Tampilkan postingan dengan label gedepangrango. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gedepangrango. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Mei 2014

Menguak Pesona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango



Perjalanan panjang selama hampir 10 jam harus kami tempuh dari Jogja menuju Bandung menggunakan KA Kahuripan. Usai istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan menuju terminal Leuwi Panjang. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah tujuan utama kami. Perjalanan ini sudah kami siapkan sejak sebulan yang lalu. Mulai dari pemesanan tiket KA sampai pengurusan booking perizinan pendakian di kawasan TNGGP yang saya pikir sangat ribet. Dibanding gunung-gunung lain, perizinan pendakian di TNGGP memang serba berbelit-belit dan menyusahkan terutama bagi yang berdomisili di tempat yang jauh dari lokasi. Hanya rasa penasaran saja yang membawa kami ke tempat itu, lokasi pendakian favorit di Jawa Barat.
pertigaan Cimacan yang ramai
Bus “Garuda Pribumi” jurusan Jakarta via Puncak membawa kami menuju ke Cimacan, Cianjur. Dengan harga tiket Rp30.000, mereka sediakan fasilitas AC, Bagasi, dan TV. Tayangan sinetron picisan yang tersaji di layar televisi mampu membuat saya tertidur. Sekitar tiga jam kemudian sampailah kami di pertigaan Cimacan, tak jauh dari istana Cipanas. Di pertigaan itu, beberapa angkot sudah siaga menyambut penumpang. Tak perlu waktu tunggu, sesaat setelah kami naik, angkotpun langsung meluncur ke arah TNGGP. Angkot yang tadinya hanya berisi kami berdua, perlahan dimasuki beberapa penumpang. Tak sampai setengah jam, angkot sudah berhenti tepat di depan pelataran parkir TNGGP. Setelah membayar Rp6.000 untuk 2 orang ke sopir angkot, kami pun langsung menuju ke kantor TNGGP untuk mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi).
kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Gagal mendaki adalah kemungkinan terburuk yang siap kami hadapi mengingat jumlah tim yang hanya dua orang (sesuai peraturan, minimal ada tiga orang dalam satu tim). Sebenarnya saat booking online kami mendaftarkan tiga orang, namun seorang kawan mendadak urung ikut. Karena sudah terlanjur pesan tiket kereta PP, mau tak mau harus ke sana. Di luar dugaan, petugas dengan entengnya menyarankan kami gabung ke tim pendaki lain yang kebetulan akan naik sore itu.  Ternyata, meski memiliki peraturan yang serba ribet masih ada sedikit “celah” yang bisa meringankan.

Jam setengah lima sore, kami mulai pendakian bersama para Kaskusers regional Cianjur Selatan yang berjumlah sekitar 20 orang. Sore itu mendung menggantung di kaki gunung Gede. Menurut Pak Nana, petugas di posko pendakian, akhir-akhir ini tiap sore hujan mengguyur wilayah gunung Gede. Hampir sejam kemudian, sampailah kami di jembatan kayu (sebenarnya terbuat dari beton, namun dibentuk seperti kayu). Jembatan sepanjang 1km itu membentang di atas sungai-sungai dan cekungan kecil. Kabut tipis pun mulai turun perlahan. Di kejauhan, hutan Pangrango terlihat suram berselimut kabut. Hawa dingin mulai menembus pakaian yang kami kenakan. Tak kuat menahan dingin, kami pun minta izin kepada ketua tim Kaskusers untuk jalan duluan untuk kemudian bertemu kembali di Kandang Badak.
(mirip) jembatan kayu
Setengah jam kemudian, rintik hujan mulai tercurah dari langit. Segera ponco dan headlamp kami kenakan mengingat suasana yang semakin gelap. Vegetasi hutan yang lebat membuat kami hanya bisa melihat kondisi di sekitar jalur pendakian saja. Beruntung, jalur pendakian di TNGGP via Cibodas relatif lebar dan jelas sehingga sangat memudahkan bagi kami yang baru pertama mendaki di gunung ini. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di kawasan air panas. Ini adalah salah satu dari dua rute pendakian gunung Gede via Cibodas yang berbahaya. Di rute ini pendaki, harus melewati aliran air panas sepanjang sekitar 500m dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain. Rute ini sangat sempit, dibatasi dua jalur tali selebar tak lebih dari satu meter. Selain licin, panasnya air yang mengalir membuat pendaki harus ekstra hati-hati untuk melewatinya. Sangat disarankan untuk memakai sepatu untuk sedikit melindungi kaki dari panasnya air. Kabut yang tercipta akibat uap panas akan memperpendek jarak pandang, karena itu dibutuhkan senter dengan cahaya yang memadai jika melintas di malam hari. Setelah menempuh lima jam perjalanan yang melelahkan sampailah kami di Kandang Badak, lokasi mendirikan tenda yang menjadi favorit pendaki karena dekat dengan puncak.

Jam 10 malam, tenda telah didirikan dan usai menyantap nasi bungkus kamipun segera tidur. Suhu di kandang badak relatif tidak terlalu dingin, cukup nyaman untuk tidur. Esoknya, kawan sependakian saya memutuskan untuk tidak ikut muncak. Akhirnya pada 5.45 saya mulai perjalanan ke puncak. Saat itu hanya saya saja yang muncak, sebagian besar pendaki sudah mendaki sejak dini hari tadi untuk mengejar momen sunrise. Perjalanan diawali dengan mendaki jalur makadam sampai pertigaan Pangrango. Untuk menuju puncak gunung Gede lurus saja, sedangkan bila ingin ke puncak gunung Pangrango ke arah kanan. Kali ini saya akan ke puncak Gede saja. Setelah pertigaan itu, jalur berupa tanah dengan akar-akar pohon yang membentuk seperti tangga. Dibandingkan jalur pendakian di bawah kandang badak, jalur menuju puncak ini relatif terjal. Meski di sekitarnya pepohonan cukup lebat, namun jalur pendakian sangat jelas dan nyaris tak ada percabangan yang membingungkan. Di beberapa tempat terpasang tiang-tiang kecil dengan tali yang membentang diantaranya.
rute menuju puncak
Sekitar sejam dari kandang badak, sampailah saya di tanjakan setan. Tanjakan itu sangat terjal, dengan kemiringan hampir 80 derajat kita harus memanjat untuk sampai ke atas. Karena takut ketinggian dan dalam posisi sendiri, saya memutuskan untuk menghindari tanjakan setinggi sekitar 10 meter. Jalur alternatiflah yang saya pilih, sedikit memutar memang namun tidak terlalu terjal. Setengah jam kemudian, kawah gunung Gede sudah terlihat. Kini saya hanya perlu menyisir tebing di tepi kawah untuk sampai ke puncak. Tepat di belakang, tampak gunung Pangrango berdiri dengan gagahnya. Sementara itu tepat di bawah terlihat asap tipis mengepul keluar dari sisi tebing yang berwarna keemasan.
tanjakan setan
Tak sampai 10 menit, saya sudah sampai di puncak gunung Gede. Hanya tiang kecil dengan papan bertuliskan “Puncak Gede” sebagai penanda kalau saya sudah sampai di puncak gunung dengan  tinggi 2985 mdpl. Beberapa lokasi di puncak Gede didirikan beberapa tenda. Puncak gunung Gede memang sangat cocok untuk lokasi kemah karena di beberapa titik terdapat lokasi yang terlindungi oleh semak dan pepohonan kecil. Sekitar setengah berada di puncak kemudian turun, tak perlu berlama-lama di puncak jika sendirian. Sebelum turun, saya bertemu dengan rombongan Kaskusers. Mereka mengajak saya turun ke alun-alun Suryakencana, tanah lapang di mana edelweiss banyak tumbuh di sana. Sempat ngiler saya ketika melihat Suryakencana yang ada di bawah, mungkin tak sampai setengah jam untuk ke sana. Namun, karena tidak ingin kemalaman sampai Bandung saya pun memutuskan untuk segera turun.
area puncak gunung Gede
kawah gunung Gede

megahnya Pangrango
Matahari sudah mulai meninggi, namun sinarnya sedikit terhalang oleh rapatnya vegetasi hutan gunung Gede. Sinar Mentari tampak menembus celah dedaunan membentuk tirai cahaya. Kicauan burung bersahutan, menambah semarak pagi. Kali ini saya tidak sendiri, ada beberapa rombongan pendaki lain yang juga turun serta sempat berpapasan dengan rombongan pendaki yang naik. Sejam kemudian, sekitar jam 9.20 saya sudah sampai di kandang badak. Segera kami packing setelah menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh kawan saya yang tidak ikut muncak.
cahaya matahari menembus sela dedaunan
Jam 9.50 kami beranjak turun dari kandang badak. Tak sampai sejam, kami sampai di kawasan air panas. Kawan saya pun mengajak turun ke kali untuk berendam air panas. Sebenarnya aliran air yang letaknya sekitar 30m di bawah jalur pendakian itu bukan murni air panas. Air panas murni ada di beberapa titik sepanjang kali, dialirkan melalui pipa dan ada juga saluran alami. Sumber air panas itu berasal dari aliran air yang letaknya ada di atas kali. Berendam air panas memang sangat cocok untuk relaksasi otot-otot yang telah bekerja keras selama pendakian.

Setelah puas berendam air panas, kami lanjutkan perjalanan turun gunung. Beberapa menit kemudian tibalah kami di jalur air panas. Kini terlihat jelas jurang yang menganga di sebelah kiri. Ternyata jalur itu merupakan bagian dari air terjun panas dengan debit air yang tidak terlalu besar. Tidak seperti semalam di mana kami begitu tegang melewatinya, siang ini kami lalui jalur ini dengan santai. Selain karena medan terlihat jelas, air terasa tidak sepanas malam tadi mungkin karena sudah terbiasa dengan suhu panas air setelah berendam tadi. Jadi agar tidak panik karena kepanasan, sebelum melewati jalur air panas ini sebaiknya menyesuaikan dulu dengan merendam kaki sejenak untuk membiasakan.
jalur air panas yang mendebarkan
Sebelum turun sampai pos pengecekan SIMAKSI, kami beristirahat di pertigaan curug Cibeureum. Di papan petunjuk tertulis, jarak curug hanya 0,3km dari pertigaan. Sangat dekat hanya 300 m, tak sampai 5 menit sudah sampai. Tanpa pikir panjang, saya segera meluncur ke curug meninggalkan kawan yang nampak kepayahan dan tidak mau ikut ke sana. Jalur menuju curug berupa makadam dengan jembatan yang terbentang di atas kali. Lima menit kemudian, hanya gemuruh air yang saya dengar tanpa terlihat aliran air terjun secuil pun. Ternyata dugaan saya salah, dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai ke curug. Mungkin yang dimaksud jarak 0,3km itu adalah jarak lurus dari pertigaan ke curug bukan jarak jalurnya atau mungkin itu hanya untuk “menipu” pengunjung agar tidak malas untuk jalan 2km.
Curug Cibeureum
Cibeureum, agak susah dilafalkan lidah Jawa seperti punya saya. Untuk menjangkaunya pun cukup sulit untuk wisata umum karena masuk dalam jalur pendakian gunung Gede Pangrango. Diperlukan waktu lebih dari sejam perjalanan dari kantor TNGGP. Namun, kesulitan itu terbayar lunas ketika kita sampai di depan air terjun. Muncul dari celah pepohonan, aliran air terjun berketinggian 30m ini mengalir dengan derasnya. Hijaunya tebing di sisi kiri dan kanan curug membuat pemandangan semakin sejuk. Di sebelah curug Cibeureum terdapat dua curug lain yang lebih kecil namun tinggi. Banyak wisatawan yang bekunjung ke curug Cibeureum, bisa jadi disebabkan karena bertepatan dengan hari libur (hari buruh). Namun di samping itu, fasilitas yang cukup lengkap menjadi faktor penarik bagi pengunjung. Beberapa gazebo dibangun sebagai tempat beristirahat, serta jembatan-jembatan kecil yang mempermudah pengunjung.
curug lain di area TNGGP

Hanya sekedar mengambil beberapa gambar dan memuaskan hasrat keingintahuan saya, tak perlu berlama-lama di sana. Kami lanjutkan perjalanan, sekitar jam 2 sudah sampai di kantor TNGGP. Perjalanan yang terasa begitu panjang dari pertigaan Cibeureum ke bawah, mungkin karena kecapekan. Seperti biasa, naik gunung pasti menguras tenaga. Namun pendakian gunung Gede via Cibodas ini serasa seperti wisata saja. Ada banyak tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti curug Cibeureum, Cipanas (air panas), puncak, dan tak ketinggalan hutan taman nasional yang masih terjaga. Saya rasa tidak rugi harus mengurus perijinan yang ribet untuk mendaki gunung Gede karena cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat.