tiduran di atap ketinting, melepas lelah |
Nasi
yang terhampar di nampan kecil itu masih mengepulkan asap tipis. Kemudian
sarden yang juga masih hangat ditumpahkan di atas nasi disusul dengan mi instan
yang baru saja matang. Sebagai sentuhan akhir, beberapa potong telur dadar
dijadikan sebagai topping. Seketika itu juga tangan-tangan kami segera menjamah
makanan yang sudah melambai-lambai itu. Nasi yang sudah becek dengan kuah
sarden kalengan itu makin becek akibat beberapa tangan masih lembab karena barusan
cuci tangan pakai air laut. Potongan telur dan ikan sarden menjadi incaran,
siapa cepat dia dapat. Makan bareng dengan nampan seperti ini memang sudah jadi
kebiasaan kami terutama saat berada di ketinting. Tak peduli cowok maupun
cewek, semua bisa ikutan makan kembulan.
Satu nampan memang tidak cukup buat kami bersebelas (termasuk awak kapal).
Karena itu kami punya satu nampan lagi dan beberapa piring sebagai cadangan.
Usai
makan, tinggal urusan beberes dan cuci-cuci. Tempat cuci-mencuci biasa kami
lakukan di bagian belakang kapal. Di sana sudah ada jeriken kecil yang dililit
dengan seutas tali untuk menimba air. Bagian belakang kapal cukup sempit, hanya
sekitar 1,5m X 1m dengan dibatasi dinding kayu setinggi 90 cm. Lantai papan
sudah dilubangi sedemikian rupa agar air tidak menggenang. Inilah tempat yang
paling privat di kapal, terpisah pintu yang jadi batas belakang kapal. Di
tempat inilah biasa kami mandi, buang air, atau sekedar ganti pakaian. Meski hanya
dibatasi dinding kayu setinggi 90 cm di ketiga sisinya, tempat ini jadi “ruang
privat” serba guna. Tak ada pilihan lagi.
Sebenarnya
ketinting ini adalah alat transportasi umum yang melayani rute perjalanan Babo
dan sekitarnya. Ketinting merupakan kapal motor berukuran kecil yang dapat
memuat belasan penumpang dan barang bawaannya dalam kapasitas normal. Namun tak
jarang ketinting bisa dimuati hingga puluhan penumpang. Hanya ada dua ruang
utama di kapal ini yaitu ruang penumpang di bagian depan dan ruang kemudi. Di
ruang penumpang terdapat bangku panjang berhadapan di kedua sisinya. Bagian
tengah dibiarkan kosong sebagai tempat menaruh barang. Ruang kemudi terletak di
bagian belakang, ditandai dengan adanya roda kemudi yang ditempatkan agak di
atas. Di bagian belakang terdapat dek kecil yang biasa digunakan sebagai tempat
masak atau tempat istirahat awak kapal.
Di
saat-saat tertentu, ketinting yang biasa kami pakai buat berpindah tempat bisa
juga dijadikan tempat tinggal. Seperti yang terjadi saat terpaksa harus buang
jangkar di muara Otoweri ini. Selepas makan kami menempatkan diri di tempat
yang paling nyaman untuk istirahat. Ada yang tidur di ruang penumpang di antara
tumpukan barang, ada yang tidur bersama alat-alat dapur, dan ada pula yang
tidur(an) di atap ruang penumpang. Aku dan beberapa kawan tiduran dulu di atap,
sekedar merebah sambil melepas lelah. Damai rasanya tiduran ditemani angin laut
yang berhembus pelan sambil menatap bintang. Setelah seharian dibuat tegang
karena terjebak badai, akhirnya kini bisa merasakan damai. Perlahan mataku
makin terasa berat, kuputuskan untuk turun dan tidur di ruang penumpang. Tak
lama kemudian kawan yang masih di atas turun juga. Akan sangat berbahaya jika
tidur di atap karena bisa-bisa tanpa sadar nyebur ke muara yang banyak
buayanya.
Baru
beberapa hari kami numpang di ketinting ini, namun sudah merasa nyaman.
Ketinting ini serasa rumah sendiri, setiap sudutnya sudah kami hafal. Begitu
juga dengan kedua awak kapal yang setia menemani perjalanan kami dan bersedia menunggu
beberapa hari saat kami bertugas di suatu kampung. Feri, sang nakhoda
Sebenarnya usianya baru 20an tahun namun pengalamannya menjelajah Teluk Bintuni
dengan ketinting sudah tak diragukan lagi. Beberapa tahun silam dia merantau ke
Babo dari tempat tinggalnya di Sragen. Kesamaan sebagai orang Jawa lah yang
memudahkan kami bersembilan untuk akrab dengannnya. Tak jarang dia ikut
bantu-bantu masak hingga angkut-angkut barang. Asistennya adalah Om Karim,
orang asli Babo. Usianya sudah 40an tahun namun masih cekatan membantu tugas
nakhoda. Sebagai orang asli sini, kemampuan navigasinya sangat membantu
kelancaran perjalanan kami. Sama seperti Feri, Om Karim juga sering bantu-bantu
kami. Keramahan dua awak kapal membuat
kami nyaman selama perjalanan.
pagi di muara Otoweri |
Malam
semakin larut, suara ocehan kami perlahan menyurut. Sampailah kami pada suatu
pagi di muara Otoweri. Sayup terdengar suara burung bersahutan dari tengah
hutan memecah kesunyian. Langit berwarna biru tua, sementara di ujung cakrawala
terlihat gradasi warna biru ke merah. Perlahan mentari kian meninggi, membuka
warna semesta. Tepat di ujung haluan kapal, terbentang sungai membentuk lorong
berliku yang dibatasi lebatnya vegetasi hutan hujan. Sebentar lagi lorong itu
akan kami jelajahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar