sekolah tempat Ibu Guru mengabdi |
“Mas..
masuk sudah, di dapur su ada manisan pala”, Ibu guru menyuruhku masuk ke dapur.
Di sana sudah ada Pak Eli yang baru saja selesai makan. Dia pun menyuruhku buat
makan manisan Pala yang terhidang di meja makan. Pertama mengunyahnya terasa
aneh, agak pahit, berbau kuat dengan nuansa hangat ketika masuk ke
tenggorokkan. Tapi selanjutnya makin terbiasa dan mulai menikmatinya. Manisan
pala ini menjadi teman ngobrol kami, menghabiskan waktu siang yang lengang.
Pak
Eli, seorang guru muda berusia 20-an tahun bersama dua orang guru lain sedang
mengabdi di SD YPPK Santo Titus Tomage. Kalau dua guru lain sudah Ibu-ibu,
salah satunya ya Ibu yang kutemui di depan tadi. Pak Eli sendiri berasal dari
Ambon sedangkan dua Ibu guru itu berasal dari kota Fakfak. Mereka bertiga
adalah guru bantu yang dikontrak Pemda setempat. Ketiganya ditempatkan di sini
untuk mengisi kekurangan guru. Sudah beberapa guru bantu yang “keluar-masuk” SD
ini. Maklum saja mana ada sih orang yang mau ditempatkan di kampung terpencil
di tengah rimba Papua ini. Jauh dari peradaban, akses sulit, belum ada
fasilitas dasar memadai di sini. Cuma orang-orang spesial saja yang mau
dipekerjakan di sini, seperti Pak Eli dan kawan-kawan.
Sudah
setahun mereka menempati rumah tinggal guru yang disediakan oleh yayasan. Rumah
tinggal guru terdiri dari dua buah rumah yang berdampingan. Tak besar memang,
hanya sekitar 4m X 6m setiap rumahnya. Rumah tersebut terdiri dari dua kamar
tidur, sebuah ruang tamu dan dapur, serta kamar mandi. Seorang guru dari
yayasan tinggal di rumah satunya, sementara Kepala Sekolah tinggal di SP 1
(kampung transmigran).
Cukup
lama kami berdua ngobrol di dapur, kemudian berpindah ke ruang tamu. Di sana
masih ada Ibu guru (sebut saja demikian karena sudah lupa namanya) yang sedang
mengupas buah pala untuk selanjutnya dibuat manisan. “Di tempat kami, banyak
pohon pala. Kalo musim panen, dong pi ke kebun samua buat petik pala. Bijinya
dijual, buahnya biasa dibuat manisan .” kisah si Ibu. Yah bisa dikatakan
manisan pala ini camilan khas orang Fakfak. Sekadar buat obat kangen saja,
maklum si Ibu ini jarang pulang ke rumah. Meskipun masih satu kabupaten tapi
jarak ke kampungnya sangat jauh ditambah lagi aksesnya sulit, untuk ke sana
butuh duit yang tak sedikit.
Sambil
potong-potong buah pala, si Ibu ini cerita kalau rumah yang ditempatinya ini
angker. Katanya mereka sering melihat penampakan makhluk halus dan beberapa
kali diganggu. Karena itu setiap malam jumat mereka biasa yasinan (baca Surat
Yaasin). Pak Eli biasanya yang pimpin karena bagus bacaannya. Selain pandai
baca Al Quran, dia juga jago lho nyanyi lagu rohani Kristiani. Di sekolah Pak
Eli diberi tugas mengajarkan lagu-lagu rohani kepada para siswa. Pak Eli
seorang muslim, lulusan Pendidikan Agama Islam pula. Keterpaksaanlah yang buat
dia mengajar pelajaran agama lain. Bagi sebagian orang ini isu yang sensitif
karena menyangkut keyakinan agama, tapi mau gimana lagi. Keterbatasan jadi alasan
pamungkas dari segala sebab masalah di negeri ini. Kok dari ngomongin pala bisa
nyangkut mikirin negara, ah.. pusing pala beta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar