Kamis, 04 Februari 2016

Kembali ke Ruteng, Meresapi Dinginnya Hawa Pegunungan Manggarai

langit biru Elar sebelum kembali ke Ruteng

Hampir seminggu berada di Elar, kembali gunung harus didaki dan lembah harus dilewati. Penat, lelah, dan capek sudah pasti. Namun dengan keterbukaan dan keramahan orang Manggarai, itu semua jadi terobati. Kini, sudah saatnya kami kembali melanjutkan tugas di tempat lain yang sudah menanti.


Mobil bergerak perlahan meninggalkan rumah Pak Goris. Meski “cuma” numpang nginap semalam dan jadi tempat penitipan barang tapi bantuan yang diberikan ini sangat berarti bagi kami. Apalagi pria humoris ini begitu ramah menerima kami sehingga sangat nyaman berada di rumahnya. Cuma sebentar kenal tapi sudah dianggap seperti saudara sendiri. Sungguh menyenangkan orang-orang Manggarai ini.

Jalan aspal rusak parah yang meliuk-liuk dan naik turun dapat dilahap mobil dengan mudahnya. Tampaknya si sopir sudah hafal betul medan di sini. Maklum saja dia cukup sering mengantar penumpang dengan trayek Ruteng – Elar PP. Jadi walaupun jalannya sempit, meliuk-liuk, berlubang, terjal, tebing rawan longsor di satu sisi, dan jurang menganga di sisi lain bisa dilaluinya bahkan sambil “merem”.

Kembali teringat kisah seseorang yang pernah naik otokol (truk yang dipake buat transportasi pedesaan) dari Elar ke Ruteng. Saat itu dia kebetulan duduk di samping sopir. Di tengah jalan mungkin karena bosan lewat jalan yang itu-itu saja, daripada ngantuk si sopir membuka ponselnya. Dipencet-pencetlah tombol dan ahaa... muncullah video mesum di layar ponselnya. Tangan kanan pegang setir, tangan kiri pegang ponsel, mata tertuju pada video syuur yang menggiurkan sambil sesekali liat jalan tentunya. Yang pasti konsentrasinya terpecah antara mengemudikan otokol dengan video mesum itu  Sementara itu kakinya tetap menekan gas cukup kencang dan mempertahankan kecepatan otokol. Jangankan cuma merem, sambil ngebokep aja bisa melalui rute yang menantang ini dengan selamat.  

Malam pun datang, udara dingin menghujam masuk melalui celah jendela menembus kaos yang kukenakan. Tak kuat akan dinginnya angin malam, segera kututup kembali jendela. Angin gunung yang berhembus terasa dingin menusuk. Setelah melalui kembali liukan jalan pegunungan Manggarai akhirnya kota Ruteng terlihat. Sekumpulan titik cahaya terlihat di bawah sana, itu adalah kota Ruteng. Semakin mendekati Ruteng, makin tampak jelas bangunan-bangunan kota dengan cahaya yang berpendar di sekelilingnya, sangat kontras dengan sekelilingnya yang gelap gulita. Kilau lampu yang dipancarkan dari Gereja Katedral Ruteng terlihat menonjol, seperti sebuah oase cahaya di tengah keremangan yang melingkupi Ruteng dan sekitarnya. Kilau cahaya yang menambah kemegahan Katedral Ruteng.

Gereja Katedral Ruteng

Jam 9 malam sampai juga kami di Ruteng. Lapar, kami pun menuju ke sebuah warung penyetan Jawa Timuran. Warung dan rumah makan di sini memang didominasi oleh orang Jawa. Karena kedinginan dan kehausan minuman hangat yang kupesan sudah habis setengah sementara pesanan belum juga datang. Aku hanya pesan tahu tempe saja, karena masih ragu dengan keramahan harga di Ruteng. Benar saja, si penjual menyebutkan angka 17 ribu, dengan rincian tahu tempe 7 ribu, nasi 5 ribu, dan teh anget 5 ribu. Sempat misuh-misuh di mobil karena kaget belum pernah menemui tahu tempe penyet semahal itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar