Kisah Sunyi dari Kampung Wimro yang Sepi

pabrik udang Jayanti yang dulu pernah jaya

Wimro, kampung kecil yang berada di seberang RKI tujuan kami selanjutnya. Beda dengan RKI, Wimro cukup sepi. Tak nampak jajaran kapal yang tertambat di jetty. Tak ada warung atau kios di dekat jetty, hanya terlihat beberapa rumah berdinding kayu kusam saja. Sepanjang jalan kampung yang kami lewati hanya tampak beberapa warga siang itu.

Sepi begitulah kesan pertamaku datang ke kampung Wimro. Namun siapa sangka, dalam sepinya kampung ini menyimpan banyak kisah. Dimulai dari berdirinya pabrik pengolahan udang milik Jayanti Group, perusahaan milik keluarga Cendana yang punya beberapa unit usaha di Papua. Melimpahnya udang di perairan Wimro menjadi daya tarik bagi Jayanti Group untuk mendirikan pabrik di tempat ini. Tahun 90an adalah tahun kejayaan Jayanti. Banyak orang dari luar pulau berdatangan, mencoba mengadu nasib di Jayanti.

Dimulai dari pembangunan mess karyawan di sekitar pabrik, kemudian berkembang perumahan di sekitar pabrik. Akhirnya terbentuklah perkampungan yang cukup padat di Wimro. Katanya dulu kampung ini begitu ramai, mirip seperti kota kecil. Orang-orang yang berasal dari berbagai pelosok tanah air memadati kampung kecil ini. Bagi pekerja yang sudah berkeluarga dan memiliki modal cukup biasanya akan meninggalkan mess dan membangun rumah di kampung.

barak yang terbengkalai

Siang begitu terik, rasanya agak malas keliling buat cari responden. Apalagi siang hari biasanya warga bekerja di pabrik. Meski sempat berhenti operasi pada awal tahun 2000-an, pada tahun 2013 pabrik udang ini kembali dihidupkan dan dikelola oleh PT Timika Samudera dengan merekrut warga sekitar sebagai pekerja. Meski demikian, dikabarkan pabrik udang itu akan tutup beberapa bulan lagi. Alasannya adalah karena adanya konflik dengan warga lokal pemilik tanah adat.

Sorenya setelah kira-kira warga yang bekerja sudah pulang, baru kami keliling. Tibalah aku di rumah seorang perempuan paruh baya. Wawancara memang tidak berlangsung lama, tapi ngobrolnya yang lama. Dia pun cerita banyak hal awal mula bisa berada di kampung hingga bertemu dengan suaminya. Sama seperti ribuan orang lain, si ibu datang ke Wimro lantaran ingin bekerja di pabrik udang Jayanti. Di awal masa kerjanya dia tinggal di mess bersama pekerja lainnya. Mess pekerja laki-laki dipisah dengan perempuan. “Terjebak” di sebuah kampung kecil di pelosok Papua dalam waktu yang lama membuat sering terjadi cinlok diantara mereka yang kebanyakan masih lajang. Menariknya daerah asal para pekerja cukup beragam, ada yang dari Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua sendiri. Pada akhirnya mereka dipersatukan di kampung kecil ini.

Bermacam cara dilakukan untuk tebar-tebar pesona untuk menggaet pasangan, seperti yang dilakukan suami si Ibu dulu. Hampir tiap hari dia menyambangi mess perempuan untuk bertemu dengan perempuan pujaannya itu. Begitu juga dengan para pekerja laki-laki lainnya. Katanya tiap malam minggu apel massal terjadi di mess pekerja perempuan. Bisa dibayangkan betapa ramainya kampung kecil seperti Wimro ini ketika malam minggu. Tapi mau malem mingguan ke mana kalau berada di kampung kecil terkepung hutan dan sungai? Justru itu masih banyak tempat sepinya di sini, mulai dari keremangan di sudut-sudut jetty hingga belantara belakang kampung yang tersembunyi.

Kenangan itulah yang si ibu ceritakan, dulu waktu dia dan almarhum suaminya masih muda. Beberapa tahun yang lalu suaminya meninggal dunia karena suatu penyakit. Kini dia hanya tinggal sendiri di rumah sambil buka warung untuk menyambung hidup dan sekadar mengusir sepi.