Kamis, 04 Februari 2016

“Mati Rasa” dan Musiknya Orang Manggarai

bersiap menyanyi lagu lokal, saat menyambut kedatangan tim (Tim M)

“Sungguh.. sayang beta mati rasa Nona, cinta yang beta kasi cuma pelarian semata...” itulah sepenggal lagu berjudul “Mati Rasa” yang sering kudengar dalam berbagai kesempatan. Mulai dari di dalam mobil dari Ende menuju Borong hingga rumah-rumah penduduk. Lagu “Mati Rasa” bisa dibilang sangat ngehits pada tahun 2013. Mulai dari Sulawesi hingga Papua, termasuk NTT lagu ini seringkali diputar di berbagai tempat. Anak-anak di kampung pun seringkali terdegar mendendangkan lagu Ambon ini. Lagu ini memiliki beberapa versi, dan versi yang sering diputar konon kabarnya dinyanyikan oleh Pasha “Ungu”.

“Mati Rasa” hanyalah satu dari sekian banyak lagu ambon yang sering terdengar gemanya di bumi Manggarai. Musik yang enak didengar dengan bahasa sederhana mungkin menjadi daya tarik dari lagu-lagu ambon. Selain tentunya kedekatan budaya dan bahasa, sesama “Orang Timur”. Tema lagu yang diangkat pun kebanyakan tentang cinta sehingga sangat disukai anak-anak muda. Selain lagu ambon, lagu latin dan barat pun mereka suka. Yang penting asal iramanya terdengar asyik dan jedag-jedug.

Musik memang tak bisa dipisahkan dari orang Manggarai. Tak hanya di rumah saja, di angkutan umum seperti travel dan otokol pun musik senantiasa bergaung. Kalau nyetel musik pakai DVD di mobil travel mungkin sudah biasa, tapi otokol di sini jadi sedikit pembeda. Otokol yang merupakan truk angkutan pedesaan biasanya punya speaker yang dilekatkan di bagian belakang kepala truk, menghadap ke arah penumpang. Musik disetel keras-keras, hingga terdengar dari jarak jauh. Dari jauh saja sudah terdengar menggelegar, apalagi jika berada di kursi penumpang yang tepat menghadap ke corong speaker. Yang pasti para penumpang lokal cukup menikmatinya.

Meski listrik PLN belum masuk kampung, tapi beberapa rumah punya sound system yang biasa digunakan untuk memutar lagu-lagu kesukaan mereka. Di waktu tertentu seperti saat pesta maupun hari keagamaan, musik disetel keras-keras hingga larut malam. Di hari biasapun seringkali terdengar hentakan musik dari sebuah rumah. Musik seperti ini biasa disetel pada malam hari saat mereka menghidupkan genset. Tidak ada alasan yang spesial, hanya untuk menghibur diri. Maklum saja di kampung terpencil pegunungan Manggarai sulit menemukan hiburan seperti warga di kota. Hanya musik seperti inilah hiburan bagi mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar