Senin, 11 Januari 2016

Bermalam di muara Otoweri

tiduran di atap ketinting, melepas lelah  

Nasi yang terhampar di nampan kecil itu masih mengepulkan asap tipis. Kemudian sarden yang juga masih hangat ditumpahkan di atas nasi disusul dengan mi instan yang baru saja matang. Sebagai sentuhan akhir, beberapa potong telur dadar dijadikan sebagai topping. Seketika itu juga tangan-tangan kami segera menjamah makanan yang sudah melambai-lambai itu. Nasi yang sudah becek dengan kuah sarden kalengan itu makin becek akibat beberapa tangan masih lembab karena barusan cuci tangan pakai air laut. Potongan telur dan ikan sarden menjadi incaran, siapa cepat dia dapat. Makan bareng dengan nampan seperti ini memang sudah jadi kebiasaan kami terutama saat berada di ketinting. Tak peduli cowok maupun cewek, semua bisa ikutan makan kembulan. Satu nampan memang tidak cukup buat kami bersebelas (termasuk awak kapal). Karena itu kami punya satu nampan lagi dan beberapa piring sebagai cadangan.


Usai makan, tinggal urusan beberes dan cuci-cuci. Tempat cuci-mencuci biasa kami lakukan di bagian belakang kapal. Di sana sudah ada jeriken kecil yang dililit dengan seutas tali untuk menimba air. Bagian belakang kapal cukup sempit, hanya sekitar 1,5m X 1m dengan dibatasi dinding kayu setinggi 90 cm. Lantai papan sudah dilubangi sedemikian rupa agar air tidak menggenang. Inilah tempat yang paling privat di kapal, terpisah pintu yang jadi batas belakang kapal. Di tempat inilah biasa kami mandi, buang air, atau sekedar ganti pakaian. Meski hanya dibatasi dinding kayu setinggi 90 cm di ketiga sisinya, tempat ini jadi “ruang privat” serba guna. Tak ada pilihan lagi.

Sebenarnya ketinting ini adalah alat transportasi umum yang melayani rute perjalanan Babo dan sekitarnya. Ketinting merupakan kapal motor berukuran kecil yang dapat memuat belasan penumpang dan barang bawaannya dalam kapasitas normal. Namun tak jarang ketinting bisa dimuati hingga puluhan penumpang. Hanya ada dua ruang utama di kapal ini yaitu ruang penumpang di bagian depan dan ruang kemudi. Di ruang penumpang terdapat bangku panjang berhadapan di kedua sisinya. Bagian tengah dibiarkan kosong sebagai tempat menaruh barang. Ruang kemudi terletak di bagian belakang, ditandai dengan adanya roda kemudi yang ditempatkan agak di atas. Di bagian belakang terdapat dek kecil yang biasa digunakan sebagai tempat masak atau tempat istirahat awak kapal.

Di saat-saat tertentu, ketinting yang biasa kami pakai buat berpindah tempat bisa juga dijadikan tempat tinggal. Seperti yang terjadi saat terpaksa harus buang jangkar di muara Otoweri ini. Selepas makan kami menempatkan diri di tempat yang paling nyaman untuk istirahat. Ada yang tidur di ruang penumpang di antara tumpukan barang, ada yang tidur bersama alat-alat dapur, dan ada pula yang tidur(an) di atap ruang penumpang. Aku dan beberapa kawan tiduran dulu di atap, sekedar merebah sambil melepas lelah. Damai rasanya tiduran ditemani angin laut yang berhembus pelan sambil menatap bintang. Setelah seharian dibuat tegang karena terjebak badai, akhirnya kini bisa merasakan damai. Perlahan mataku makin terasa berat, kuputuskan untuk turun dan tidur di ruang penumpang. Tak lama kemudian kawan yang masih di atas turun juga. Akan sangat berbahaya jika tidur di atap karena bisa-bisa tanpa sadar nyebur ke muara yang banyak buayanya.

Baru beberapa hari kami numpang di ketinting ini, namun sudah merasa nyaman. Ketinting ini serasa rumah sendiri, setiap sudutnya sudah kami hafal. Begitu juga dengan kedua awak kapal yang setia menemani perjalanan kami dan bersedia menunggu beberapa hari saat kami bertugas di suatu kampung. Feri, sang nakhoda Sebenarnya usianya baru 20an tahun namun pengalamannya menjelajah Teluk Bintuni dengan ketinting sudah tak diragukan lagi. Beberapa tahun silam dia merantau ke Babo dari tempat tinggalnya di Sragen. Kesamaan sebagai orang Jawa lah yang memudahkan kami bersembilan untuk akrab dengannnya. Tak jarang dia ikut bantu-bantu masak hingga angkut-angkut barang. Asistennya adalah Om Karim, orang asli Babo. Usianya sudah 40an tahun namun masih cekatan membantu tugas nakhoda. Sebagai orang asli sini, kemampuan navigasinya sangat membantu kelancaran perjalanan kami. Sama seperti Feri, Om Karim juga sering bantu-bantu kami.  Keramahan dua awak kapal membuat kami nyaman selama perjalanan.
pagi di muara Otoweri
Malam semakin larut, suara ocehan kami perlahan menyurut. Sampailah kami pada suatu pagi di muara Otoweri. Sayup terdengar suara burung bersahutan dari tengah hutan memecah kesunyian. Langit berwarna biru tua, sementara di ujung cakrawala terlihat gradasi warna biru ke merah. Perlahan mentari kian meninggi, membuka warna semesta. Tepat di ujung haluan kapal, terbentang sungai membentuk lorong berliku yang dibatasi lebatnya vegetasi hutan hujan. Sebentar lagi lorong itu akan kami jelajahi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar