Kamis, 04 Februari 2016

Melihat Lingko, Harapan yang Jadi Kenyataan


sawah lingko yang baru masuk masa tanam (Tim M)

Sekitar tiga bulan lalu, seorang kawan menunjukkan foto epiknya hasil dari traveling di Flores. Dari layar ponselnya tampak hamparan sawah dengan pola jaring laba-laba jika dilihat dari atas. Sawah yang saat itu sedang hijau-hijaunya terlihat sangat menakjubkan karena polanya yang unik. Dia pun cerita pengalamannya selama di Flores hingga sampai ke sawah lingko itu. Sempat ngiler juga, pengen rasanya ke sana. Tapi apa daya, uang tak ada. Aku pun hanya bisa bertanya dalam hati, kapan bisa ke sana?  Dan jawabannya pasti “kapan-kapan”


Tak disangka sekarang aku sudah di Flores, Ruteng tepatnya. Katanya sawah jaring laba-laba itu tak jauh dari sini. Setelah tanya sana-sini kami bertiga putuskan untuk ke sana. Angkot yang langsung menuju lokasi biasanya mangkal di pasar. Untuk itu kami harus jalan ke pasar dulu. Sebenarnya ke pasarnya bisa naik angkot tapi, kami pilih jalan kaki saja. Itung-itung sambil menikmati pemandangan Ruteng dan yang terpenting bisa hemat ongkos. Sesampai di pasar, kami naik angkot jurusan Cancar. Perjalanan melewati jalan pegunungan, berkelok-kelok namun tidak membosankan. Setengah jam kemudian kami sampai di Cancar, ongkos angkot 7.000/orang. Dari tempat kami turun, ternyata masih jalan beberapa kilo lagi untuk sampai ke tempat tujuan.

Sebelum naik, kami mampir dulu di rumah pengelola objek wisata ini. Wisata lingko ini masih dikelola secara mandiri oleh si Bapak pemilik rumah itu. Rumahnya sederhana, di dalamnya terdapat beberapa benda budaya khas Manggarai seperti tameng dan pecut (seperti properti dalam tarian Caci). Setelah mengisi buku tamu dan membayar 5.000/orang kami pun segera naik. Ditemani tiga bocah yang sudah membututi sejak keluar rumah, kami naik ke bukit untuk menyaksikan karya luhur orang Manggarai. Jalan setapak sudah cukup bagus, bersih, dan tidak terlalu terjal. Tak sampai seperempat jam kami sudah tiba di puncak bukit. Sawah berbentuk jaring laba-laba terhampar luas. Menurut salah seorang bocah, di sini ada 11 bagian lingko. Lingko adalah sistem pembagian tanah adat untuk pertanian. Pemandangan yang beberapa bulan lalu hanya bisa kulihat dari ponsel, kini sudah bisa kulihat langsung.
canda tiga bocah yang membersamai kami (Tim M)

Matahari semakin condong ke barat, usai puas berfoto ria dengan latar sawah lingko kami pun pulang. Angin bertiup membawa udara dingin menerobos pintu angkot sesaat setelah kami masuk ke dalamnya. Aku memilih duduk menghadap pintu karena masih kosong dan bisa lihat pemandangan dengan leluasa. Seorang kawan perempuan mengikuti dan duduk di sampingku. Lama kelamaan, angkot semakin penuh. Posisi duduk kami pun semakin mendekat dan merapat. Obrolan kami berdua semakin menghangat, membicarakan tentang matahari sore yang begitu indah. Hembusan angin dingin tak begitu terasa karena kehangatan telah tercipta. Sore sederhana yang menyenangkan jadi penutup sempurna jalan-jalan selo ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar