Tampilkan postingan dengan label manggarai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manggarai. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Februari 2017

Bermain Mobil, Mengisi Sore Ceria di Kampung Heret


anak-anak Heret dan mobilnya

Mobil, begitu seorang bocah menyebut benda yang sedang didorongnya itu. Dengan malu-malu dia menjawab pertanyaanku tentang nama mainan yang terbuat dari bambu panjang, diujungnya terdapat semacam roda dari kayu. Benda itu dimainkan dengan cara didorong menggunakan semacam setang dari kayu yang ditusukkan di badan bambu. Entah kenapa mainan itu dinamakan mobil. Si bocah pun hanya bengong, tak bisa menjawab kekepoanku itu. Mungkin karena malu, takut, atau bingung mau jawab apa. Yang pasti mainan itu jadi kegemaran anak-anak di kampung Heret, kampung kecil di pegunungan pulau Flores, NTT.

Rabu, 19 Agustus 2015

Bertandang ke Watu Ling (2), Mengagumi Kemegahan Sekolah di Atas Awan

lanskap dari halaman belakang sekolah



Siang yang terik, membuat kami memilih berteduh di rumah Pak Kepala Sekolah. Di meja sudah tersedia bir dan rokok, sebagai sajian dalam ritual penyambutan tamu. Sementara itu seekor ayam juga sudah disiapkan untuk kami potong nanti sore. Orang Manggarai sudah memahami betul tentang toleransi, mereka mempersilahkan tamu Muslim untuk menyembelih sendiri ayam yang biasanya menjadi hidangan spesial untuk menyambut tamu. 

Bertandang ke Watu Ling (1), Mengenal Lebih Dekat Orang Manggarai

kabut pun mulai turun saat sore menjelang di Elar
Terpencil jauh di antara perbukitan Manggarai Timur kampung kecil bernama Ledu berada. Tak mudah mencapai kampung yang masuk dalam wilayah kecamatan Elar. Sore itu kami berangkat menggunakan mobil dari Ruteng menuju Elar. Jalan gunung meliuk-liuk mewarnai perjalanan menuju Elar. Seringkali ditemui bukit-bukit yang tergerus akibat longsor. Jalan makin menyempit dan banyak lubang ketika mendekati Elar. Jalan rusak dan menanjak membuat pengemudi harus selalu waspada. Selain pengemudi yang handal, dibutukan pula kendaraan bergardan ganda untuk melalui medan semacam ini. Meski kadang dibuat was-was akibat kondisi jalan yang buruk, namun itu terbayar tuntas dengan pemandangan pegunungan Manggarai. Perbukitan dan lembah hijau terlihat suram berselimut kabut, suasana begitu mistis namun romantis. Kebun kopi terhampar luas, katanya tempat ini merupakan sentra penghasil kopi terkenal di Elar.

Sekolah di Atas Awan, Sunrise yang Manis dari Halaman Belakang Sekolah

pantulan matahari terbit dari jendela SDN Heret
“Bangunan sekolah jelek, mirip kandang kambing kan?”, cerita singkat dari Pak Gabriel sambil menunjukkan foto SDN Heret di awal pembukaannya. Cerita yang diakhiri dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Bangunan berdinding bambu dan kayu serta beratapkan ilalang, sekilas mirip kandang kambing. Kumuh dan tak layak pakai adalah kesan pertama melihat gambar “kandang kambing” yang dijadikan tempat belajar anak-anak. Gambar yang diambil sekitar enam tahun yang lalu pada awal beroperasinya SD Heret terpajang di dinding bambu rumah Pak Gabriel.

Kisah Para Guru yang Mengabdi di Pelosok Negeri: Mengabdi dengan Hati (Manggarai, NTT)

Pak Gabriel (paling belakang), mengantar kami kembali ke kampung Heret
Seorang pria paruh baya menyambut dengan ramah sesaat setelah kami berada di depan pintu rumahnya sambil mengucap salam. Beliau segera mempersilahkan kami masuk ke rumahnya tanpa curiga sedikitpun terhadap kedatangan ketiga orang asing ini. Di dalam rumahnya, kami menyampaikan maksud dan tujuan datang ke kampung itu. Pak Gabriel, yang juga seorang guru di SDN Heret itu langsung bersedia membantu penelitian kami di sekolahnya.

Rabu, 11 Februari 2015

Kopi dan Sopi, Tradisi yang Tetap Lestari

Sebotol sopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja kayu. Terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja itu, ada kami sebagai tamu, tuan rumah, dan seorang tetua adat. Sang tetua terlihat komat-kamit berdoa dan mencoba komunikasi dengan roh leluhur. Tak sampai sepuluh menit kemudian, sang tetua selesai dengan ritualnya. Beliau kemudian menyampaikan bahwa kedatangan kami sudah diterima, tidak ada yang bisa ganggu kami karena telah dilindungi oleh para leluhur. Beliau juga berpesan agar kami menjaga perilaku selama tinggal di wilayah itu. Terakhir  beliau menyodorkan sopi dan rokok sebagai penghormatan untuk tamu. Tahu kalau kami pantang minum alkohol, beliau menyuruh masing-masing kami untuk memegang keduanya sebagai tanda kalau sajian sudah diterima.

14030653281117690922
sajian untuk menyambut tamu

Tak sampai di situ, ternyata tuan rumah juga telah menyiapkan seekor ayam putih. Tanpa basa-basi kami langsung disodori sebuah pisau untuk menyembelih ayam yang sudah disiapkan. Agak kaget memang, saat itu sudah jam 9 malam kami disuruh menyembelih ayam yang jadi hidangan utama kami nanti. Mereka masih sempat-sempatnya menyiapkan banyak hal untuk para tamu yang belum dikenal. Sebelumnya kami memang sempat menghubungi tuan rumah dan menjelaskan sedikit tujuan kami via telepon, namun tak disangka bakal dapat sambutan seperti ini. Pisau sudah ditangan, ayam pun sudah siap sedia menyerahkan batang lehernya. Tumpulnya pisau ditambah rasa grogi karena baru pertama menyembelih hewan membuat leher ayam malang itu putus seketika.

Rabu, 28 Januari 2015

Keramahan dalam Kesedarhanaan, Berkunjung ke Manggarai



masak dan makan bersama di rumah Pak Goris (dok. tim M_arapu)
Jam sebelas malam, waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat melepas penat setelah seharian bekerja. Sementara itu, kami justru sedang bingung karena mobil yang kami tumpangi gagal naik ke desa tujuan. Jalanan begitu terjal dan penuh lumpur membuat mobil selip sehingga si sopir menyerah untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga. Satu-satunya pilihan adalah kembali turun ke jalan aspal dan bermalam di salah satu rumah penduduk. Terdesak keadaan membuat kami berani mengetuk pintu sebuah rumah di pinggir jalan. Rumah sederhana itu begitu sepi, hanya remang lampu terlihat menembus jendela menandakan si empunya rumah ada dan sedang beristirahat
.
Dengan mata terlihat berat, seorang pria paruh baya membuka pintu dan segera mempersilahkan kami masuk. Setelah dijelaskan maksud dan tujuan kami dia dengan ramah menyuruh memasukkan semua barang yang masih berada di luar. Tanpa disangka, dengan mudahnya dia mempersilahkan orang asing yang baru dikenalnya untuk menginap di rumahnya. Bahkan dia rela menyiapkan satu kamar untuk cewek dan memasakkan mi instan yang kami bawa saat seharusnya mereka beristirahat. Pak Goris nama pria itu. Sama seperti orang Manggarai lainnya, dia begitu ramah dan memperlakukan tamu dengan istimewa.

Sudah adat orang Manggarai memang untuk memuliakan tamu. Tak jarang saat memasuki suatu desa, kami disambut dengan upacara adat kecil-kecilan. Setidaknya tuan rumah harus menyediakan ayam putih, sopi/tuak, dan rokok sebagai syarat sah upacara penyambutan tamu. Tidak hanya itu, segelas kopi menjadi “minuman selamat datang” di hampir setiap rumah yang kami kunjungi. Tak jarang dalam sehari kami bisa menghabiskan sampai enam gelas kopi. Jika kita datang bertepatan saat makan siang, tuan rumah akan segera menghidangkan makanan istimewanya. Tak jarang, mereka memaksa untuk makan meski tahu kalau kami sudah makan di rumah tetangga sebelah. Sederhana namun istimewa, begitulah sambutan yang diberikan orang Manggarai, NTT terhadap tamunya.
wellcome drink.. tak ada tuak bir pun jadi (dok. tim M_arapu)
Rumah kayu sederhana di daerah pegunungan yang terisolasi, jauh dari sumber air, lahan pertanian terbatas, itulah potret masyarakat di pedalaman Manggarai pulau Flores. Namun kehidupan yang begitu sederhana itu tak serta merta menyambut tamunya dengan ala kadarnya. Sambutan istimewa diberikan kepada siapapun (bertujuan baik) yang datang berkunjung ke rumah. Mereka tampak puas dan bahagia ketika tamunya merasa senang atas sambutannya.  
ramah tamah bersama tuan rumah (dok tim M_arapu)
Di pedalaman Manggarai, kita tak akan terlantar karena setiap pintu rumah selalu terbuka untuk dijadikan tempat berteduh. Kita tak akan kehausan karena persediaan kopi cukup melimpah sehingga selalu bisa mengisi gelas kosong untuk para tamu. Kita tak akan kelaparan karena selalu ada jatah nasi untuk setiap tamu yang berkunjung. Kita tak akan merasa asing karena senyuman ramah selalu menghiasi wajah orang Manggarai saat kita menyapanya. Bahkan tanpa segan mereka menyapa kami ketika lewat di depan rumahnya. Mereka dengan senang hati berbagi kepada orang lain, bahkan kepada orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Kebiasaan memuliakan tamu memang masih mengakar kuat di pedalaman Manggarai

Senin, 21 Juli 2014

Kopi dan Sopi, Tradisi yang Masih Lestari

Sebotol sopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja kayu. Terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja itu, ada kami sebagai tamu, tuan rumah, dan seorang tetua adat. Sang tetua terlihat komat-kamit berdoa dan mencoba komunikasi dengan roh leluhur. Tak sampai sepuluh menit kemudian, sang tetua selesai dengan ritualnya. Beliau kemudian menyampaikan bahwa kedatangan kami sudah diterima, tidak ada yang bisa ganggu kami karena telah dilindungi oleh para leluhur. Beliau juga berpesan agar kami menjaga perilaku selama tinggal di wilayah itu. Terakhir  beliau menyodorkan sopi dan rokok sebagai penghormatan untuk tamu. Tahu kalau kami pantang minum alkohol, beliau menyuruh masing-masing kami untuk memegang keduanya sebagai tanda kalau sajian sudah diterima.

14030653281117690922
sajian untuk menyambut tamu
Tak sampai di situ, ternyata tuan rumah juga telah menyiapkan seekor ayam putih. Tanpa basa-basi kami langsung disodori sebuah pisau untuk menyembelih ayam yang sudah disiapkan. Agak kaget memang, saat itu sudah jam 9 malam kami disuruh menyembelih ayam yang jadi hidangan utama kami nanti. Mereka masih sempat-sempatnya menyiapkan banyak hal untuk para tamu yang belum dikenal. Sebelumnya kami memang sempat menghubungi tuan rumah dan menjelaskan sedikit tujuan kami via telepon, namun tak disangka bakal dapat sambutan seperti ini. Pisau sudah ditangan, ayam pun sudah siap sedia menyerahkan batang lehernya. Tumpulnya pisau ditambah rasa grogi karena baru pertama menyembelih hewan membuat leher ayam malang itu putus seketika.
14030645851769852319
jelang eksekusi
Sudah tradisi bagi orang Manggarai, NTT untuk menyambut tamu dengan cara demikian. Mereka juga sudah sangat paham tentang kebiasaan dan kepercayaan tamunya yang ditunjukkan dengan menyerahkan prosesi penyembelihan ayam kepada kami. Memang tidak semua desa yang kami kunjungi memberikan penyambutan secara adat karena penyambutan itu tergatung kebiasaan si tuan rumah. Di satu desa kami tidak disambut secara adat namun tetap saja, “beleh manuk sudah!” (sembelih ayam sana!), perintah si tuan rumah.
Sopi/tuak dijadikan sebagai sajian khusus untuk menyambut tamu karena minum minuman keras sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki dewasa Manggarai. Bahkan, mereka secara terang-terangan menjual BM (Bakar Menyala) di pinggir jalan raya. Dinamakan Bakar Menyala karena saking tingginya kadar alkoholnya, jika disulut api akan langsung menyala. Mereka minum tidak mengenal waktu dan tempat, asal ingin mereka beli dan minum. Hanya dengan merogoh kocek 50 ribu, sopir travel kami bisa mendapatkan BM yang dijual di pinggir jalan itu. Dia dan kawannya meminum bergantian sambil istirahat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Katanya mereka sudah biasa menyetir sambil mabuk. Akhirnya si sopir tidak kuat dan menyerahkan kemudinya ke kawannya yang “cuma” sedikit mabuk.

1403064930102304578
beberapa botol BM yang dijual bebas di pinggir jalan
Pembuatan sopi dan BM masih sangat tradisional, dan banyak dijumpai di kampung-kampung. Pembuatannya tidaklah sulit, yang diperlukan hanyalah bahan baku berupa air enau dan pipa bambu sebagai sarana untuk mengalirkan uap. Setelah air enau didapat kemudian didiamkan selama beberapa waktu sebelum dimasak. Semakin lama didiamkan, kadar alkohol semakin tinggi. Pada setengah hari pertama, rasa enau masih manis tetapi jika sudah lebih dari sehari rasanya berubah menjadi asam. Tujuan memasak enau adalah untuk diambil uapnya, tetesan uap pertama kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dari tetes terakhir. Tetesan uap itu ditampung dalam beberapa botol air mineral 600 ml. Biasanya dalam sekali proses pemasakan, dua botol pertama disebut BM sedangkan beberapa botol setelahnya disebut sopi dengan kadar alkohol yang lebih rendah.
Di pedalaman Manggarai tidak ada warung yang menjual makanan jadi, hanya beberapa kios kecil yang menjual sembako dan beberapa kebutuhan lain. Namun, kita tidak perlu khawatir akan kehausan apalagi kelaparan. “Kalau kalian lapar, bilang saja mama, saya lapar. Tak usah sungkan.” Kata seorang Bapak dengan entengnya. Menerima nasihat itu, kami pun hanya tersenyum sambil mengangguk. Sebagai orang Jawa, tentu sangat sungkan meminta makan secara vulgar seperti itu. Namun muncul secercah harapan kalau kami bakal sering dapat makanan gratis. Setiap rumah yang kami kunjungi pasti menyuguhkan sesuatu, minimal kopi. Jika kunjungan bertepatan dengan waktu makan, kami akan disuruh makan. Bahkan, tak jarang kami dipaksa untuk makan lagi meski sudah bilang kalau di rumah tetangga tadi sudah diberi makan. Seringkali kami bisa makan 4-5 kali dalam sehari dan minum kopi sampai 6 gelas sehari.
Kopi juga sudah menjadi budaya dalam masyarakat Manggarai. Kopi Manggarai memang dikenal sebagai salah satu kopi favorit para penikmat kopi. Kopi Manggarai ini memiliki cita rasa pahit dan hampir tidak terasa asam, sangat khas dibanding beberapa kopi dari daerah lain. Di daerah pegunungan Manggarai sering ditemui perkebunan kopi mulai dari yang besar sampai perkebunan kecil yang tersebar di lereng-lereng bukit. Ketenaran kopi Manggarai membuatnya menjadi komoditas andalan di sektor perkebunan. Mereka biasa menjual dalam bentuk biji ke tengkulak, kemudian diangkut menggunakan otokol (truk yang sudah dimodifikasi) untuk dijual lagi ke kota Ruteng.
Minimal dua kali sehari orang Manggarai menikmati kopi yaitu saat pagi dan sore hari. Namun jika banyak tamu yang berkunjung, makin banyak pula kopi yang mereka minum. Mereka biasanya menikmati kopi pahit tanpa gula, namun untuk tamu yang berasal dari luar Manggarai dibuatkan kopi manis. Sebagai teman minum kopi, disajikan pula pipilan jagung rebus. Lengkap sudah sajian lokal khas Manggarai.

1403065450333633796
sajian sederhana namun istimewa
Kopi dan sopi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Manggarai. Bisa dikatakan dua minuman itu menjadi minuman wajib bagi mereka. Bagi tamu/orang luar seperti saya, kedua minuman itu menjadi simbol keramahan orang Manggarai. Setiap mengunjungi sebuah rumah pasti salah satu dari kedua minuman itu akan muncul setelah sambutan hangat si tuan rumah. Dan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun itu masih tetap lestari hingga kini.
Catatan Kecil: Jangan Marah Ya..
“Jangan marah ya... rumah kami berantakan” ujar si tuan rumah saat saya masuk ke rumahnya (Lah.. apa tampang saya terlihat pemarah? Kok dia bilang gitu?). Perkataan serupa juga disampaikan tuan rumah lain sebagai kalimat pembuka saat saya berkunjung. Hanya senyum yang saya berikan karena tidak tahu harus menanggapi bagaimana dan menunjukkan kalau saya tidak marah tentunya. Ternyata ada alasan logis di balik basa-basi tuan rumah khas Manggarai itu. Jika biasanya (kebiasaan di Jawa) basa-basi yang sering diucapkan adalah “maaf, rumah kami berantakan”. Kata “maaf” diucapkan jika kita merasa salah, kalau rumah kita “berantakan” apakah kita bersalah terhadap tamu? Rasanya kurang tepat minta maaf kalau memang tidak salah, apalagi sekadar untuk basa basi. Jadi kata “jangan marah” dapat diartikan sebagai ungkapan perasaan tidak enak (sekadar basa-basi).

Kamis, 22 Mei 2014

Pesta Sekolah, Beasiswa Bergulir ala Manggarai




13899379761088426333
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)


Segelas kopi dan beberapa potong kue menghiasi meja kecil di hadapan kami. Sore itu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang guru SD di kampung Golo Popa. Sebuah kampung kecil yang terletak di pegunungan Manggarai Timur, NTT. Bisa dibilang, wilayah ini cukup terisolasi karena satu-satunya akses menuju tempat ini dari kota kecamatan adalah sebuah jalan tanah berbatu yang hanya dapat dilewati kendaraan bergardan ganda. Jika sehari sebelumnya hujan, tak ada sopir oto kol (transportasi umum di Manggarai berupa truk yang dimodifikasi) yang berani membawa truknya ke sana. Sebenarnya, sepeda motor juga bisa naik sampai Golo Popa, bahkan bisa juga dibawa sampai kampung sebelah yang letaknya di atas. Namun tingkat kesulitan medan yang menurut mereka “setengah mati”, membuat jalan kaki menjadi cara alternatif untuk menuju ke kota kecamatan. Selain itu, kampung ini dan kebanyakan kampung lain di pegunungan Manggarai belum teraliri listrik dari PLN ditambah lagi sinyal telepon seluler yang timbul tenggelam.

Dari obrolan santai itu, terkuak fakta menarik bagi saya mengenai sebuah tradisi unik yang jarang ditemui di tempat lain. Pesta sekolah, yang biasanya diadakan oleh keluarga yang anaknya akan kuliah di luar kota. Pesta ini dilakukan sebanyak dua kali, pertama pesta kecil yang digelar sebelum anak masuk kuliah. Kedua yaitu pesta besar yang digelar menjelang anak lulus kuliah, biasanya diadakan saat semester 5 atau 6.
Pesta sekolah merupakan salah satu pesta besar yang diadakan oleh orang Manggarai. Berbagai makanan dan minuman disajikan, tak lupa juga alunan musik yang disetel keras-keras menambah kemeriahan pesta. Babi dan anjing menjadi hidangan utama dalam pesta ini. Selain itu disuguhkan pula tuak dan rokok. Budaya minum memang sudah akrab dalam keseharian warga, hampir di setiap pesta disajikan tuak. Cukup banyak terjadi insiden akibat peserta pesta yang mabuk dan membuat ulah. Meskipun demikian, tradisi pesta dengan tuak tetap dilanjutkan.

Tujuan sebenarnya pesta ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat guna membantu pembiayaan kuliah anak dari si tuan pesta. Masyarakat Manggarai yang tinggal di daerah pegunungan seperti ini cenderung memiliki taraf ekonomi yang relatif rendah. Meski begitu, mereka sangat peduli terhadap pendidikan. Para orang tua ingin anaknya sekolah setinggi mungkin agar memiliki kehidupan lebih sejahtera dari orang tuanya. Kesadaran akan pendidikan ini dapat dilihat sekilas dari profil warga kampung Golo Popa. Hampir tiap rumah di kampung itu terdapat anak yang kuliah. Sayangnya setelah lulus kuliah, biasanya mereka bekerja di kota untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Wajar saja, karena kehidupan di kampung dinilai masih kurang menjanjikan bagi para sarjana muda.

Setiap tamu undangan datang ke Tuan Pesta sambil membawa amplop yang isinya sesuai dengan anggota keluarga yang ikut pesta. Kalau anak-anak biasanya “membawa” Rp10.000, kalau dewasa bisa Rp50.000. Rata-rata satu keluarga bisa menyumbang Rp100.000-Rp200.000. Jumlah keluarga yang diundang bisa ratusan. Tidak hanya dari kampung sekitar, tetapi warga dari kampung yang letaknya jauh juga turut serta memeriahkan pesta ini. Tak heran jika “hasil” yang didapat tuan pesta mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Menurut perhitungan Pak Guru tersebut, tuan pesta bisa mendapat “penghasilan” bersih antara 18 juta sampai 50 juta rupiah. Jumlah yang cukup membantu membiayai kuliah yang sangat mahal mengingat mereka biasa menyekolahkan anak di tempat jauh seperti Makassar atau Jawa Timur.

Menariknya, jumlah tamu undangan yang datang berbanding lurus dengan sering tidaknya keluarga tersebut mendatangi pesta keluarga lain. Keluarga yang didatangi merasa berutang budi kepada keluarga-keluarga yang datang di pestanya karena berkat merekalah anaknya bisa menyelesaikan kuliah. Jadi bisa dikatakan sumbangan yang dikeluarkan suatu keluarga adalah investasi  yang kelak akan kembali dalam bentuk yang relatif sama ketika membutuhkannya yaitu dengan menyelenggarakan pesta sekolah.

Beasiswa bergulir, bisa jadi merupakan istilah yang tepat untuk tradisi ini. Sebuah kearifan lokal yang didasari oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mahalnya biaya kuliah dan kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak menyurutkan niat mereka untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Jika ditanggung sendiri, bisa jadi mereka tak akan mampu menanggung biaya kuliah yang begitu mahal. Namun mereka dapat menyiasatinya dengan gotong royong, saling membantu mencukupi kebutuhan pendidikan.

Tak terasa, kopi hitam yang tersaji sudah tinggal ampasnya. Matahari makin condong ke barat, makin meredup sinarnya. Saya pun harus segera pulang ke “basecamp”, rumah warga yang ada di kampung sebelah berjarak 2 jam perjalanan (jalan kaki). Belum genap seminggu berada di bumi Manggarai, saya sudah terpesona. Tidak hanya alamnya yang subur maupun keramahan penduduknya, tapi juga dengan salah satu adatnya yaitu pesta sekolah. Tidak sekedar pesta yang menghambur-hamburkan uang, tetapi pesta yang menjadi ajang pemberian beasiswa pendidikan.