Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Mei 2014

Pesta Sekolah, Beasiswa Bergulir ala Manggarai




13899379761088426333
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)


Segelas kopi dan beberapa potong kue menghiasi meja kecil di hadapan kami. Sore itu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang guru SD di kampung Golo Popa. Sebuah kampung kecil yang terletak di pegunungan Manggarai Timur, NTT. Bisa dibilang, wilayah ini cukup terisolasi karena satu-satunya akses menuju tempat ini dari kota kecamatan adalah sebuah jalan tanah berbatu yang hanya dapat dilewati kendaraan bergardan ganda. Jika sehari sebelumnya hujan, tak ada sopir oto kol (transportasi umum di Manggarai berupa truk yang dimodifikasi) yang berani membawa truknya ke sana. Sebenarnya, sepeda motor juga bisa naik sampai Golo Popa, bahkan bisa juga dibawa sampai kampung sebelah yang letaknya di atas. Namun tingkat kesulitan medan yang menurut mereka “setengah mati”, membuat jalan kaki menjadi cara alternatif untuk menuju ke kota kecamatan. Selain itu, kampung ini dan kebanyakan kampung lain di pegunungan Manggarai belum teraliri listrik dari PLN ditambah lagi sinyal telepon seluler yang timbul tenggelam.

Dari obrolan santai itu, terkuak fakta menarik bagi saya mengenai sebuah tradisi unik yang jarang ditemui di tempat lain. Pesta sekolah, yang biasanya diadakan oleh keluarga yang anaknya akan kuliah di luar kota. Pesta ini dilakukan sebanyak dua kali, pertama pesta kecil yang digelar sebelum anak masuk kuliah. Kedua yaitu pesta besar yang digelar menjelang anak lulus kuliah, biasanya diadakan saat semester 5 atau 6.
Pesta sekolah merupakan salah satu pesta besar yang diadakan oleh orang Manggarai. Berbagai makanan dan minuman disajikan, tak lupa juga alunan musik yang disetel keras-keras menambah kemeriahan pesta. Babi dan anjing menjadi hidangan utama dalam pesta ini. Selain itu disuguhkan pula tuak dan rokok. Budaya minum memang sudah akrab dalam keseharian warga, hampir di setiap pesta disajikan tuak. Cukup banyak terjadi insiden akibat peserta pesta yang mabuk dan membuat ulah. Meskipun demikian, tradisi pesta dengan tuak tetap dilanjutkan.

Tujuan sebenarnya pesta ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat guna membantu pembiayaan kuliah anak dari si tuan pesta. Masyarakat Manggarai yang tinggal di daerah pegunungan seperti ini cenderung memiliki taraf ekonomi yang relatif rendah. Meski begitu, mereka sangat peduli terhadap pendidikan. Para orang tua ingin anaknya sekolah setinggi mungkin agar memiliki kehidupan lebih sejahtera dari orang tuanya. Kesadaran akan pendidikan ini dapat dilihat sekilas dari profil warga kampung Golo Popa. Hampir tiap rumah di kampung itu terdapat anak yang kuliah. Sayangnya setelah lulus kuliah, biasanya mereka bekerja di kota untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Wajar saja, karena kehidupan di kampung dinilai masih kurang menjanjikan bagi para sarjana muda.

Setiap tamu undangan datang ke Tuan Pesta sambil membawa amplop yang isinya sesuai dengan anggota keluarga yang ikut pesta. Kalau anak-anak biasanya “membawa” Rp10.000, kalau dewasa bisa Rp50.000. Rata-rata satu keluarga bisa menyumbang Rp100.000-Rp200.000. Jumlah keluarga yang diundang bisa ratusan. Tidak hanya dari kampung sekitar, tetapi warga dari kampung yang letaknya jauh juga turut serta memeriahkan pesta ini. Tak heran jika “hasil” yang didapat tuan pesta mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Menurut perhitungan Pak Guru tersebut, tuan pesta bisa mendapat “penghasilan” bersih antara 18 juta sampai 50 juta rupiah. Jumlah yang cukup membantu membiayai kuliah yang sangat mahal mengingat mereka biasa menyekolahkan anak di tempat jauh seperti Makassar atau Jawa Timur.

Menariknya, jumlah tamu undangan yang datang berbanding lurus dengan sering tidaknya keluarga tersebut mendatangi pesta keluarga lain. Keluarga yang didatangi merasa berutang budi kepada keluarga-keluarga yang datang di pestanya karena berkat merekalah anaknya bisa menyelesaikan kuliah. Jadi bisa dikatakan sumbangan yang dikeluarkan suatu keluarga adalah investasi  yang kelak akan kembali dalam bentuk yang relatif sama ketika membutuhkannya yaitu dengan menyelenggarakan pesta sekolah.

Beasiswa bergulir, bisa jadi merupakan istilah yang tepat untuk tradisi ini. Sebuah kearifan lokal yang didasari oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mahalnya biaya kuliah dan kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak menyurutkan niat mereka untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Jika ditanggung sendiri, bisa jadi mereka tak akan mampu menanggung biaya kuliah yang begitu mahal. Namun mereka dapat menyiasatinya dengan gotong royong, saling membantu mencukupi kebutuhan pendidikan.

Tak terasa, kopi hitam yang tersaji sudah tinggal ampasnya. Matahari makin condong ke barat, makin meredup sinarnya. Saya pun harus segera pulang ke “basecamp”, rumah warga yang ada di kampung sebelah berjarak 2 jam perjalanan (jalan kaki). Belum genap seminggu berada di bumi Manggarai, saya sudah terpesona. Tidak hanya alamnya yang subur maupun keramahan penduduknya, tapi juga dengan salah satu adatnya yaitu pesta sekolah. Tidak sekedar pesta yang menghambur-hamburkan uang, tetapi pesta yang menjadi ajang pemberian beasiswa pendidikan.

Pendidikan Dasar yang Terlantar, Sebuah Ironi di Pelosok Negeri


13824266911715491080
ruang kelas tertata rapi di hari minggu 

Mengikuti pendidikan dasar merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayainya. Begitulah kira-kira isi yang tercantum dalam UUD 1945, Pasal 31. Jadi dengan kata lain, pemerintah mengharuskan warganya untuk mengikuti pendidikan dasar. Kini, pemerintah sudah mensubsidi pendidikan dasar dengan program BOS (Bantuan Operasioal Sekolah) nya. Ditambah lagi adanya BSM (Bantuan Siswa Miskin) yang akhir tahun ini sudah bisa dicairkan. Kesejahteraan guru juga sudah mulai diperhatikan. Saat ini guru PNS sudah memiliki penghasilan yang cukup layak.

Namun, apakah program-program seperti itu sudah cukup membantu bagi seluruh warga negara Indonesia? Bagi sebagian, mungkin cukup membantu tapi bagi yang lain tidak. Bagi anak-anak di pedalaman Manggarai ini, meja dan bangku yang kokoh, buku pelajaran yang memadai, dan ruang kelas yang layak masih menjadi impian. Impian yang tak kunjung terwujud. Meja reyot, bangku kurang, kelas berantakan, sangat menyedihkan. Itulah kondisi ruang kelas yang saya lihat saat mengunjungi salah satu SD di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kondisi yang tak jauh berbeda juga ditemui di beberapa SD lain dalam satu kabupaten tersebut.

13824270441160981186
SD di ujung kampung

Sekolah memang sudah gratis* (*belum termasuk uang komite, seragam, buku tulis, sepatu, dan perlengkapan sekolah lain), namun satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu akses menuju sekolah. Akses dalam hal ini adalah jarak antara rumah dan sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah relatif jauh. Ditambah dengan kondisi infrastruktur jalan yang masih buruk, semakin menyulitkan anak untuk bersekolah. Bahkan di daerah Sumba, jarak tempuh dari rumah ke sekolah bisa sampai dua jam jalan kaki. Beberapa orangtua siswa berpendapat pentingnya dibangun semacam asrama siswa di dekat sekolah agar anak tidak harus nglaju dari rumah ke sekolah. Namun, itu baru sebatas harapan saja.

138242717056501495
sebuah perjalanan awal untuk pulang ke rumah

Tenaga pendidik pun juga mengalami masalah yang disebabkan oleh keterbatasan. Sepertinya anggaran pendidikan sebesar 20% masih kurang untuk mencukupi kebutuhan akan pendidikan yang layak. Di daerah pelosok masih mengalami kekurangan tenaga guru (PNS). Bahkan di beberapa sekolah hanya kepala sekolah saja yang berstatus sebagai PNS, sisanya adalah guru honorer. Guru honorer biasanya dibiayai dari uang komite atau dari sebagian dana BOS. Guru honorer tidaklah setara dengan PNS, mungkin lebih tepat dikatakan relawan. Mengenai kesejahteraan, tentu sangat jauh dibanding guru PNS. Di salah satu SD, gaji guru honorer hanya sebesar Rp250.000 sebulan dibandingkan dengan guru PNS di SD yang sama lebih dari Rp2.000.000. Contoh kasus tersebut memang tidak bisa digeneralisasi, namun cukup dapat dijadikan sebagai gambaran tingkat kesejahteraan guru honorer di daerah pelosok.

Masalah lain timbul ketika tenaga pendidik terkesan malas-malasan dalam mengajar. Di suatu sekolah, guru sering meninggalkan muridnya dengan tugas yang harus dikerjakan. Tanpa pengawasan dari guru, akhirnya anak-anak pun hanya bermain di dalam kelas atau kadang main keluar kelas. Sebelum pulang, guru pun datang memeriksa tugas, mengajar sebentar, lalu memimpin doa. Lain lagi ceritanya di sekolah ini, guru biasanya hanya mengajar 2-3 kali seminggu. Selebihnya, siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada kegiatan belajar mengajar. Hal ini sempat dikeluhkan oleh beberapa orangtua siswa tapi sampai pertengahan tahun 2013 tidak ada perkembangan berarti. Sekali lagi, contoh kasus ini tidak dapat digeneralisasi. Namun dikhawatirkan terjadi juga di banyak sekolah lain. Dalam hal ini, tak sepenuhnya kita menyalahkan guru. Ada banyak faktor yang menyebabkan kurangnya motivasi guru dalam mengajar. Kesejahteraan bisa jadi merupakan faktor utama masalah tersebut.

Di balik, semua keterbatasan itu ada secercah harapan dari pelaku pendidikan itu sendiri. Meski dengan segala keterbatasan yang dihadapi, tak menyurutkan semangat anak-anak untuk menuntut ilmu. Panjangnya jalan, bukit-bukit terjal, maupun padang sabana tanpa batas mereka tempuh untuk menuntut ilmu. Orang tua mereka juga sangat mendukung perjuangan anak-anaknya. Kebanyakan orang tua, terutama di daerah Manggarai Timur ingin agar anaknya sekolah setinggi mungkin. Meski hidup sederhana tapi mereka ingin anaknya bisa jadi sarjana. Masa depan yang lebih baik, itulah harapan orangtua untuk anak yang disekolahkan. Bahkan tidak sedikit orangtua yang berharap anaknya bisa jadi guru dan kelak kembali ke kampungnya untuk mengabdi. Seperti yang dialami salah seorang guru honorer di Manggarai Timur. Dia rela meninggalkan kehidupannya yang cukup mapan di kota lalu kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru. Mengabdi untuk kemajuan pendidikan di kampungnya, itulah pilihan hidupnya. Kini, dia tinggal bersama istri yang juga sebagai guru honorer dan anak-anaknya di rumah sederhana di dekat sekolah.

1382427356533795260
keceriaan anak-anak

Itulah sebagian kecil dari potret pendidikan di Indonesia. Penuh dengan ironi, keterbatasan seolah menjadi pemakluman terhadap masalah-masalah yang terjadi. Semoga saja pemerintah bisa segera berbenah. Mengurai benang kusut yang sudah akut.

Sumber Gambar: Dokumentasi Tim M_arapu