Kamis, 07 Januari 2016

Menembus Ganasnya Gelombang Teluk Bintuni

nakhoda dan asistennya serta ketua tim (dalam bingkai) saat badai 

Hujan deras mengiringi perjalanan menuju jetty. Kami putuskan berangkat pagi-pagi benar karena perjalanan menuju kampung selanjutnya butuh waktu seharian. Tomage, adalah nama kampung yang akan kami tuju selanjutnya. Sebuah kampung kecil di tengah hutan, dan masuk wilayah kabupaten Fakfak. Katanya untuk ke sana kita harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok. Karena itu nakhoda menyarankan berangkat pagi-pagi agar saat masuk ke sungai keadaan masih terang. Akan sangat riskan jika memaksakan masuk ke sungai saat gelap karena sungai relatif sempit dan di kanan kirinya berupa hutan lebat.


Sebelum matahari terbit ketinting sudah menjauh dari jetty Wimro menuju ke Teluk Bintuni. Karena di Tomage sulit cari bahan makanan, sehari sebelumnya kami sudah beli logistik di RKI untuk beberapa hari ke depan. Gerimis masih mengiringi perjalanan ketinting kami menuju perairan Teluk Bintuni. Babo, RKI, dan Wimro masih terletak di satu jalur sungai. Nantinya ketinting akan masuk perairan Teluk Bintuni kemudian menyusur daratan bagian selatan untuk selanjutnya masuk ke sungai Otoweri menuju ke Tomage. Ibarat jalan raya, Teluk bintuni menjadi jalan poros transportasi yang menghubungkan antar kampung melalui sungai-sungai di sekitarnya.

Memasuki muara tetiba kapal berguncang kencang dan semakin kencang. Langit mendung disertai gerimis masih setia menaungi perjalanan kami. Dengan pengalaman beberapa tahun menjelajah Teluk Bintuni, Feri selaku nakhoda memutuskan tetap lanjut coba menembus badai. Mesin kapal dipacu maksimal, Om Karim selaku satu-satunya awak kapal berdiri di haluan untuk memberi arahan kepada nakhoda. Meski terombang-ambing gelombang, ketinting tetap melaju berusaha keluar dari Muara. Suasana kokpit menjadi tegang, gendut begitu panggilan akrab kami kepada Feri mukanya tampak sangat serius. Berbeda dengan kesehariannya yang sangat santai dan sering bercanda.

Gelas berisi kopi dekat kemudi tampak bergeser ke kanan dan kiri. Air kopi dalam gelas itu berguncang kuat seakan tak mau kalah dengan ombak yang makin mengganas. Beberapa galon air yang kami bawa menggelinding ke sana-ke mari mengikuti irama guncangan kapal. Guncangan semakin keras sebuah galon air tetiba pecah akibat terbentur geladak. Kami pun segera memakai pelampung, bersiap untuk keadaan terburuk. Tampak tidak memungkinkan, Feri memutuskan untuk membuang jangkar di muara. Berhenti sejenak untuk menunggu badai reda kemudian lanjut keluar dari muara.

Suara ombak dan decit kayu kapal terhempas gelombang terdengar menakutkan bagiku yang baru pertama kali melakukan perjalanan laut selama ini. Satu per satu kawan bertumbangan dan mengeluarkan isi perutnya. Aku yang belum pernah merasakan mabuk perjalanan mulai merasa tak enak di bagian perut. Sebisa mungkin ku tahan agar tidak muntah seperti kebanyakan kami. Berbagai cara kami lakukan untuk menahan agar tidak muntah terlalu banyak. Seorang ABK menyarankan untuk minum air laut agar tidak mabuk laut. Tanpa pikir panjang, kami mencoba menuruti anjuran dari ABK itu. Entah karena sugesti atau memang sarannya tepat sebagian kami merasa agak baikan. Satu lagi cara untuk mengurangi mabuk laut, yakni harus berada di bagian atas kapal. Katanya kalau di atas, guncangan terasa lebih ringan dibandingkan berada di dek bawah. Aku pun ikut sarannya, memang guncangan berkurang namun mual dan pusing masih saja terasa. Tak tahan, ku kembali di dek bawah kemudian mencoba untuk tiduran berharap bisa tidur beneran dan hilang sudah penderitaan ini.

Gelombang masih saja bergejolak, belum tampak tanda akan berakhir. Tak mau ambil risiko besar, Feri memutuskan untuk kembali masuk sungai dan kemudian buang jangkar di perairan sekitar RKI. Sejenak Feri menunggu dan mengamati situasi, akhirnya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sesampai di muara, badai belum juga berlalu. Ombak besar masih saja tak bosan menggoda ketinting kami dengan gelombangnya yang memabukkan. Lagi-lagi kami harus kembali mundur dan kembali buang jangkar di tempat aman. Sempat berpikir untuk bermalam di RKI dulu sebelum melanjutkan perjalanan, namun Feri  memutuskan untuk mencoba menembus muara sekali lagi. Percobaan ketiga ini sukses, ketinting berhasil memasuki perairan lepas teluk Bintuni. Saat itu ombak di muara sudah tidak sebesar tadi. Dibutuhkan usaha keras dari pagi sampai siang untuk memasuki perairan lepas, sementara perjalanan masih panjang untuk menuju ke Otoweri.

porak poranda seusai badai
Ombak di teluk Bintuni saat itu relatif tenang, ketinting bisa melaju dengan normal. Kamipun bisa menikmati perjalanan. Yang terlihat sepanjang perjalanan hanyalah laut dan hutan bakau. Namun di kejauhan tampak bangunan besar seperti pabrik. Setelah mendekat ternyata itu adalah pabrik LNG milik sebuah perusahaan asing. Tempat pabrik itu berdiri dulunya adalah perkampungan yang diberi nama kampung Tanah Merah. Sejak adanya pabrik, para penduduk direlokasi di beberapa tempat dengan menerima kompensasi dalam jumlah tertentu.

Ketinting terus melaju ke arah barat. Senja pun tiba, gelap semakin menyergap. Gelapnya malam membuat Feri dan Om Karim kesulitan untuk menemukan muara Otoweri sebagai tanda kalau kami sudah sampai di kampung Otoweri. Hampir saja kami salah tujuan, namun akhirnya dapat kembali ke jalan yang benar berkat pengalaman kru kapal. Jam 8 malam sampailah kami di muara Otoweri. Karena keadaan sudah gelap, Feri memutuskan untuk menunda merapat ke kampung dan bermalam di atas ketinting. Kami pun bermalam di atas muara dengan arus yang begitu tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar