencang merasuk melalui celah
ventilasi ruang kelas. Hawa dingin perlahan menembus jaket tipis yang
kukenakan. Beralas tikar tipis kami berlima tidur berkumpul di pojokan. Namun
tetap saja rasa dingin terasa meski masih bisa ditoleransi.
Berbeda dengan di Waitama,
wilayah kerja kami selanjutnya berada di dataran yang lebih tinggi tepatnya di
desa Kambata Bundung. Desa Kambata Bundung terletak di kecamatan Kahaungu Eti,
masih di Sumba Timur. Katanya, “kahaungu eti” merupakan bahasa lokal yang
berarti kesatuan hati. Arti nama yang berkesan adem, sama seperti daerahnya
yang juga adem. Letaknya yang ada di pegunungan membuat hembusan angin di sini
lebih kencang daripada di Waitama, hawanya pun juga lebih dingin. Sore hari
saja sudah terasa dingin karena tiupan angin yang kencang.
Di Kambata Bundung, kami nginap
di rumah salah seorang perangkat desa. Bukan rumah utama, melainkan rumah kebun
yang biasa mereka tempati ketika sedang banyak kegiatan di ladang. Namanya juga
rumah kebun, bentuknya ya cukup sederhana dibandingkan dengan rumah aslinya.
Namun khusus rumah kebun ini, terbilang cukup bagus daripada rumah kebun yang
biasanya dibangun seadanya. Dindingnya berupa bilah bambu atau semacamnya yang
disusun memanjang dari atas ke bawah menyisakan celah di banyak bagian.
Sementara itu lantainya terbuat dari papan kayu dan atapnya berupa seng. Bisa
dibilang ini tergolong rumah semi permanen.
Malam hari adalah waktu yang
“menyiksa” buat kami. Gimana ga tersiksa, hembusan angin malam masuk leluasa
melalui celah-celah dinding bambu. Tak hanya itu, rumah yang berbentuk panggung
memungkinkan angin merasuk juga melalui celah lantai papan kayu. Lengkap sudah
penderitaan kami, digempur angin dingin dari berbagai sisi. Tanpa bekal
sleeping bag, hanya jaket dan sarung menjadi perisai seadanya meski tetap saja
ga ngaruh. Selepas tengah malam, udara makin dingin. Anginpun makin kencang
berhembus, seakan tak peduli terhadap kami yang meringkuk pasrah. Dingin yang
terasa membuat tidur jadi tak nyenyak, apalagi gemuruh hembusan angin terdengar
sangat kuat. Baru saja mata terpejam, kembali terbuka. Kaget akibat suara benda
berjatuhan di atap seng, seperti air tapi sepertinya tidak sedang hujan.
Ternyata embunlah yang turun menjatuhi atap seng. Jatuhan embun atau kabut
memang seperti hujan rintik-rintik namun di sini suaranya terdengar keras.
Mungkin karena banyak uap air yang jatuh dan atapnya yang berupa seng
melipatgandakan efek suaranya. Apapun itu yang pasti pagi harinya terlihat
lubang-lubang kecil tepat di teritis rumah seperti bekas air hujan.
menyapa pagi di suatu bukit, ditemani seekor kuda kesepian |
Paginya segera kami keluar rumah menuju puncak-puncak
bukit di sekitar rumah untuk mendapatkan kehangatan dari matahari pagi. Selain
itu, udara pagi di sini begitu segar. Hawanya cukup sejuk dan sedikit hangat
karena matahari sudah sedikit meninggi. Dari suatu puncak bukit, kabut tipis
masih menyelimuti sabana Sumba. Menyisakan kesejukan pagi yang sebentar lagi
berubah menjadi siang yang kerontang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar