nakhoda dan asistennya serta ketua tim (dalam bingkai) saat badai |
Hujan
deras mengiringi perjalanan menuju jetty. Kami putuskan berangkat pagi-pagi
benar karena perjalanan menuju kampung selanjutnya butuh waktu seharian.
Tomage, adalah nama kampung yang akan kami tuju selanjutnya. Sebuah kampung
kecil di tengah hutan, dan masuk wilayah kabupaten Fakfak. Katanya untuk ke sana
kita harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok. Karena itu nakhoda menyarankan
berangkat pagi-pagi agar saat masuk ke sungai keadaan masih terang. Akan sangat
riskan jika memaksakan masuk ke sungai saat gelap karena sungai relatif sempit
dan di kanan kirinya berupa hutan lebat.
Sebelum
matahari terbit ketinting sudah menjauh dari jetty Wimro menuju ke Teluk
Bintuni. Karena di Tomage sulit cari bahan makanan, sehari sebelumnya kami
sudah beli logistik di RKI untuk beberapa hari ke depan. Gerimis masih mengiringi
perjalanan ketinting kami menuju perairan Teluk Bintuni. Babo, RKI, dan Wimro
masih terletak di satu jalur sungai. Nantinya ketinting akan masuk perairan
Teluk Bintuni kemudian menyusur daratan bagian selatan untuk selanjutnya masuk
ke sungai Otoweri menuju ke Tomage. Ibarat jalan raya, Teluk bintuni menjadi
jalan poros transportasi yang menghubungkan antar kampung melalui sungai-sungai
di sekitarnya.
Memasuki
muara tetiba kapal berguncang kencang dan semakin kencang. Langit mendung
disertai gerimis masih setia menaungi perjalanan kami. Dengan pengalaman
beberapa tahun menjelajah Teluk Bintuni, Feri selaku nakhoda memutuskan tetap
lanjut coba menembus badai. Mesin kapal dipacu maksimal, Om Karim selaku
satu-satunya awak kapal berdiri di haluan untuk memberi arahan kepada nakhoda.
Meski terombang-ambing gelombang, ketinting tetap melaju berusaha keluar dari
Muara. Suasana kokpit menjadi tegang, gendut begitu panggilan akrab kami kepada
Feri mukanya tampak sangat serius. Berbeda dengan kesehariannya yang sangat
santai dan sering bercanda.
Gelas
berisi kopi dekat kemudi tampak bergeser ke kanan dan kiri. Air kopi dalam
gelas itu berguncang kuat seakan tak mau kalah dengan ombak yang makin
mengganas. Beberapa galon air yang kami bawa menggelinding ke sana-ke mari
mengikuti irama guncangan kapal. Guncangan semakin keras sebuah galon air
tetiba pecah akibat terbentur geladak. Kami pun segera memakai pelampung,
bersiap untuk keadaan terburuk. Tampak tidak memungkinkan, Feri memutuskan
untuk membuang jangkar di muara. Berhenti sejenak untuk menunggu badai reda
kemudian lanjut keluar dari muara.
Suara
ombak dan decit kayu kapal terhempas gelombang terdengar menakutkan bagiku yang
baru pertama kali melakukan perjalanan laut selama ini. Satu per satu kawan
bertumbangan dan mengeluarkan isi perutnya. Aku yang belum pernah merasakan
mabuk perjalanan mulai merasa tak enak di bagian perut. Sebisa mungkin ku tahan
agar tidak muntah seperti kebanyakan kami. Berbagai cara kami lakukan untuk
menahan agar tidak muntah terlalu banyak. Seorang ABK menyarankan untuk minum
air laut agar tidak mabuk laut. Tanpa pikir panjang, kami mencoba menuruti
anjuran dari ABK itu. Entah karena sugesti atau memang sarannya tepat sebagian
kami merasa agak baikan. Satu lagi cara untuk mengurangi mabuk laut, yakni
harus berada di bagian atas kapal. Katanya kalau di atas, guncangan terasa
lebih ringan dibandingkan berada di dek bawah. Aku pun ikut sarannya, memang
guncangan berkurang namun mual dan pusing masih saja terasa. Tak tahan, ku
kembali di dek bawah kemudian mencoba untuk tiduran berharap bisa tidur beneran
dan hilang sudah penderitaan ini.
Gelombang
masih saja bergejolak, belum tampak tanda akan berakhir. Tak mau ambil risiko
besar, Feri memutuskan untuk kembali masuk sungai dan kemudian buang jangkar di
perairan sekitar RKI. Sejenak Feri menunggu dan mengamati situasi, akhirnya
memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sesampai di muara, badai belum
juga berlalu. Ombak besar masih saja tak bosan menggoda ketinting kami dengan gelombangnya
yang memabukkan. Lagi-lagi kami harus kembali mundur dan kembali buang jangkar
di tempat aman. Sempat berpikir untuk bermalam di RKI dulu sebelum melanjutkan
perjalanan, namun Feri memutuskan untuk
mencoba menembus muara sekali lagi. Percobaan ketiga ini sukses, ketinting
berhasil memasuki perairan lepas teluk Bintuni. Saat itu ombak di muara sudah
tidak sebesar tadi. Dibutuhkan usaha keras dari pagi sampai siang untuk
memasuki perairan lepas, sementara perjalanan masih panjang untuk menuju ke Otoweri.
porak poranda seusai badai |
Ombak
di teluk Bintuni saat itu relatif tenang, ketinting bisa melaju dengan normal.
Kamipun bisa menikmati perjalanan. Yang terlihat sepanjang perjalanan hanyalah
laut dan hutan bakau. Namun di kejauhan tampak bangunan besar seperti pabrik.
Setelah mendekat ternyata itu adalah pabrik LNG milik sebuah perusahaan asing.
Tempat pabrik itu berdiri dulunya adalah perkampungan yang diberi nama kampung
Tanah Merah. Sejak adanya pabrik, para penduduk direlokasi di beberapa tempat
dengan menerima kompensasi dalam jumlah tertentu.
Ketinting
terus melaju ke arah barat. Senja pun tiba, gelap semakin menyergap. Gelapnya
malam membuat Feri dan Om Karim kesulitan untuk menemukan muara Otoweri sebagai
tanda kalau kami sudah sampai di kampung Otoweri. Hampir saja kami salah
tujuan, namun akhirnya dapat kembali ke jalan yang benar berkat pengalaman kru
kapal. Jam 8 malam sampailah kami di muara Otoweri. Karena keadaan sudah gelap,
Feri memutuskan untuk menunda merapat ke kampung dan bermalam di atas
ketinting. Kami pun bermalam di atas muara dengan arus yang begitu tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar