Jumat, 11 Maret 2016

Sekilas Tentang Kompak (Komunitas Ngapak) di Hulu Sungai Kapuas

menyeberang menuju SP 1
Sebelum masuk ke kelas, terdengar suara gaduh anak-anak. Seperti biasa, jika tak ada guru atau yang mengawasi selalu saja suasana kelas riuh oleh celoteh anak-anak. Namun sekilas terdengar cengkok medok Banyumasan dalam tutur mereka. Bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa Indonesia memang biasa mereka gunakan sehari-hari karena lingkungan di sini banyak orang Jawanya.


Tahun 1983, rombongan pertama transmigran dari Jawa datang ke SP 1 ini. Kebanyakan transmigran berasal dari daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Banyumasan). Sama seperti kampung transmigran lain, mereka hidup berkelompok dalam kompleks pemukiman yang telah disediakan. Selain berupa tanah pekarangan, dalam kaplingan yang diterima termasuk juga lahan garapan yang kini ditanami sawit. Hingga saat ini sawit masih jadi penghasilan utama warga di kecamatan Sekadau Hilir ini. Meski demikian ada juga yang menanami kebunnya dengan karet. Harga sawit dan karet yang fluktuatif kadang membuat mereka harus mengganti tanaman agar tidak merugi.

Letak kampung SP 1 tak begitu jauh dari kota kabupaten Sekadau. Hanya saja untuk menuju ke sana harus menyebrang sungai Kapuas melalui dermaga pasar Sekadau. Penyeberangan ini ramai cukup ramai karena menghubungkan kecamatan Sekadau Hilir dengan kota Sekadau. Sepanjang aliran sungai Kapuas di Sekadau tak ada jembatan, sehingga penyeberangan seperti inilah yang menjembataninya. Penyeberangan di pasar Sekadau ada mulai dari pagi hingga malam, tapi saat malam biasanya hanya sedikit kapal yang siaga di salah satu sisi. Dari dermaga seberang pasar Sekadau, perlu waktu sekitar setengah jam lagi untuk sampai di SP 1.

Sudah lebih dari 30 tahun mereka mendiami tanah Kalimantan, sudah dua generasi bertahan di sini. Namun suasana pedesaan khas Jawa masih terlihat dengan jelas. Rumah-rumah yang tersusun rapi di sepanjang jalan, dengan pekarangan yang ditanami buah-buahan. Kesamaan budaya dengan tetangga sekampunglah yang membuat kebiasaan yang dibawa dari Jawa masih tetap bertahan. Termasuk juga bahasa beserta logat yang masih kentara, bahkan buat anak-anak yang lahir dan besar di tanah rantau ini. Tinggal bersama anak-anak dari Jawa Timur tak lantas membuat mereka kehilangan identitas. Lidah mereka masih mempertahankan warisan leluhur masing-masing. Ora ngapak, ra kepenak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar