salah satu sudut jalan yang sepi |
Pagi itu telinga
ini mendengar suara-suara yang cukup asing di telinga. Orang-orang berbicara
dengan bahasa yang tidak kumengerti. Mirip seperti percakapan antara si Aa dengan Aa lainnya di
warung “Burjo” dekat kampus. Ya.. aku sedang berada di Jawa Barat, Garut tepatnya. Hari pertama di Garut,
kuhabiskan di
beskem hanya
ngobrol dengan kawan dan tidur-tiduran. Masih sungkan rasanya untuk keluar dan
berinteraksi dengan warga sekitar. Padahal aku di sini bertugas sebagai enumerator/pewawancara
suatu survei yang mau tidak mau harus berinteraksi secara intensif dengan orang-orang
berbahasa asing itu. Entah apa yang dipikirkan kawan-kawan lain yang juga tidak
bisa berbahasa Sunda.
Ada fakta unik
yang baru kutahu tentang orang Sunda. Ternyata, mereka sangat bangga dengan bahasa
daerahnya. Mereka bicara memakai bahasa Sunda kepada siapapun seolah-olah semua
orang bisa bahasa Sunda. Saat kami membeli sesuatu di Bandung, seorang kawan
bertanya kepada penjaga toko memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar
dengan logat Jawa yang cukup medhok. Tanpa diduga, si Teteh menjawabnya dengan
bahasa Sunda sempurna. Tak paham apa yang dikatakan si Teteh, dia pun hanya
bisa bengong. Nampaknya si Teteh belum sadar akan kebingungan pelanggannya
sebelum salah seorang rekannya menyuruhnya memakai bahasa Indonesia. Selain itu,
di Pom Bensin maupun di “Alpa”, seringkali karyawan menggunakan bahasa Sunda
saat berinteraksi dengan konsumen.
Di tempat umum
seperti toko dan pom bensin saja sudah demikian, apalagi di dalam lingkungan
masyarakatnya. Awalnya cukup membuat frustrasi, tapi dengan cara inilah bahasa
baru lebih mudah dipelajari dan tentunya memunculkan cerita-cerita lucu akibat
kesalahpahaman yang terjadi.
Ujang teh saha?
Suatu hari aku berkunjung ke daerah
Garut Selatan. Seperti biasa, untuk mencari alamat seseorang kami bertanya kepada
masyarakat sekitar. Usai bertanya, aku kembali melihat daftar alamat untuk mencari rumah tangga yang
alamatnya di sekitar kampung itu. Lalu seorang ibu bertanya pada seseorang,
“Jang! ti mana (dari mana) Jang?” Aneh, dia sepertinya bertanya kepada orang
yang bernama Ujang atau Jajang tapi kenapa melihat ke arahku? Aku tetap cuek dan kembali
berkutat dengan kertas prelist. Tak lama kemudian, kalimat itu
diulanginya lagi. Kutengok kanan, kiri, dan belakang tidak ada orang. Dan akhirnya aku tahu kalau pertanyaan Ibu itu
diarahkan kepadaku. Aku pun baru ingat kalau “Ujang” merupakan salah satu panggilan untuk
anak laki-laki.
Cecep Hungkul
Kalau yang ini
adalah pengalaman dari kawan yang sedang menanyakan nama salah seorang anggota
rumah tangga. Dia bertanya, “Nama anak Ibu, Cecep saja ya?”. Lalu si Ibu
menjawab, “Muhun (iya), Cecep hungkul.” Dengan pasti, dia menulis sebuah nama
di lembar kuesioner, “Cecep Hung..” Tiba-tiba seorang kawan enumerator asli
Garut mencegahnya menulis nama itu, “Namanya Cecep doang, hungkul itu
artinya doang”. Ooo…
Sabun cuci
jahat!
Pelaku kisah ini
masih sama dengan kisah “Cecep Hungkul” yaitu si mas Jawa dan si Teteh asli
Garut dengan responden yang berbeda. Si mas bertanya, “Kalau sabun cuci,
sebulan habis berapa Bu?”. Si Ibu menjawab,”Sabun cuci mah jahat! Blablabla…”
Ha… sabun cucinya jahat? Si mas itu pun bengong, shock mendengar pengakuan Ibu
itu tentang sabun cucinya yang jahat. Mengetahui kejadian itu, si teteh
memberikan penjelasan kalau jahat itu artinya boros. Selepas itu, wawancara pun
kembali berjalan sebagaimana mestinya.
Itulah sekadar catatan kecil dari tanah Priangan. Sebuah pengalaman pertama ngenum, pengalaman pertama
berhadapan dengan orang-orang berbahasa “asing”. Tanahnya orang-orang yang
ramah dan bangga dengan bahasanya. Seringnya mereka menggunakan bahasa Sunda,
membuatku jadi terbiasa mendengarnya dan sedikit memahami perkataan mereka. Itu
sangat mempermudahku dalam belajar bahasa Sunda. Tapi jika sudah mentok tak
paham aku hanya bisa berkata,”Punten, abdi teu tiasa basa Sunda”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar