Rabu, 19 Agustus 2015

Bertandang ke Watu Ling (2), Mengagumi Kemegahan Sekolah di Atas Awan

lanskap dari halaman belakang sekolah



Siang yang terik, membuat kami memilih berteduh di rumah Pak Kepala Sekolah. Di meja sudah tersedia bir dan rokok, sebagai sajian dalam ritual penyambutan tamu. Sementara itu seekor ayam juga sudah disiapkan untuk kami potong nanti sore. Orang Manggarai sudah memahami betul tentang toleransi, mereka mempersilahkan tamu Muslim untuk menyembelih sendiri ayam yang biasanya menjadi hidangan spesial untuk menyambut tamu. 

Bertandang ke Watu Ling (1), Mengenal Lebih Dekat Orang Manggarai

kabut pun mulai turun saat sore menjelang di Elar
Terpencil jauh di antara perbukitan Manggarai Timur kampung kecil bernama Ledu berada. Tak mudah mencapai kampung yang masuk dalam wilayah kecamatan Elar. Sore itu kami berangkat menggunakan mobil dari Ruteng menuju Elar. Jalan gunung meliuk-liuk mewarnai perjalanan menuju Elar. Seringkali ditemui bukit-bukit yang tergerus akibat longsor. Jalan makin menyempit dan banyak lubang ketika mendekati Elar. Jalan rusak dan menanjak membuat pengemudi harus selalu waspada. Selain pengemudi yang handal, dibutukan pula kendaraan bergardan ganda untuk melalui medan semacam ini. Meski kadang dibuat was-was akibat kondisi jalan yang buruk, namun itu terbayar tuntas dengan pemandangan pegunungan Manggarai. Perbukitan dan lembah hijau terlihat suram berselimut kabut, suasana begitu mistis namun romantis. Kebun kopi terhampar luas, katanya tempat ini merupakan sentra penghasil kopi terkenal di Elar.

Sekolah di Atas Awan, Sunrise yang Manis dari Halaman Belakang Sekolah

pantulan matahari terbit dari jendela SDN Heret
“Bangunan sekolah jelek, mirip kandang kambing kan?”, cerita singkat dari Pak Gabriel sambil menunjukkan foto SDN Heret di awal pembukaannya. Cerita yang diakhiri dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Bangunan berdinding bambu dan kayu serta beratapkan ilalang, sekilas mirip kandang kambing. Kumuh dan tak layak pakai adalah kesan pertama melihat gambar “kandang kambing” yang dijadikan tempat belajar anak-anak. Gambar yang diambil sekitar enam tahun yang lalu pada awal beroperasinya SD Heret terpajang di dinding bambu rumah Pak Gabriel.

Selamat Pagi Sumba



matahari pagi pulau Sumba
Seuntai senyum menghiasi wajah manis gadis berseragam merah putih diikuti dengan suara terlontar dari mulutnya. “Selamat Pagi!”, sambil berjalan dia menyapa kami yang naik motor berlawanan arah dengan tujuannya. Gadis itu sedang dalam perjalanan menuju sekolahnya, SD-SMP Satu Atap Waitama yang masih satu kilometer perjalanan lagi. Perjalanan yang cukup melelahkan di jalan yang membelah padang sabana harus dia tempuh untuk sekolah. Meski kelelahan, bukan keluhan yang dia tunjukkan melainkan sapaan hangat dan bersahabat.

Kisah Para Guru yang Mengabdi di Pelosok Negeri: Mengabdi dengan Hati (Manggarai, NTT)

Pak Gabriel (paling belakang), mengantar kami kembali ke kampung Heret
Seorang pria paruh baya menyambut dengan ramah sesaat setelah kami berada di depan pintu rumahnya sambil mengucap salam. Beliau segera mempersilahkan kami masuk ke rumahnya tanpa curiga sedikitpun terhadap kedatangan ketiga orang asing ini. Di dalam rumahnya, kami menyampaikan maksud dan tujuan datang ke kampung itu. Pak Gabriel, yang juga seorang guru di SDN Heret itu langsung bersedia membantu penelitian kami di sekolahnya.