Putussibau, Kota di Ujung Sungai Kapuas

tugu di pusat kota Putussibau

Perjalanan Maraton keliling Kalimantan Barat kali ini akan diakhiri di Kapuas Hulu, tepatnya di kecamatan Embaloh Hulu. Kapuas Hulu dikenal juga dengan sebutan Bumi Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Jadi tujuan berikutnya adalah Hulunya sungai Kapuas. Kata salah seorang kawan yang pernah ke Embaloh Hilir, dia harus naik speedboat untuk sampai ke lokasi. Tak ada jalan darat memang, hanya sungai lah satu-satunya pilihan. Daerah hilir aja harus naik kapal, apalagi di hulunya? Mantab, langsung terbayang bakalan lewat sungai yang masih alami dengan hutan di kanan kiri. Betapa menyenangkannya petualangan ini.

Sebelum sampai pada petualangan jelajah sungai, kami harus menempuh perjalanan panjang sejauh 412 km dari Sintang menuju Putussibau. Perjalanan darat ini dimulai dari pagi hingga sore, hanya istirahat sekali di sebuah rumah makan. Sangat melelahkan, namun segera terbayang susur sungai dengan pemandangan hutan hujan tropis nan eksotis. Tetapi bayangan itu pupus dalam sekejap saat mendengar informasi kalau mau ke Embaloh Hulu bisa lewat jalan lintas utara. Jalannya baru dibuat, masih sangat mulus. Bisa ditempuh tak lebih dari seperempat hari. Apalagi lokasi sekolah yang kami tuju di tepat pinggir jalan raya, jadi tak perlu masuk terlalu jauh. Jalan aspal mulus, lokasi dekat jalan raya, dan tak perlu bersusah payah blusukan. Mudah, tapi tidak terlalu menyenangkan (bagiku).

Tak apalah masa susah melulu, di tempat tugas terakhir ini sekali-kali ngerasain akses lokasi yang mudah. Oke, sekarang mending nikmatin suasana kota Putussibau saja. Kota ini sudah cukup lama ada sejak jaman Belanda. Tepatnya pada 1 Juni 1895 Putussibau resmi didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun jauh sebelum itu kota ini sudah didiami oleh orang-orang dari suku Dayak Taman dan Dayak Kantu’. Meski berjarak 814 km jalan darat/846 km via sungai Kapuas dari Pontianak namun rupanya kota Putussibau ini sudah ramai sejak masa lalu. Ada banyak versi terkait asal mula penamaan Putussibau. Secara umum, nama “Putussibau” berasal dari putusnya aliran sungai Sibau oleh sungai Kapuas. Kedua sungai ini membelah kota Putussibau dan berarti penting bagi warganya.

Malam di Putussibau cukup ramai untuk ukuran kota di daerah Hulu. Bangunan tertata rapi di sepanjang jalan dengan deretan pertokoan yang cukup besar. Sambil jalan-jalan, masuklah kami ke sebuah toko besar sekadar untuk beli cemilan. Setelah dilihat-lihat, ternyata harga barang di sini hampir sama dengan Pontianak. Dengan jarak sejauh itu dari kota Provinsi, harga barang tak beda jauh. Mungkin saja hal ini disebabkan karena jalan sudah bagus sehingga memperlancar arus distribusi. Padahal katanya sampai tahun 2000-an jalan menuju Putussibau masih hancur. Butuh perjuangan setengah mati menempuh ratusan kilometer jalan yang rusak parah. Beda dulu, beda sekarang. Putussibau sekarang sudah jadi salah satu kota besar di Kalimantan Barat.

Sambil menikmati malam di Putussibau, kami sempatkan untuk merasakan kuliner khas Bumi Uncak Kapuas ini. Kerupuk Basah, nama makanan khas yang sekilas mirip empek-empek ini. Cara penyajiannya pun mirip, dengan didampingi saus cuka yang berasa asam. Kerupuk Basah adalah makanan khas Suku Dayak setempat yang terbuat dari ikan Belida. Rasanya gurih, kenyal, dan memang mirip empek-empek. Tapi ada sedikit rasa berbeda dengan empek-empek di Jawa, mungkin karena ikan yang digunakan beda dan airnya juga beda (dari Kapuas).