jembatan Wae Togong nan Sepi (Tim M) |
Tak terasa sudah hampir seminggu
kami nge-beskem di Bawe dan sekitarnya. Jalan-jalan dari kampung Nangarema di
muara hingga kampung Rondon di atas gunung. Dari perjalanan itulah kami temukan
orang-orang Manggarai yang ramah dan bersahaja. Salah satunya ya Pak Cornelis,
pemilik rumah beskem sekaligus kepala sekolah SD-SMP SATAP saat itu. Keramahan
dan kemurahan hatinya menimbulkan kenangan tersendiri. Akhirnya tiba saat kami
harus berpisah dengan keluarga pak Cornelis yang menyenangkan. Berpisah dengan
sungai dekat rumah yang meski airnya agak keruh namun tetap memberi kesegaraan
saat dipakai mandi. Dan berpisah dengan jembatan Wae Togong yang romantis.
Memanjang sekitar 100 meter,
jembatan ini terletak tak jauh dari rumah tempat kami menginap. Jembatan besi
ini sekilas nampak seperti jembatan pada umumnya, tak ada yang istimewa. Daerah
sekitar jembatan memang sepi pemukiman. Meski sudah beraspal mulus, jalanan
yang menghubungkan Reo dengan Pota (pantai utara Manggarai) ini sangat sepi.
Siang hari saja tak banyak kendaraan yang melintas, kalaupun ada itu hanya
warga setempat saja.
Sorenya jembatan sudah sangat sepi. Hanya sesekali
melintas beberapa motor warga setempat. Malam hari, gelap gulita tanpa lampu
setitikpun di sepanjang jalan. Saat itu memang belum ada aliran listrik di
Bawe. Nyaris tak ada kendaraan yang melintas di malam hari. Suasana begitu
sunyi, senyap, dan kelam. Hanya titik cahaya bintang di angkasa saja yang
sedikit membuka tabir kegelapan di Wae Togong. Remang, namun jalanan dan
rangkaian besi jembatan bisa terlihat. Kami biasa menghabiskan waktu malam yang
selo di tengah jembatan sambil memandang bintang melalui celah rangkaian besi
jembatan. Duduk di pagar jembatan dalam sunyi, sambil memandangi taburan
bintang di langit. Cerah, nyaris tanpa awan, tak ada polusi cahaya sedikitpun,
hanya tampak jembatan yang samar dan milyaran titik cahaya di langit. Betapa
sempurnanya malam di jembatan Wae Togong yang kelam dan sunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar