Tampilkan postingan dengan label papuabarat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label papuabarat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 November 2017

Mengenal Lebih Dekat Tenaga Kesehatan di Papua Barat

jalan utama Kampung Tofoi (2013)
Sesosok perempuan muda muncul membuka pintu rumah dinas di komplek puskesmas Tofoi. Memakai kaos, rambut diikat sekenanya, dengan kesadaran yang masih belum pulih benar. Sepertinya dia baru saja bangun tidur, karena agak lama saya mengetuk pintu dan menunggu. Tubuhnya mungil, wajahnya pun masih terlihat imut. Hampir saja saya bilang, “adik, bu dokter ada ka tidak?”. Tapi untungnya pertanyaan bodoh itu tidak jadi keluar dari mulut saya. Setelah tahu maksud dan tujuan saya, dia pun mempersilahkan masuk. Rumah dinas dengan beberapa kamar, satu ruang tamu, dan dapur, cukup besar untuk ditinggali sendiri. Setelah mempersilahkan duduk, dia pun segera membuatkan teh.

Rabu, 01 November 2017

Belajar Toleransi dari Bapak Ibu Guru di Tomage

Bapak Ibu Guru dan Warga Tomage mengantar kepergian kami
Riuh ocehan bocah-bocah terdengar dari dalam gereja. Sabtu pagi adalah jadwal murid-murid SD YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) Santo Titus Tomage untuk jalan-jalan keliling kampung sekaligus bersih-bersih gereja. Usai membersihkan gereja, mereka melanjutkan perjalanan ke jetty/dermaga kampung. Sesekali mereka menyanyikan lagu-lagu rohani yang dibimbing oleh Pak Eli, salah satu guru di SD tersebut. Pria asal Ambon ini memang cukup fasih melantunkan lagu-lagu rohani. Kegiatan rekreasi ini rutin dilakukan untuk menghalau kejenuhan murid-murid setelah hampir seminggu belajar di kelas.           

Senin, 11 Januari 2016

Kulit “Hancur” Karena Agas

jetty tempat nongkrongnya para agas nan ganas

“aduh.. mas kasian ee, kulit ancur kena agas” seloroh seorang mama ketika melihat tanganku yang penuh koreng. Akupun hanya bisa cengar-cengir sementara si mama malah ketawa. Haduh.. ternyata bekas gigitan agas ini makin tampak jelas. Baru kuingat, ternyata kemarin aku barusan main ke jetty milik sebuah perusahaan gas di tengah hutan bakau. Di sana ada banyak sekali agas dan nyamuk-nyamuk ganas. Hanya sebentar saja di sana tapi hasilnya ya seperti ini, kulit jadi ancur.

Sampai di Tofoi, Kembali ke “Peradaban”

salah satu suduh kampung Tofoi

Dan wilayah cacah terakhir dalam kegiatan tahun 2013 ini adalah Tofoi. Tofoi merupakan kota dari distrik Sumuri, yang juga menjadi salah satu kampung penting di kabupaten Teluk Bintuni. Kampung ini tergolong modern dibanding kampung-kampung lain di area Teluk Bintuni. Sebagian jalan utama sudah diaspal. Banyak fasilitas-fasilitas umum seperti Puskesmas, kantor distrik, gereja, masjid, dan pasar, namun jetty nya kurang memadai. Sekolah di sini tersedia mulai dari TK – SMA.

Jangan Bikin Onar di Kampung Onar

kampung Onar Lama
Seorang pengurus kampung tiba-tiba berteriak sambil mengacung-acungkan parang ketika beberapa kawan hendak mengurus perijinan. Sontak mereka pun lari terbirit-birit menjauh dari Bapak yang menyambut mereka dengan acungan parang. Kejadian ini ternyata hanya salah paham saja, si Bapak merasa kami sudah melakukan kegiatan di kampungnya tanpa ijin. Padahal sebenarnya waktu itu kami mau minta ijin, tapi si Bapak keburu menghunus parangnya. Singkat cerita akhirnya si Bapak mengijinkan kegiatan kami tak lama setelah insiden itu. Orang sini memang gampang emosi, karena itu kami harus berhati-hati agar tidak timbul keonaran lagi.

Di Bawah Naungan Pelangi Teluk Bintuni

di bawah naungan pelangi teluk Bintuni

Sore ketinting kami meninggalkan jetty Otoweri. Kali ini gelombang teluk Bintuni begitu tenang. Langit cukup cerah, sementara itu matahari mulai mengendurkan sengatannya. Sejuk, duduk di atap ketinting, dibersamai sepoi angin laut, sangat menyenangkan. Sepanjang mata memandang hanya tampak lautan, hanya di sisi kanan kapal terlihat daratan cukup dekat. Saat ini kapal ketinting bergerak ke arah timur menuju kampung Onar. Sebuah kampung yang terletak di tepi teluk Bintuni.

Kembali ke Otoweri, Surganya Udang dan Buaya

kampung Otoweri dan muaranya yang konon banyak buaya

Selepas menuntaskan tugas di Tomage, saatnya kami berpindah ke kampung selanjutnya yaitu Otoweri yang masih masuk distrik Bomberai, Fakfak. Kembali kapal mengarungi kelok demi kelok sungai menuju ke arah muara. Kami berangkat agak sore, sampai di Otoweri sudah senja. Disambut gelombang dari laut yang kencang, ketinting mendekat ke jetty dengan hati-hati. Sempat beberapa kali terbentur jetty, akhirnya ketinting berhasil merapat dengan selamat.

Di Sini, Harga Kangkung Sepuluh Ribu Seikat

kebun sekolah
Menu makan siang kami kali ini sangat spesial. Tak ada sarden kalengan yang kalau cium baunya saja udah berasa enek. Sayuran segar, kangkung dan terong yang barusan dipetik dari kebun menjadi pembeda. Kalau lauk lain ya masih tetep telur dadar, tapi gapapa lah asal bukan sarden. Selama beberapa minggu terakhir ini kami jarang makan sayur. Di daerah pesisir Teluk Bintuni, pertanian bukanlah budaya dari masyarakat setempat. Kalaupun ada yang bertani, mereka adalah para transmigran yang kebanyakan berasal dari Jawa. Baru beberapa tahun terakhir ini pemda setempat membekali warga di kampung-kampung pengetahuan tentang pertanian salah satunya di Tomage ini. Perwakilan warga tiap kampung di Fakfak diberikan pelatihan singkat mengenai pertanian. Mereka dikirim ke Malang untuk selanjutnya diberi tanggungjawab mengembangkan ilmunya di kampung masing-masing.

Nikmatnya Manisan Pala Buatan Ibu Guru

sekolah tempat Ibu Guru mengabdi

“Mas.. masuk sudah, di dapur su ada manisan pala”, Ibu guru menyuruhku masuk ke dapur. Di sana sudah ada Pak Eli yang baru saja selesai makan. Dia pun menyuruhku buat makan manisan Pala yang terhidang di meja makan. Pertama mengunyahnya terasa aneh, agak pahit, berbau kuat dengan nuansa hangat ketika masuk ke tenggorokkan. Tapi selanjutnya makin terbiasa dan mulai menikmatinya. Manisan pala ini menjadi teman ngobrol kami, menghabiskan waktu siang yang lengang.

Tomage, Kampung yang Tersembunyi di Belantara Hutan Papua.

secarik pelangi di langit teluk Bintuni

Pagi di muara Otoweri, hening sesekali ditimpali kicauan burung di rerimbunan hutan. Langit sedikit berawan membiaskan cahaya matahari yang mulai menampakkan wujudnya. Di ufuk barat langit memerah berhiaskan secarik pelangi. Jangkar masih mengakar di dasar muara. Sejak malam tadi ketinting kami berlabuh di muara Otoweri sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung Tomage, kampung yang letaknya berada di daerah hulu.

Bermalam di muara Otoweri

tiduran di atap ketinting, melepas lelah  

Nasi yang terhampar di nampan kecil itu masih mengepulkan asap tipis. Kemudian sarden yang juga masih hangat ditumpahkan di atas nasi disusul dengan mi instan yang baru saja matang. Sebagai sentuhan akhir, beberapa potong telur dadar dijadikan sebagai topping. Seketika itu juga tangan-tangan kami segera menjamah makanan yang sudah melambai-lambai itu. Nasi yang sudah becek dengan kuah sarden kalengan itu makin becek akibat beberapa tangan masih lembab karena barusan cuci tangan pakai air laut. Potongan telur dan ikan sarden menjadi incaran, siapa cepat dia dapat. Makan bareng dengan nampan seperti ini memang sudah jadi kebiasaan kami terutama saat berada di ketinting. Tak peduli cowok maupun cewek, semua bisa ikutan makan kembulan. Satu nampan memang tidak cukup buat kami bersebelas (termasuk awak kapal). Karena itu kami punya satu nampan lagi dan beberapa piring sebagai cadangan.

Kamis, 07 Januari 2016

Menembus Ganasnya Gelombang Teluk Bintuni

nakhoda dan asistennya serta ketua tim (dalam bingkai) saat badai 

Hujan deras mengiringi perjalanan menuju jetty. Kami putuskan berangkat pagi-pagi benar karena perjalanan menuju kampung selanjutnya butuh waktu seharian. Tomage, adalah nama kampung yang akan kami tuju selanjutnya. Sebuah kampung kecil di tengah hutan, dan masuk wilayah kabupaten Fakfak. Katanya untuk ke sana kita harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok. Karena itu nakhoda menyarankan berangkat pagi-pagi agar saat masuk ke sungai keadaan masih terang. Akan sangat riskan jika memaksakan masuk ke sungai saat gelap karena sungai relatif sempit dan di kanan kirinya berupa hutan lebat.

Kisah Sunyi dari Kampung Wimro yang Sepi


pabrik udang Jayanti yang dulu pernah jaya

Wimro, kampung kecil yang berada di seberang RKI tujuan kami selanjutnya. Beda dengan RKI, Wimro cukup sepi. Tak nampak jajaran kapal yang tertambat di jetty. Tak ada warung atau kios di dekat jetty, hanya terlihat beberapa rumah berdinding kayu kusam saja. Sepanjang jalan kampung yang kami lewati hanya tampak beberapa warga siang itu.

Menikmati Papua Rasa Jawa (Nyaris) Dapat Bonus "Susu Gantung"


selamat datang di Rumah Kayu Indonesia
Sekitar dua jam berketinting dari Babo sampailah kami di kampung Sidomakmur. Kampung Sidomakmur, kok namanya njawani? Macam kampung di Jawa aja. Katanya sih di sini emang banyak orang Jawanya. Jetty sudah penuh sesak oleh beberapa kapal, kami hanya bisa merapat di kapal terdekat. Lompat dari satu kapal ke kapal lain sampailah di atas jetty. Banyaknya barang bawaan membuat kami harus bersusah payah membawanya ke atas jetty. Untungnya beberapa orang di sekitar jetty membantu kami dengan sukarela.

Jalan-Jalan di Babo


jalan utama "kota" Babo

Mobil melaju pelan melintas jalan aspal sempit di tengah padang rumput. Tak lama, tampak sebuah rumah di pinggir jalan di kejauhan juga terlihat beberapa rumah. Di persimpangan, mobil berbelok ke kanan di sini sudah mulai nampak perkampungan yang cukup padat. Di tengah perkampungan itu terdapat sebuah masjid yang cukup besar, tak jauh dari situ ada kantor Distrik (kecamatan). Sesampai di kantor distrik, kami langsung disambut oleh seseorang berperawakan kurus tinggi, berkumis, berkulit sawo matang, dan agak medhok cara ngomongnya. Ya.. dia orang Jawa dan dialah Pak Distrik Babo, sebut saja dia Pak Distrik (lupa namanya). Pak Distrik sudah dua puluhan tahun tinggal di Papua dan sudah cukup lama berada di Babo. Di Babo memang banyak orang Jawa nya.

Dan Akhirnya Sampai Juga di Papua

Bandara DEO Sorong, sebuah awal

Hutan, malaria, konflik, jauh, mahal, itulah lima kata yang terlintas di pikiranku tentang Irian Jaya atau saat ini dikenal dengan nama Papua. Suatu tempat di ujung timur Indonesia, tempat di mana hutan hujan tropis perawan terhampar luas dengan kekayaan alam seperti tanpa batas, namun sayang konflik masih mengisi berita tentang Papua. Dengan segala kelebihan dan kekurangannyannya Papua adalah tempat yang unik sekaligus menarik untuk dikunjungi. Sayangnya kondisi keuangan membuat pergi ke Papua hanya sebatas angan. Tak terbayangkan bagiku untuk sampai ke sana, yang katanya lebih mahal daripada ke Singapura atau Malaysia. Jangankan Papua, untuk bisa traveling ke Taman Nasional Baluran dan kawah Ijen aja harus nabung dan kerja 8 bulan dulu.