Jumat, 11 Maret 2016

Mereguk Manisnya Sawit di Manismata

simpang sawit, dekat perbatasan Kalimantan Tengah
Sejarah perkebunan sawit di Manismata sudah berlangsung sejak awal masa penempatan transmigran di sini, pada tahun 1980-an. Manismata masuk wilayah administratif kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang saat ini bisa ditempuh dalam waktu 4 – 6 perjalanan darat. Tapi kota terdekat dari sini adalah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang bisa ditempuh sekitar sejam lewat jalan darat. “Dulu sekitar sekolah ini masih hutan lebat, hanya ada beberapa rumah saja di sekitarnya.”, kisah Pak Saka. Beliau adalah salah satu guru pertama yang ditempatkan di sekolah yang kini menjadi lokasi SMPN 1 Manismata. Bersama dua orang guru lainnya, beliau ditugaskan untuk mengajar anak-anak warga lokal dan transmigran pertama.


Awal tahun 80-an mulai masuk gelombang pertama transmigran dari Jawa. Masa itu, Kalimantan masih berupa hutan hujan lebat yang nyaris belum terjamah. Untuk ke Manismata ada dua jalur yaitu lewat sungai dan jalan setapak dari kota terdekat seperti Pangkalan Bun. Dibutuhkan perjuangan keras bagi para transmigran pertama untuk menembus belantara Kalimantan yang masih perawan. Setelah berhari-hari naik kapal dari Jawa, mereka masih harus menempuh perjalanan berhari-hari juga di dalam hutan. Belum lagi nantinya mereka harus tinggal di tengah hutan tanpa fasilitas selengkap di Jawa. Harapan untuk hidup lebih baiklah yang membuat mereka kuat menjalani perjuangan berat babat alas itu.

Beberapa tahun berlalu, banyak transmigran yang bertumbangan. Menyerah, mereka tak kuat lagi hidup di tengah hutan. Rumah beserta tanah kaplingan dijualnya untuk modal kembali ke kampung halaman. Setengah hektar lahan pekarangan ditambah dua hektar lahan perkebunan hanya dihargai ratusan ribu, bahkan ada pula yang menukarnya dengan sekarung beras. Bandingkan dengan sekarang yang harga sekaplingnya (2,5 ha) bisa mencapai ratusan juta. Para pembeli kaplingan itu tak lain adalah sesama transmigran yang masih tetap bertahan tinggal di sini.  

Alam Kalimantan saat itu mungkin terasa tidak ramah bagi sebagian orang. Akhirnya mereka pun menyerah lalu pulang kampung tapi sebagian lagi memilih untuk bertahan. Bukan perkara mudah bertahan hidup di hutan bertahun-tahun dengan fasilitas yang minim. Namun bagi mereka yang sanggup bertahan akan menuai hasilnya belasan tahun kemudian. Sawit adalah komoditas perkebunan yang jadi andalan para transmigran. Ditanam sejak awal kedatangannya, kini mereka tinggal menuai hasilnya.

Saat ini sawit yang ditanam sudah tergolong tua tapi masih cukup produktif. Mereka biasa menjual buah sawitnya ke perusahaan pengolahan sawit terdekat. Perawatan kebun sawit memang tidak mudah dan murah. Dibutuhkan ketelatenan dan modal yang besar tentunya. Namun usaha keras itu rasanya setimpal dengan hasil yang didapat. Setidaknya 5 – 7 juta bisa diperoleh per bulannya dari sekapling kebun sawit. Itu baru hasil sekapling, padahal banyak diantara warga punya beberapa kapling yang dibelinya dari para transmigran yang pulang kampung. Tak heran sekarang ini banyak transmigran yang jadi juragan sawit. Bahkan di suatu SP (Satuan Pemukiman) hampir semua rumah punya mobil Strada yang dikenal handal menaklukkan medan tanah Kalimantan.

Manismata sekarang jauh berbeda dengan 30 tahun lalu. Jika dulu hanya ada hutan belantara dan beberapa pondokan sederhana saja. Sekarang berubah menjadi hutan sawit dan perumahan layak huni yang berjejer di pinggiran jalan. Ada beberapa rumah yang terbilang mewah, mungkin karena pemiliknya beruntung bisa punya belasan kapling sawit. Listrik PLN pun sudah masuk meski hanya menyala di malam hari. Fasilitas dasar seperti pendidikan dan kesehatan sudah lengkap dan memadai. Hanya saja akses jalan menuju ke kota kecamatan Manismata ini masih memprihatinkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar