kampung Onar Lama |
Seorang
pengurus kampung tiba-tiba berteriak sambil mengacung-acungkan parang ketika
beberapa kawan hendak mengurus perijinan. Sontak mereka pun lari terbirit-birit
menjauh dari Bapak yang menyambut mereka dengan acungan parang. Kejadian ini
ternyata hanya salah paham saja, si Bapak merasa kami sudah melakukan kegiatan
di kampungnya tanpa ijin. Padahal sebenarnya waktu itu kami mau minta ijin,
tapi si Bapak keburu menghunus parangnya. Singkat cerita akhirnya si Bapak
mengijinkan kegiatan kami tak lama setelah insiden itu. Orang sini memang
gampang emosi, karena itu kami harus berhati-hati agar tidak timbul keonaran
lagi.
Sebenarnya
nama “Onar” di sini bukan berarti kata “onar” dalam bahasa Indonesia. Kata
tetua adat setempat nama “onar” berasal dari kata dalam bahasa lokal “onara”
yang berarti pepohonan sagu. Konon dulu sebelum jadi kampung, daerah ini banyak
terdapat pohon sagu. Kampung Onar telah ada sejak tahun 50-an, diawali dari
pembukaan lahan oleh sebuah perusahaan kayu. Mulanya hanya ada 3 rumah
didirikan di tempat yang sekarang masuk dalam wilayah kampung Onar Lama. Sejak
tahun 60-an mulai berdatangan orang dari kampung lain bahkan pulau lain. Hingga
saat ini kampung Onar Lama dihuni oleh warga yang berasal dari berbagai tempat
seperti pulau Seram, Bugis, dan Papua sendiri.
Tak
hanya dapat sambutan parang, beberapa di antara kami juga sempat dipalak oleh
orang sana. Sebut saja si Om (sengaja ga disebutin namanya), biasa kupanggil
dia dengan sebutan demikian (sok akrab, biar ga dipalak juga.. hehe). Tinggi besar,
badan berotot, kepala botak, wajah sangar, kata seorang kawan mirip Holyfield,
begitulah gambaran si Om. Meskipun bertampang seram, suaranya begitu lembut.
Bahkan kalau malak dia lakukan secara halus namun sedikit memaksa. Kalau cara
malaknya gitu bisa lah ngeles, tapi tampang dan badan besarnya sangat
mengintimidasi.
Sebenarnya
meski berbadan besar dan bertampang seram, si Om ternyata cukup penakut juga.
Kata orang kampung, kalau kita bersikap biasa dan tak tampak ketakutan dia pun
akan segan. Memang benar, sebelumnya aku juga bersikap seperti itu dan dia tak
pernah malak aku. Sempat takut juga sih saat pertama ketemu preman kampung itu,
tapi entah gimana caranya harus bersikap tenang. Karena itu biasanya aku yang
disuruh nemuin, kalau dia datang ke beskem kami. Yang lain terutama para cewek
langsung masuk ke dalam kalau dia datang, trauma karena pernah dipalak. Kalau
buat kami yang cowok ya biasa aja, wong sudah tahu wataknya. Yang penting tetap
tenang dan jaga omongan. Karena kalau sampai salah ngomong dan dia marah, ga bisa dibayangin kalau si Holyfield itu marah (diem aja dah serem,
apalagi marah)..
Suatu malam
dia datang ke beskem dan langsung mendekatiku karena kebetulan sedang sendirian
duduk-duduk di bangku. Diapun menyapa dengan sopan (preman ini memang sopan),
dan mulai obrolan. Dia mengoceh banyak hal, menawariku dengan berbagai barang.
Dari mulai Jakob (kakatua jambul kuning) hingga daun bungkus (semacam daun sakti idaman para lelaki). Aku pun cuma menanggapi sekenanya, pura-pura
tertarik sambil mengulur waktu. Sampai suatu saat dia ngomong “mas yang kemarin
ngasi rokok hitam itu baik ya”.. blablabla. Dia pun mulai memuji seorang kawan
yang pernah memberinya rokok hitam kemarin. Mungkin dia mau nyindir-nyindir
biar diberi rokok. Aku cuma menanggapinya dengan dingin, kalau punya rokok pun
ga akan ku kasih. Menyadari usahanya sia-sia, diapun bertanya, “mas yang ngasi
rokok hitam kemarin di mana ya?”. “dia su balik ke Babo Om” jawabku singkat. “Ohh..
gitu ya” jawabnya. Lalu dia pun ngeloyor pergi tanpa hasil. Setelah dia agak
jauh, kami pun ketawa geli. Gimana ndak ketawa, lha wong oknum pemberi rokok
hitam yang dicari si Om sebenarnya ada di situ juga sedang main poker. Masa
orang segede itu ga liat sih Om, percaya aja kalo dikibulin.. hahaha. Sempat
khawatir juga sih kalau dia tahu sedang dikerjai, bisa-bisa si Om marah besar
dan bikin onar di beskem kami. Dan akulah yang paling terancam di sini.. hmmm..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar