selamat datang di Rumah Kayu Indonesia |
Sekitar
dua jam berketinting dari Babo sampailah kami di kampung Sidomakmur. Kampung
Sidomakmur, kok namanya njawani? Macam kampung di Jawa aja. Katanya sih di sini
emang banyak orang Jawanya. Jetty sudah penuh sesak oleh beberapa kapal, kami
hanya bisa merapat di kapal terdekat. Lompat dari satu kapal ke kapal lain
sampailah di atas jetty. Banyaknya barang bawaan membuat kami harus bersusah
payah membawanya ke atas jetty. Untungnya beberapa orang di sekitar jetty
membantu kami dengan sukarela.
Sidomakmur
atau dikenal juga dengan sebutan RKI (Rumah Kayu Indonesia) sebelumnya adalah
kawasan transmigrasi yang sudah ada sejak tahun 90-an. Pada era itu, pabrik
pengolahan udang Jayanti sedang jaya. Pabrik itu berada di kampung Wimro, tepat
di seberang Sidomakmur. Orang-orang dari luar pulau berdatangan untuk mengadu
nasib di Jayanti. Namun pada suatu waktu, pabrik itu berhenti beroperasi.
Banyak pendatang yang kehilangan pekerjaan pulang ke kampung halamannya. Tak
terkecuali para transmigran di Sidomakmur, banyak diantara mereka yang pulang
ke Jawa. Rumah-rumah yang ditinggalkan itu kemudian ditempati oleh para nelayan
yang biasanya mencari peruntungan di perairan Sidomakmur yang kaya udang.
Sungai
masih menjadi jalur transportasi utama di Teluk Bintuni. Terdapat beberapa
tempat singgah bagi kapal-kapal yang melintas, salah satunya di Sidomakmur. Tak
heran jika jetty Sidomakmur hampir selalu penuh kapal-kapal yang tertambat di
sana. Memanfaatkan banyaknya orang yang singgah, dibuatlah beberapa warung dan
kios di sekitar jetty. Kebanyakan penjualnya berasal dari Madura, seperti
warung yang kebetulan kami kunjungi ini. Aku dan seorang kawan memesan kopi
kepada mbak-mbak penjual warung. “Mbak, kopi ABC siji”, aku memesan segelas
kopi. Si mbak pun menyahut, “Kopi biasa yo? Ga pake susu?” sambil menggeleng
saya bilang tidak. Segera dia menimpali, “opo nganggo “susu gantung” wae?”
(sambil mesam-mesem mesum). Woo.. kampreettt, kami pun ketawa mendengar candaan
mbaknya yang ngeri-ngeri sedap. Eh.. tapi itu sekadar candaan atau... ?? Ahh..
untungnya kopi segera tersaji. Ngopi sik,
ndak edyan.
Orang
Jawa dan Madura memang dominan di RKI. Mereka berprofesi sebagai pedagang kios
da warung, serta ada beberapa yang jadi pencari udang. Banyak diantara mereka
yang sudah tinggal di RKI sejak tahun 90-an namun ada juga yang datang
kemudian. Bahasa Jawa menjadi bahasa pergaulan di sini, termasuk bagi orang
Madura. Bahkan bagi orang non Jawa-Madura seperti Bugis dan Papua sendiri
seringkali menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sederhana seperti saat
membeli barang di kios. Terdengar wagu
(kurang pas) memang tapi lucu.
salah satu sudut kampung RKI |
Sekilas
berada di RKI serasa tinggal di sebuah kampung nelayan di Jawa. Dari mulai
banyaknya orang Jawa hingga tersedianya es dawet makin menguatkan suasana Jawa.
Ya.. ada yang jual es dawet di sini, menjadi penawar haus kala panas matahari
Papua begitu menyengat. Harganya pun cuma 3000 (standar harga Jawa), padahal
harga barang lain di sini bisa dua hingga tiga kali lipat dibanding harga di
Jawa. Suasana Jawa begitu kental di sini, membuatku sejenak berada di kampung
halaman. Memang benar-benar Papua rasa Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar