Jumat, 11 Maret 2016

Mudik ke Hulu Sungai Belitang

antri menyeberang
Perahu penyeberangan terlihat mondar-mandir dari tepi ke tepi mengantar orang dan motor. Tak besar, hanya perahu bermesin kecil yang muat maksimal 3 sepeda motor dan beberapa penumpang saja. Terlihat antrian di terminal penyeberangan kecil di tepi Kapuas. Beberapa motor tampak berjajar membentuk shaf beberapa baris di dalam terminal kecil itu. Sementara itu di sebelah, terlihat tongkang berisi belasan mobil dan truk merapat ke daratan. Pagi itu kesibukan di demaga penyeberangan Sungai Ayak dimulai.


Dermaga Sungai Ayak adalah salah satu tempat penyeberangan besar sungai Kapuas di Sekadau, Kalimantan Barat. Ketiadaan jembatan membuat penyeberangan ini menjadi satu-satunya pilihan untuk menyeberang. Menghubungkan tiga kecamatan dengan kota Sekadau, penyeberangan Sungai Ayak merupakan penyeberangan teramai di Sekadau. Luasnya area perkebunan sawit di daerah Belitang membuat ramai arus lintas Kapuas di sini.

Sungai Ayak, yang merupakan kota kecamatan Belitang Hilir ini dulu dikenal dengan tambang emasnya. Konon katanya nama Sungai Ayak, diambil dari kata “Ayak” yang biasa dilakukan penambang tradisional untuk mendapatkan emas. Pertambangan emas di Sungai Ayak berkembang dengan pesat, tak jauh dari sungai terdapat tambang emas besar di daratan. Namun sejak beberapa tahun yang lalu aktivitas pertambangan dihentikan karena kandungan emas yang makin menipis. Kini hanya tersisa padang luas dengan lubang-lubang tergenang bekas galian dan gubuk-gubuk kecil. Sampai sekarang memang masih ada beberapa warga yang coba peruntungan dengan mengais sisa-sisa emas yang mungkin belum tertambang.
bekas tambang emas
Sekarang, tiba giliran motor kami naik ke perahu penyeberangan. Mesin motor kecil terdengar nyaring, bersamaan dengan itu mulai menjauhlah perahu dari dermaga. Beberapa kali kami berpapasan dengan perahu dari arah Belitang. Nampaknya penyeberangan ini makin ramai saja. Arus sungai Kapuas begitu tenang sehingga perahu bisa melaju mulus menuju ke seberang. Di dermaga sudah tampak beberapa motor di shaf terdepan sepertinya sudah tak sabar lagi menunggu giliran.

Laju motor dipercepat setelah melewati pemukiman dan pasar Sungai Ayak. Jalan tanah lurus dan cukup sepi jadi rute kami selanjutnya. Sesekali debu-debu jalanan berhamburan akibat dilewati mobil dan truk-truk pengangkut sawit. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di area pertambangan emas yang terletak di kanan kiri jalan. Konon katanya di bawah jalan terdapat kandungan emas yang cukup banyak. Namun urung dilakukan penambangan karena ribet urusannya terkait jalan utama yang jadi jalur lalu lintas pengangkutan sawit.

Selepas melewati area tambang, jalan masih saja berupa tanah putih berdebu. Beberapa jam kemudian baru sampai di jalan aspal rusak. Jalan aspal sempit dengan lubang di sana-sini,  menandakan kalau sudah hampir sampai di Balai Sepuak, kota kecamatan Belitang Hulu. Jalan aspal rusak, dengan perumahan di kanan kirinya. Beberapa warung kecil juga tampak di pinggir jalan. Sampailah kami di Balai Sepuak. Sepi, begitu kesan pertama ketika memasuki “kota” ini. Jauh berbeda dibanding dengan Sungai Ayak, Balai Sepuak sangat sepi. Tak ada pasar besar, tak ada tanda-tanda keramaian, hanya kesunyian khas kampung-kampung di daerah hulu.
perkampungan di pinggir sungai Belitang
Balai Sepuak sebenarnya bukanlah tujuan kami, melainkan dua desa lain salah satunya adalah Terduk Dampak. Terletak sekitar 20an km dari Balai Sepuak, perjalanan dapat ditempuh kurang dari 2 jam (khusus bagi pengendara motor lokal yang handal). Melewati tanah merah khas jalan sawitan membuat rute ini memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Belum lagi jika baru saja diguyur hujan, tanah merah berdebu itu niscaya berubah menjadi tanah liat yang lengket dan licin. Ditambah dengan kondisi jalan yang naik turun dan bergelombang membutuhkan kemampuan berkendara yang mumpuni. Kendaraan juga harus dimodifikasi sedemikian rupa jika tak ingin celaka atau mogok di tengah jalan.
melintas jalan raya Belitang
Sepanjang mata memandang hanya tampak perkebunan sawit dengan jalan besar yang membelahnya. Jalan ini memang baru dilebarkan sejak beberapa bulan lalu. Jalan ini dibangun sejak dibukanya perkebunan sawit di daerah ini. Sebelum ada perkebunanan sawit, Belitang Hulu hanyalah hutan belantara dengan akses jalan setapak di tengah hutan. Jika dari/menuju Sekadau biasanya warga memanfaatkan sungai Belitang sebagai jalur transportasi. Butuh waktu berhari-hari menyusur sungai Kapuas dan Belitang menggunakan perahu tradisional. Waktu tempuh akan lebih lama jika perjalanan mudik dari Sekadau ke Balai Sepuak karena melawan arus.
bekas landasan pacu pesawat perintis
Lamanya waktu tempuh dan daerah yang terisolasi menjadi penyebab dibangunnya beberapa landasan pacu di Belitang. Misionaris lah yang mengusahakan pembuatan landasan pacu tersebut untuk memperlancar kegiatan misi dan sosial. Menurut warga setempat hampir di tiap gereja besar (Paroki) terdapat landasan pacu pesawat. Seperti landasan pacu di desa Terduk Dampak misalnya. Landasan sepanjang 500 meter ini hanya berupa tanah dan batu yang dipadatkan, itu sudah cukup untuk dapat didarati pesawat perintis. Landasan pacu di Terduk Dampak letaknya berada tepat di depan SMPN 6 Belitang Hulu. Landasan tersebut terakhir kali digunakan pada tahun 2004, dan saat ini digunakan sebagai “jalan raya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar