Rabu, 01 November 2017

Belajar Toleransi dari Bapak Ibu Guru di Tomage

Bapak Ibu Guru dan Warga Tomage mengantar kepergian kami
Riuh ocehan bocah-bocah terdengar dari dalam gereja. Sabtu pagi adalah jadwal murid-murid SD YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) Santo Titus Tomage untuk jalan-jalan keliling kampung sekaligus bersih-bersih gereja. Usai membersihkan gereja, mereka melanjutkan perjalanan ke jetty/dermaga kampung. Sesekali mereka menyanyikan lagu-lagu rohani yang dibimbing oleh Pak Eli, salah satu guru di SD tersebut. Pria asal Ambon ini memang cukup fasih melantunkan lagu-lagu rohani. Kegiatan rekreasi ini rutin dilakukan untuk menghalau kejenuhan murid-murid setelah hampir seminggu belajar di kelas.           

gereja kampung Tomage
Tomage, sebuah kampung terpencil di pedalaman Fakfak ini dihuni oleh sekitar 60an KK hanya memiliki sebuah fasilitas pendidikan. Sekitar 60 siswa belajar di sekolah dasar tersebut diasuh oleh 4 orang guru dan seorang kepala sekolah. Seorang guru berasal dari yayasan, tiga guru lainnya merupakan guru bantu, serta seorang lagi kepala sekolah adalah transmigran dari Jawa. Keempat guru tinggal di rumah dinas yang disediakan yayasan, sedangkan kepala sekolah saat itu menetap di SP (daerah transmigrasi). Karena jarak yang jauh, tidak setiap hari Pak Kepsek datang ke sekolah.
SD Tomage terletak di ujung kampung. Tepat di samping sekolah, terdapat padang rumput dengan hutan sebagai batasnya. Pak Eli tinggal di rumah dinas sederhana bersama tiga guru lainnya di rumah tinggal guru yang sederhana.
sekolah
Diantara para guru tersebut Pak Eli lah yang paling muda dengan usia 25 tahun saat itu, sedangkan yang lain sudah berkepala tiga dan empat. Rumah tinggal guru terdiri dari dua buah rumah yang berdampingan dengan luas sekitar 5X7 meter untuk setiap rumah. Rumah tersebut terdiri dari dua kamar tidur, sebuah ruang tamu dan dapur, serta kamar mandi. Untuk keperluan air bersih biasanya mereka menggunakan air hujan. Namun jika tak ada hujan, mereka mengambil air dari sumur terdekat.
Saat itu, yayasan memang kekurangan guru di sekolah tersebut. Tidak mudah mendapatkan guru yang bersedia mengajar di tempat terpencil seperti ini, kampung kecil yang terisolasi. Jalan keluar dari kampung ini hanyalah sungai dan jalan setapak di tengah hutan. Sejak beberapa waktu yang lalu mereka mendapatkan tiga guru bantu yang berasal dari Fakfak dan Ambon. Sudah hampir setahun bagi ketiga guru bantu tersebut mengabdi di kampung ini. Terpencilnya kampung membuat mereka jarang sekali keluar kampung. Bahkan mereka bertiga harus rela berlebaran jauh dari keluarga.
Mengajar di tempat terpencil seperti ini menjadi tantangan bagi para guru, terutama bagi ketiga guru bantu. Dua dari tiga guru bantu itu adalah perempuan, meski mereka juga orang Papua tetapi kehidupan di kampung tentunya jauh berbeda dengan kehidupan di tempat asal mereka yaitu di kota Fakfak. Semua warga di kampung Tomage merupakan penduduk asli. Meskipun masih dalam satu kabupaten yaitu Fakfak, budaya mereka sangat berbeda. Diperlukan usaha yang keras untuk beradaptasi di lingkungan masyarakat yang homogen dan relatif terisolasi.
sungai adalah jalur transportasi utama warga Tomage
Warga Tomage cukup jarang keluar dari kampung. SP 1 (tempat tinggal para transmigran) merupakan kampung terdekat. Mereka biasa ke sana untuk keperluan belanja, itupun tidak tiap hari. Untuk menuju ke SP mereka harus mendayung sampan selama setengah jam, kemudian lanjut jalan kaki sekitar sejam. Kampung lain yang kadang mereka kunjungi adalah Otoweri yang terletak di muara sungai dengan jarak tempuh 2 jam menggunakan kapal motor. Bisa dibilang mereka relatif jarang berinteraksi dengan orang luar.
Namun sejak beberapa tahun terakhir isolasi kampung itu mulai terbuka. Dengan ditetapkannya Tomage menjadi daerah terdampak oleh salah satu perusahaan gas, membuat kampung ini seringkali dikunjungi oleh staf dari perusahaan tersebut. Bantuan pun berdatangan, infrastruktur kampung termasuk sekolah sudah diperbaiki.
Meskipun demikian masih terdapat banyak hal yang sulit diubah, terutama budaya. Meski relatif lebih terbuka, masih cukup sulit bagi orang asing untuk membangun kepercayaan dengan warga. Diperlukan waktu beberapa bulan bagi para guru bantu tersebut untuk mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat.
Baru beberapa bulan yang lalu, terjadi konflik antara seorang tokoh masyarakat dengan para guru. Bersama beberapa warga, mereka protes keras kepada para guru karena anak-anak mereka ditelantarkan selama beberapa hari. Sekolah memang sempat diliburkan beberapa hari karena para guru mengikuti tes CPNS di Fakfak.
Warga menginginkan kegiatan belajar anak-anak mereka berlangsung terus secara normal. Sementara para guru memiliki beberapa keperluan yang mengharuskan mereka keluar kampung dalam beberapa hari, bahkan minggu. Namun konflik kecil itu segera bisa diselesaikan secara baik-baik. Pada dasarnya warga sadar akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka dan menghargai pengabdian para guru.  
Selain beradaptasi dengan lingkungan sosial, sebagai pendidik mereka juga harus beradaptasi dengan kepercayaan yang dianut murid-muridnya. Suatu hal yang sensitif memang, tapi harus mereka hadapi. Bahkan Pak Eli berhasil menguasai beberapa lagu rohani dan mengajarkannya kepada anak-anak. Pak Eli merupakan lulusan sebuah perguruan tinggi jurusan Pendidikan Agama Islam. Untuk urusan pelajaran agama, sebenarnya sudah ditangani oleh seorang guru dari yayasan.
Namun tentunya beliau memerlukan bantuan untuk menangani semua siswa. Terasa aneh memang, seorang guru mengajar lagu rohani agama lain untuk murid-muridnya. Tapi sepertinya hal ini sudah biasa bagi para guru dan anak-anak muridnya. Orangtua justru senang ada guru yang bersedia mengabdi di kampung kecil terpencil ini. Tak ada pilihan bagi Pak Eli dan kawan-kawannya. Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keterbatasan yang menyertainya.     
Menjelang siang, anak-anak pun beranjak dari jetty menuju ke sekolah. Jarak dari jetty ke sekolah hanya sekitar 1 kilometer. Dibimbing para guru, mereka menyusuri jalan cor beton yang sudah berlubang di sana-sini. Terlihat gereja sudah bersih, siap digunakan untuk ibadah besok minggu.
Catatan Kecil:
jetty (dermaga) kampung Tomage
November 2013, kami berkesempatan untuk berkunjung ke sebuah kampung kecil di hulu sungai Otoweri, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Di sanalah kami bertemu dengan tiga guru yang menyambut dengan ramah ketika bertandang di sekolah, saat itu satu guru sedang cuti. Tak perlu waktu lama untuk akrab, terutama dengan Pak Eli yang hanya lebih tua setahun dari saya.
Di hari kedua pertemuan saya langsung disuruh langsung masuk ke dapur diajak makan dan disuguhi manisan buah pala buatan Ibu Guru. Pada suatu kesempatan, saya duduk sendiri di beranda sederhana rumah guru. Sambil memandang hamparan padang rumput dengan hutan sebagai batasnya. Mencoret-coret buku catatan, coba mengabadikan kenangan. Lalu tetiba Ibu Guru datang dan memecah keheningan. "Mas tulis-tulis apa?, tulis tentang Pak Eli ka pa? Hahaha...", tanya Bu Guru. "Ah.. sa cuma corat coret kertas saja Bu", jawab saya sekenanya.
 Itulah sa pu cerita tentang Pak Eli dan para guru lain yang tra bisa sa sebut satu-satu karena lupa. Mohon maaf, sa pu otak lemah mengingat nama. Ternyata benar dugaan Ibu Guru, akhirnya sa bisa tulis tentang Pak Eli (hanya nama beliau yang bisa sa ingat dan tulis.. hehe). Terima kasih Bapak Ibu Guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar