Tampilkan postingan dengan label gilitrawangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gilitrawangan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Agustus 2014

Liburan ala Bule di Gili Trawangan

three gilis map
Surga dunia, pulau eksotis, dan sederet istilah lebay lainnya digunakan untuk menggambarkan keindahan Gili Trawangan. Pulau kecil di sebelah barat pulau Lombok ini sudah sangat tersohor di kalangan para traveler dunia. Bersama dua pulau kecil lainnya, Gili Air dan Gili Meno tiga rangkaian pulau kecil ini menjadi lokasi favorit untuk berwisata bahkan berbulan madu. Dari ketiga pulau itu, memang Gili Trawangan yang paling terkenal.

Gili Trawangan adalah destinasi wisata yang sebenarnya tidak kami rencanakan sebelumnya. Ini adalah perjalanan dadakan untuk memanfaatkan waktu istirahat selama beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan pesawat ke Jogja. Salah seorang kawan kebetulan pernah ke sana dan punya kenalan yang sering liburan ke sana sehingga kami pun dapat kontak penginapan murah di sana. Kami beruntung, karena salah satu dari kami adalah kawan dari langganan mereka, pihak penginapan mendiskon tarif kamar.

Menggunakan kapal motor umum, kami menyeberang dari Lombok ke Gili Trawangan. Sekitar setengah jam kemudian kapal yang kami tumpangi sudah sampai di Gili. Tak ada kendaraan bermotor, hanya ada sepeda dan cidomo (dokar) sebagai alat transportasi. Jalanan utama begitu bersih nyaris tanpa sampah berserakan. Di sepanjang jalan banyak terdapat toko cinderamata, agen travel, penginapan, dan minimarket. Sementara itu restoran kebanyakan berada di sisi yang langsung berbatasan dengan pantai. Bule-bule bertebaran di mana-mana. Sejauh mata memandang tak satupun terlihat wisatawan lokal.
jalanan gili trawangan
Cukup jauh kami berjalan kaki dari tempat kapal bersandar menuju penginapan. Sebuah ranjang berkapasitas dua orang, lemari, kipas angin, dan kamar mandi dalam adalah fasilitas kamar yang tersedia. Ada empat kamar yang sederet dengan kamar kami. Dua kamar kami tempati, satunya ditempati sepasang bule, dan satunya lagi kosong. Di depan setiap kamar terdapat berugak (gubug kecil khas Lombok) yang sangat nyaman dijadikan tempat istirahat. Air di penginapan payau, katanya di Gili kebanyakan air tanahnya payau.
halaman depan penginapan
Usai rehat sejenak, kami keluar untuk jalan-jalan menikmati suasana sore di Gili Trawangan. Tak banyak orang yang lalu-lalang di jalan sore itu. Namun di pantai sudah terlihat banyak wisatawan yang sedang bersantai menanti senja. Kebetulan pantai yang kami kunjungi menghadap ke arah timur sehingga tidak bisa melihat sunset namun esok ada harapan untuk dapat menikmati sunrise. Pantai pasir putih ala Gili Trawangan yang terkenal akan keindahannya itu akan segera kami sambangi. Sayangnya keeksotisan pantai pasir putih Gili ternodai oleh sampah-sampah yang berserak. Dari ranting-ranting pohon sampai sampah bungkus makanan sudah terlihat dengan jelas saat kami masuk ke area pantai. Pantai yang buruk, kesan pertama saya. Sangat berbeda dengan ekspektasi yang terbentuk dari berbagai sumber yang menceritakan keindahan Gili Trawangan.
sampah terserak di tepi pantai
Sampah di pantai tidak mempengaruhi para wisatawan untuk tetap menikmati suasana sore di tepi pantai. Lagi-lagi hanya terlihat wajah-wajah berkulit putih. Baru setelah agak lama berada di pantai, tampak seorang berwajah lokal sedang menggendong anak bule. Tak banyak yang para wisatawan lakukan di pantai sore itu, hanya duduk-duduk santai dan ada yang bermain dengan anak-anaknya. Mereka terlihat sangat menikmati liburan dan tidak memikirkan apapun kecuali bersenang-senang. Berbeda dengan kami yang kebingungan saat malam tiba. Di sepanjang restoran yang kami susuri tak ada satupun yang bersahabat bagi kantong kami. Daftar menu dan harga yang tertera di papan tulis berstandar internasional. Selera makan pun hampir menghilang, sampai ketika saya lihat salah satu menu “vegetable fried rice... 20K”. Itulah harga makanan termurah yang dapat ditemukan. Harga barang dan makanan di Gili Trawangan memang mahal, bisa sampai tiga kali lipat dari harga normal.

Memasuki restoran, si pelayan menunjukkan tempat duduk yang masih kosong. Dasar ndeso, kami memilih untuk duduk lesehan di berugak yang letaknya di sudut restoran tanpa penerangan yang memadai. Si pelayan sempat menganjurkan untuk duduk di dalam dengan alasan tempat yang kami pilih agak gelap, namun pendirian kami tetap tak tergoyahkan. Nantinya si pelayan akan mafhum dengan keputusan ini. Di saat para tamu yang kebanyakan bule sedang makan dengan elegan, sementara di berugak kami makan dengan gaya kampungan. Ngobrol sambil cekikikan, sesekali tertawa terbahak-bahak. Sangat kontras dengan suasana dalam restoran yang begitu tenang dan kondusif.

Saat memesan makanan, si pelayan pun tanya minuman apa yang kami pesan. Kami pun kompak menjawab ga usah pake minum aja (sudah cukup dengan nasi goreng 20K). Dengan tersenyum, si pelayan bilang “air putihnya gratis kok” (ah.. sial, tau aja kalo kami turis kere). Kami pun tidak menanggapi serius tawaran si pelayan. Antara malu tapi mau dan kami pilih tetap pesen makan tanpa minum. Vegetable fried rice 20K telah dihabiskan, rasa biasa harga luar biasa. Bekal 1,5 botol air mineral ukuran tanggung menjadi penawar rasa seret kami usai makan.

Paginya kami yang sudah berniat ingin melihat sunrise bergegas ke pantai setelah bangun tidur. Sudah agak terang ketika kami sampai di pantai. Namun matahari belum juga muncul karena terhalang awan yang menggumpal di ufuk timur. Selang beberapa menit kemudian, bola emas matahari muncul dari balik awan. Cahaya merahnya terpantul dengan sempurna di laut yang begitu tenang. Samar terlihat pantai Gili Meno tepat di bawah matahari. Sunrise yang tidak sempurna, namun tetap terlihat indah.
menyambut pagi di gili
Suasana pantai masih sepi, jarang terlihat turis yang wara-wiri di pantai. Di antara sepinya pantai, terlihat seorang turis asal Jepang sedang membawa sampah botol bir dan air mineral berjalan menuju tempat sampah. Ternyata masih ada yang peduli terhadap sampah di pantai. Sampah memang menjadi masalah klasik yang selalu terjadi pada tempat wisata di Indonesia tak terkecuali di Gili Trawangan. Pulau yang disebut pulau surga ini bagi saya tak ubahnya seperti pantai wisata biasa yang tercemar sampah. Sebagai pulau wisata, Gili Trawangan menghasilkan sampah yang banyak. Memang, sebagian besar sampah-sampah tersebut terbuang di tempat yang seharusnya. Namun, ada sebagian lagi yang lolos dan mencemari area pantai.
membuang sampah pada tempatnya
Di penghujung waktu liburan, kami manfaatkan untuk ikut tur snorkeling di perairan tiga gili. Dengan membayar 100 ribu per orang kami mendapat fasilitas masker snorkeling, jaket pelampung, sebotol air mineral, pemandu, dan diantar ke tiga spot snorkeling. Satu rombongan tur berisi sekitar 20 orang wisatawan, dan kami lah satu-satunya turis lokal dalam rombongan tersebut. Sebagai minoritas, kami harus mengalah karena penjelasan dari pemandu yang menggunakan bahasa Inggris. Tergabung dalam rombongan ini seperti berada dalam tur wisata internasional.

Dari kami bertujuh, lima orang tidak bisa berenang termasuk saya. Saya sama sekali tidak pernah berenang sempat panik saat pertama kali menceburkan ke laut. Beruntung, saya bisa segera sadar kalau sedang pakai pelampung dan membiarkan tubuh mengambang dengan sendirinya. Untuk menjaga satu sama lain (biar ga ilang keseret arus), kami saling berpegangan tangan. Ada kalanya salah seorang dari kami terpisah dan dengan paniknya minta di-rescue. Meski berpegangan tangan sempat kami panik ketika arus begitu kuat dan menyeret kami ke pinggir pantai. Kegiatan snorkeling ini bagi kami tak ubahnya seperti ajang mempertahankan nafas/nyawa (Jangankan menikmati keindahan bawah laut, bertahan dari kuatnya arus laut aja susahnya setengah mati). Sementara para bule satu rombongan dengan asyiknya berenang ke sana ke mari. Kami begitu panik karena arus kencang, sementara para bule itu menikmati keindahan bawah laut dengan tenang dan elegan.

para perenang amatiran (hanya satu yg bisa diandalkan)
Selepas tur snorkeling, waktunya kami segera berkemas dan menuju ke pelabuhan. Sorenya dengan menumpang kapal umum, kami kembali ke Lombok. Usai sudah liburan dua hari satu malam di Gili Trawangan dan sekitarnya. Liburan di tempat favorit para bule dan mencoba menikmatinya seperti mereka.