Tampilkan postingan dengan label alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label alam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Juni 2015

Nagari Kecil di Dasar Lembah itu Bernama Silokek



Nagari Silokek
Tersembunyi di suatu lembah yang sunyi. Diapit oleh tebing tinggi dengan aliran sungainya yang deras. Di sanalah Nagari Silokek berada. Dalam pemerintahan tradisional Minang, nagari merupakan wilayah hukum yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat termasuk masalah adat. Secara administratif, nagari adalah bagian dari wilayah kecamatan yang dipimpin oleh wali nagari. Dengan kata lain, nagari setara dengan wilayah desa. Nagari Silokek, suatu tempat di mana kedamaian dan ketenangan khas pedesaan begitu terasa.

Rabu, 11 Februari 2015

Menemukan Ketenangan di Pantai Cemara

pantai Cemara

Pulau Lombok terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Pantai berpasir putih yang masih cukup alami menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Tak heran jika Lombok kini menjadi salah satu destinasi wisata favorit. Bukan pantai Kuta Lombok, Senggigi, ataupun pantai-pantai eksotis di tiga gili. Hanya sejumlah pantai indah di ujung pulau Lombok. Pantai yang belum banyak terjamah manusia. Tersembunyi di balik terjalnya medan di Lombok Timur, tiga pantai ini menawarkan pesona tanah perawan pulau Lombok. Tanpa jajaran resort di tepi pantai, tanpa keramaian manusia, dan tanpa sampah.

Pantai Penyisuk, Tersembunyi di Balik Gersangnya Lombok Timur

Pantai Penyisuk

Sekaroh, yang merupakan sebuah desa di ujung selatan Lombok Timur tepatnya di Kecamatan Jerowaru. Sama seperti desa-desa lain di kecamatan ini, Sekaroh memiliki beberapa pantai indah dan masih belum terjamah komersialisasi pariwisata. Wajar saja, letaknya yang terpencil tanpa akses jalan yang memadai membuat pantai-pantai itu tetap perawan.

Dari Taman Edelweiss Sampai Puncak Merbabu yang Mempesona

3142 mdpl, serangkai bunga edelweiss yang masih kuncup tampak menari mengikuti irama angin. Angin yang senantiasa membawa udara dingin di puncak Merbabu. Kehangatan matahari pagi menjadi penawar dingin yang sempurna. Langit biru dengan seulas awan menaungi puncak dan sekitarnya. Tepat di sebelah selatan, Merapi berdiri dengan gagahnya. Cahaya keemasan terpantul dari lereng Merapi di sisi timur. Asap tipis membumbung keluar dari puncak salah satu gunung api teraktif di dunia itu.

1403680219864731737
Serangkai Edelweiss di Puncak Merbabu dengan latar Sindoro-Sumbing yang berdampingan 

Beralih ke barat, dua gunung kembar Sindoro-Sumbing tampak berdampingan. Tak jauh di sebelah timur terlihat gunung Lawu. Sementara itu, di arah utara tampak beberapa bukit dan gunung ungaran. Beberapa bukit yang menjulang membuat kontur tanah di sebelah utara Merbabu ini lebih bervariasi. Samar terlihat petak-petak lahan sayuran warga di lereng-lereng gunung serta bangunan perumahan.


14036803991442934087
lanskap sisi utara Merbabu

Puncak gunung Merbabu, dikenal dengan nama puncak Trianggulasi. Gunung Merbabu memiliki banyak puncak, dengan puncak Trianggulasi sebagai yang tertinggi. Sering juga para pendaki menjulukinya the seven summitskarena ada tujuh puncak di gunung ini. Terdapat tiga puncak dengan ketinggian di atas 3000 mdpl, yaitu Puncak Syarif, Puncak Kentheng Songo, dan Puncak Trianggulasi. Puncak Syarif berjarak sekitar sejam perjalanan ke arah timur puncak Trianggulasi. Di puncak Syarif ini kita bisa menikmati sunrise yang sempurna, dengan lautan awan di bawah dan tanpa terhalang bukit atau gunung. Puncak yang paling terkenal adalah Kentheng Songo. Dinamakan demikian karena terdapat batu berlubang membentuk lumpang yang konon berjumlah sembilan namun hanya tampak tiga saja. Puncak Kentheng Songo ini berada tepat di sebelah timur puncak Trianggulasi, hanya dengan lima menit perjalanan.

Ada Pesona di Tiap Jengkal Tanah Sumba


1408854287280691488
Sabana Sumba (dokumentasi tim)
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

Sepenggal puisi karya Taufiq Ismail berjudul “Beri Daku Sumba” itu bercerita tentang pesona pulau Sumba berupa padang sabana dan kuda-kudanya. Pesona yang sangat jarang ditemukan di tempat lain. Membuat siapapun yang baru pertama kali mengunjungi Sumba akan terpana. Namun, pesona Sumba tak hanya itu saja, masih banyak hal menarik lainnya. Mari kita jelajahi Tanah Sumba.

Kamis, 08 Januari 2015

Merangkai Mutiara Karimata (3): Kembali ke Kalimantan, Mengarungi Selat Karimata

Kapal perlahan menjauhi dermaga Betok, semakin jauh dan kemudian tak tampak lagi karena terhalang bukit. Di sekitar pulau Karimata banyak terdapat pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni maupun yang tidak. Pulau Kepayang adalah salah satu pulau yang berpenghuni. Terletak di sebelah utara pulau Karimata, pulau ini biasa dijadikan sebagai tempat singgah nelayan. Hanya sedikit nelayan yang menetap di pulau ini. Hamparan pasir putih dan pohon kelapa menghiasi beranda pulau Kepayang, sementara di belakangnya tampak hijau pucuk pepohonan. Menurut warga setempat, pulau Kepayang dikenal sebagai penghasil buah-buahan terutama durian. Pulau pasir putih dengan hiasan pohon kelapa, dikelilingi laut yang sangat jernih dengan ikan melimpah, ditambah lagi banyakya buah-buahan tropis, bisa membuat yang tinggal di sana jadi mabuk kepayang.


14206146351085520905
Pulau Kepayang

Keluar dari perairan pulau Karimata, memasuki laut lepas. Di sinilah saat-saat yang paling krusial, tanpa penghalang pulau gelombang akan dengan leluasa bergerak. Arah gelombang masih berasal dari selatan dengan ketinggian mencapai 2 meter. Cuaca cerah dan laut sangat tenang (menurut bang Sema, namun kami sama sekali tidak sependapat), sempurna. Bang Yos yang sekarang pegang kemudi dengan tenangnya mengendali kapal, sementara kami hanya bisa pasrah menerima hempasan gelombang yang bertubi-tubi. 
Sekitar sejam lamanya di laut lepas, kapal memasuki gugusan kepulauan Pelapis. Pelapis merupakan pusat kecamatan kepulauan Karimata yang terdiri dari beberapa pulau kecil dan dua pulau besar yang berpenghuni. Kapal melewati celah antara dua pulau besar tersebut. Di sana banyak terdapat bangunan kelong, baik yang masih dipakai maupun yang terbengkalai. Kelong merupakan bangunan berbentuk panggung dengan pondasi dari kayu dan gubug sederhana beratap alang di atasnya yang berfungsi untuk menjaring ikan teri. Jaring biasanya disiapkan di bawah bangunan kelong, saat malam hari jaring diturunkan. Dengan bantuan lampu, teri siap diburu. Ikan teri yang tertarik terhadap cahaya akan berkumpul di bawah kelong. Saat dilihat kumpulan teri sudah cukup banyak, jaring perangkap yang sudah dipasang sebelumnya akan ditarik ke atas.


14206148711459663067
bangunan kelong di perairan Pelapis

Pelapis juga merupakan pulau dengan pantai pasir putih dengan pemukiman terpusat di area pantai. Hutan di bagian tengah pulau masih terlihat alami. Laut di sekitar pulau biru tosca, begitu jernih dan tenang. Tak jauh dari Pelapis, pulau Penebang tampak samar di balik kabut tipis yang sedari kemarin enggan beranjak dari perairan sekitar Kalimantan. Berbeda dengan Pelapis, pulau Penebang ini sangat sedikit penghuninya. Pulau yang cukup besar ini pantainya didominasi karang, dan di beberapa tempat terlihat pantai pasir putih. Pulau Penebang relatif luas dan memiliki bukit yang cukup tinggi. 


1420614949513335681
pulau Pelapis



14206150851998455144
pulau Penebang berselimutkan kabut asap tipis

Selepas pulau Penebang, kembali memasuki lautan lepas. Namun di area ini gelombang relatif tenang daripada perairan antara Pelapis dengan Karimata. Tak sampai sejam kemudian, sampailah di perairan pulau Maya ditandai dengan banyaknya jermal yang yang didirikan di tengah laut. Mirip seperti kelong, jermal merupakan bangunan semi permanen yang dibangun di tengah laut untuk menangkap ikan. Bedanya adalah, cara kerja perangkapnya. Di salah satu sudut jermal dibuat semacam pagar berbentuk corong yang mengerucut ke bangunan utama. Fungsinya adalah untuk mengarahkan arus air menuju ke perangkap sehingga menjebak ikan-ikan. Cara kerja ini mirip dengan bubu, namun dalam skala besar. 


1420615181244937072
jermal di perairan pulau Maya

Kapal kian laju, membelah tenangnya gelombang laut perairan pulau Maya. Namun tetiba Bang Sema membanting stir ke arah kiri. Tampak di kejauhan bendera kecil berwarna merah yang ditancapkan di sebuah pelampung. Bendera itu adalah tanda ujung pukat yang dipasang nelayan, membentang sepanjang ratusan meter. Cukup banyak pukat yang dipasang di sekitar pulau. Bentangan pukat yang panjang menuntut kewaspadaan bagi para pengemudi kapal cepat. Jika lengah, baling-baling kapal akan rusak karena menyangkut di jala. Parahnya lagi pemilik pukat biasanya akan menuntut ganti rugi karena pukat mereka rusak terkena baling-baling.
Pulau Maya menjadi rangkaian pulau terakhir sebelum kembali ke Kalimantan. Usai sudah perjalanan singkat mengarungi selat karimata. Melihat birunya laut dan hijaunya pulau serta eksotisnya pantai pasir putih di setiap pulau.

Jumat, 15 Agustus 2014

Menikmati Fajar dan Senja di Pulau Langit

Gunung Sindoro, pemandangan dari Gunung Sumbing (dokumentasi tim)
September 2011, pada bulan ini untuk pertama kalinya aku berkesempatan naik gunung. Dua gunung sekaligus kudaki dalam sebulan ini. Keduanya menawarkan pengalaman dan sensasi yang sangat berbeda. Salah satu pengalaman yang ingin kurasakan adalah melihat terbit dan terbenamnya matahari. Sebuah fenomena biasa memang, tapi jika dinikmati dari sudut pandang yang tak biasa berubah menjadi fenomena yang luar biasa. Dalam pendakian ini aku ingin melihat fenomena itu dari ketinggian yang belum pernah kucapai.
awal pendakian
Lereng Gunung Sindoro 2800mdpl, 6 September 2011
Jam 3 pagi, mata ini belum juga bisa terpejam. Hembusan kuat angin pegunungan sejak malam tadi menimbulkan suasana horor di dalam tenda. Aku yang baru pertama kali naik gunung begitu galau mendengar gemuruh angin disusul dengan tenda ikut bergoyang dengan kerasnya. Seakan tanpa jeda, hembusan angin itu menyerang tenda kami dari berbagai arah. Kupikir angin gunung ini akan menghempaskan tenda seisinya ke jurang. Aku hanya bisa meringkuk pasrah di dalam sleeping bag. Sampai jam 3 lebih sedikit, angin mulai berkurang baik intensitas maupun kecepatannya.
Sebenarnya kami berencana muncak mulai jam 3 pagi agar dapat menikmati sunrise di puncak. Namun, akhirnya kami baru bisa berangkat jam 4 pagi. Pagi itu, angin tak begitu kencang, meski demikian hawa dingin tetaplah menusuk walau sudah dibungkus jaket tebal. Jam 5 pagi, suasana sudah mulai terang. Dari arah timur mulai terlihat semburat warna merah, sementara puncak masih cukup jauh. Aku sadar bahwa tak akan bisa mengejar sunrise di puncak. Sambil sesekali istirahat, ku sempatkan untuk melihat keindahan terbitnya matahari.
sunrise Sindoro
Luar biasa! Matahari terlihat muncul dari balik lautan awan putih. Awan yang bergerombol pagi itu terlihat seperti lautan putih sejauh mata memandang. Terlihat di kejauhan dua gundukan tanah di tengah lautan awan yang mirip pulau. Kedua gundukan itu tak lain adalah gunung Merapi dan Merbabu. Terlihat juga gunung Sumbing yang berdiri gagah diselimuti awan bagian bawahnya. Belum seluruh wajah matahari nampak, terlihat sebuah pelangi menaunginya. Sungguh pagi yang sempurna.

Pos 2 jalur Wekas Gunung Merbabu 2500mdpl, 24 September 2011
Tiga tenda sudah didirikan, cukup untuk melindungi kami dari terpaan dinginnya angin gunung malam nanti. Masih jam 4 sore, kamipun mengisi waktu senggang ini dengan berbagai aktivitas mulai dari mencari air sampai sekedar melepas lelah setelah 3,5 jam mendaki dari basecamp. Namun, kesibukan kami terusik oleh penduduk lokal gunung Merbabu. Dia mengendap-endap dan berhasil mencuri persediaan beras memanfaatkan kelengahan kami. Tidak hanya itu, dia juga berhasil menggondol sebungkus keju! Tanpa merasa berdosa, dia melahap makanan curiannya di balik semak-semak. Sementara itu, kami masih terpaku tak berdaya di sekitar tenda sambil mengutuki kebodohan kami. Semua persediaan beras memang disimpan dalam satu tempat. Jadi dalam pendakian ini sudah pasti kami tidak dapat menikmati nasi. Kembali teringat teori portofolio investasi “jangan taruh semua telur dalam satu keranjang”.

Akhirnya kami hanya bisa memasak sayur sop dan tempe (tanpa nasi) untuk makan malam. Kebutuhan karbohidrat dipenuhi dari mie instant dan roti yang untungnya tersedia cukup untuk tiga kali makan. Setelah agak longgar, kusempatkan untuk merebahkan diri di atas sekumpulan ilalang yang sudah mengering. Cukup untuk menghangatkan tubuh di tengah udara yang semakin dingin. Menatap birunya langit biru yang bersih, hanya ada awan tipis menghiasinya. Di arah puncak, terlihat hijaunya bukit dengan latar langit biru. 

Jam di HP menunjukkan pukul 17.15, sudah saatnya aku bergabung dengan kawan-kawan yang lain di pinggir tebing untuk melihat sunset. Tebing itu berada tidak jauh dari lokasi tenda, tepatnya di sebelah barat. Tempat itu memang menjadi favorit para pendaki untuk menikmati keindahan matahari terbenam. Dari tebing itu dapat dilihat air terjun dan aliran sungai yang ada di bawah. Meski tertutup kabut tipis, masih bisa terlihat kelokan aliran sungai dan hijaunya pepohonan di lembah gunung Merbabu.
jelang senja di gunung Merbabu (dokumentasi tim)
Matahari sudah semakin rendah memancarkan cahaya kuning keemasan. Langit mulai berubah warna menciptakan gradasi yang mengagumkan. Dari kejauhan terlihat dua gunung kembar Sindoro-Sumbing. Kedua gunung itu terlihat seperti pulau yang berdampingan di tengah lautan awan. Matahari pun semakin condong dan perlahan tenggelam ke dalam lautan awan. Meskipun matahari sudah tak tampak lagi, aku masih terpaku karena terpukau oleh keindahan sunset yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sementara itu, kawan-kawan yang lain sudah menuju tenda meninggalkan aku dan salah seorang kawan di tepi tebing. Sesekali kami ngobrol, tapi lebih banyak diam menjadi saksi keagungan Tuhan.

Liburan ala Bule di Gili Trawangan

three gilis map
Surga dunia, pulau eksotis, dan sederet istilah lebay lainnya digunakan untuk menggambarkan keindahan Gili Trawangan. Pulau kecil di sebelah barat pulau Lombok ini sudah sangat tersohor di kalangan para traveler dunia. Bersama dua pulau kecil lainnya, Gili Air dan Gili Meno tiga rangkaian pulau kecil ini menjadi lokasi favorit untuk berwisata bahkan berbulan madu. Dari ketiga pulau itu, memang Gili Trawangan yang paling terkenal.

Gili Trawangan adalah destinasi wisata yang sebenarnya tidak kami rencanakan sebelumnya. Ini adalah perjalanan dadakan untuk memanfaatkan waktu istirahat selama beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan pesawat ke Jogja. Salah seorang kawan kebetulan pernah ke sana dan punya kenalan yang sering liburan ke sana sehingga kami pun dapat kontak penginapan murah di sana. Kami beruntung, karena salah satu dari kami adalah kawan dari langganan mereka, pihak penginapan mendiskon tarif kamar.

Menggunakan kapal motor umum, kami menyeberang dari Lombok ke Gili Trawangan. Sekitar setengah jam kemudian kapal yang kami tumpangi sudah sampai di Gili. Tak ada kendaraan bermotor, hanya ada sepeda dan cidomo (dokar) sebagai alat transportasi. Jalanan utama begitu bersih nyaris tanpa sampah berserakan. Di sepanjang jalan banyak terdapat toko cinderamata, agen travel, penginapan, dan minimarket. Sementara itu restoran kebanyakan berada di sisi yang langsung berbatasan dengan pantai. Bule-bule bertebaran di mana-mana. Sejauh mata memandang tak satupun terlihat wisatawan lokal.
jalanan gili trawangan
Cukup jauh kami berjalan kaki dari tempat kapal bersandar menuju penginapan. Sebuah ranjang berkapasitas dua orang, lemari, kipas angin, dan kamar mandi dalam adalah fasilitas kamar yang tersedia. Ada empat kamar yang sederet dengan kamar kami. Dua kamar kami tempati, satunya ditempati sepasang bule, dan satunya lagi kosong. Di depan setiap kamar terdapat berugak (gubug kecil khas Lombok) yang sangat nyaman dijadikan tempat istirahat. Air di penginapan payau, katanya di Gili kebanyakan air tanahnya payau.
halaman depan penginapan
Usai rehat sejenak, kami keluar untuk jalan-jalan menikmati suasana sore di Gili Trawangan. Tak banyak orang yang lalu-lalang di jalan sore itu. Namun di pantai sudah terlihat banyak wisatawan yang sedang bersantai menanti senja. Kebetulan pantai yang kami kunjungi menghadap ke arah timur sehingga tidak bisa melihat sunset namun esok ada harapan untuk dapat menikmati sunrise. Pantai pasir putih ala Gili Trawangan yang terkenal akan keindahannya itu akan segera kami sambangi. Sayangnya keeksotisan pantai pasir putih Gili ternodai oleh sampah-sampah yang berserak. Dari ranting-ranting pohon sampai sampah bungkus makanan sudah terlihat dengan jelas saat kami masuk ke area pantai. Pantai yang buruk, kesan pertama saya. Sangat berbeda dengan ekspektasi yang terbentuk dari berbagai sumber yang menceritakan keindahan Gili Trawangan.
sampah terserak di tepi pantai
Sampah di pantai tidak mempengaruhi para wisatawan untuk tetap menikmati suasana sore di tepi pantai. Lagi-lagi hanya terlihat wajah-wajah berkulit putih. Baru setelah agak lama berada di pantai, tampak seorang berwajah lokal sedang menggendong anak bule. Tak banyak yang para wisatawan lakukan di pantai sore itu, hanya duduk-duduk santai dan ada yang bermain dengan anak-anaknya. Mereka terlihat sangat menikmati liburan dan tidak memikirkan apapun kecuali bersenang-senang. Berbeda dengan kami yang kebingungan saat malam tiba. Di sepanjang restoran yang kami susuri tak ada satupun yang bersahabat bagi kantong kami. Daftar menu dan harga yang tertera di papan tulis berstandar internasional. Selera makan pun hampir menghilang, sampai ketika saya lihat salah satu menu “vegetable fried rice... 20K”. Itulah harga makanan termurah yang dapat ditemukan. Harga barang dan makanan di Gili Trawangan memang mahal, bisa sampai tiga kali lipat dari harga normal.

Memasuki restoran, si pelayan menunjukkan tempat duduk yang masih kosong. Dasar ndeso, kami memilih untuk duduk lesehan di berugak yang letaknya di sudut restoran tanpa penerangan yang memadai. Si pelayan sempat menganjurkan untuk duduk di dalam dengan alasan tempat yang kami pilih agak gelap, namun pendirian kami tetap tak tergoyahkan. Nantinya si pelayan akan mafhum dengan keputusan ini. Di saat para tamu yang kebanyakan bule sedang makan dengan elegan, sementara di berugak kami makan dengan gaya kampungan. Ngobrol sambil cekikikan, sesekali tertawa terbahak-bahak. Sangat kontras dengan suasana dalam restoran yang begitu tenang dan kondusif.

Saat memesan makanan, si pelayan pun tanya minuman apa yang kami pesan. Kami pun kompak menjawab ga usah pake minum aja (sudah cukup dengan nasi goreng 20K). Dengan tersenyum, si pelayan bilang “air putihnya gratis kok” (ah.. sial, tau aja kalo kami turis kere). Kami pun tidak menanggapi serius tawaran si pelayan. Antara malu tapi mau dan kami pilih tetap pesen makan tanpa minum. Vegetable fried rice 20K telah dihabiskan, rasa biasa harga luar biasa. Bekal 1,5 botol air mineral ukuran tanggung menjadi penawar rasa seret kami usai makan.

Paginya kami yang sudah berniat ingin melihat sunrise bergegas ke pantai setelah bangun tidur. Sudah agak terang ketika kami sampai di pantai. Namun matahari belum juga muncul karena terhalang awan yang menggumpal di ufuk timur. Selang beberapa menit kemudian, bola emas matahari muncul dari balik awan. Cahaya merahnya terpantul dengan sempurna di laut yang begitu tenang. Samar terlihat pantai Gili Meno tepat di bawah matahari. Sunrise yang tidak sempurna, namun tetap terlihat indah.
menyambut pagi di gili
Suasana pantai masih sepi, jarang terlihat turis yang wara-wiri di pantai. Di antara sepinya pantai, terlihat seorang turis asal Jepang sedang membawa sampah botol bir dan air mineral berjalan menuju tempat sampah. Ternyata masih ada yang peduli terhadap sampah di pantai. Sampah memang menjadi masalah klasik yang selalu terjadi pada tempat wisata di Indonesia tak terkecuali di Gili Trawangan. Pulau yang disebut pulau surga ini bagi saya tak ubahnya seperti pantai wisata biasa yang tercemar sampah. Sebagai pulau wisata, Gili Trawangan menghasilkan sampah yang banyak. Memang, sebagian besar sampah-sampah tersebut terbuang di tempat yang seharusnya. Namun, ada sebagian lagi yang lolos dan mencemari area pantai.
membuang sampah pada tempatnya
Di penghujung waktu liburan, kami manfaatkan untuk ikut tur snorkeling di perairan tiga gili. Dengan membayar 100 ribu per orang kami mendapat fasilitas masker snorkeling, jaket pelampung, sebotol air mineral, pemandu, dan diantar ke tiga spot snorkeling. Satu rombongan tur berisi sekitar 20 orang wisatawan, dan kami lah satu-satunya turis lokal dalam rombongan tersebut. Sebagai minoritas, kami harus mengalah karena penjelasan dari pemandu yang menggunakan bahasa Inggris. Tergabung dalam rombongan ini seperti berada dalam tur wisata internasional.

Dari kami bertujuh, lima orang tidak bisa berenang termasuk saya. Saya sama sekali tidak pernah berenang sempat panik saat pertama kali menceburkan ke laut. Beruntung, saya bisa segera sadar kalau sedang pakai pelampung dan membiarkan tubuh mengambang dengan sendirinya. Untuk menjaga satu sama lain (biar ga ilang keseret arus), kami saling berpegangan tangan. Ada kalanya salah seorang dari kami terpisah dan dengan paniknya minta di-rescue. Meski berpegangan tangan sempat kami panik ketika arus begitu kuat dan menyeret kami ke pinggir pantai. Kegiatan snorkeling ini bagi kami tak ubahnya seperti ajang mempertahankan nafas/nyawa (Jangankan menikmati keindahan bawah laut, bertahan dari kuatnya arus laut aja susahnya setengah mati). Sementara para bule satu rombongan dengan asyiknya berenang ke sana ke mari. Kami begitu panik karena arus kencang, sementara para bule itu menikmati keindahan bawah laut dengan tenang dan elegan.

para perenang amatiran (hanya satu yg bisa diandalkan)
Selepas tur snorkeling, waktunya kami segera berkemas dan menuju ke pelabuhan. Sorenya dengan menumpang kapal umum, kami kembali ke Lombok. Usai sudah liburan dua hari satu malam di Gili Trawangan dan sekitarnya. Liburan di tempat favorit para bule dan mencoba menikmatinya seperti mereka. 

Kamis, 07 Agustus 2014

Jalan-Jalan ke Pantai Sadranan

Pantai Sadranan
Untuk ke sekian kalinya, saya bertandang ke pantai Gunung Kidul. Kali ini saya diajak lebih tepatnya dipaksa seorang kawan untuk menemaninya ke pantai Sadranan. Dengan agak malas, saya turuti permintaannya. Perjalanan cukup panjang selama dua jam kembali saya tempuh untuk menuju ke wilayah pantai Gunung Kidul. Di tengah jalan banyak terlihat rombongan sepeda motor yang berkonvoi menuju pantai. Mobil-mobil berplat luar daerah dapat dengan mudah dijumpai selama perjalanan, tak ketinggalan bus-bus pariwisata juga turut meramaikan jalan. Pemandangan yang cukup aneh mengingat hari itu adalah hari kerja kedua setelah libur lebaran 2014. Meski bukan hari libur masih banyak juga wisatawan yang berkunjung ke sana. Ah... Gunung Kidul emang ga ada matinya.

Gunung Kidul dikenal akan pantai pasir putihnya yang indah. Salah satu  yang cukup terkenal adalah pantai Sadranan. Pantai ini terletak satu kompleks dengan pantai Sundak. Akses menuju pantai ini sudah cukup bagus, hanya saja beberapa ratus meter sebelum tempat parkir, jalanan masih berupa jalan tanah berbatu. Memasuki area pantai, mata langsung dimanjakan oleh pemandangan birunya air laut. Pasir putihnya memantulkan cahaya matahari siang sehingga terlihat agak menyilaukan. Gradasi warna air laut dari hijau ke biru terlihat memikat. Terlihat beberapa  anak bermain air, ada juga serombongan remaja jalan-jalan di tepi pantai. Tersedianya persewaan alat snorkeling semakin menambah pilihan wisatawan untuk menikmati keindahan pantai.
deretan gubuk wisata di Pantai Sadranan
Teriknya matahari membuat sebagian pengunjung bersantai sambil berteduh di tempat teduh tentunya. Ada yang duduk-duduk di cekungan batu karang, tiduran di bawah pohon, dan ada yang memilih untuk bersantai di gubuk sambil menikmati suasana pantai. Deretan gubuk memang sudah disiapkan oleh pengelola untuk memanjakan wisatawan. Gubuk-gubuk seluas 2m x 2m  itu terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang. Untuk memberi kenyamanan, lantai gubuk dialasi dengan tikar. Dengan merogoh kocek 20 ribu, kita bisa menikmati fasilitas itu.

Bosan dengan suasana pantai, kami naik ke atas sebuah bukit. Dari kejauhan bukit itu terlihat dipehuhi oleh beberapa bangunan villa. Serpihan bebatuan disusun menjadi anak tangga sebagai akses menuju komplek villa itu. Tiga buah bangunan terbuat dari kayu berdiri kokoh di puncak bukit. Di sekitarnya terdapat taman yang dihiasi beragam jenis bunga dan tanaman yang disusun sedemikian rupa sehingga terlihat elok dipandang. Di beranda salah satu bangunan terdapat meja dan kursi yang menghadap langsung ke arah laut. Dari sudut itu, lanskap laut dan perbukitan terlihat sempurna dengan adanya taman di depan villa.
lanskap mewah pantai Sadranan
Kami bisa dengan leluasa keliling di sekitar villa dan duduk-duduk santai di beranda karena di sana sedang sepi. Dua bangunan terkunci sedangkan satunya terbuka namun nampak sepi. Puas menikmati “kemewahan” gratisan itu, kami pun segera turun. Istirahat sebentar sambil menikmati kesegaran es kelapa muda. Siang itu suasana pantai masih ramai. Panasnya sengatan matahari tak menyurutkan minat wisatawan untuk menikmati keindahan pantai Sadranan. Bahkan di hari kerja seperti ini pun pantai masih saja dikunjungi banyak wisatawan. Pesona pantai Sadranan ditambah dengan pengelolaan yang semakin bagus membuat tempat ini menjadi salah satu destinasi favorit wisata pantai Gunung Kidul.
  

Senin, 21 Juli 2014

Menyusuri Jalan Jamin Ginting, Menjelajah Tanah Karo yang Memukau



13914110882058503216
Gunung Sinabung tegak berdiri di ujung jalan (dok. pribadi)

Jam menunjukkan pukul 7 lebih, sesaat setelah mobil sewaan datang kami berebutan masuk. Tak sabar rasanya untuk menyambangi danau terbesar se Asia Tenggara. Di antara kami bertujuh, hanya dua orang yang pernah ke Danau Toba. Seorang kawan yang merupakan “orang lokal” bertugas menjadi sopir sekaligusguide kami. Sambil menyalakan mesin dia menanyakan mau makan di mana. Terserah... jawaban konvensional dan paling aman. Segera dia menyarankan suatu tempat, “gimana kalau kita makan di Peceren aja?”. Sejenak kami terdiam, dan pecahlah tawa di dalam mobil itu. Hanya si guide saja yang bengong kebingungan. Kami biarkan dia larut dalam kebingungan sejenak, lalu menjelaskan arti peceren dalam bahasa Jawa. Sambil tertawa, dia berkata, “ayo kita makan di “Comberan”!”.

Senin, 26 Mei 2014

Menguak Pesona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango



Perjalanan panjang selama hampir 10 jam harus kami tempuh dari Jogja menuju Bandung menggunakan KA Kahuripan. Usai istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan menuju terminal Leuwi Panjang. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah tujuan utama kami. Perjalanan ini sudah kami siapkan sejak sebulan yang lalu. Mulai dari pemesanan tiket KA sampai pengurusan booking perizinan pendakian di kawasan TNGGP yang saya pikir sangat ribet. Dibanding gunung-gunung lain, perizinan pendakian di TNGGP memang serba berbelit-belit dan menyusahkan terutama bagi yang berdomisili di tempat yang jauh dari lokasi. Hanya rasa penasaran saja yang membawa kami ke tempat itu, lokasi pendakian favorit di Jawa Barat.
pertigaan Cimacan yang ramai
Bus “Garuda Pribumi” jurusan Jakarta via Puncak membawa kami menuju ke Cimacan, Cianjur. Dengan harga tiket Rp30.000, mereka sediakan fasilitas AC, Bagasi, dan TV. Tayangan sinetron picisan yang tersaji di layar televisi mampu membuat saya tertidur. Sekitar tiga jam kemudian sampailah kami di pertigaan Cimacan, tak jauh dari istana Cipanas. Di pertigaan itu, beberapa angkot sudah siaga menyambut penumpang. Tak perlu waktu tunggu, sesaat setelah kami naik, angkotpun langsung meluncur ke arah TNGGP. Angkot yang tadinya hanya berisi kami berdua, perlahan dimasuki beberapa penumpang. Tak sampai setengah jam, angkot sudah berhenti tepat di depan pelataran parkir TNGGP. Setelah membayar Rp6.000 untuk 2 orang ke sopir angkot, kami pun langsung menuju ke kantor TNGGP untuk mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi).
kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Gagal mendaki adalah kemungkinan terburuk yang siap kami hadapi mengingat jumlah tim yang hanya dua orang (sesuai peraturan, minimal ada tiga orang dalam satu tim). Sebenarnya saat booking online kami mendaftarkan tiga orang, namun seorang kawan mendadak urung ikut. Karena sudah terlanjur pesan tiket kereta PP, mau tak mau harus ke sana. Di luar dugaan, petugas dengan entengnya menyarankan kami gabung ke tim pendaki lain yang kebetulan akan naik sore itu.  Ternyata, meski memiliki peraturan yang serba ribet masih ada sedikit “celah” yang bisa meringankan.

Jam setengah lima sore, kami mulai pendakian bersama para Kaskusers regional Cianjur Selatan yang berjumlah sekitar 20 orang. Sore itu mendung menggantung di kaki gunung Gede. Menurut Pak Nana, petugas di posko pendakian, akhir-akhir ini tiap sore hujan mengguyur wilayah gunung Gede. Hampir sejam kemudian, sampailah kami di jembatan kayu (sebenarnya terbuat dari beton, namun dibentuk seperti kayu). Jembatan sepanjang 1km itu membentang di atas sungai-sungai dan cekungan kecil. Kabut tipis pun mulai turun perlahan. Di kejauhan, hutan Pangrango terlihat suram berselimut kabut. Hawa dingin mulai menembus pakaian yang kami kenakan. Tak kuat menahan dingin, kami pun minta izin kepada ketua tim Kaskusers untuk jalan duluan untuk kemudian bertemu kembali di Kandang Badak.
(mirip) jembatan kayu
Setengah jam kemudian, rintik hujan mulai tercurah dari langit. Segera ponco dan headlamp kami kenakan mengingat suasana yang semakin gelap. Vegetasi hutan yang lebat membuat kami hanya bisa melihat kondisi di sekitar jalur pendakian saja. Beruntung, jalur pendakian di TNGGP via Cibodas relatif lebar dan jelas sehingga sangat memudahkan bagi kami yang baru pertama mendaki di gunung ini. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di kawasan air panas. Ini adalah salah satu dari dua rute pendakian gunung Gede via Cibodas yang berbahaya. Di rute ini pendaki, harus melewati aliran air panas sepanjang sekitar 500m dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain. Rute ini sangat sempit, dibatasi dua jalur tali selebar tak lebih dari satu meter. Selain licin, panasnya air yang mengalir membuat pendaki harus ekstra hati-hati untuk melewatinya. Sangat disarankan untuk memakai sepatu untuk sedikit melindungi kaki dari panasnya air. Kabut yang tercipta akibat uap panas akan memperpendek jarak pandang, karena itu dibutuhkan senter dengan cahaya yang memadai jika melintas di malam hari. Setelah menempuh lima jam perjalanan yang melelahkan sampailah kami di Kandang Badak, lokasi mendirikan tenda yang menjadi favorit pendaki karena dekat dengan puncak.

Jam 10 malam, tenda telah didirikan dan usai menyantap nasi bungkus kamipun segera tidur. Suhu di kandang badak relatif tidak terlalu dingin, cukup nyaman untuk tidur. Esoknya, kawan sependakian saya memutuskan untuk tidak ikut muncak. Akhirnya pada 5.45 saya mulai perjalanan ke puncak. Saat itu hanya saya saja yang muncak, sebagian besar pendaki sudah mendaki sejak dini hari tadi untuk mengejar momen sunrise. Perjalanan diawali dengan mendaki jalur makadam sampai pertigaan Pangrango. Untuk menuju puncak gunung Gede lurus saja, sedangkan bila ingin ke puncak gunung Pangrango ke arah kanan. Kali ini saya akan ke puncak Gede saja. Setelah pertigaan itu, jalur berupa tanah dengan akar-akar pohon yang membentuk seperti tangga. Dibandingkan jalur pendakian di bawah kandang badak, jalur menuju puncak ini relatif terjal. Meski di sekitarnya pepohonan cukup lebat, namun jalur pendakian sangat jelas dan nyaris tak ada percabangan yang membingungkan. Di beberapa tempat terpasang tiang-tiang kecil dengan tali yang membentang diantaranya.
rute menuju puncak
Sekitar sejam dari kandang badak, sampailah saya di tanjakan setan. Tanjakan itu sangat terjal, dengan kemiringan hampir 80 derajat kita harus memanjat untuk sampai ke atas. Karena takut ketinggian dan dalam posisi sendiri, saya memutuskan untuk menghindari tanjakan setinggi sekitar 10 meter. Jalur alternatiflah yang saya pilih, sedikit memutar memang namun tidak terlalu terjal. Setengah jam kemudian, kawah gunung Gede sudah terlihat. Kini saya hanya perlu menyisir tebing di tepi kawah untuk sampai ke puncak. Tepat di belakang, tampak gunung Pangrango berdiri dengan gagahnya. Sementara itu tepat di bawah terlihat asap tipis mengepul keluar dari sisi tebing yang berwarna keemasan.
tanjakan setan
Tak sampai 10 menit, saya sudah sampai di puncak gunung Gede. Hanya tiang kecil dengan papan bertuliskan “Puncak Gede” sebagai penanda kalau saya sudah sampai di puncak gunung dengan  tinggi 2985 mdpl. Beberapa lokasi di puncak Gede didirikan beberapa tenda. Puncak gunung Gede memang sangat cocok untuk lokasi kemah karena di beberapa titik terdapat lokasi yang terlindungi oleh semak dan pepohonan kecil. Sekitar setengah berada di puncak kemudian turun, tak perlu berlama-lama di puncak jika sendirian. Sebelum turun, saya bertemu dengan rombongan Kaskusers. Mereka mengajak saya turun ke alun-alun Suryakencana, tanah lapang di mana edelweiss banyak tumbuh di sana. Sempat ngiler saya ketika melihat Suryakencana yang ada di bawah, mungkin tak sampai setengah jam untuk ke sana. Namun, karena tidak ingin kemalaman sampai Bandung saya pun memutuskan untuk segera turun.
area puncak gunung Gede
kawah gunung Gede

megahnya Pangrango
Matahari sudah mulai meninggi, namun sinarnya sedikit terhalang oleh rapatnya vegetasi hutan gunung Gede. Sinar Mentari tampak menembus celah dedaunan membentuk tirai cahaya. Kicauan burung bersahutan, menambah semarak pagi. Kali ini saya tidak sendiri, ada beberapa rombongan pendaki lain yang juga turun serta sempat berpapasan dengan rombongan pendaki yang naik. Sejam kemudian, sekitar jam 9.20 saya sudah sampai di kandang badak. Segera kami packing setelah menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh kawan saya yang tidak ikut muncak.
cahaya matahari menembus sela dedaunan
Jam 9.50 kami beranjak turun dari kandang badak. Tak sampai sejam, kami sampai di kawasan air panas. Kawan saya pun mengajak turun ke kali untuk berendam air panas. Sebenarnya aliran air yang letaknya sekitar 30m di bawah jalur pendakian itu bukan murni air panas. Air panas murni ada di beberapa titik sepanjang kali, dialirkan melalui pipa dan ada juga saluran alami. Sumber air panas itu berasal dari aliran air yang letaknya ada di atas kali. Berendam air panas memang sangat cocok untuk relaksasi otot-otot yang telah bekerja keras selama pendakian.

Setelah puas berendam air panas, kami lanjutkan perjalanan turun gunung. Beberapa menit kemudian tibalah kami di jalur air panas. Kini terlihat jelas jurang yang menganga di sebelah kiri. Ternyata jalur itu merupakan bagian dari air terjun panas dengan debit air yang tidak terlalu besar. Tidak seperti semalam di mana kami begitu tegang melewatinya, siang ini kami lalui jalur ini dengan santai. Selain karena medan terlihat jelas, air terasa tidak sepanas malam tadi mungkin karena sudah terbiasa dengan suhu panas air setelah berendam tadi. Jadi agar tidak panik karena kepanasan, sebelum melewati jalur air panas ini sebaiknya menyesuaikan dulu dengan merendam kaki sejenak untuk membiasakan.
jalur air panas yang mendebarkan
Sebelum turun sampai pos pengecekan SIMAKSI, kami beristirahat di pertigaan curug Cibeureum. Di papan petunjuk tertulis, jarak curug hanya 0,3km dari pertigaan. Sangat dekat hanya 300 m, tak sampai 5 menit sudah sampai. Tanpa pikir panjang, saya segera meluncur ke curug meninggalkan kawan yang nampak kepayahan dan tidak mau ikut ke sana. Jalur menuju curug berupa makadam dengan jembatan yang terbentang di atas kali. Lima menit kemudian, hanya gemuruh air yang saya dengar tanpa terlihat aliran air terjun secuil pun. Ternyata dugaan saya salah, dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai ke curug. Mungkin yang dimaksud jarak 0,3km itu adalah jarak lurus dari pertigaan ke curug bukan jarak jalurnya atau mungkin itu hanya untuk “menipu” pengunjung agar tidak malas untuk jalan 2km.
Curug Cibeureum
Cibeureum, agak susah dilafalkan lidah Jawa seperti punya saya. Untuk menjangkaunya pun cukup sulit untuk wisata umum karena masuk dalam jalur pendakian gunung Gede Pangrango. Diperlukan waktu lebih dari sejam perjalanan dari kantor TNGGP. Namun, kesulitan itu terbayar lunas ketika kita sampai di depan air terjun. Muncul dari celah pepohonan, aliran air terjun berketinggian 30m ini mengalir dengan derasnya. Hijaunya tebing di sisi kiri dan kanan curug membuat pemandangan semakin sejuk. Di sebelah curug Cibeureum terdapat dua curug lain yang lebih kecil namun tinggi. Banyak wisatawan yang bekunjung ke curug Cibeureum, bisa jadi disebabkan karena bertepatan dengan hari libur (hari buruh). Namun di samping itu, fasilitas yang cukup lengkap menjadi faktor penarik bagi pengunjung. Beberapa gazebo dibangun sebagai tempat beristirahat, serta jembatan-jembatan kecil yang mempermudah pengunjung.
curug lain di area TNGGP

Hanya sekedar mengambil beberapa gambar dan memuaskan hasrat keingintahuan saya, tak perlu berlama-lama di sana. Kami lanjutkan perjalanan, sekitar jam 2 sudah sampai di kantor TNGGP. Perjalanan yang terasa begitu panjang dari pertigaan Cibeureum ke bawah, mungkin karena kecapekan. Seperti biasa, naik gunung pasti menguras tenaga. Namun pendakian gunung Gede via Cibodas ini serasa seperti wisata saja. Ada banyak tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti curug Cibeureum, Cipanas (air panas), puncak, dan tak ketinggalan hutan taman nasional yang masih terjaga. Saya rasa tidak rugi harus mengurus perijinan yang ribet untuk mendaki gunung Gede karena cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat. 

Kamis, 22 Mei 2014

Dari Moleknya Kampung Mojang, Sampai ke Kawah Kamojang yang Elok

Menjelang tengah hari, awan mendung menggantung di langit kampung Mojang. Segelas kopi panas dan beberapa potong gorengan menemani kami menikmati sejuknya udara pegunungan. Terlihat beberapa petani sibuk menanam di lereng yang terjal. Suatu tugas yang tidak mudah, bertani di lereng-lereng bukit. Dibutuhkan tenaga, keterampilan, dan keberanian ekstra untuk menjadi petani di lahan miring. Risiko jatuh maupun tanah longsor nampaknya tak menciutkan nyali mereka demi untuk mencari sesuap nasi. Saya hanya bisa menikmati secara visual hasil karya mereka. Menyulap area perbukitan monoton menjadi lebih “berwarna” dengan adanya berbagai tanaman yang tertata rapi.

Senin, 21 April 2014

Garut, Harta Terpendam Bumi Priangan

Dodol dan Aceng Fikri, itulah yang ada di benak saya tentang Garut sebelum bertandang ke sana. Tidak banyak yang saya ketahui tentang Garut karena kurangnya informasi dari media massa seperti televisi. Baru beberapa bulan yang lalu nama Garut terangkat oleh kasus nikah siri yang menjerat Bupati Garut saat itu. Sebuah isu yang mempopulerkan Garut, namun sayangnya dalam hal yang negatif. Seorang kawan pernah menceritakan pengalamannya saat berada di suatu daerah. “Anak buahnya Aceng Fikri ya..” celetuk seseorang yang dia temui sesaat setelah mengetahui identitasnya sebagai orang Garut. Saking seringnya media membahas isu itu, membuat sebagian orang mengenal Garut identik dengan Aceng Fikri. Padahal Garut tidak sesempit itu, tidak hanya sebatas dodol atau Aceng Fikri saja. Garut yang juga mendapat julukan kota intan itu memiliki banyak hal menarik yang jarang ditemui di tempat lain.

Pagi yang Sempurna di Puncak Syarif Merbabu

pagi yang sempurna di Puncak Syarif
Alarm HP berbunyi, menunjukkan pukul 02.30. Beberapa saat kemudian kami bertiga sudah terbangun dan duduk-duduk sambil mengumpulkan kesadaran. Malas rasanya keluar tenda dan merasakan udara dingin gunung Merbabu. Namun sesaat kemudian terdengar suara ajakan untuk muncak dari tenda sebelah. Tanpa buang waktu, kami segera berkemas seadanya untuk bekal summit attack. Senang rasanya bisa dapat kawan baru saat pendakian. Dalam pendakian gunung, kita mudah akrab dengan pendaki lain yang belum dikenal sebelumnya. Mungkin karena kesamaan tujuan dan “penderitaan” lah yang menyebabkan hubungan antar pendaki cukup hangat meski belum saling kenal.

Senin, 20 Mei 2013

Menuju Jogja, Mengenang Kereta Ekonomi yang Masih Ekonomis

Kereta Progo yang Penuh Sesak (sumber: citizenimages.kompas.com)
Perjuangan yang menguras emosi dari Bogor menuju Senen telah usai. Mulai dari mengejar KRL listrik di tengah kemacetan kota Bogor sore tadi. Sampai yang terakhir harus naik taksi ke Senen karena jalur KRL tidak lewat sana. Kami langsung menuju antrian loket. Nampak antrian yang cukup menggambarkan kondisi di dalam kereta nanti (sumpek, pengap, pokoknya sangat tidak nyaman). Namun apa boleh buat, kami harus segera kembali ke Jogja karena tidak mungkin menunggu sehari lagi di Jakarta. Akhirnya kami dapat tiket berdiri untuk 3 orang. Tiket yang tidak akan pernah bisa didapatkan saat ini. 

Lempuyangan - Senen

Stasiun Lempuyangan

Teringat kembali perjalanan pertamaku ke Jakarta. Dengan kereta ekonomi yang masih "merakyat" waktu itu. Empat tahun yang lalu, di stasiun Lempuyangan. Kereta perlahan-lahan berjalan meninggalkan stasiun. Sebenarnya aku duduk bersama 3 temanku tapi sampai disuatu stasiun kami "diusir" oleh pemilik tempat duduk yang kami tempati. Terpaksa kami cari tempat duduk sesuai tiket. Aku dan satu temanku duduk di kursi yang sama bersama orang lain. Karena bosan, kami jalan-jalan dari gerbong ke gerbong. Dan akhirnya bertemu dengan 2 orang teman tadi kebetulan di situ masih ada tempat, ya udah duduk di situ aja sambil berharap tidak diusir lagi. Dan akhirnya setelah stasiun terakhir menaikkan penumpang, kami tidak diusir lagi.

Selasa, 05 Juli 2011

Pantai Ngobaran, Gunung Kidul

Ngobaran merupakan pantai yang cukup eksotik. Kalau air surut, anda bisa melihat hamparan alga (rumput laut) baik yang berwarna hijau maupun coklat. Jika dilihat dari atas, hamparan alga yang tumbuh di sela-sela karang tampak seperti sawah di wilayah padat penduduk. Puluhan jenis binatang laut juga terdapat di sela-sela karang, mulai dari landak laut, bintang laut, hingga golongan kerang-kerangan.

Tapi yang tak terdapat di pantai lain adalah pesona budayanya, mulai dari bangunan hingga makanan penduduk setempat. Satu diantaranya yang menarik adalah adanya tempat ibadah untuk empat agama atau kepercayaan berdiri berdekatan. 

Bangunan yang paling jelas terlihat adalah tempat ibadah semacam pura dengan patung-patung dewa berwarna putih. Tempat peribadatan itu didirikan tahun 2003 untuk memperingati kehadiran Brawijaya V, salah satu keturunan raja Majapahit, di Ngobaran. Orang yang beribadah di tempat ini adalah penganut kepercayaan Kejawan (bukan Kejawen lho). Nama "Kejawan" menurut cerita berasal dari nama salah satu putra Brawijaya V, yaitu Bondhan Kejawan. Pembangun tempat peribadatan ini mengaku sebagai keturunan Brawijaya V dan menunjuk salah satu warga untuk menjaga tempat ini.

Berjalan ke arah kiri dari tempat peribadatan tersebut, Anda akan menemui sebuah Joglo yang digunakan untuk tempat peribadatan pengikut Kejawen. Saat YogYES berkunjung ke tempat ini, beberapa pengikut Kejawen sedang melakukan sembahyangan. Menurut penduduk setempat, kepercayaan Kejawen berbeda dengan Kejawan. Namun mereka sendiri tak begitu mampu menjelaskan perbedaannya.
Bila terus menyusuri jalan setapak yang ada di depan Joglo, anda akan menemukan sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Tanaman tersebut dipagari dengan kayu berwarna abu-abu. Titik dimana ranting kering ini tumbuh konon merupakan tempat Brawijaya V berpura-pura membakar diri. Langkah itu ditempuhnya karena Brawijaya V tidak mau berperang melawan anaknya sendiri, Raden Patah (Raja I Demak).

Beberapa meter dari kotak tempat ranting kering tumbuh terdapat pura untuk tempat peribadatan umat Hindu. Tak jelas kapan berdirinya pura tersebut.

Di bagian depan tempat ranting tumbuh terdapat sebuah masjid berukuran kurang lebih 3x4 meter. Bangunan masjid cukup sederhana karena lantainya pun berupa pasir. Seolah menyatu dengan pantainya. Uniknya, jika kebanyakan masjid di Indonesia menghadap ke Barat, masjid ini menghadap ke selatan. Bagian depan tempat imam memimpin sholat terbuka sehingga langsung dapat melihat lautan.

Setelah puas terheran-heran dengan situs peribadatannya, Anda bisa berjalan turun ke pantai. Kalau datang pagi, maka pengunjung akan menjumpai masyarakat pantai tengah memanen rumput laut untuk dijual kepada tengkulak. Mereka biasanya menjual rumput laut dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilo. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Namun, kalau datang sore, biasanya Anda akan menjumpai warga tengah mencari landak laut untuk dijadikan makanan malam harinya. Untuk bisa dimakan, landak laut dikepras dulu durinya hingga rata dan kemudian dipecah menggunakan sabit. Daging yang ada di bagian dalam landak laut kemudioan dicongkel. Biasanya warga mencari landak hanya berbekal ember, saringan kelapa, sabit, dan topi kepala untuk menghindari panas.

 Lengkap bukan? Dari keindahan pantai, pesona tempat peribadatan hingga hidangan yang menggoda. Mungkin tak ada di tempat lain.

sumber: http://www.yogyes.com

Gunung Nglanggeran, Gunung Kidul

Gunung Nglanggeran adalah sebuah gunung api purba berumur sekitar 60 juta tahun yang terletak di kawasan Baturagung, bagian utara Kabupaten Gunung Kidul pada ketinggian sekitar 200-700 mdpl.
Teletak di desa Nglanggeran Kecamatan Patuk, tempat wisata ini dapat ditempuh sekitar 15 menit atau sekitar 22 km dari kota Wonosari.
Kawasan ini konon merupakan kawasan yang litologinya disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian dan referensi, gunung Nglanggeran adalah gunung berapi purba, yang keberadaanya jauh sebelum terbentuknya Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.
Nama Nglanggeran berasal dari kata planggaran yang bermakna setiap perilaku jahat pasti ketahuan. Ada pula yang menuturkan, nama bukit berketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini dengan kata langgeng artinya desa yang aman dan tentram.
Selain sebutan tersebut, gunung yang tersusun dari banyak bebatuan ini dikenal dengan nama Gunung Wayang karena terdapat gunung/bebatuan yang menyerupai tokoh pewayangan. Menurut kepercayaan adat jawa Gunung Nglanggeran dijaga oleh Kyi Ongko Wijaya dan Punakawan. Punakawan dalam tokoh pewayangan tersebut, yakni Semar, Gareng, Petruk, serta Bagong.
Kepercayaan lain menyebutkan bahwa Gunung Nglanggeran sebagai Gunung Wahyu karena gunung tersebut diyakini sebagai sarana meditasi memperoleh wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Air dari gunung Nglanggeran sering diambil abdi dalem dari Kraton Yogyakarta sebagai sarana mohon ketentraman dan keselamatan semua masyarakat DIY. Tak heran, sebagian orang masih mengeramatkan gunung tersebut. Pada malam tahun baru Jawa atau Jumat Kliwon, beberapa orang memilih semedi di puncak gunung  ini.

sumber: http://gudeg.net

Wanagama, Gunung Kidul

Wanagama, nama yang berasal dari kata wana = alas atau hutan dan gama akronim dari gajah mada, sebuah kawasan hutan lindung seluas 600 hektar di wilayah kabupaten Gunungkidul. Luas Wanagama meliputi empat desa di dua kecamatan yang berbeda, yakni kecamatan Patuk dan Playen. Hutan yang ikut serta berperan menghijaukan Gunungkidul ini mulai dirintis pada tahun 1964 oleh Prof. Oemi Hani'in Suseno, salah satu akademisi Universitas Gajah Mada yang dengan sukarela menggunakan uang pribadinya untuk memulai proyek penghijauan ini. Langkah yang telah dirintis oleh Prof. Oemi ini mendapat sambutan positif berbagai pihak sehingga kini lahanya menjadi seluas 600 hektar.

Kawasan Hutan Wanagama mempunyai kekayaan Flora dan Fauna. Berbagai tanaman dari beberapa daerah dapat dijumpai di sini. Lengkapnya ada sekitar 550 jenis tanaman. Di antaranya, pohon akasia, pohon yang banyak digunakan dalam industri kertas, Pohon Kayu putih, sebagai bahan dasar pembuatan minyak kayu putih, Pohon pinus yang biasanya dijumpai di Sumatera, Pohon Eboni yang berasal dari Sulawesi, pohon Murbei, pohon wangi dan Pohon Jati. Salah satu di antara pohon jati di hutan ini mempunyai sejarah yang tentu saja membanggakan. Pohon ini di tanam oleh Pangeran Charles saat beliau berkunjung pada tahun 1989. Selain itu aneka fauna hidup tenteram di kawasan hutan lindung yang saat ini menjadi pusat penelitian fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Berbagai repilia khas penghuni hutan, unggas dan kera.

Di dalam kawasan hutan Wanagama dibangun sebuah aula atau pendopo yang sering digunakan untuk berbagai acara dan sebagai tempat peristirahatan para wisatawan. Terdapat juga tempat perkemahan dengan sarana pendukung yang cukup lengkap seperti air yang bersih untuk MCK, listrik, dan keamanan yang terjamin.

Hutan lindung yang dialiri tiga sungai (kalii Oya, Sendang Ayu, dan Banyu Tibo). Sungai yang menyuplai kebutuhan air bagi penghuni kawasan hutan lindung yang juga berfungsi sebagai hutan wisata ini. Hutan Wanagama, sebuah kawasan yang mencerminkan bentuk kepedulian kepada alam, fasilitas wisata, dan penunjang ekonomi masyarakat sekitar.

Kawasan ini mempunyai koleksi lebih dari 550 jenis tanaman hutan. Di dalamnya terdapat pula beragam jenis binatang unggas, kera, serta binatang reptilia khas penghuni hutan. Di sini dibangun pula gedung serbaguna yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang kuliah maupun berbagai acara lainnya.

sumber: www.wisatagunungkidul.com