selamat datang di Waisai |
Port
of Waisai, tulisan yang tampak di daratan seberang setelah sekitar dua jam
perjalanan menyeberangi selat Dampir. Perlahan kapal mendekat dan merapatkan
badannya ke dermaga. Dibanding pelabuhan di Sorong, pelabuhan di Waisai ini
terbilang kecil. Hanya kapal sedang seukuran feri penyeberangan saja yang
tampak di pelabuhan ini. Beberapa porter memasuki kapal, memburu penumpang yang
terlihat kepayahan dengan barang bawaannya. Para penumpang satu per satu mulai
keluar dari kapal cepat ini, termasuk kami. Melalui papan kayu sebagai jembatan
kecil kulangkahkan kaki keluar dari kapal, dan sampailah di Waisai. Kini resmi
sudah aku menginjakkan kaki di Raja Ampat, 25 Desember 2013.
Sebelum
keberangkatan ke Teluk Bintuni aku sempat disarankan beberapa kawan untuk
sekalian mampir ke Raja Ampat. Tapi setelah lihat peta, kok jauh ya antara
Bintuni dan Raja Ampat. Sepertinya mustahil bisa punya waktu dan duit selo untuk sekedar mampir ke Raja Ampat.
Dan ternyata benar, tempat tujuan kami bukanlah ke Bintuni namun ke Babo, lebih
jauh lagi ke arah selatan. Dari Sorong
butuh waktu sekitar sejam untuk sampai di bandara Babo. Sudahlah, tak perlu
lagi mikir Raja Ampat. Sudah untung juga bisa sampai di Papua.
Hari-hari
yang berat namun menyenangkan kami lalui selama perjalanan di Teluk Bintuni dan
Fakfak. Berbagai lanskap dan bentang alam menakjubkan belantara Papua dan
perairannya sudah lebih dari cukup bagiku. Tak terbersit keinginan untuk ke
Raja Ampat. Sampai pada suatu ketika saat tugas sudah hampir usai dan kami
kembali ke Babo. Entah siapa yang mulai, tiba-tiba saja beberapa kawan usul
untuk mampir ke Raja Ampat sebelum pulang ke Jogja. Akhirnya permintaan kami
disetujui kantor dan dibelikan tiket kepulangan Sorong – Jogja pada 28
Desember.
24
Desember malam, kerjaan kami di Babo sudah resmi berakhir. Paginya dijadwalkan
berangkat dari Babo menuju Sorong. Tidak seperti saat kedatangan dua bulan yang
lalu, dari beskem menuju bandara kami berjalan kaki. Lumayan juga, sekira 3 km
jaraknya. Namun langkah kaki ini terasa ringan, seringan beban tugas lapangan yang
sudah tandas. Jam sembilan pesawat tinggal landas dari Bandara Babo, sejam
kemudian sampai Sorong.
Dari
Bandara kami langsung menuju rumah Pak Yono, dengan mencarter mobil. Pak Yono
adalah pemilik ketinting yang kami sewa selama tugas di Teluk Bintuni kemarin.
Dia adalah salah satu pengusaha sukses di sini, meskipun jika dilihat dari
penampilan kesehariannya tak tampak demikian. Pria paruh baya yang sempat kami
temui di Wimro ini berpenampilan santai dan ramah. Mengetahui rencana kami yang
akan ke Raja Ampat, dia dengan sukarela menawarkan rumahnya di Sorong dijadikan
tempat transit, menyimpan barang, dan sekaligus tempat menginap. Setelah nitip
barang dan istirahat seperlunya di rumah Pak Yono, kami berangkat menuju
pelabuhan rakyat Sorong untuk selanjutnya memesan tiket kapal cepat seharga
130.000. Sebenarnya kami tak tahu menahu tentang Raja Ampat, namun berbekal
info seadanya dari sana-sini kami ber-16 nekat berangkat ke sana.
boarding pass Raja Ampat |
Tak
pernah terbayang aku bakalan sampai ke Raja Ampat secepat ini. Raja Ampat
bagiku hanyalah mimpi yang berusaha kuwujudkan dengan setengah yakin. Kalau
dipikir mana mungkin bisa sampai tempat yang katanya “surga” di timur Indonesia
itu. Kecuali aku punya duit berlimpah, pasti bukan mustahil kalau “hanya”
piknik ke Raja Ampat saja. Namun takdir berkata lain, dengan jalan yang tak terduga
aku bisa sampai di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar