sungai yang harus diseberangi (Tim M) |
Sekembalinya dari atas gunung,
kini wilayah kerja kami berpindah ke arah pantai. Nangarema, sebuah kampung di
pantai utara pulau Flores tak jauh dari beskem kami di Bawe. Akses menuju desa
ini pun cukup mudah karena berada di dekat jalan raya dan bisa dijangkau motor.
Wilayah kampung ini tebagi menjadi dua, dipisahkan sungai yang cukup lebar. Kampung
utama, letaknya di dekat jalan memiliki beberapa fasilitas seperti sekolah dan
pustu. Uniknya, warga kedua daerah itu menganut keyakinan yang berbeda. Warga
yang tinggal di sisi dekat jalan beragama Kristen, sedangkan warga di seberang
sungai beragama Islam.
Kebetulan ada beberapa responden
kami, berada di kampung seberang. Diantar seorang warga, kami pun nyebrang
sungai dengan lebar sekira 70 meter. Tak dalam memang, cuma sebatas paha saja
karena saat itu kebetulan sedang musim kemarau. Arus air juga tidak terlalu
kuat, namun batuan yang licin sedikit menyulitkan langkah. Tak ada jembatan,
kalau mau ke kampung sebelah ya harus nyebrang sungai. Seperti para siswa di
kampung sebrang, mereka harus menyebrang sungai tiap hari untuk bersekolah di
kampung utama. Kalau musim kemarau begini tak masalah karena sungai bisa
disebrangi dengan relatif mudah. Tapi jika sudah masuk musim hujan, muka air
sungai makin tinggi, air pun makin deras mengalir, makin sulit pula disebrangi.
Kadang anak-anak harus memanggul pakaian dan tas mereka agar tidak basah saat
menyebrang. Dan di awal tahun saat puncak musim hujan biasanya mereka absen
sekolah selama beberapa hari hingga minggu karena sungai berbahaya untuk
disebrangi.
Warga kampung muslim Nangarema
memiliki dua profesi yaitu petani dan nelayan. Jika musim kering mereka melaut,
jika musim hujan mereka jadi petani jagung. Untuk melaut mereka tinggal pergi
ke ujung kampung yang dekat dengan pantai. Laut sebenarnya memang sudah tidak
asing lagi bagi mereka. Nenek moyang mereka rupanya orang Bugis yang dikenal
sebagai pelaut ulung. Menurut cerita salah seorang warga, banyak orang
Manggarai termasuk di kampungnya punya garis keturunan Bugis dan Bajo. Ternyata
warga Muslim di sini masih terhitung kerabat dekat dengan warga Muslim di
kampung Rondon yang letaknya di gunung. Tiap lebaran biasanya mereka naik ke
Rondon untuk silaturahim dengan keluarga di sana.
rumah kebun (Tim M) |
Bertani juga menjadi pekerjaan
mereka selain nelayan. Luasnya lahan membuat pertanian masih menjadi usaha yang
menarik untuk dilakukan untuk menambah penghasilan. Saat musim tanam dan
menjelang panen mereka biasanya tinggal di gubuk tengah kebun. Mereka biasa
tinggal bersama keluarga termasuk anak-anak untuk menjaga kebunnya dari
gangguan babi hutan. Meski sangat sederhana dan serba terbatas, mereka sudah
biasa tinggal di gubuk selama beberapa minggu hingga bulanan. Tanaman utama di
sini adalah jagung, di sekeliling kebun biasanya diberi semacam pagar berupa
jaring ikan. Saat musim berkebun, mereka libur melaut sehingga jaringnya bisa
dibuat untuk memagari kebun.
masjid kampung Nangarema (Tim M) |
Kedatangan kami bertepatan dengan hari Jumat. Karena
itu sekalian saja kami numpang Solat Jumat di sini. Lagi pula di daerah sini
cuma kampung inilah yang ada masjidnya. Ukuran masjid cukup kecil namun
cukuplah buat menampung jamaah dari belasan KK Muslim di kampung ini. Usai
Jumatan, kami bagi tugas dan aku kebagian satu keluarga yang tinggal di kebun.
Letak kebun cukup jauh dari kampung, diperlukan waktu sekitar setengah jam
lebih jalan kaki menyebrang sungai dan lewat hamparan kebun jagung. Panas
menyengat dan capek yang terasa selama perjalanan terbayar tuntas dengan
kesejukan di dalam gubuk dan kehangatan sambutan si tuan rumah. Seperti biasa,
kopi dan jagung jadi teman ngobrol kami. Tapi kali ini dengan suasana berbeda,
di tengah kebun dengan semilir angin yang menyejukkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar