Selasa, 02 Februari 2016

Punten, abdi teu tiasa bahasa Sunda

salah satu sudut jalan yang sepi 
Pagi itu telinga ini mendengar suara-suara yang cukup asing di telinga. Orang-orang berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Mirip seperti percakapan antara si Aa dengan Aa lainnya di warung “Burjo” dekat kampus. Ya.. aku sedang berada di Jawa Barat, Garut tepatnya. Hari pertama di Garut, kuhabiskan di beskem hanya ngobrol dengan kawan dan tidur-tiduran. Masih sungkan rasanya untuk keluar dan berinteraksi dengan warga sekitar. Padahal aku di sini bertugas sebagai enumerator/pewawancara suatu survei yang mau tidak mau harus berinteraksi secara intensif dengan orang-orang berbahasa asing itu. Entah apa yang dipikirkan kawan-kawan lain yang juga tidak bisa berbahasa Sunda.


Ada fakta unik yang baru kutahu tentang orang Sunda. Ternyata, mereka sangat bangga dengan bahasa daerahnya. Mereka bicara memakai bahasa Sunda kepada siapapun seolah-olah semua orang bisa bahasa Sunda. Saat kami membeli sesuatu di Bandung, seorang kawan bertanya kepada penjaga toko memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan logat Jawa yang cukup medhok. Tanpa diduga, si Teteh menjawabnya dengan bahasa Sunda sempurna. Tak paham apa yang dikatakan si Teteh, dia pun hanya bisa bengong. Nampaknya si Teteh belum sadar akan kebingungan pelanggannya sebelum salah seorang rekannya menyuruhnya memakai bahasa Indonesia. Selain itu, di Pom Bensin maupun di “Alpa”, seringkali karyawan menggunakan bahasa Sunda saat berinteraksi dengan konsumen.

Di tempat umum seperti toko dan pom bensin saja sudah demikian, apalagi di dalam lingkungan masyarakatnya. Awalnya cukup membuat frustrasi, tapi dengan cara inilah bahasa baru lebih mudah dipelajari dan tentunya memunculkan cerita-cerita lucu akibat kesalahpahaman yang terjadi.

Ujang teh saha?
Suatu hari aku berkunjung ke daerah Garut Selatan. Seperti biasa, untuk mencari alamat seseorang kami bertanya kepada masyarakat sekitar. Usai bertanya, aku kembali melihat daftar alamat untuk mencari rumah tangga yang alamatnya di sekitar kampung itu. Lalu seorang ibu bertanya pada seseorang, “Jang! ti mana (dari mana) Jang?” Aneh, dia sepertinya bertanya kepada orang yang bernama Ujang atau Jajang tapi kenapa melihat ke arahku? Aku tetap cuek dan kembali berkutat dengan kertas prelist. Tak lama kemudian, kalimat itu diulanginya lagi. Kutengok kanan, kiri, dan belakang tidak ada orang. Dan akhirnya aku tahu kalau pertanyaan Ibu itu diarahkan kepadaku. Aku pun baru ingat kalau “Ujang” merupakan salah satu panggilan untuk anak laki-laki.

Cecep Hungkul
Kalau yang ini adalah pengalaman dari kawan yang sedang menanyakan nama salah seorang anggota rumah tangga. Dia bertanya, “Nama anak Ibu, Cecep saja ya?”. Lalu si Ibu menjawab, “Muhun (iya), Cecep hungkul.” Dengan pasti, dia menulis sebuah nama di lembar kuesioner, “Cecep Hung..” Tiba-tiba seorang kawan enumerator asli Garut mencegahnya menulis nama itu, “Namanya Cecep doang, hungkul itu artinya doang”. Ooo…

Sabun cuci jahat!
Pelaku kisah ini masih sama dengan kisah “Cecep Hungkul” yaitu si mas Jawa dan si Teteh asli Garut dengan responden yang berbeda. Si mas bertanya, “Kalau sabun cuci, sebulan habis berapa Bu?”. Si Ibu menjawab,”Sabun cuci mah jahat! Blablabla…” Ha… sabun cucinya jahat? Si mas itu pun bengong, shock mendengar pengakuan Ibu itu tentang sabun cucinya yang jahat. Mengetahui kejadian itu, si teteh memberikan penjelasan kalau jahat itu artinya boros. Selepas itu, wawancara pun kembali berjalan sebagaimana mestinya.    
Itulah sekadar catatan kecil dari tanah Priangan. Sebuah pengalaman pertama ngenum, pengalaman pertama berhadapan dengan orang-orang berbahasa “asing”. Tanahnya orang-orang yang ramah dan bangga dengan bahasanya. Seringnya mereka menggunakan bahasa Sunda, membuatku jadi terbiasa mendengarnya dan sedikit memahami perkataan mereka. Itu sangat mempermudahku dalam belajar bahasa Sunda. Tapi jika sudah mentok tak paham aku hanya bisa berkata,”Punten, abdi teu tiasa basa Sunda”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar