Kamis, 07 Januari 2016

Menikmati Papua Rasa Jawa (Nyaris) Dapat Bonus "Susu Gantung"


selamat datang di Rumah Kayu Indonesia
Sekitar dua jam berketinting dari Babo sampailah kami di kampung Sidomakmur. Kampung Sidomakmur, kok namanya njawani? Macam kampung di Jawa aja. Katanya sih di sini emang banyak orang Jawanya. Jetty sudah penuh sesak oleh beberapa kapal, kami hanya bisa merapat di kapal terdekat. Lompat dari satu kapal ke kapal lain sampailah di atas jetty. Banyaknya barang bawaan membuat kami harus bersusah payah membawanya ke atas jetty. Untungnya beberapa orang di sekitar jetty membantu kami dengan sukarela.


Sidomakmur atau dikenal juga dengan sebutan RKI (Rumah Kayu Indonesia) sebelumnya adalah kawasan transmigrasi yang sudah ada sejak tahun 90-an. Pada era itu, pabrik pengolahan udang Jayanti sedang jaya. Pabrik itu berada di kampung Wimro, tepat di seberang Sidomakmur. Orang-orang dari luar pulau berdatangan untuk mengadu nasib di Jayanti. Namun pada suatu waktu, pabrik itu berhenti beroperasi. Banyak pendatang yang kehilangan pekerjaan pulang ke kampung halamannya. Tak terkecuali para transmigran di Sidomakmur, banyak diantara mereka yang pulang ke Jawa. Rumah-rumah yang ditinggalkan itu kemudian ditempati oleh para nelayan yang biasanya mencari peruntungan di perairan Sidomakmur yang kaya udang. 

Sungai masih menjadi jalur transportasi utama di Teluk Bintuni. Terdapat beberapa tempat singgah bagi kapal-kapal yang melintas, salah satunya di Sidomakmur. Tak heran jika jetty Sidomakmur hampir selalu penuh kapal-kapal yang tertambat di sana. Memanfaatkan banyaknya orang yang singgah, dibuatlah beberapa warung dan kios di sekitar jetty. Kebanyakan penjualnya berasal dari Madura, seperti warung yang kebetulan kami kunjungi ini. Aku dan seorang kawan memesan kopi kepada mbak-mbak penjual warung. “Mbak, kopi ABC siji”, aku memesan segelas kopi. Si mbak pun menyahut, “Kopi biasa yo? Ga pake susu?” sambil menggeleng saya bilang tidak. Segera dia menimpali, “opo nganggo “susu gantung” wae?” (sambil mesam-mesem mesum). Woo..  kampreettt, kami pun ketawa mendengar candaan mbaknya yang ngeri-ngeri sedap. Eh.. tapi itu sekadar candaan atau... ?? Ahh.. untungnya kopi segera tersaji. Ngopi sik, ndak edyan.

Orang Jawa dan Madura memang dominan di RKI. Mereka berprofesi sebagai pedagang kios da warung, serta ada beberapa yang jadi pencari udang. Banyak diantara mereka yang sudah tinggal di RKI sejak tahun 90-an namun ada juga yang datang kemudian. Bahasa Jawa menjadi bahasa pergaulan di sini, termasuk bagi orang Madura. Bahkan bagi orang non Jawa-Madura seperti Bugis dan Papua sendiri seringkali menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sederhana seperti saat membeli barang di kios. Terdengar wagu (kurang pas) memang tapi lucu.

salah satu sudut kampung RKI
Sekilas berada di RKI serasa tinggal di sebuah kampung nelayan di Jawa. Dari mulai banyaknya orang Jawa hingga tersedianya es dawet makin menguatkan suasana Jawa. Ya.. ada yang jual es dawet di sini, menjadi penawar haus kala panas matahari Papua begitu menyengat. Harganya pun cuma 3000 (standar harga Jawa), padahal harga barang lain di sini bisa dua hingga tiga kali lipat dibanding harga di Jawa. Suasana Jawa begitu kental di sini, membuatku sejenak berada di kampung halaman. Memang benar-benar Papua rasa Jawa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar