Jumat, 15 Agustus 2014

Menikmati Fajar dan Senja di Pulau Langit

Gunung Sindoro, pemandangan dari Gunung Sumbing (dokumentasi tim)
September 2011, pada bulan ini untuk pertama kalinya aku berkesempatan naik gunung. Dua gunung sekaligus kudaki dalam sebulan ini. Keduanya menawarkan pengalaman dan sensasi yang sangat berbeda. Salah satu pengalaman yang ingin kurasakan adalah melihat terbit dan terbenamnya matahari. Sebuah fenomena biasa memang, tapi jika dinikmati dari sudut pandang yang tak biasa berubah menjadi fenomena yang luar biasa. Dalam pendakian ini aku ingin melihat fenomena itu dari ketinggian yang belum pernah kucapai.
awal pendakian
Lereng Gunung Sindoro 2800mdpl, 6 September 2011
Jam 3 pagi, mata ini belum juga bisa terpejam. Hembusan kuat angin pegunungan sejak malam tadi menimbulkan suasana horor di dalam tenda. Aku yang baru pertama kali naik gunung begitu galau mendengar gemuruh angin disusul dengan tenda ikut bergoyang dengan kerasnya. Seakan tanpa jeda, hembusan angin itu menyerang tenda kami dari berbagai arah. Kupikir angin gunung ini akan menghempaskan tenda seisinya ke jurang. Aku hanya bisa meringkuk pasrah di dalam sleeping bag. Sampai jam 3 lebih sedikit, angin mulai berkurang baik intensitas maupun kecepatannya.
Sebenarnya kami berencana muncak mulai jam 3 pagi agar dapat menikmati sunrise di puncak. Namun, akhirnya kami baru bisa berangkat jam 4 pagi. Pagi itu, angin tak begitu kencang, meski demikian hawa dingin tetaplah menusuk walau sudah dibungkus jaket tebal. Jam 5 pagi, suasana sudah mulai terang. Dari arah timur mulai terlihat semburat warna merah, sementara puncak masih cukup jauh. Aku sadar bahwa tak akan bisa mengejar sunrise di puncak. Sambil sesekali istirahat, ku sempatkan untuk melihat keindahan terbitnya matahari.
sunrise Sindoro
Luar biasa! Matahari terlihat muncul dari balik lautan awan putih. Awan yang bergerombol pagi itu terlihat seperti lautan putih sejauh mata memandang. Terlihat di kejauhan dua gundukan tanah di tengah lautan awan yang mirip pulau. Kedua gundukan itu tak lain adalah gunung Merapi dan Merbabu. Terlihat juga gunung Sumbing yang berdiri gagah diselimuti awan bagian bawahnya. Belum seluruh wajah matahari nampak, terlihat sebuah pelangi menaunginya. Sungguh pagi yang sempurna.

Pos 2 jalur Wekas Gunung Merbabu 2500mdpl, 24 September 2011
Tiga tenda sudah didirikan, cukup untuk melindungi kami dari terpaan dinginnya angin gunung malam nanti. Masih jam 4 sore, kamipun mengisi waktu senggang ini dengan berbagai aktivitas mulai dari mencari air sampai sekedar melepas lelah setelah 3,5 jam mendaki dari basecamp. Namun, kesibukan kami terusik oleh penduduk lokal gunung Merbabu. Dia mengendap-endap dan berhasil mencuri persediaan beras memanfaatkan kelengahan kami. Tidak hanya itu, dia juga berhasil menggondol sebungkus keju! Tanpa merasa berdosa, dia melahap makanan curiannya di balik semak-semak. Sementara itu, kami masih terpaku tak berdaya di sekitar tenda sambil mengutuki kebodohan kami. Semua persediaan beras memang disimpan dalam satu tempat. Jadi dalam pendakian ini sudah pasti kami tidak dapat menikmati nasi. Kembali teringat teori portofolio investasi “jangan taruh semua telur dalam satu keranjang”.

Akhirnya kami hanya bisa memasak sayur sop dan tempe (tanpa nasi) untuk makan malam. Kebutuhan karbohidrat dipenuhi dari mie instant dan roti yang untungnya tersedia cukup untuk tiga kali makan. Setelah agak longgar, kusempatkan untuk merebahkan diri di atas sekumpulan ilalang yang sudah mengering. Cukup untuk menghangatkan tubuh di tengah udara yang semakin dingin. Menatap birunya langit biru yang bersih, hanya ada awan tipis menghiasinya. Di arah puncak, terlihat hijaunya bukit dengan latar langit biru. 

Jam di HP menunjukkan pukul 17.15, sudah saatnya aku bergabung dengan kawan-kawan yang lain di pinggir tebing untuk melihat sunset. Tebing itu berada tidak jauh dari lokasi tenda, tepatnya di sebelah barat. Tempat itu memang menjadi favorit para pendaki untuk menikmati keindahan matahari terbenam. Dari tebing itu dapat dilihat air terjun dan aliran sungai yang ada di bawah. Meski tertutup kabut tipis, masih bisa terlihat kelokan aliran sungai dan hijaunya pepohonan di lembah gunung Merbabu.
jelang senja di gunung Merbabu (dokumentasi tim)
Matahari sudah semakin rendah memancarkan cahaya kuning keemasan. Langit mulai berubah warna menciptakan gradasi yang mengagumkan. Dari kejauhan terlihat dua gunung kembar Sindoro-Sumbing. Kedua gunung itu terlihat seperti pulau yang berdampingan di tengah lautan awan. Matahari pun semakin condong dan perlahan tenggelam ke dalam lautan awan. Meskipun matahari sudah tak tampak lagi, aku masih terpaku karena terpukau oleh keindahan sunset yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sementara itu, kawan-kawan yang lain sudah menuju tenda meninggalkan aku dan salah seorang kawan di tepi tebing. Sesekali kami ngobrol, tapi lebih banyak diam menjadi saksi keagungan Tuhan.

Liburan ala Bule di Gili Trawangan

three gilis map
Surga dunia, pulau eksotis, dan sederet istilah lebay lainnya digunakan untuk menggambarkan keindahan Gili Trawangan. Pulau kecil di sebelah barat pulau Lombok ini sudah sangat tersohor di kalangan para traveler dunia. Bersama dua pulau kecil lainnya, Gili Air dan Gili Meno tiga rangkaian pulau kecil ini menjadi lokasi favorit untuk berwisata bahkan berbulan madu. Dari ketiga pulau itu, memang Gili Trawangan yang paling terkenal.

Gili Trawangan adalah destinasi wisata yang sebenarnya tidak kami rencanakan sebelumnya. Ini adalah perjalanan dadakan untuk memanfaatkan waktu istirahat selama beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan pesawat ke Jogja. Salah seorang kawan kebetulan pernah ke sana dan punya kenalan yang sering liburan ke sana sehingga kami pun dapat kontak penginapan murah di sana. Kami beruntung, karena salah satu dari kami adalah kawan dari langganan mereka, pihak penginapan mendiskon tarif kamar.

Menggunakan kapal motor umum, kami menyeberang dari Lombok ke Gili Trawangan. Sekitar setengah jam kemudian kapal yang kami tumpangi sudah sampai di Gili. Tak ada kendaraan bermotor, hanya ada sepeda dan cidomo (dokar) sebagai alat transportasi. Jalanan utama begitu bersih nyaris tanpa sampah berserakan. Di sepanjang jalan banyak terdapat toko cinderamata, agen travel, penginapan, dan minimarket. Sementara itu restoran kebanyakan berada di sisi yang langsung berbatasan dengan pantai. Bule-bule bertebaran di mana-mana. Sejauh mata memandang tak satupun terlihat wisatawan lokal.
jalanan gili trawangan
Cukup jauh kami berjalan kaki dari tempat kapal bersandar menuju penginapan. Sebuah ranjang berkapasitas dua orang, lemari, kipas angin, dan kamar mandi dalam adalah fasilitas kamar yang tersedia. Ada empat kamar yang sederet dengan kamar kami. Dua kamar kami tempati, satunya ditempati sepasang bule, dan satunya lagi kosong. Di depan setiap kamar terdapat berugak (gubug kecil khas Lombok) yang sangat nyaman dijadikan tempat istirahat. Air di penginapan payau, katanya di Gili kebanyakan air tanahnya payau.
halaman depan penginapan
Usai rehat sejenak, kami keluar untuk jalan-jalan menikmati suasana sore di Gili Trawangan. Tak banyak orang yang lalu-lalang di jalan sore itu. Namun di pantai sudah terlihat banyak wisatawan yang sedang bersantai menanti senja. Kebetulan pantai yang kami kunjungi menghadap ke arah timur sehingga tidak bisa melihat sunset namun esok ada harapan untuk dapat menikmati sunrise. Pantai pasir putih ala Gili Trawangan yang terkenal akan keindahannya itu akan segera kami sambangi. Sayangnya keeksotisan pantai pasir putih Gili ternodai oleh sampah-sampah yang berserak. Dari ranting-ranting pohon sampai sampah bungkus makanan sudah terlihat dengan jelas saat kami masuk ke area pantai. Pantai yang buruk, kesan pertama saya. Sangat berbeda dengan ekspektasi yang terbentuk dari berbagai sumber yang menceritakan keindahan Gili Trawangan.
sampah terserak di tepi pantai
Sampah di pantai tidak mempengaruhi para wisatawan untuk tetap menikmati suasana sore di tepi pantai. Lagi-lagi hanya terlihat wajah-wajah berkulit putih. Baru setelah agak lama berada di pantai, tampak seorang berwajah lokal sedang menggendong anak bule. Tak banyak yang para wisatawan lakukan di pantai sore itu, hanya duduk-duduk santai dan ada yang bermain dengan anak-anaknya. Mereka terlihat sangat menikmati liburan dan tidak memikirkan apapun kecuali bersenang-senang. Berbeda dengan kami yang kebingungan saat malam tiba. Di sepanjang restoran yang kami susuri tak ada satupun yang bersahabat bagi kantong kami. Daftar menu dan harga yang tertera di papan tulis berstandar internasional. Selera makan pun hampir menghilang, sampai ketika saya lihat salah satu menu “vegetable fried rice... 20K”. Itulah harga makanan termurah yang dapat ditemukan. Harga barang dan makanan di Gili Trawangan memang mahal, bisa sampai tiga kali lipat dari harga normal.

Memasuki restoran, si pelayan menunjukkan tempat duduk yang masih kosong. Dasar ndeso, kami memilih untuk duduk lesehan di berugak yang letaknya di sudut restoran tanpa penerangan yang memadai. Si pelayan sempat menganjurkan untuk duduk di dalam dengan alasan tempat yang kami pilih agak gelap, namun pendirian kami tetap tak tergoyahkan. Nantinya si pelayan akan mafhum dengan keputusan ini. Di saat para tamu yang kebanyakan bule sedang makan dengan elegan, sementara di berugak kami makan dengan gaya kampungan. Ngobrol sambil cekikikan, sesekali tertawa terbahak-bahak. Sangat kontras dengan suasana dalam restoran yang begitu tenang dan kondusif.

Saat memesan makanan, si pelayan pun tanya minuman apa yang kami pesan. Kami pun kompak menjawab ga usah pake minum aja (sudah cukup dengan nasi goreng 20K). Dengan tersenyum, si pelayan bilang “air putihnya gratis kok” (ah.. sial, tau aja kalo kami turis kere). Kami pun tidak menanggapi serius tawaran si pelayan. Antara malu tapi mau dan kami pilih tetap pesen makan tanpa minum. Vegetable fried rice 20K telah dihabiskan, rasa biasa harga luar biasa. Bekal 1,5 botol air mineral ukuran tanggung menjadi penawar rasa seret kami usai makan.

Paginya kami yang sudah berniat ingin melihat sunrise bergegas ke pantai setelah bangun tidur. Sudah agak terang ketika kami sampai di pantai. Namun matahari belum juga muncul karena terhalang awan yang menggumpal di ufuk timur. Selang beberapa menit kemudian, bola emas matahari muncul dari balik awan. Cahaya merahnya terpantul dengan sempurna di laut yang begitu tenang. Samar terlihat pantai Gili Meno tepat di bawah matahari. Sunrise yang tidak sempurna, namun tetap terlihat indah.
menyambut pagi di gili
Suasana pantai masih sepi, jarang terlihat turis yang wara-wiri di pantai. Di antara sepinya pantai, terlihat seorang turis asal Jepang sedang membawa sampah botol bir dan air mineral berjalan menuju tempat sampah. Ternyata masih ada yang peduli terhadap sampah di pantai. Sampah memang menjadi masalah klasik yang selalu terjadi pada tempat wisata di Indonesia tak terkecuali di Gili Trawangan. Pulau yang disebut pulau surga ini bagi saya tak ubahnya seperti pantai wisata biasa yang tercemar sampah. Sebagai pulau wisata, Gili Trawangan menghasilkan sampah yang banyak. Memang, sebagian besar sampah-sampah tersebut terbuang di tempat yang seharusnya. Namun, ada sebagian lagi yang lolos dan mencemari area pantai.
membuang sampah pada tempatnya
Di penghujung waktu liburan, kami manfaatkan untuk ikut tur snorkeling di perairan tiga gili. Dengan membayar 100 ribu per orang kami mendapat fasilitas masker snorkeling, jaket pelampung, sebotol air mineral, pemandu, dan diantar ke tiga spot snorkeling. Satu rombongan tur berisi sekitar 20 orang wisatawan, dan kami lah satu-satunya turis lokal dalam rombongan tersebut. Sebagai minoritas, kami harus mengalah karena penjelasan dari pemandu yang menggunakan bahasa Inggris. Tergabung dalam rombongan ini seperti berada dalam tur wisata internasional.

Dari kami bertujuh, lima orang tidak bisa berenang termasuk saya. Saya sama sekali tidak pernah berenang sempat panik saat pertama kali menceburkan ke laut. Beruntung, saya bisa segera sadar kalau sedang pakai pelampung dan membiarkan tubuh mengambang dengan sendirinya. Untuk menjaga satu sama lain (biar ga ilang keseret arus), kami saling berpegangan tangan. Ada kalanya salah seorang dari kami terpisah dan dengan paniknya minta di-rescue. Meski berpegangan tangan sempat kami panik ketika arus begitu kuat dan menyeret kami ke pinggir pantai. Kegiatan snorkeling ini bagi kami tak ubahnya seperti ajang mempertahankan nafas/nyawa (Jangankan menikmati keindahan bawah laut, bertahan dari kuatnya arus laut aja susahnya setengah mati). Sementara para bule satu rombongan dengan asyiknya berenang ke sana ke mari. Kami begitu panik karena arus kencang, sementara para bule itu menikmati keindahan bawah laut dengan tenang dan elegan.

para perenang amatiran (hanya satu yg bisa diandalkan)
Selepas tur snorkeling, waktunya kami segera berkemas dan menuju ke pelabuhan. Sorenya dengan menumpang kapal umum, kami kembali ke Lombok. Usai sudah liburan dua hari satu malam di Gili Trawangan dan sekitarnya. Liburan di tempat favorit para bule dan mencoba menikmatinya seperti mereka. 

Harmoni di Teluk Bintuni, Sekilas Tentang Babo

Lantunan ayat-ayat suci Al Quran terdengar sayup-sayup dari arah masjid. Beberapa anak terlihat berlarian di serambi masjid. Di luar, senja sudah menua, gelap perlahan menyergap. Hanya beberapa titik cahaya lampu yang terlihat sepanjang jalan. Kala itu, Babo sedang dilanda krisis listrik. Sudah beberapa bulan terakhir PLN tak mampu memenuhi kewajibannya. Alhasil, Babo gelap gulita saat malam tiba. Hanya beberapa rumah dan kios yang memiliki genset saja yang bisa menyalakan lampu.
masjid di Babo
Raungan genset masjid mengiringi merdunya suara anak-anak yang sedang mengaji. Mereka tidak hanya melakukan rutinitas mengaji ba’da Maghrib saja, tetapi sedang melakukan latihan. Ya, latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi kejuaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Dalam beberapa tahun terakhir, Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Kini mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

Babo, salah satu distrik di kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Babo merupakan salah satu daerah yang maju di Teluk Bintuni. Terdapat bandara di distrik ini, sebuah bandara peninggalan jaman perang yang kembali difungsikan untuk keperluan transportasi bagi suatu perusahaan. Bandara Babo menjadi pintu masuk bagi para staf perusahaan gas asing tersebut untuk menuju ke beberapa lokasi proyek di wilayah Teluk Bintuni. Babo juga memiliki jetty/dermaga besar yang menjadi tempat transit kapal dari Sorong menuju Bintuni maupun sebaliknya. Selain itu, distrik ini juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Barang-barang dari Sorong didrop di Babo untuk kemudian disalurkan ke berbagai daerah di Teluk Bintuni termasuk di kota Bintuni sendiri.
kampung Babo
Suku Irarutu adalah warga asli di Babo, selain itu ada beberapa suku lain termasuk pendatang seperti dari Jawa, Buton, Toraja, dan suku-suku dari Papua lainnya. Pendatang, terutama orang Jawa dan Buton kebanyakan menempati area jetty kecil. Selain jetty besar, babo juga memiliki jetty kecil tempat ketinting dan perahu kecil nelayan bersandar. Banyak kios di sini yang menyediakan pakaian, peralatan elektronik, perkakas dapur, sampai sirih pinang yang sudah menjadi “candu” bagi orang Papua. Jual beli ikan dan hasil laut lain juga dapat ditemui di sini. Beberapa kios makanan besar berkumpul di sini, termasuk juga pangkalan minyak tanah. Bisa dikatakan pusat perdagangan di Babo ada di area jetty kecil.

Masyarakat Babo tergolong multietnis, karena terdiri dari berbagai suku meski Irarutu masih menjadi suku yang dominan. Beragamnya suku yang ada tidak menimbulkan perselisihan yang parah. Mereka hidup berdampingn dengan damai dan tenang. Keragaman suku di Babo menjadikan mereka saling melengkapi. Orang Jawa yang terkenal dengan masakannya membuka warung makan di sana, dan hampir semua warung makan di Babo dimiliki orang Jawa. Etnis Tionghoa yang dikenal pandai berdagang membuka beberapa toko kelontong besar. Orang Papua yang dikenal dengan fisiknya yang kuat berprofesi sebagai TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Sementara itu, orang Buton yang dikenal sebagai pelaut ulung bertugas menyediakan ikan dan hasil laut lain. Penggolongan pekerjaan berdasarkan suku tidaklah mutlak demikian, namun itu dapat menjadi sedikit gambaran tentang salah satu keuntungan masyarakat multietnis.
anak-anak Babo
Warga Babo juga cukup taat beribadah. Hal ini bisa dilihat dari masjid utama yang selalu ramai oleh anak-anak yang mengaji mulai ba’da maghrib sampai Isya’. Hampir tiap sore juga terlihat mace-mace berangkat pengajian ke rumah tetangganya. Di sini juga ada tradisi unik dalam menyelenggarakan upacara pernikahan. Tabuhan rebana dan sholawat mengiringi pengantin yang diarak keliling kampung. Mirip seperti di Jawa, di Babo juga sering diadakan semacam tahlilan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Meski bukan mayoritas, warga nampak antusias dalam merayakan natal. Suasana menjelang natal di Babo cukup meriah dengan letusan kembang api yang terdengar sambung-menyambung. Tiga gereja yang ada dipenuhi jemaat yang melakukan ibadah di malam natal. Semua acara keagamaan itu mereka tanggapi dengan saling toleransi sehingga tercipta harmoni.
gereja di seberang lapangan Babo
Itulah sedikit gambaran mengenai Babo. Salah satu Distrik di Teluk Bintuni yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Sebuah kota kecil yang memiliki peran penting di kawasan Teluk Bintuni.

Peran Penting Koperasi dalam Manajemen Risiko Bencana

Pengurangan risiko bencana seringkali lebih difokuskan pada penyelamatan jiwa. Menyelamatkan nyawa adalah prioritas utama dalam peristiwa bencana alam. Berbagai sarana dan prasarana disediakan untuk memfasilitasi dalam hal evakuasi warga ketika bencana terjadi. Kegiatan simulasi kebencanaan juga turut disertakan agar warga memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana. Jika semua persiapan ini berhasil, maka saat terjadi bencana akan banyak nyawa terselamatkan. Setelah itu, mereka akan ditampung dalam barak-barak pengungsian yang sudah disiapkan sambil menunggu bantuan dari para donatur. Meski bisa bertahan hidup, namun para korban sudah kehilangan harta benda bahkan pekerjaannya.

Dalam mengurangi risiko bencana sebaiknya dipersiapkan secara matang dan menyeluruh. Keselamatan jiwa memang penting, namun yang tidak kalah penting adalah menjaga keberlangsungan hidup ke depannya termasuk memastikan keberlanjutan pendapatan pasca bencana. Setelah terjadi bencana biasanya warga akan kehilangan pendapatan rutinnya sehingga mereka sangat tergantung terhadap bantuan selama beberapa waktu. Persiapan secara menyeluruh itu dikenal dengan istilah manajemen risiko bencana.

Risiko bencana muncul dari interaksi antara natural hazard atau bahaya alami (faktor risiko eksternal) dan vulnerability atau kerentanan (faktor risiko internal). Bahaya alami merupakan fenomena geologis (erupsi gunung berapi, gempa bumi) atau meteorologis (banjir, topan, kekeringan) yang mengakibatkan dampak merugikan bagi masyarakat di daerah fenomena itu terjadi. Kerentanan terdiri dari rantai risiko, termasuk risiko itu sendiri, pilihan untuk mengelola risiko dan hasilnya. Rantai risiko adalah beberapa kondisi atau kejadian yang saling mempengaruhi besarnya risiko yang dihadapi. Jadi besarnya risiko yang dihadapi, tergantung bagaimana cara mengelola risiko. Semakin baik pengelolaan risiko makin kecil pula risiko bencana yang dihadapi.

Dampak dari bencana dibagi menjadi dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung adalah kerusakan sebagian atau total suatu aset seseorang atau kelompok. Dampak tidak langsung muncul setelah bencana terjadi, salah satunya adalah mempengaruhi keadaan ekonomi korban seperti misalnya terganggunya akses jalan dan informasi yang menghambat kegiatan perekonomian.

Dari penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2011 di wilayah terdampak erupsi gunung Merapi menyimpulkan bahwa masyarakat memiliki kerentanan yang besar terhadap erupsi. Risiko terbesar dihadapi oleh masyarakat miskin karena mereka memiliki keterbatasan dalam mengelola risiko. Sebagai contoh adalah warga yang bermukim secara turun temurun di lereng Merapi. Pertanian dan peternakan menjadi pekerjaan utama bahkan satu-satunya pekerjaan yang dimiliki warga. Akibatnya setelah lahan pertanian rusak akibat erupsi, praktis mereka tidak punya pekerjaan lagi. Seperti yang dialami oleh para petani salak. Pada Oktober-November saat terjadi erupsi seharusnya itu adalah waktu panen. Namun panen tersebut gagal total karena tanaman salak rusak tertimbun abu vulkanik yang tebal. Diperlukan waktu hingga tiga tahun untuk pulih kembali bagi kebun salak yang rusak parah.

Pasca erupsi Merapi, pendapatan warga yang bekerja di sektor pertanian mengalami gangguan. Bahkan selama beberapa bulan pasca erupsi mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali akibat gagal panen. Sama halnya dengan petani, para peternak di lereng Merapi juga mengalami kerugian besar akibat banyak ternaknya yang mati. Seperti yang dialami seorang peternak Sapi perah asal Cangkringan yang semua sapinya mati akibat terpanggang awan panas, kebunnya kopinya juga rusak. Akibatnya bagi sebagian warga, erupsi Merapi juga mengancam keberlanjutan usaha mereka yang secara tak langsung dapat menurunkan tingkat kesejahteraan.

Dibutuhkan suatu lembaga untuk membantu masyarakat dalam mengelola risiko bencana. Koperasi adalah salah satu lembaga yang dapat berpartisipasi bersama masyarakat dalam hal pengelolaan risiko bencana. Sebagai lembaga yang didirikan secara bersama-sama dan berasaskan kekeluargaan, koperasi diharapkan menjadi lembaga yang terdekat dengan warga sehingga bisa menghasilkan solusi terbaik untuk mengatasi masalah kebencanaan. Koperasi di sini diartikan sebagai sebuah bentuk usaha dengan jenis bermacam-macam seperti koperasi simpan pinjam, koperasi tani, dan koperasi konsumsi.

Koperasi dengan dukungan beberapa pihak terkait dapat meningkatkan kapasitas kemampuan masyarakat untuk meminimalkan risiko ekonomi akibat bencana. Kesadaran akan bencana perlu ditanamkan dalam pola pikir masyarakat. Sebelum menerima berbagai pelatihan terkait kebencanaan, masyarakat perlu mengetahui lingkungan mereka yang rawan bencana dan pentingnya melakukan persiapan terkait hal itu. Seringkali masyarakat terkesan abai meski sudah tahu bahwa ada sumber bencana di dekat mereka. Seperti yang dialami warga lereng Merapi bagian selatan sebelum terjadi bencana 2010. Berdasarkan pengalaman menghadapi erupsi-erupsi sebelumnya, mereka tidak mengira kalau dampak erupsi 2010 begitu besar dan meluas. Akibatnya tidak ada persiapan khusus yang mereka lakukan sehingga dampak bencana yang diterima semakin besar.

Ketergantungan terhadap satu jenis mata pencaharian menjadi salah satu faktor yang memperbesar risiko bencana. Karena itu diperlukan keterampilan tambahan bagi masyarakat agar memiliki pilihan untuk melakukan pekerjaan alternatif. Pekerjaan alternatif ini sebaiknya merupakan pekerjaan yang memiliki risiko relatif kecil terhadap bencana sehingga diharapkan tetap akan memberikan penghasilan meski terjadi bencana. Selain itu, dengan cara seperti ini berarti juga melakukan diversifikasi penggunaan modal agar tidak terpusat pada penggunaan usaha yang berisiko. Pekerjaan alternatif ini sangat beragam sesuai dengan kondisi lingkungan serta jenis bencana yang kemungkinan terjadi. Koperasi sebagai salah satu sumber penyedia modal bagi masyarakat memiliki kepentingan dalam hal ini. Kemampuan anggotanya dalam mengelola risiko usaha akan mempengaruhi besar kecilnya risiko pembiayaan yang dihadapi koperasi tersebut.

Untuk menghadapi kemungkinan terburuk akibat bencana juga dibutuhkan dana cadangan. Masyarakat perlu mengalokasikan sebagian penghasilan mereka untuk kebutuhan darurat seperti saat terjadi bencana. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan tabungan. Di sini peran koperasi juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran menabung. Bagi masyarakat, tabungan dapat menjadi jaminan tersedianya kebutuhan darurat pasca bencana. Bagi koperasi, tabungan dapat menjadi salah satu sumber dana pembiayaan yang akan disalurkan ke masyarakat. Dalam hal penyaluran pembiayaan, hendaknya koperasi melakukan diversifikasi sehingga penyaluran pembiayaan tidak terfokus pada satu jenis usaha atau daerah saja. Sebagai contoh adalah dua BMT (Baitul Maal wat Tamwil) yang terdapat di salah satu kecamatan terdampak erupsi Merapi. Salah satu BMT menyalurkan dana pembiayaan terpusat ke satu wilayah dan pekerjaan yang rawan (di bidang pertanian). Akibatnya terjadi banyak pembiayaan bermasalah pasca erupsi, mulai dari penunggakan angsuran sampai gagal bayar. Sementara itu, BMT lain tidak terlalu mengalami dampak serius karena mereka telah melakukan diversifikasi pembiayaan.

Selanjutnya pengembangan dan penerapan teknologi juga perlu dilakukan untuk mengurangi risiko terhadap bencana. Sebagai contoh adalah pemanfaatan struktur bangunan tahan gempa yang dapat meminimalkan jumlah korban dan memungkinkan infrastruktur vital tetap berfungsi secara normal pasca bencana. Contoh lain adalah memanfaatkan perkembangan teknologi pertanian untuk mengurangi dampak akibat berbagai bencana seperti kekeringan, perubahan iklim, dan erupsi gunung. Dalam pengelolaan usaha pertanian ini, peran koperasi tani sangatlah penting. Selain sebagai penyedia kebutuhan dan penyalur produksi pertanian, koperasi juga bisa menjalankan fungsi penelitian dan pengembangan pertanian. Hal ini sejalan dengan tujuan koperasi yang dimiliki bersama yaitu untuk mensejahterakan anggota (dalam berbagai aspek). Koperasi tani adalah salah satu contoh dari koperasi produksi yang semakin banyak didirikan sesuai jenis usahanya. Jadi dalam hal ini koperasi produksi dapat juga berperan untuk membangun ketahanan usaha terhadap bencana.    
Kebutuhan pokok adalah hal mendesak yang perlu segera dipenuhi pasca terjadi bencana, koperasi konsumsi berperan penting dalam hal ini. Fungsi utama koperasi konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat secara kolektif sehingga diharapkan dapat menawarkan harga yang relatif lebih murah. Peran ini sekilas memang sudah tergantikan oleh adanya berbagai minimarket yang menjamur, namun ada perbedaan yang mendasar yaitu dalam hal kepemilikan. Koperasi konsumsi dimiliki bersama (sesuai asas koperasi), sehingga diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan anggota secara menyeluruh (tidak sebatas pemenuhan kebutuhan pokok) termasuk dalam hal ini terkait dengan kebencanaan. Ada beragam cara yang dapat dilakukan koperasi untuk membantu masyarakat untuk mengurangi dampak bencana, salah satunya adalah dengan menyediakan stok cadangan untuk kebutuhan darurat. Karena masih dalam wilayah yang rentan bencana, sebaiknya stok disimpan di tempat yang aman. Stok cadangan ini dapat diambil dari sebagian SHU (Sisa Hasil Usaha) sesuai kesepakatan, sehingga nantinya dapat dibagikan secara gratis sambil menunggu datangnya bantuan dari pihak luar. Jadi dengan kata lain koperasi berfungsi sebagai penyedia kebutuhan darurat pasca bencana sehingga kebutuhan korban (masyarakat sekitar koperasi) dapat segera terpenuhi.   

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah kerjasama antar koperasi. Koperasi tidak dapat menjalankan usahanya secara maksimal tanpa dukungan dari pihak luar termasuk koperasi lain. Terkait dengan pengelolaan bencana, kerjasama antar koperasi dilakukan untuk membantu koperasi yang terdampak bencana. Secara umum, koperasi yang surplus bisa membantu koperasi yang defisit. Surplus di sini dapat diartikan banyak hal seperti modal maupun barang. Sebagai contoh, suatu koperasi simpan pinjam bisa menyalurkan surplus dananya kepada koperasi di daerah bencana yang sedang mengalami defisit pendanaan dengan perjanjian khusus. Modal di sini juga dapat berarti modal pengetahuan, yang memungkinkan terjadinya transfer ilmu antar koperasi sesuai pengalaman masing-masing dalam hal ini adalah terkait pengelolaan risiko bencana. Kerjasama antar koperasi memang sangat dibutuhkan dalam terwujudnya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat sehingga dapat bertahan dari segala bencana.

Koperasi hanyalah salah satu dari sekian banyak pihak yang berkepentingan terhadap penanganan kebencanaan. Jadi tanpa dukungan dari pihak-pihak lain seperti pemerintah dan lembaga donor peran koperasi tidak akan optimal. Pemerintah dengan kewenangannya membuat regulasi dan lembaga donor sebagai perantara donasi/sumbangan juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Karena itu, berbagai pihak yang terkait seharusnya saling bekerjasama sesuai wewenang dan keahlian masing-masing untuk mengelola risiko bencana.

Peran-peran koperasi seperti yang dijelaskan di atas baru sebatas wacana yang didasarkan pada beberapa fakta yang ditemukan penulis dan teori-teori tentang koperasi dan manajemen risiko bencana. Dibutuhkan berbagai kajian untuk menentukan rumusan terbaik dalam hal Manajemen Risiko Bencana (MRB). MRB yang dilakukan dengan efektif diharapkan dapat meminimalkan dampak bencana yang terjadi. Sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan dengan bencana.


Sumber:
Skripsi “Evaluasi Penerapan Manajemen Risiko Bencana Studi pada Koperasi Serba Usaha Baitul Maal wat Tamwil (KSU BMT) Sejahtera Turi” oleh: Arief Setyo Widodo, 2012.

Artikel “Microfinance and Disaster Risk Management Experiences and Lessons Learned” oleh: Enrique Pantoja, 2002.

Modul Sekolah Koperasi “Koperasi Indonesia Sejati” oleh: Sekolah Koperasi, 2013. 





Kamis, 07 Agustus 2014

Jalan-Jalan ke Pantai Sadranan

Pantai Sadranan
Untuk ke sekian kalinya, saya bertandang ke pantai Gunung Kidul. Kali ini saya diajak lebih tepatnya dipaksa seorang kawan untuk menemaninya ke pantai Sadranan. Dengan agak malas, saya turuti permintaannya. Perjalanan cukup panjang selama dua jam kembali saya tempuh untuk menuju ke wilayah pantai Gunung Kidul. Di tengah jalan banyak terlihat rombongan sepeda motor yang berkonvoi menuju pantai. Mobil-mobil berplat luar daerah dapat dengan mudah dijumpai selama perjalanan, tak ketinggalan bus-bus pariwisata juga turut meramaikan jalan. Pemandangan yang cukup aneh mengingat hari itu adalah hari kerja kedua setelah libur lebaran 2014. Meski bukan hari libur masih banyak juga wisatawan yang berkunjung ke sana. Ah... Gunung Kidul emang ga ada matinya.

Gunung Kidul dikenal akan pantai pasir putihnya yang indah. Salah satu  yang cukup terkenal adalah pantai Sadranan. Pantai ini terletak satu kompleks dengan pantai Sundak. Akses menuju pantai ini sudah cukup bagus, hanya saja beberapa ratus meter sebelum tempat parkir, jalanan masih berupa jalan tanah berbatu. Memasuki area pantai, mata langsung dimanjakan oleh pemandangan birunya air laut. Pasir putihnya memantulkan cahaya matahari siang sehingga terlihat agak menyilaukan. Gradasi warna air laut dari hijau ke biru terlihat memikat. Terlihat beberapa  anak bermain air, ada juga serombongan remaja jalan-jalan di tepi pantai. Tersedianya persewaan alat snorkeling semakin menambah pilihan wisatawan untuk menikmati keindahan pantai.
deretan gubuk wisata di Pantai Sadranan
Teriknya matahari membuat sebagian pengunjung bersantai sambil berteduh di tempat teduh tentunya. Ada yang duduk-duduk di cekungan batu karang, tiduran di bawah pohon, dan ada yang memilih untuk bersantai di gubuk sambil menikmati suasana pantai. Deretan gubuk memang sudah disiapkan oleh pengelola untuk memanjakan wisatawan. Gubuk-gubuk seluas 2m x 2m  itu terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang. Untuk memberi kenyamanan, lantai gubuk dialasi dengan tikar. Dengan merogoh kocek 20 ribu, kita bisa menikmati fasilitas itu.

Bosan dengan suasana pantai, kami naik ke atas sebuah bukit. Dari kejauhan bukit itu terlihat dipehuhi oleh beberapa bangunan villa. Serpihan bebatuan disusun menjadi anak tangga sebagai akses menuju komplek villa itu. Tiga buah bangunan terbuat dari kayu berdiri kokoh di puncak bukit. Di sekitarnya terdapat taman yang dihiasi beragam jenis bunga dan tanaman yang disusun sedemikian rupa sehingga terlihat elok dipandang. Di beranda salah satu bangunan terdapat meja dan kursi yang menghadap langsung ke arah laut. Dari sudut itu, lanskap laut dan perbukitan terlihat sempurna dengan adanya taman di depan villa.
lanskap mewah pantai Sadranan
Kami bisa dengan leluasa keliling di sekitar villa dan duduk-duduk santai di beranda karena di sana sedang sepi. Dua bangunan terkunci sedangkan satunya terbuka namun nampak sepi. Puas menikmati “kemewahan” gratisan itu, kami pun segera turun. Istirahat sebentar sambil menikmati kesegaran es kelapa muda. Siang itu suasana pantai masih ramai. Panasnya sengatan matahari tak menyurutkan minat wisatawan untuk menikmati keindahan pantai Sadranan. Bahkan di hari kerja seperti ini pun pantai masih saja dikunjungi banyak wisatawan. Pesona pantai Sadranan ditambah dengan pengelolaan yang semakin bagus membuat tempat ini menjadi salah satu destinasi favorit wisata pantai Gunung Kidul.
  

Selasa, 22 Juli 2014

Safari Masjid Papua Barat (3): Sebuah Catatan

14056774801636613206
masjid Al Ikhlas Tofoi

Usai berkeliling di kampung Otoweri, kita lanjutkan perjalanan menuju ke Tofoi. Perjalanan total sekitar enam jam harus ditempuh dari Otoweri ke Tofoi. Kembali menyusuri teluk Bintuni ke arah timur, kemudian berbelok ke selatan masuk ke sebuah sungai menuju kampung Tofoi. Di kawasan teluk Bintuni, wilayah perairan menjadi jalur utama transportasi. Teluk Bintuni bisa diibaratkan sebagai jalan raya dengan banyak sungai di tepiannya sebagai jalan masuk menuju kampung-kampung. Dibutuhkan waktu lebih dari sejam perjalanan dari muara menuju ke kampung Tofoi.

14056773581505052513
jetty kampung Tofoi

Kampung Tofoi masuk dalam distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni. Terdapat 400-an KK yang menghuni kampung ini dengan jumlah penduduk mencapai hampir 2000 orang. Dibandingkan beberapa kampung sebelumnya, Tofoi relatif ramai. Sama seperti Babo, Tofoi juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Di sini terdapat perusahaan kayu yang cukup besar dan mempekerjakan ratusan karyawan. Kampung Tofoi juga memiliki warga yang multietnis. Warga asli suku Sumuri kebanyakan menghuni kampung bagian dalam sedangkan para pendatang tinggal di sekitar jetty.

14056774321615669528
senja di kampung Tofoi

Populasi Muslim di kampung Tofoi sekitar 25% dari penduduk Tofoi. Sebagian besar dari warga Muslim adalah pendatang, hanya sedikit warga asli (Papua) yang beragama Islam. Masjid yang ada di kampung ini pun hanya ada satu. Masjid Al Ikhlas, sebuah masjid sederhana terletak di puncak sebuah bukit kecil. Bangunan masjid berbentuk panggung dengan lantai kayu sebagai alasnya. Dinding masjid terbuat dari kayu bercat putih yang disusun secara vertikal. Pagar kayu berwarna hijau mengelilingi masjid dan berfungsi sebagai pembatas serambi yang cukup sempit. Atap masjid berupa seng yang disusun bertumpuk dua, atap bagian atas berbentuk seperti atap rumah Joglo. Lantai di bagian dalam masjid dilapisi oleh karpet hijau, sedangkan empat shaf pertama dilapisi lagi dengan karpet sajadah. Tidak ada ornamen dan hiasan yang menonjol di dalam masjid, hanya beberapa lukisan kaligrafi sederhana saja.

Ruangan utama masjid Al Ikhlas Tofoi hanya dapat menampung sekitar 200 jamaah, sehingga saat sholat Jumat jamaah membludak sampai serambi dan halaman masjid. Keterbatasan daya tampung ini adalah penyebab utama didirikannya bangunan masjid baru tepat di sebelah masjid Al Ikhlas. Letak masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman para pendatang yang beragama Islam seperti suku Jawa, Buton, dan Bugis. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai di bidang perdagangan, mulai dari pedagang kelontong kecil-kecilan, pedagang pasar, sampai buka warung penyetan. Para pendatang berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda. Namun sampai saat ini mereka tetap hidup rukun baik antar sesama pendatang maupun dengan warga asli sebagai pemilik tanah ulayat/adat.

14056775321324327812
ruangan utama masjid Al Ikhlas

Ada satu kesamaan yang mencolok dari kelima masjid tersebut yaitu memiliki atap tumpang. Pada bagian atap paling bawah menaungi ruangan berbentuk segiempat. Kemudian atap di atasnya semakin mengecil dengan puncak atap teratas biasanya diletakkan kubah kecil. Bentuk atap seperti itu sangat mirip dengan masjid-masjid di Jawa yang berakulturasi dengan kebudayaan Hindu.

Tidak banyak warga lokal yang tahu mengapa ada kemiripan bentuk atap masjid mereka dengan masjid di Jawa. Pengaruh arsitektur Jawa di masjid-masjid tersebut karena bantuan pembangunan masjid kebanyakan berasal dari luar termasuk juga desain bangunannya. Bisa jadi orang yang membangun masjid adalah tukang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan bentuk bangunan masjid di tempat asal mereka.

Tofoi adalah tujuan terakhir sebelum kembali lagi ke Babo untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Sorong dan kembali pulang. Lima masjid, lima kampung di Papua Barat. Kelimanya memiliki kisah tersendiri. Kisah tentang masjid dan para jamaahnya. Kisah tentang kondisi sosial masyarakat setempat. Dan kisah tentang keragaman budaya yang disatukan dalam naungan Islam.

Safari Masjid Papua Barat (2): Sepinya Surau Kami



1405406496297737940
luas dan lengang

Di seberang kampung Sidomakmur, terdapat kampung Wimro. Sama seperti Sidomakmur, Wimro dulunya adalah wilayah transmigrasi. Pabrik udang menjadi daya tarik pendatang untuk mengadu nasib di sana. Pabrik udang Jayanti yang sempat berjaya di era 90-an mempekerjakan ribuan buruh. Jayanti adalah perusahaan milik keluarga Cendana yang memiliki beberapa unit usaha di Teluk Bintuni, salah satunya adalah pabrik udang di Wimro. Seiring dengan runtuhnya era orde baru, pada awal 2000-an Jayanti bangkrut dan menghentikan kegiatan operasional pabriknya. Perlahan Wimro semakin sepi ditinggal para buruh yang kehilangan pekerjaannya.

1405406650387075953
jalan masuk kampung Wimro

Tak lebih dari 100 KK tinggal di kampung utama. Itu pun sebagian dari mereka adalah nelayan yang sering meninggalkan kampung beberapa hari saat melaut. Begitu sepi kampung itu, sama seperti masjidnya yang sepi dari aktivitas ibadah. Masjid Miftahul Huda, sebuah masjid besar nan megah memiliki halaman yang luas. Masjid yang dindingnya terbuat dari kayu itu memiliki atap tumpang berwarna hijau. Serambi masjid berlantai tegel hitam dibatasi pagar kayu. Ruangan dalam masjid begitu luas, dengan lantai keramik putih dan keramik merah yang menjadi pembatas shaf. Di empat sisi dindingnya terdapat kaligrafi ayat-ayat suci Al Quran. Banyak kipas angin menggantung di langit-langit, siap sedia untuk membuat nyaman para jamaah di tengah cuaca Papua yang sangat panas. Masjid megah itu mampu menampung ratusan jamaah.

1405406714914945614
masjid Miftahul Huda Wimro

Namun kini tak lagi didapati masjid penuh sesak oleh Jamaah. Selama lima hari saya di sana, tak satu warga pun terlihat sholat di masjid. Bahkan saya tak pernah sekalipun mendengar suara adzan berkumandang dari masjid itu. Bukannya sudah tidak ada muslim lagi di sana. Justru penghuni beberapa rumah di dekat masjid beragama Islam. Memang di kampung Wimro ini, umat muslim cukup sedikit karena sudah banyak di antaranya yang pindah akibat tidak memiliki pekerjaan lagi di sana. Sebenarnya di area masjid sendiri tinggal sepasang suami-istri, si suami didaulat menjadi takmir masjid. Selama kami di sana kebetulan Bapak itu sedang melaut sehingga aktivitas di masjid  berhenti total. Jika si Bapak sedang di rumah, dialah yang mengumandangkan adzan dan mengimami sholat jika ada jamaah.

14054068461031178919
Entah sejak kapan aktivitas ibadah di masjid ini berhenti total dan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang pasti setiap memasuki ruangan masjid, hanya kesunyian yang menyambut kami. Tak ada barisan rapat jamaah yang sedang sholat, tak terdengar keriuhan anak-anak yang sedang mengaji, tak pula terdengar suara adzan. Debu tipis menyelimuti lantai, meski demikian keramik putih itu masih bisa memantulkan bayangan walaupun tidak sesempurna dulu. Beberapa eksemplar Al Quran teronggok rapi di dalam lemari, sepertinya sudah lama tidak dijamah. Masjid Miftahul Huda Wimro, masjid megah yang ditinggalkan. Sampai sekarang masjid itu masih berdiri dengan kokoh meski hanya segelintir orang yang peduli terhadapnya.

Tak ingin ikut larut dalam kesepian, sudah saatnya untuk berpindah ke kampung selanjutnya. Destinasi selanjutnya adalah kampung Otoweri. Untuk menuju ke sana, kita harus mengarungi perairan terbuka teluk Bintuni menggunakan ketinting. Perjalanan cukup mulus ketika melewati sungai besar di kawasan Wimro. Memasuki muara, ombak makin meninggi disertai angin kencang. Sempat kembali ke sungai untuk menunggu badai reda, akhirnya siangnya kapal bisa melewati muara dan lanjut mengarungi teluk Bintuni.
Perjalanan seharian harus kami tempuh setelah terjebak badai di muara. Jam 8 malam sampailah kami di Otoweri. Otoweri masuk dalam wilayah Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kampung kecil ini hanya dihuni sekitar 70-an KK yang mayoritasnya bekerja sebagai nelayan. Cukup banyak pendatang seperti orang Buton, Bugis, dan Jawa yang tinggal di sini. Namun orang Papua masih jadi yang terbanyak. Berbeda dengan beberapa kampung sebelumnya, orang Papua di kampung ini cukup beragam karena terdiri dari beberapa suku dan marga.

14054070771851413516
jalan kampung

Kampung Otoweri hanya memiliki satu tempat ibadah, yaitu Masjid Baburrahman. Dinding masjid ini berupa tembok berwarna putih. Atapnya bersusun tiga, terbuat dari seng yang dicat hijau. Di puncak atap terdapat kubah kecil dengan hiasan bintang di atasnya. Di sekeliling masjid terdapat pagar kayu setinggi setengah meter yang berfungsi mencegah hewan masuk ke area masjid. Serambi masjid dibatasi oleh pagar tembok dengan dua buah pintu di dua sisi.

14054071362092666930
masjid Baburrahman Otoweri

Ruangan utama masjid cukup luas, dapat menampung sekitar 250 jamaah. Lantai masjid berupa keramik putih dan keramik hijau sebagai batas shaf. Terdapat empat tiang penyangga utama terbuat dari kayu besi, jenis kayu ini masih sangat mudah ditemukan di Papua. Terdapat beberapa lampu menempel di langit-langit, namun sayangnya lampu ini tidak berfungsi karena tak ada listrik.

1405407274823830275
ruang utama masjid Baburrahman

Masjid Baburrahman ini bisa dibilang megah dan luas untuk ukuran kampung kecil nan terpencil seperti Otoweri. Namun sangat disayangkan, masjid ini juga sepi dari aktivitas ibadah. Sangat jarang suara adzan dikumandangkan dari dalam masjid. Dari pagi sampai sore hampir tidak ada warga yang berkunjung ke masjid. Hanya pada malam hari saja seseorang datang ke masjid untuk menyalakan pelita. Bahkan saat jumat siang, hanya berkumpul lima orang warga termasuk seorang anak kecil di masjid. Ditambah kami, jamaah sholat jumat hanya delapan orang. Sempat terjadi kebingungan di antara kami karena jamaah terlalu sedikit untuk menunaikan sholat Jumat.

Menurut sang imam, kejadian ini sudah biasa. Siang hari kebanyakan warga laki-laki pergi melaut. Sebenarnya sempat diberlakukan sebuah peraturan bahwa setiap hari Jumat tidak ada kegiatan melaut. Barang siapa yang pergi melaut di hari Jumat dan tidak menunaikan sholat Jumat akan diberi sanksi berupa denda sejumlah uang. Peraturan itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, setelah itu kembali ke kondisi semula. Sang Imam sempat menawarkan salah satu di antara kami sebagai orang yang menyerahkan tongkat ke Imam karena orang yang biasa melakukan itu sedang melaut. Karena di antara kami tidak ada yang bisa ritual penyerahan tongkat itu, khotbah pun urung terlaksana. Sang Imam memutuskan untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat saja.

Hampir semua warga Otoweri adalah Muslim, baik warga asli maupun pendatang. Kondisi ekonomi mereka bisa dikatakan relatif bagus karena ditunjang sektor perikanan yang sangat menghasilkan. Udang sebagai komoditas andalan nelayan di sini sangat mudah diperoleh. Hanya dengan mendayung sampan di sekitar muara, berkilo-kilo udang bisa mereka dapatkan. Jetty/dermaga kampung sering kali dijadikan sebagai tempat bersandar sampan dari kampung sebelah dan kadang sebagai tempat transit ketinting. Bisa dikatakan kegiatan perekonomian di sini cukup ramai. Warga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing sehingga tidak sempat ke masjid dan bahkan tidak bisa menyisihkan waktu luang untuk menunaikan sholat Jumat.

Safari Masjid Papua Barat (1): Mengenal Muslim Lokal dan Masjidnya

Pesawat baling-baling yang kami tumpangi baru saja mendarat di sebuah bandara kecil yang berada di tengah padang rumput luas dengan hutan hujan sebagai batasnya. Bandara ini dulunya digunakan sebagai lapangan udara militer saat perang dunia kedua. Saat ini bandara Babo diambil alih sebuah perusahaan gas yang biasanya digunakan untuk memfasilitasi karyawannya namun dapat dipakai juga oleh pesawat komersial umum. Babo adalah persinggahan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat lain di kawasan Teluk Bintuni. Sebuah kota kecil yang menjadi salah satu pusat perekonomian di kawasan Teluk Bintuni. Dibanding beberapa distrik/kecamatan lain di Teluk Bintuni, distrik Babo terbilang modern dan memiliki fasilitas umum relatif lengkap.

1405329785663307591
mendarat di bandara Babo
Tak sampai lima menit menggunakan mobil sampailah kami di kantor distrik, yang juga merupakan pusat distrik Babo. Dari sini kita dapat dengan mudah mengakses berbagai fasilitas umum seperti puskesmas, sekolah, dan masjid. Untuk mencapai masjid hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit dari kantor distrik. Masjid Miftahul Jannah adalah masjid terbesar di Babo. Masjid yang mampu menampung sekitar 200 jamaah ini memiliki serambi yang luas. Serambi masjid dibatasi oleh pagar setinggi sekitar setengah meter. Sebuah bedug ukuran cukup besar diletakkan di serambi masjid bagian depan. Ruangan dalam dan serambi masjid dilapisi lantai keramik. Empat buah tiang beton yang terletak di bagian dalam menjadi penopang utama atap masjid yang berbentuk tumpang.

1405329898569478215
masjid Miftahul Jannah Babo
Ada tiga masjid/mushola di Babo, namun masjid Miftahul Jannah lah yang paling sering mengadakan berbagai kegiatan di luar sholat berjamaah. Saat saya ke sana pada Oktober 2013, setiap ba’da Maghrib diadakan latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Beberapa tahun terakhir Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ Papua Barat mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Saat itu mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

14053301131469923901
serambi tempat anak-anak mengaji
Warga Babo terbilang multietnis karena terdiri dari beragam suku seperti Jawa, Buton, Toraja, dan Irarutu sebagai suku asli. Suku Irarutu yang tinggal di Babo kebanyakan beragama Islam. Beberapa suku asli di Papua Barat memang sudah memeluk Islam sejak lama. Banyak sumber yang menjelaskan sejarah dakwah Islam di Papua, salah satunya adalah pengaruh kesultanan Tidore yang memiliki wilayah kekuasaan di sebagian Papua Barat. Pengaruh tersebut berdampak pada adat dan budaya warga Babo cukup kental dengan nilai keislaman. Prosesi pernikahan, adalah salah satu tradisi lokal yang sarat nilai keislaman. Dalam tradisi tersebut pengantin akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana dan sholawatan. Di sore hari seringkali dijumpai mace-mace yang jalan berombongan ke rumah tetangganya untuk mengikuti pengajian. Tradisi dan kebiasaan itu masih lestari hingga kini.

Beranjak dari Babo, kita menuju ke kampung Sidomakmur. Ketinting menjadi satu-satunya transportasi umum dari Babo ke Sidomakmur. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kampung Sidomakmur. Sidomakmur, sebuah nama yang sangat berbau Jawa. Dan memang kampung ini banyak dihuni oleh perantau asal Jawa sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah membangun sebuah area transmigrasi di era 90-an. Kampung ini sangat kecil dan hanya dihuni oleh 100 KK. Tidak begitu luas, hanya dihubungkan oleh rangkaian papan kayu yang mengelilingi kampung. Semua rumah dan fasilitas di Sidomakmur terbuat dari kayu karena itu kampung ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Kayu Indonesia (RKI).

1405330335319923185
salah satu sudut kampung Sidomakmur
Sidomakmur hanya memiliki sebuah masjid yang terletak di tengah kampung. Masjid itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, hanya atapnya saja yang dari seng. Di serambi masjid terdapat bedug ukuran sedang yang diletakkan di salah satu sudut bagian depan. Ruangan dalam masjid begitu bersih dengan keramik yang menutupi seluruh lantainya. Warna dominan biru memberikan kesejukan saat memasuki masjid. Ditopang oleh empat kayu utama, semakin memperkokoh masjid ini. Meski tidak ada pasokan listrik dari PLN, masjid tetap terang saat malam dan bisa mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Itu semua berkat listrik hasil swadaya masyarakat dengan menggunakan genset kampung.

14053304801848382992
tetap terang saat malam
14053306721447776769
ruangan utama masjid
Selalu ada sholat jamaah di awal waktu. Kebanyakan warga yang ikut sholat jamaah adalah warga di sekitar masjid, wajah-wajah mereka tidak asing lagi. Ya.. mereka adalah orang Jawa yang menjadi mayoritas di kampung ini. Penggunaan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari sangat lumrah di sini. Orang Madura yang di tempat asalnya kesulitan berbahasa Jawa, di sini dapat diajak ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Bahkan orang non Jawa seperti orang Maluku, Buton, dan Papua sendiri sesekali terdengar menggunakan bahasa Jawa saat berbelanja di kios milik orang Jawa. Bisa dibilang, Sidomakmur adalah Papua rasa Jawa.