simpang sawit, dekat perbatasan Kalimantan Tengah |
Sejarah perkebunan sawit di
Manismata sudah berlangsung sejak awal masa penempatan transmigran di sini,
pada tahun 1980-an. Manismata masuk wilayah administratif kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat yang saat ini bisa ditempuh dalam waktu 4 – 6 perjalanan
darat. Tapi kota terdekat dari sini adalah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
yang bisa ditempuh sekitar sejam lewat jalan darat. “Dulu sekitar sekolah ini
masih hutan lebat, hanya ada beberapa rumah saja di sekitarnya.”, kisah Pak
Saka. Beliau adalah salah satu guru pertama yang ditempatkan di sekolah yang
kini menjadi lokasi SMPN 1 Manismata. Bersama dua orang guru lainnya, beliau
ditugaskan untuk mengajar anak-anak warga lokal dan transmigran pertama.
Awal tahun 80-an mulai masuk
gelombang pertama transmigran dari Jawa. Masa itu, Kalimantan masih berupa
hutan hujan lebat yang nyaris belum terjamah. Untuk ke Manismata ada dua jalur
yaitu lewat sungai dan jalan setapak dari kota terdekat seperti Pangkalan Bun. Dibutuhkan
perjuangan keras bagi para transmigran pertama untuk menembus belantara
Kalimantan yang masih perawan. Setelah berhari-hari naik kapal dari Jawa,
mereka masih harus menempuh perjalanan berhari-hari juga di dalam hutan. Belum
lagi nantinya mereka harus tinggal di tengah hutan tanpa fasilitas selengkap di
Jawa. Harapan untuk hidup lebih baiklah yang membuat mereka kuat menjalani
perjuangan berat babat alas itu.
Beberapa tahun berlalu, banyak
transmigran yang bertumbangan. Menyerah, mereka tak kuat lagi hidup di tengah
hutan. Rumah beserta tanah kaplingan dijualnya untuk modal kembali ke kampung
halaman. Setengah hektar lahan pekarangan ditambah dua hektar lahan perkebunan
hanya dihargai ratusan ribu, bahkan ada pula yang menukarnya dengan sekarung
beras. Bandingkan dengan sekarang yang harga sekaplingnya (2,5 ha) bisa
mencapai ratusan juta. Para pembeli kaplingan itu tak lain adalah sesama
transmigran yang masih tetap bertahan tinggal di sini.
Alam Kalimantan saat itu mungkin
terasa tidak ramah bagi sebagian orang. Akhirnya mereka pun menyerah lalu
pulang kampung tapi sebagian lagi memilih untuk bertahan. Bukan perkara mudah
bertahan hidup di hutan bertahun-tahun dengan fasilitas yang minim. Namun bagi
mereka yang sanggup bertahan akan menuai hasilnya belasan tahun kemudian. Sawit
adalah komoditas perkebunan yang jadi andalan para transmigran. Ditanam sejak
awal kedatangannya, kini mereka tinggal menuai hasilnya.
Saat ini sawit yang ditanam sudah
tergolong tua tapi masih cukup produktif. Mereka biasa menjual buah sawitnya ke
perusahaan pengolahan sawit terdekat. Perawatan kebun sawit memang tidak mudah
dan murah. Dibutuhkan ketelatenan dan modal yang besar tentunya. Namun usaha
keras itu rasanya setimpal dengan hasil yang didapat. Setidaknya 5 – 7 juta
bisa diperoleh per bulannya dari sekapling kebun sawit. Itu baru hasil
sekapling, padahal banyak diantara warga punya beberapa kapling yang dibelinya
dari para transmigran yang pulang kampung. Tak heran sekarang ini banyak
transmigran yang jadi juragan sawit. Bahkan di suatu SP (Satuan Pemukiman)
hampir semua rumah punya mobil Strada yang dikenal handal menaklukkan medan
tanah Kalimantan.
Manismata sekarang jauh berbeda dengan 30 tahun lalu.
Jika dulu hanya ada hutan belantara dan beberapa pondokan sederhana saja.
Sekarang berubah menjadi hutan sawit dan perumahan layak huni yang berjejer di
pinggiran jalan. Ada beberapa rumah yang terbilang mewah, mungkin karena
pemiliknya beruntung bisa punya belasan kapling sawit. Listrik PLN pun sudah
masuk meski hanya menyala di malam hari. Fasilitas dasar seperti pendidikan dan
kesehatan sudah lengkap dan memadai. Hanya saja akses jalan menuju ke kota
kecamatan Manismata ini masih memprihatinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar