secarik pelangi di langit teluk Bintuni |
Pagi
di muara Otoweri, hening sesekali ditimpali kicauan burung di rerimbunan hutan.
Langit sedikit berawan membiaskan cahaya matahari yang mulai menampakkan
wujudnya. Di ufuk barat langit memerah berhiaskan secarik pelangi. Jangkar
masih mengakar di dasar muara. Sejak malam tadi ketinting kami berlabuh di
muara Otoweri sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung Tomage, kampung yang
letaknya berada di daerah hulu.
Usai
sarapan dan persiapan seperlunya, jangkar pun di angkat kemudian dimulailah
pelayaran ke arah hulu. Ketinting berjalan perlahan menyusuri sungai Otoweri.
Air sungai yang berwarna coklat teh tersibak menimbulkan gelombang lembut ke
arah tepian. Sunyi, hanya deru suara mesin ketinting dan sesekali terdengar
ocehan kami. Alur sungai Otoweri berkelok-kelok membelah belantara hutan hujan
tropis Papua. Sepanjang perjalanan hanya nampak pepohonan raksasa yang menjadi
tempat bermain burung-burung. Mereka beterbangan dengan bebasnya, bekicau,
bertengger dari satu dahan ke dahan lain. Tak tampak jejak peradaban manusia
sedikitpun. Sejenak terpikir bahwa kami berada di dunia yang hilang. Dunia yang
belum terjamah manusia, dunia yang masih alami. Dunia di mana ekosistem
berjalan dengan normal tanpa gangguan keserakahan manusia.
Udara
begitu segar, ditambah lagi kicauan burung yang mulai muncul menyemarakkan
suasana. Sejam berlalu, ketinting masih melaju perlahan tapi pasti. Sungai yang
tadinya lebar makin menyempit. Sungai yang semula selebar puluhan meter kini
menjadi hanya beberapa meter saja. Tumbuhan sejenis palem-paleman mendominasi
tepian sungai. Air pun makin dangkal dan terlihat beberapa puing kayu hanyut.
Jika lengah, kapal bisa karam dan lebih parah lagi baling-baling bisa rusak
karena terbentur kayu atau tersangkut akar. Dibutuhkan kemampuan kemudi yang
bagus dan berpengalaman untuk melalui sungai seperti ini. Beruntung, nakhoda
kami cukup berpengalaman dan dibantu pula oleh Om Karim yang sudah
malang-melintang menjelajahi beberapa sungai di perairan Teluk Bintuni. Dalam
situasi seperti ini, biasanya Om Karim duduk di ujung haluan sambil memberi
arahan kepada nakhoda yang kemudinya ada di bagian belakang.
menyusur sungai Otoweri |
Setengah
jam kemudian, sudah tampak adanya tanda-tanda kehidupan. Sebuah bangunan
jetty/dermaga kecil ada di sisi sungai. Kemudian, terlihat seorang mama dan
anaknya sedang mendayung sampan. Sungai merupakan jalur transportasi utama
selain jalan setapak hutan di daerah hulu sungai Otoweri ini. Kampungnya pun
hanya ada beberapa saja dengan SP 1 Distrik Bomberai (tempat pemukiman
transmigran) sebagai “pusat kota” terdekat.
Tak
jauh dari situ, kampung Tomage berada. Dari kejauhan tampak jetty kecil dengan
jembatan yang beratap alang. Di seberang jembatan terlihat plang kecil yang
berlatar spanduk ajakan menabung. Hanya ada dua rumah kayu sederhana di sekitar
jetty, sementara rumah-rumah lain ada di dalam perkampungan. Sepi, siang itu
tak ada aktivitas di jetty. Ketinting segera merapat, Om Karim melompat ke
jetty terlebih dahulu sambil menambatkan beberapa utas tali. Setelah ketinting
tertambat sempurna kami pun segera menyusul turun ke jetty. “Selamat Datang di
Kampung Tomage” tulisan di plang kecil buatan mahasiswa KKN Unipa 2013 itu
menyapa kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar