menyeberang menuju SP 1 |
Sebelum masuk ke kelas, terdengar
suara gaduh anak-anak. Seperti biasa, jika tak ada guru atau yang mengawasi
selalu saja suasana kelas riuh oleh celoteh anak-anak. Namun sekilas terdengar cengkok
medok Banyumasan dalam tutur mereka. Bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa
Indonesia memang biasa mereka gunakan sehari-hari karena lingkungan di sini
banyak orang Jawanya.
Tahun 1983, rombongan pertama
transmigran dari Jawa datang ke SP 1 ini. Kebanyakan transmigran berasal dari
daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Banyumasan). Sama seperti kampung
transmigran lain, mereka hidup berkelompok dalam kompleks pemukiman yang telah disediakan.
Selain berupa tanah pekarangan, dalam kaplingan yang diterima termasuk juga
lahan garapan yang kini ditanami sawit. Hingga saat ini sawit masih jadi
penghasilan utama warga di kecamatan Sekadau Hilir ini. Meski demikian ada juga
yang menanami kebunnya dengan karet. Harga sawit dan karet yang fluktuatif
kadang membuat mereka harus mengganti tanaman agar tidak merugi.
Letak kampung SP 1 tak begitu
jauh dari kota kabupaten Sekadau. Hanya saja untuk menuju ke sana harus
menyebrang sungai Kapuas melalui dermaga pasar Sekadau. Penyeberangan ini ramai
cukup ramai karena menghubungkan kecamatan Sekadau Hilir dengan kota Sekadau.
Sepanjang aliran sungai Kapuas di Sekadau tak ada jembatan, sehingga
penyeberangan seperti inilah yang menjembataninya. Penyeberangan di pasar
Sekadau ada mulai dari pagi hingga malam, tapi saat malam biasanya hanya
sedikit kapal yang siaga di salah satu sisi. Dari dermaga seberang pasar
Sekadau, perlu waktu sekitar setengah jam lagi untuk sampai di SP 1.
Sudah lebih dari 30 tahun mereka mendiami tanah
Kalimantan, sudah dua generasi bertahan di sini. Namun suasana pedesaan khas
Jawa masih terlihat dengan jelas. Rumah-rumah yang tersusun rapi di sepanjang
jalan, dengan pekarangan yang ditanami buah-buahan. Kesamaan budaya dengan tetangga
sekampunglah yang membuat kebiasaan yang dibawa dari Jawa masih tetap bertahan.
Termasuk juga bahasa beserta logat yang masih kentara, bahkan buat anak-anak
yang lahir dan besar di tanah rantau ini. Tinggal bersama anak-anak dari Jawa
Timur tak lantas membuat mereka kehilangan identitas. Lidah mereka masih
mempertahankan warisan leluhur masing-masing. Ora ngapak, ra kepenak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar