antri menyeberang |
Perahu penyeberangan terlihat
mondar-mandir dari tepi ke tepi mengantar orang dan motor. Tak besar, hanya
perahu bermesin kecil yang muat maksimal 3 sepeda motor dan beberapa penumpang
saja. Terlihat antrian di terminal penyeberangan kecil di tepi Kapuas. Beberapa
motor tampak berjajar membentuk shaf beberapa baris di dalam terminal kecil
itu. Sementara itu di sebelah, terlihat tongkang berisi belasan mobil dan truk
merapat ke daratan. Pagi itu kesibukan di demaga penyeberangan Sungai Ayak
dimulai.
Dermaga Sungai Ayak adalah salah
satu tempat penyeberangan besar sungai Kapuas di Sekadau, Kalimantan Barat.
Ketiadaan jembatan membuat penyeberangan ini menjadi satu-satunya pilihan untuk
menyeberang. Menghubungkan tiga kecamatan dengan kota Sekadau, penyeberangan
Sungai Ayak merupakan penyeberangan teramai di Sekadau. Luasnya area perkebunan
sawit di daerah Belitang membuat ramai arus lintas Kapuas di sini.
Sungai Ayak, yang merupakan kota
kecamatan Belitang Hilir ini dulu dikenal dengan tambang emasnya. Konon katanya
nama Sungai Ayak, diambil dari kata “Ayak” yang biasa dilakukan penambang
tradisional untuk mendapatkan emas. Pertambangan emas di Sungai Ayak berkembang
dengan pesat, tak jauh dari sungai terdapat tambang emas besar di daratan.
Namun sejak beberapa tahun yang lalu aktivitas pertambangan dihentikan karena
kandungan emas yang makin menipis. Kini hanya tersisa padang luas dengan
lubang-lubang tergenang bekas galian dan gubuk-gubuk kecil. Sampai sekarang
memang masih ada beberapa warga yang coba peruntungan dengan mengais sisa-sisa
emas yang mungkin belum tertambang.
bekas tambang emas |
Sekarang, tiba giliran motor kami
naik ke perahu penyeberangan. Mesin motor kecil terdengar nyaring, bersamaan
dengan itu mulai menjauhlah perahu dari dermaga. Beberapa kali kami berpapasan
dengan perahu dari arah Belitang. Nampaknya penyeberangan ini makin ramai saja.
Arus sungai Kapuas begitu tenang sehingga perahu bisa melaju mulus menuju ke
seberang. Di dermaga sudah tampak beberapa motor di shaf terdepan sepertinya
sudah tak sabar lagi menunggu giliran.
Laju motor dipercepat setelah
melewati pemukiman dan pasar Sungai Ayak. Jalan tanah lurus dan cukup sepi jadi
rute kami selanjutnya. Sesekali debu-debu jalanan berhamburan akibat dilewati
mobil dan truk-truk pengangkut sawit. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami
di area pertambangan emas yang terletak di kanan kiri jalan. Konon katanya di
bawah jalan terdapat kandungan emas yang cukup banyak. Namun urung dilakukan
penambangan karena ribet urusannya terkait jalan utama yang jadi jalur lalu
lintas pengangkutan sawit.
Selepas melewati area tambang,
jalan masih saja berupa tanah putih berdebu. Beberapa jam kemudian baru sampai
di jalan aspal rusak. Jalan aspal sempit dengan lubang di sana-sini, menandakan kalau sudah hampir sampai di Balai
Sepuak, kota kecamatan Belitang Hulu. Jalan aspal rusak, dengan perumahan di
kanan kirinya. Beberapa warung kecil juga tampak di pinggir jalan. Sampailah
kami di Balai Sepuak. Sepi, begitu kesan pertama ketika memasuki “kota” ini.
Jauh berbeda dibanding dengan Sungai Ayak, Balai Sepuak sangat sepi. Tak ada
pasar besar, tak ada tanda-tanda keramaian, hanya kesunyian khas
kampung-kampung di daerah hulu.
perkampungan di pinggir sungai Belitang |
Balai Sepuak sebenarnya bukanlah
tujuan kami, melainkan dua desa lain salah satunya adalah Terduk Dampak.
Terletak sekitar 20an km dari Balai Sepuak, perjalanan dapat ditempuh kurang
dari 2 jam (khusus bagi pengendara motor lokal yang handal). Melewati tanah
merah khas jalan sawitan membuat rute ini memiliki tingkat kesulitan yang cukup
tinggi. Belum lagi jika baru saja diguyur hujan, tanah merah berdebu itu
niscaya berubah menjadi tanah liat yang lengket dan licin. Ditambah dengan
kondisi jalan yang naik turun dan bergelombang membutuhkan kemampuan berkendara
yang mumpuni. Kendaraan juga harus dimodifikasi sedemikian rupa jika tak ingin
celaka atau mogok di tengah jalan.
melintas jalan raya Belitang |
Sepanjang mata memandang hanya
tampak perkebunan sawit dengan jalan besar yang membelahnya. Jalan ini memang
baru dilebarkan sejak beberapa bulan lalu. Jalan ini dibangun sejak dibukanya
perkebunan sawit di daerah ini. Sebelum ada perkebunanan sawit, Belitang Hulu
hanyalah hutan belantara dengan akses jalan setapak di tengah hutan. Jika
dari/menuju Sekadau biasanya warga memanfaatkan sungai Belitang sebagai jalur
transportasi. Butuh waktu berhari-hari menyusur sungai Kapuas dan Belitang
menggunakan perahu tradisional. Waktu tempuh akan lebih lama jika perjalanan
mudik dari Sekadau ke Balai Sepuak karena melawan arus.
bekas landasan pacu pesawat perintis |
Lamanya waktu tempuh dan daerah yang terisolasi
menjadi penyebab dibangunnya beberapa landasan pacu di Belitang. Misionaris lah
yang mengusahakan pembuatan landasan pacu tersebut untuk memperlancar kegiatan
misi dan sosial. Menurut warga setempat hampir di tiap gereja besar (Paroki)
terdapat landasan pacu pesawat. Seperti landasan pacu di desa Terduk Dampak
misalnya. Landasan sepanjang 500 meter ini hanya berupa tanah dan batu yang
dipadatkan, itu sudah cukup untuk dapat didarati pesawat perintis. Landasan
pacu di Terduk Dampak letaknya berada tepat di depan SMPN 6 Belitang Hulu.
Landasan tersebut terakhir kali digunakan pada tahun 2004, dan saat ini
digunakan sebagai “jalan raya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar