langit biru Elar sebelum kembali ke Ruteng |
Hampir seminggu berada di Elar,
kembali gunung harus didaki dan lembah harus dilewati. Penat, lelah, dan capek
sudah pasti. Namun dengan keterbukaan dan keramahan orang Manggarai, itu semua
jadi terobati. Kini, sudah saatnya kami kembali melanjutkan tugas di tempat
lain yang sudah menanti.
Mobil bergerak perlahan
meninggalkan rumah Pak Goris. Meski “cuma” numpang nginap semalam dan jadi
tempat penitipan barang tapi bantuan yang diberikan ini sangat berarti bagi
kami. Apalagi pria humoris ini begitu ramah menerima kami sehingga sangat
nyaman berada di rumahnya. Cuma sebentar kenal tapi sudah dianggap seperti
saudara sendiri. Sungguh menyenangkan orang-orang Manggarai ini.
Jalan aspal rusak parah yang
meliuk-liuk dan naik turun dapat dilahap mobil dengan mudahnya. Tampaknya si
sopir sudah hafal betul medan di sini. Maklum saja dia cukup sering mengantar
penumpang dengan trayek Ruteng – Elar PP. Jadi walaupun jalannya sempit,
meliuk-liuk, berlubang, terjal, tebing rawan longsor di satu sisi, dan jurang
menganga di sisi lain bisa dilaluinya bahkan sambil “merem”.
Kembali teringat kisah seseorang
yang pernah naik otokol (truk yang dipake buat transportasi pedesaan) dari Elar
ke Ruteng. Saat itu dia kebetulan duduk di samping sopir. Di tengah jalan
mungkin karena bosan lewat jalan yang itu-itu saja, daripada ngantuk si sopir
membuka ponselnya. Dipencet-pencetlah tombol dan ahaa... muncullah video mesum
di layar ponselnya. Tangan kanan pegang setir, tangan kiri pegang ponsel, mata
tertuju pada video syuur yang menggiurkan sambil sesekali liat jalan tentunya. Yang pasti konsentrasinya
terpecah antara mengemudikan otokol dengan video mesum itu Sementara itu kakinya tetap menekan gas cukup
kencang dan mempertahankan kecepatan otokol. Jangankan cuma merem, sambil ngebokep
aja bisa melalui rute yang menantang ini dengan selamat.
Malam pun datang, udara dingin
menghujam masuk melalui celah jendela menembus kaos yang kukenakan. Tak kuat
akan dinginnya angin malam, segera kututup kembali jendela. Angin gunung yang
berhembus terasa dingin menusuk. Setelah melalui kembali liukan jalan
pegunungan Manggarai akhirnya kota Ruteng terlihat. Sekumpulan titik cahaya
terlihat di bawah sana, itu adalah kota Ruteng. Semakin mendekati Ruteng, makin
tampak jelas bangunan-bangunan kota dengan cahaya yang berpendar di
sekelilingnya, sangat kontras dengan sekelilingnya yang gelap gulita. Kilau
lampu yang dipancarkan dari Gereja Katedral Ruteng terlihat menonjol, seperti
sebuah oase cahaya di tengah keremangan yang melingkupi Ruteng dan sekitarnya.
Kilau cahaya yang menambah kemegahan Katedral Ruteng.
Gereja Katedral Ruteng |
Jam 9 malam sampai juga kami di Ruteng. Lapar, kami
pun menuju ke sebuah warung penyetan Jawa Timuran. Warung dan rumah makan di
sini memang didominasi oleh orang Jawa. Karena kedinginan dan kehausan minuman
hangat yang kupesan sudah habis setengah sementara pesanan belum juga datang.
Aku hanya pesan tahu tempe saja, karena masih ragu dengan keramahan harga di
Ruteng. Benar saja, si penjual menyebutkan angka 17 ribu, dengan rincian tahu
tempe 7 ribu, nasi 5 ribu, dan teh anget 5 ribu. Sempat misuh-misuh di mobil karena kaget belum pernah menemui tahu tempe
penyet semahal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar