Selasa, 05 Juli 2011

Pantai Ngobaran, Gunung Kidul

Ngobaran merupakan pantai yang cukup eksotik. Kalau air surut, anda bisa melihat hamparan alga (rumput laut) baik yang berwarna hijau maupun coklat. Jika dilihat dari atas, hamparan alga yang tumbuh di sela-sela karang tampak seperti sawah di wilayah padat penduduk. Puluhan jenis binatang laut juga terdapat di sela-sela karang, mulai dari landak laut, bintang laut, hingga golongan kerang-kerangan.

Tapi yang tak terdapat di pantai lain adalah pesona budayanya, mulai dari bangunan hingga makanan penduduk setempat. Satu diantaranya yang menarik adalah adanya tempat ibadah untuk empat agama atau kepercayaan berdiri berdekatan. 

Bangunan yang paling jelas terlihat adalah tempat ibadah semacam pura dengan patung-patung dewa berwarna putih. Tempat peribadatan itu didirikan tahun 2003 untuk memperingati kehadiran Brawijaya V, salah satu keturunan raja Majapahit, di Ngobaran. Orang yang beribadah di tempat ini adalah penganut kepercayaan Kejawan (bukan Kejawen lho). Nama "Kejawan" menurut cerita berasal dari nama salah satu putra Brawijaya V, yaitu Bondhan Kejawan. Pembangun tempat peribadatan ini mengaku sebagai keturunan Brawijaya V dan menunjuk salah satu warga untuk menjaga tempat ini.

Berjalan ke arah kiri dari tempat peribadatan tersebut, Anda akan menemui sebuah Joglo yang digunakan untuk tempat peribadatan pengikut Kejawen. Saat YogYES berkunjung ke tempat ini, beberapa pengikut Kejawen sedang melakukan sembahyangan. Menurut penduduk setempat, kepercayaan Kejawen berbeda dengan Kejawan. Namun mereka sendiri tak begitu mampu menjelaskan perbedaannya.
Bila terus menyusuri jalan setapak yang ada di depan Joglo, anda akan menemukan sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Tanaman tersebut dipagari dengan kayu berwarna abu-abu. Titik dimana ranting kering ini tumbuh konon merupakan tempat Brawijaya V berpura-pura membakar diri. Langkah itu ditempuhnya karena Brawijaya V tidak mau berperang melawan anaknya sendiri, Raden Patah (Raja I Demak).

Beberapa meter dari kotak tempat ranting kering tumbuh terdapat pura untuk tempat peribadatan umat Hindu. Tak jelas kapan berdirinya pura tersebut.

Di bagian depan tempat ranting tumbuh terdapat sebuah masjid berukuran kurang lebih 3x4 meter. Bangunan masjid cukup sederhana karena lantainya pun berupa pasir. Seolah menyatu dengan pantainya. Uniknya, jika kebanyakan masjid di Indonesia menghadap ke Barat, masjid ini menghadap ke selatan. Bagian depan tempat imam memimpin sholat terbuka sehingga langsung dapat melihat lautan.

Setelah puas terheran-heran dengan situs peribadatannya, Anda bisa berjalan turun ke pantai. Kalau datang pagi, maka pengunjung akan menjumpai masyarakat pantai tengah memanen rumput laut untuk dijual kepada tengkulak. Mereka biasanya menjual rumput laut dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilo. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Namun, kalau datang sore, biasanya Anda akan menjumpai warga tengah mencari landak laut untuk dijadikan makanan malam harinya. Untuk bisa dimakan, landak laut dikepras dulu durinya hingga rata dan kemudian dipecah menggunakan sabit. Daging yang ada di bagian dalam landak laut kemudioan dicongkel. Biasanya warga mencari landak hanya berbekal ember, saringan kelapa, sabit, dan topi kepala untuk menghindari panas.

 Lengkap bukan? Dari keindahan pantai, pesona tempat peribadatan hingga hidangan yang menggoda. Mungkin tak ada di tempat lain.

sumber: http://www.yogyes.com

Gunung Nglanggeran, Gunung Kidul

Gunung Nglanggeran adalah sebuah gunung api purba berumur sekitar 60 juta tahun yang terletak di kawasan Baturagung, bagian utara Kabupaten Gunung Kidul pada ketinggian sekitar 200-700 mdpl.
Teletak di desa Nglanggeran Kecamatan Patuk, tempat wisata ini dapat ditempuh sekitar 15 menit atau sekitar 22 km dari kota Wonosari.
Kawasan ini konon merupakan kawasan yang litologinya disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian dan referensi, gunung Nglanggeran adalah gunung berapi purba, yang keberadaanya jauh sebelum terbentuknya Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.
Nama Nglanggeran berasal dari kata planggaran yang bermakna setiap perilaku jahat pasti ketahuan. Ada pula yang menuturkan, nama bukit berketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini dengan kata langgeng artinya desa yang aman dan tentram.
Selain sebutan tersebut, gunung yang tersusun dari banyak bebatuan ini dikenal dengan nama Gunung Wayang karena terdapat gunung/bebatuan yang menyerupai tokoh pewayangan. Menurut kepercayaan adat jawa Gunung Nglanggeran dijaga oleh Kyi Ongko Wijaya dan Punakawan. Punakawan dalam tokoh pewayangan tersebut, yakni Semar, Gareng, Petruk, serta Bagong.
Kepercayaan lain menyebutkan bahwa Gunung Nglanggeran sebagai Gunung Wahyu karena gunung tersebut diyakini sebagai sarana meditasi memperoleh wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Air dari gunung Nglanggeran sering diambil abdi dalem dari Kraton Yogyakarta sebagai sarana mohon ketentraman dan keselamatan semua masyarakat DIY. Tak heran, sebagian orang masih mengeramatkan gunung tersebut. Pada malam tahun baru Jawa atau Jumat Kliwon, beberapa orang memilih semedi di puncak gunung  ini.

sumber: http://gudeg.net

Wanagama, Gunung Kidul

Wanagama, nama yang berasal dari kata wana = alas atau hutan dan gama akronim dari gajah mada, sebuah kawasan hutan lindung seluas 600 hektar di wilayah kabupaten Gunungkidul. Luas Wanagama meliputi empat desa di dua kecamatan yang berbeda, yakni kecamatan Patuk dan Playen. Hutan yang ikut serta berperan menghijaukan Gunungkidul ini mulai dirintis pada tahun 1964 oleh Prof. Oemi Hani'in Suseno, salah satu akademisi Universitas Gajah Mada yang dengan sukarela menggunakan uang pribadinya untuk memulai proyek penghijauan ini. Langkah yang telah dirintis oleh Prof. Oemi ini mendapat sambutan positif berbagai pihak sehingga kini lahanya menjadi seluas 600 hektar.

Kawasan Hutan Wanagama mempunyai kekayaan Flora dan Fauna. Berbagai tanaman dari beberapa daerah dapat dijumpai di sini. Lengkapnya ada sekitar 550 jenis tanaman. Di antaranya, pohon akasia, pohon yang banyak digunakan dalam industri kertas, Pohon Kayu putih, sebagai bahan dasar pembuatan minyak kayu putih, Pohon pinus yang biasanya dijumpai di Sumatera, Pohon Eboni yang berasal dari Sulawesi, pohon Murbei, pohon wangi dan Pohon Jati. Salah satu di antara pohon jati di hutan ini mempunyai sejarah yang tentu saja membanggakan. Pohon ini di tanam oleh Pangeran Charles saat beliau berkunjung pada tahun 1989. Selain itu aneka fauna hidup tenteram di kawasan hutan lindung yang saat ini menjadi pusat penelitian fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Berbagai repilia khas penghuni hutan, unggas dan kera.

Di dalam kawasan hutan Wanagama dibangun sebuah aula atau pendopo yang sering digunakan untuk berbagai acara dan sebagai tempat peristirahatan para wisatawan. Terdapat juga tempat perkemahan dengan sarana pendukung yang cukup lengkap seperti air yang bersih untuk MCK, listrik, dan keamanan yang terjamin.

Hutan lindung yang dialiri tiga sungai (kalii Oya, Sendang Ayu, dan Banyu Tibo). Sungai yang menyuplai kebutuhan air bagi penghuni kawasan hutan lindung yang juga berfungsi sebagai hutan wisata ini. Hutan Wanagama, sebuah kawasan yang mencerminkan bentuk kepedulian kepada alam, fasilitas wisata, dan penunjang ekonomi masyarakat sekitar.

Kawasan ini mempunyai koleksi lebih dari 550 jenis tanaman hutan. Di dalamnya terdapat pula beragam jenis binatang unggas, kera, serta binatang reptilia khas penghuni hutan. Di sini dibangun pula gedung serbaguna yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang kuliah maupun berbagai acara lainnya.

sumber: www.wisatagunungkidul.com

Senin, 04 Juli 2011

Menggapai Keelokan Curug Muncar

Curug Muncar di Kejauhan

Kaliwungu, sebuah desa yang terletak di kecamatan Bruno, kabupaten Purworejo ini mungkin kurang dikenal. Desa ini terletak 45 Km arah barat laut pusat kota Purworejo. Wajar saja, desa yang ada di daerah pegunungan ini memang letaknya cukup terpencil. Akses menuju desa ini hanya ada satu yaitu Jl Kutoarjo-Wonosobo. Untuk mencapai desa ini diperlukan waktu sekitar 40 menit dari Kutoarjo. Jalan yang cukup sempit dan berliku-liku menjadi tantangan tersendiri bagi pengendara. Hutan, tebing, sungai, dan jurang menjadi pemandangan yang lazim sepanjang perjalanan. Penerangan yang sangat minim serta rusaknya jalan di beberapa tempat membuat pengendara harus ekstra hati-hati saat melintas malam hari. Namun demikian, desa ini menawarkan panorama alam pegunungan yang masih asri. Selain itu, di desa ini juga terdapat sebuah air terjun dengan ketinggian mencapai puluhan meter. Keindahan air terjun ini dapat dilihat dari jarak beberapa kilometer karena letaknya yang berada di tengah-tengah lereng pegunungan. Air terjun ini oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Curug Muncar.

Menurut masyarakat, curug ini sudah menjadi objek wisata. Namun nampaknya situs wisata ini masih kurang mendapat perhatian baik dari masyarakat maupun pemerintah setempat. Akses yang sangat sulit membuat curug ini masih belum banyak dikunjugi sehingga tempat wisata ini relatif belum dikenal. Akses ke arah curug sebenarnya ada banyak, tetapi hanya ada beberapa yang sering dilewati salah satunya adalah melalui dusun Kamasan.
 
Rute ini dapat ditempuh dengan mengikuti jalan raya sampai menjumpai pertigaan kecil dengan papan petunjuk arah ke curug, lalu belok ke kiri. Jalan ke arah curug ini berupa jalan tanah yang menanjak. Tak seberapa jauh dari jalan itu ada perempatan kecil yang juga ada papan petunjuk ke curug mengarah lurus mengikuti jalan beton. Jalan cukup sempit dan harus melalui beberapa tanjakan curam dengan kombinasi belokan tajam. Cukup menantang adrenalin bagi pengendara yang baru pertama kali melintas. Dengan kondisi seperti ini, hanya sepeda motor yang paling memungkinkan digunakan. Setelah berkendara selama sekitar 10 menit, sampailah pada sebuah lapangan kecil yang biasa dijadikan tempat parkir oleh pengunjung. Meskipun curug masih beberapa kilometer lagi, tapi jalanan yang masih ”alami” membuat sepeda motor tidak lagi bisa digunakan. Sehingga harus dititipkan di lapangan itu. Tapi kadang, lapangan itu tidak ada yang menjaga sehingga motor bisa dititipkan ke rumah penduduk.

Setelah motor dititipkan, lanjut dengan jalan kaki. Jalan setapak yang cukup sempit, naik turun, dan licin jika tersiram air hujan membuat kita harus berhati-hati melewatinya. Namun lingkungan sekitar yang masih alami membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Setelah beberapa saat berjalan, kita melewati hutan pinus dengan pohonnya yang tinggi menjulang menawarkan kesejukan khas pegunungan. Di beberapa titik tertentu sepanjang perjalanan dapat dilihat pemandangan pedesaan dari ketinggian. Hamparan sawah, diselingi dengan deretan rumah sederhana yang dibelah oleh jalan yang menarik jika dilihat dari ketinggian. Perjalanan yang harus di tempuh sekitar 45 menit pun tidak akan membosankan.

Perjalanan yang cukup panjang dan menantang itu terbayar lunas dengan kemegahan curug muncar. Dari ketinggian sekitar 80 meter, ribuan liter air dihempaskan ke tanah dan bebatuan menciptakan pemandangan yang luar biasa. Percikan air begitu kuat saat mendekat ke curug, menunjukkan betapa kuatnya energi hempasan air pada bebatuan di bawahnya. Kesegaran menyelimuti tubuh, tatkala kita duduk di bebatuan dekat dengan titik jatuhnya air. Air yang memercik kuat, membuat tubuh diberondong jutaan tetes air yang memantul dari bebatuan. Sambil merasakan dorongan energi air yang menerpa tubuh dan kesegaran air pegungungan, kita dapat menyaksikan pemandangan pedesaan dari atas. Hamparan sawah diselingi hutan yang menghijau sangat memanjakan mata yang rindu akan kesejukan.

Selain untuk menikmati keindahan alam, tempat ini cocok untuk merenung dan bahkan meluapkan segala perasaan yang tidak enak. Jika kita teriak, suaranya akan tersamarkan oleh gemuruh air terjun yang cukup keras. Selain itu tempat ini cukup sepi, apalagi saat hari biasa bukan hari libur. Maklum tempat ini masih belum banyak diketahui masyarakat umum.

Objek wisata ini memang kurang mendapat perhatian dari  Pemda setempat sehingga kurang berkembang dengan baik. Namun di sisi lain kealamian lingkungan sekitar curug masih terjaga karena masih sedikitnya manusia yang menjamah tempat itu. Suasana yang sepi dan alami ini menawarkan wisata petualangan bagi pengunjung.