“Dulu di sini
banyak orang Cina, tapi karena ada kerusuhan mereka pergi”. Sepotong cerita
dari seorang warga di salah satu desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Hanya sepotong itu saja ceritanya, tak lebih. Tidak dijelaskan alasan kepergian
orang-orang etnis Tionghoa maupun latar belakang kerusuhan itu. Usai
menceritakan cerita itu, dia pun diam sejenak. Kemudian melanjutkan dengan
pokok bahasan yang lain. Kerusuhan apa lagi ini? Waktu itu saya belum tahu
tentang kerusuhan yang melibatkan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Mungkinkah
itu kerusuhan 1998? Tapi mengapa itu bisa sampai ke pedalaman Kalimantan? Entah
kenapa, saya yang biasanya kepo tidak berusaha mengulik cerita yang terpotong
itu. Dan akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu tenggelam begitu saja, tak sempat
tertanya.
Tampilkan postingan dengan label kalbar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kalbar. Tampilkan semua postingan
Senin, 03 Februari 2020
Menapak Jejak Sejarah Kerajaan Tertua di Kalimantan Barat
Keraton Ismahayana, Ngabang (dok. pribadi) |
Seorang lelaki
paruh baya menghampiri kami yang sedang bersantai di beranda. Hanya tersenyum,
lalu dia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk. Sebuah rumah panggung
kecil dengan warna kuning yang dominan dipermanis dengan warna hijau di bagian
pintu, jendela, dan tiang. Bagian beranda dibatasi pagar kayu bermotif unik
dibalut dengan warna kuning cerah. Enam pilar kayu berwarna hijau menjadi
bagian dari pagar beranda sekaligus menjadi selingan dari warna kuning yang
mendominasi. Di bagian tengah beranda terdapat lampu gantung klasik. Di samping
beranda, terdapat selasar kecil yang masih terhubung dengan beranda namun tidak
beratap. Bangunan beraksitektur khas Melayu itu cukup kecil, sama seperti
beberapa rumah di sekitarnya.
Selasa, 17 April 2018
Jalan Panjang dari Ketapang ke Manismata
jalan panjang |
Perjalanan Panjang (2014)
Menjelang siang, dengan membawa barang seperlunya kami beragkat ke Manismata diantar pakai motor. Katanya jarak Ketapang – Manismata lebih dari 200 km. Jika pakai motor dapat ditempuh 4 hingga 6 jam perjalanan tergantung kondisi jalan dan kehandalan pemotor. Ada alternatif lain sebenarnya yaitu naik "Susi Air" dari Ketapang turun di lapangan terbang Harapan (milik sebuah perusahaan sawit) di Manismata. Meski terbilang mahal, harga tiket pesawat pun tak beda jauh dengan ongkos ojek Ketapang – Manismata. Namun sayangnya jadwal keberangkatan pesawat seminggu sekali. Tak ada waktu untuk menunggu jadwal pesawat itu.
Menjelang siang, dengan membawa barang seperlunya kami beragkat ke Manismata diantar pakai motor. Katanya jarak Ketapang – Manismata lebih dari 200 km. Jika pakai motor dapat ditempuh 4 hingga 6 jam perjalanan tergantung kondisi jalan dan kehandalan pemotor. Ada alternatif lain sebenarnya yaitu naik "Susi Air" dari Ketapang turun di lapangan terbang Harapan (milik sebuah perusahaan sawit) di Manismata. Meski terbilang mahal, harga tiket pesawat pun tak beda jauh dengan ongkos ojek Ketapang – Manismata. Namun sayangnya jadwal keberangkatan pesawat seminggu sekali. Tak ada waktu untuk menunggu jadwal pesawat itu.
Selasa, 25 April 2017
Musim Asap yang Menyesakkan, Akankah Terus Berulang?
![]() |
Kota Nanga Pinoh dalam kepungan asap (Melawi, September 2015) |
Kalimantan Barat, Musim Asap
2015. Kabut asap hampir merata menyelimuti semua Kabupaten/Kota dengan
intensitas berbeda. Tak hanya Kalimantan Barat, bencana ini juga dialami hampir
seluruh pulau Kalimantan dan banyak daerah lain di Nusantara. Pengaruh El Nino
katanya yang menyebabkan kemarau berkepanjangan dan menyebabkan terbakarnya
lahan gambut. Lalu apa/siapakah El Nino ini? Ah.. siapa pula yang peduli.
Jumat, 11 Maret 2016
Mudik Ke Uncak Kapuas (1), Mulai Dari Pontianak Hingga Sekadau
jembatan Kapuas kota Pontianak |
Membentang dari pegunungan Muller
hingga selat Karimata, menjadikan Kapuas sebagai sungai terpanjang di
Indonesia. Sungai Kapuas menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan
Barat. Setidaknya untuk keperluan MCK, air sungai ini menjadi pilihan utama
warga sekitar. Meskipun sudah ada jalan raya, sungai ini masih dijadikan
sebagai jalur transportasi alternatif. Sungai sepanjang 1.143 km ini membelah
Kalimantan Barat mulai dari selat Karimata hingga wilayah Kapuas Hulu.
Mudik ke Uncak Kapuas (3), Menggapai Bumi Uncak Kapuas
hutan di desa Apan, Embaloh Hulu |
Beranjak dari Sintang, kembali perjalanan
mudik dilanjutkan melalui sungai Kapuas. Setelah perjalanan panjang melewati
banyak kelokan sungai, sampailah kita di Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat,
“uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Bumi Uncak Kapuas adalah
julukan dari Kapuas Hulu yang merupakan kabupaten paling timur di Kalimantan Barat.
Kabupaten ini beribukotakan di Putussibau, sebuah kota yang berjarak 814 km
jalan darat/846 km via sungai Kapuas dari Pontianak. Ada banyak versi terkait
asal mula penamaan Putussibau. Secara umum, nama “Putussibau” berasal dari
putusnya aliran sungai Sibau oleh sungai Kapuas. Kedua sungai ini membelah kota
Putussibau dan berarti penting bagi warganya. Kota Putussibau didirikan pada 1
Juni 1895 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun jauh sebelum itu kota
ini sudah didiami oleh orang-orang dari suku Dayak Taman dan Dayak Kantu’.
Mudik ke Uncak Kapuas (2), Menengok Sekilas Anak-Anak Sungai Kapuas
tepi sungai Melawi |
Kembali ke Kapuas, kemudian
berlayar ke hulu sampai Bumi Senentang. Disebut Bumi Senentang karena di
sanalah tempat sungai Kapuas dan Melawi bertemu/saling berhadapan (dalam bahasa
setempat disebut “senentang”). Bumi Senentang adalah julukan kota Sintang yang
kini jadi kota terbesar di daerah hulu sungai Kapuas. Sejak masa kolonial
Belanda, Sintang sudah dijadikan kota penting di daerah hulu dengan dibukanya
jalan darat dari Pontianak. Jalur sungainya pun tak kalah penting karena
menjadi penghubung antara wilayah Melawi dengan Kapuas. Jalur sungai Melawi –
Kapuas juga dijadikan sebagai jalur angkut hasil logging. Dulu kayu-kayu tersebut berasal dari daerah Melawi,
tetapi karena hutan di sana sudah hampir habis diambillah kayu dari Kalimantan
Tengah yang persediaan kayunya masih ada. Dari Kalteng, kayu-kayu tersebut
diangkut melalui jalur darat yang telah dibuat perusahaan menuju suatu tempat
di kecamatan Ella Hilir. Setelah jumlahnya mencukupi, kayu-kayu itu diangkut
menggunakan tongkang melalui sungai Melawi.
Bertandang ke Kampung Dayak Iban Sungai Utik
Gaga Temuai Datai di Sungai Utik |
Kota Putussibau berselimut kabut
pagi itu. Sinar matahari belum sepenuhnya terpancar, sementara kabut masih
enggan beranjak dari Bumi Uncak Kapuas. Kota tampak suram, terkesan mistis,
namun terasa begitu romantis dan eksotis. Udara segar dari hutan hujan tropis
sekitar membawa suasana sejuk dan damai. Jalanan kota sangat lengang, pagi yang
begitu tenang.
Putussibau, Kota di Ujung Sungai Kapuas
tugu di pusat kota Putussibau |
Perjalanan Maraton keliling
Kalimantan Barat kali ini akan diakhiri di Kapuas Hulu, tepatnya di kecamatan
Embaloh Hulu. Kapuas Hulu dikenal juga dengan sebutan Bumi Uncak Kapuas. Dalam
bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Jadi tujuan
berikutnya adalah Hulunya sungai Kapuas. Kata salah seorang kawan yang pernah
ke Embaloh Hilir, dia harus naik speedboat untuk sampai ke lokasi. Tak ada
jalan darat memang, hanya sungai lah satu-satunya pilihan. Daerah hilir aja
harus naik kapal, apalagi di hulunya? Mantab, langsung terbayang bakalan lewat
sungai yang masih alami dengan hutan di kanan kiri. Betapa menyenangkannya
petualangan ini.
Menuju Ketungau, Beranda Indonesia yang Terlupakan
jembatan Kapuas yang menghubungkan Sintang dengan wilayah Ketungau |
Hujan deras mengawali perjalanan
kami dari kota Sintang menuju ke Ketungau Hilir. Sebuah kecamatan yang terletak
di daerah aliran sungai Ketungau, anak sungai Kapuas. Ketungau Hilir merupakan
pemekaran dari Kecamatan Ketungau, Kabupaten Sintang yang kini menjadi tiga
kecamatan (Ketungau Hulu, Ketungau, Ketungau Hilir). Untuk menuju Ketungau dari
Sintang hanya ada satu jalan penghubung. Jalan tanah merah, sama seperti jalan
penghubung daerah hulu lain di Kalimantan Barat. Belum ada aspal, hanya tanah
merah yang berdebu bila kering dan lengket selepas hujan.
Mudik ke Hulu Sungai Belitang
antri menyeberang |
Perahu penyeberangan terlihat
mondar-mandir dari tepi ke tepi mengantar orang dan motor. Tak besar, hanya
perahu bermesin kecil yang muat maksimal 3 sepeda motor dan beberapa penumpang
saja. Terlihat antrian di terminal penyeberangan kecil di tepi Kapuas. Beberapa
motor tampak berjajar membentuk shaf beberapa baris di dalam terminal kecil
itu. Sementara itu di sebelah, terlihat tongkang berisi belasan mobil dan truk
merapat ke daratan. Pagi itu kesibukan di demaga penyeberangan Sungai Ayak
dimulai.
Sekilas Tentang Kompak (Komunitas Ngapak) di Hulu Sungai Kapuas
menyeberang menuju SP 1 |
Sebelum masuk ke kelas, terdengar
suara gaduh anak-anak. Seperti biasa, jika tak ada guru atau yang mengawasi
selalu saja suasana kelas riuh oleh celoteh anak-anak. Namun sekilas terdengar cengkok
medok Banyumasan dalam tutur mereka. Bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa
Indonesia memang biasa mereka gunakan sehari-hari karena lingkungan di sini
banyak orang Jawanya.
Naik Klotok, Menyusur Sungai Kapuas Menuju Pontianak
Klotok siap berangkat |
Jam 5 sore, kami sudah berada di
kapal klotok. Sebelumnya kami sempatkan untuk beli nasi bungkus dan snack di
warung dekat pelabuhan. Katanya perjalanan dari Teluk Batang ke Pontianak
biasanya butuh waktu sekitar 14 jam. Para penumpang mulai berdatangan masuk ke
dalam kapal dengan berbagai barang bawaannya. Biasanya barang bawaan mereka
taruh di bagian tengah ruang penumpang berupa lantai papan yang cukup luas. Di
dinding ruang penumpang diberi papan memanjang yang berfungsi sebagai tempat
duduk.
Karimata, Mutiara yang Terlupakan
pulau Karimata dan gunung Cabang di kejauhan |
Karimata dikenal sebagai nama selat
yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Kalimantan. Pertemuan arus Laut Cina
Selatan dan Laut Jawa menjadikan wilayah ini memiliki gelombang laut yang
ganas. Gelombang laut yang seringkali memangsa kapal-kapal yang kurang
beruntung. Benar saja, gelombang setinggi hampir 2 meter selalu setia
mengombang-ambingkan speedboat kecil yang kami tumpangi. Berlayar di perairan
terbuka selat Karimata memang menawarkan sensasi unik yang memacu adrenalin.
Beruntung, kami akhirnya bisa sampai di dermaga Betok, Pulau Karimata dengan
selamat.
Dusun Betok, Terkucil di Tengah Selat Karimata
dermaga dusun Betok |
Dusun Betok, secara administratif
masuk dalam wilayah desa Betok Jaya, kecamatan Karimata, Kabupaten Kayong Utara
(KKU), Kalimantan Barat. Terpisah sekitar 100 km dari pulau Kalimantan membuat
dusun kecil yang ada di pulau Karimata ini seolah terkucilkan. Akses menuju ke
sana tergolong sulit, mahal, dan berisiko tinggi. Hanya ada tiga pilihan untuk
menuju ke Karimata. Pertama adalah menumpang perahu nelayan yang biasanya
singgah di Ketapang atau Sukadana. Dari sisi biaya, pilihan ini adalah yang
paling ekonomis karena hanya numpang. Tapi sebanding dengan risikonya yang
besar, berlayar belasan jam dengan perahu bermesin kecil. Belasan jam pula
terombang ambing gelombang selat Karimata yang dikenal ganas, tentu bukanlah
hal aneh jika pas lagi apes perahu bisa terbalik.
Bertandang ke Kampung Nelayan di Selat Karimata
warga setempat sedang membuat Bubu (alat tangkap ikan tradisional) |
Sekitar seabad silam, perairan
Karimata khususnya sekitar dusun Betok sudah sering didatangi nelayan dari
Belitung. Melimpahnya ikan di Karimata menjadi daya tarik bagi para nelayan
dari berbagai daerah. Mulai dari beberapa gubuk sebagai tempat singgah, lalu
berkembang menjadi pemukiman kecil. Dulu, letak pemukiman nelayan berada di
muara sungai Betok. Betok adalah nama ikan yang dijadikan nama sebuah sungai.
Karena kesulitan air, pada tahun 20-an para nelayan memindahkan lokasi
singgahnya tempat baru yang lebih dekat dengan sumber air tawar. Tempat baru
itu kemudian berkembang menjadi perkampungan yang kini dihuni 248 KK atau
sekitar 900-an jiwa. Tidak hanya dihuni orang Belitung saja, orang Bugis dan
Buton pun juga banyak yang bermukim di sana.
Berlayar ke Pulau Karimata, Merasakan Ayunan Gelombang Selat Karimata
pulau Kepayang, salah satu pulau kecil di kepualauan Karimata |
Kapal masih tertambat di sebuah
warung dekat dermaga ketika kami datang. Bang Sema dan seorang kawannya
terlihat sedang duduk santai di warung. Setelah ngobrol sebentar tentang teknis
keberangkatan nanti, segera mereka menyiapkan kapal. Tak butuh waktu lama,
hanya sekitar 10 menit mesin kapal sudah dinyalakan dan siap untuk berangkat.
Bang Sema selaku nakhoda sudah bersiap di belakang kemudi ditemani Bang Yos.
Tepat jam 6.45 speedboat kecil dengan 8 kursi penumpang mulai bergerak menuju
muara. Kanal yang sempit dengan beberapa perahu tertambat di pinggirnya membuat
nakhoda harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya. Tak jauh memang, setelah
melalui dua kelokan sampailah kami di muara.
Menyeberang ke Pulau “Malaria”, Pulau Maya
dermaga dusun Pancur |
Pulau Maya dan malaria, menjadi
dua hal yang tak terpisahkan bagi warga Kalimantan Barat. Beberapa orang yang
mengetahui rencana kami untuk pergi ke pulau Maya pun mengingatkan untuk
berhati-hati selama di sana. Sudah sejak lama pulau Maya dikenal menjadi daerah
endemi malaria di Kalimantan Barat. Beberapa orang bahkan mengaku pikir-pikir
dulu jika diharuskan ke pulau Maya. Seakan pulau ini digambarkan sebagai pulau
menyeramkan yang sangat dihindari.
Mereguk Manisnya Sawit di Manismata
simpang sawit, dekat perbatasan Kalimantan Tengah |
Sejarah perkebunan sawit di
Manismata sudah berlangsung sejak awal masa penempatan transmigran di sini,
pada tahun 1980-an. Manismata masuk wilayah administratif kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat yang saat ini bisa ditempuh dalam waktu 4 – 6 perjalanan
darat. Tapi kota terdekat dari sini adalah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
yang bisa ditempuh sekitar sejam lewat jalan darat. “Dulu sekitar sekolah ini
masih hutan lebat, hanya ada beberapa rumah saja di sekitarnya.”, kisah Pak
Saka. Beliau adalah salah satu guru pertama yang ditempatkan di sekolah yang
kini menjadi lokasi SMPN 1 Manismata. Bersama dua orang guru lainnya, beliau
ditugaskan untuk mengajar anak-anak warga lokal dan transmigran pertama.
Langganan:
Postingan (Atom)