Kamis, 07 Januari 2016

Dan Akhirnya Sampai Juga di Papua

Bandara DEO Sorong, sebuah awal

Hutan, malaria, konflik, jauh, mahal, itulah lima kata yang terlintas di pikiranku tentang Irian Jaya atau saat ini dikenal dengan nama Papua. Suatu tempat di ujung timur Indonesia, tempat di mana hutan hujan tropis perawan terhampar luas dengan kekayaan alam seperti tanpa batas, namun sayang konflik masih mengisi berita tentang Papua. Dengan segala kelebihan dan kekurangannyannya Papua adalah tempat yang unik sekaligus menarik untuk dikunjungi. Sayangnya kondisi keuangan membuat pergi ke Papua hanya sebatas angan. Tak terbayangkan bagiku untuk sampai ke sana, yang katanya lebih mahal daripada ke Singapura atau Malaysia. Jangankan Papua, untuk bisa traveling ke Taman Nasional Baluran dan kawah Ijen aja harus nabung dan kerja 8 bulan dulu.

 
September 2013, lagi-lagi pekerjaan sebagai enumerator lah yang membawaku ke sana. Setelah tertunda beberapa hari, akhirnya pada 27 Oktober 2013 aku dan sejumlah kawan diberangkatkan ke Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat. Kami terbang dari Jogja jam 9 malam, transit di Surabaya sebentar kemudian dilanjutkan ke Makassar. Di bandara Sultan Hasanuddin transit selama tiga jam lebih. Waktu transit yang lama kami manfaatkan untuk keliling bandara sambil foto-foto, setelah capek tiduran sebentar di bangku ruang tunggu. Jam setengah lima subuh baru pesawat berangkat dari Makassar menuju Sorong. Perlahan sang surya mulai menampakkan wujudnya ketika pesawat berada di atas langit Maluku. Semburat cahaya merah terpancar di ujung cakrawala langit utara. Moncong pesawat menghadap ke arah timur, mungkin hanya pilot dan co pilot saja yang bisa menikmati sunrise di langit Maluku ini.

Bandara Domine Eduard Osok (DEO), Sorong pukul 7.55 WIT pesawat mendarat dengan selamat di landasan pacu. Beberapa bangunan kecil, dan menara pengawas berdiri di sekitar landasan. Setelah turun dari pesawat, kami langsung menuju ke ruang tunggu kedatangan. Sebuah ruangan kecil tanpa sekat, hanya ada sebuah konveyor bagasi, beberapa ruang kecil kantor maskapai penerbangan, dan toilet tentunya. Bangku yang tersedia sangat terbatas, para penumpang tak terkecuali kami harus duduk lesehan bersama barang bawaan yang seabreg sambil menunggu jemputan. Sungguh suasana yang kontras bila dibandingkan bandara tempat kami transit sebelumnya.

Sorong bukanlah tempat tujuan kami, namun karena penerbangan menuju Babo baru diberangkatkan esok hari kami menginap semalam di sini. Hotel tempat kami menginap letaknya tak jauh dari pantai. Malam harinya kami jalan-jalan ke Tembok Berlin. Ini bukanlah Tembok Berlin di Jerman yang terkenal itu, melainkan sebuah tempat di mana terdapat dinding penahan ombak yang cukup panjang. Adanya dinding yang panjang itu yang membuat orang sini menyebutnya Tembok Berlin. Di malam hari kawasan Tembok Berlin begitu ramai, banyak pedagang di sepanjang tembok. Daerah ini memang dikenal sebagai tempat nongkrongnya anak Sorong.

Pukul 7.45, pesawat twin otter yang kami tumpangi lepas landas dari bandara DEO menuju ke Babo. Tak sampai sejam kemudian, pesawat sudah mendarat di bandara Babo. Bandara ini cukup kecil, bisa dibilang lebih kecil dibandingkan dengan bandara di Sorong. Hanya ada sebuah bangunan kecil memanjang di pinggiran landasan. Di bagian atas bangunan itu tertulis “BANDAR UDARA BABO” dengan logo matahari di sampingnya yang merupakan lambang sebuah perusahaan gas. Bandara itu memang dikelola oleh perusahaan tersebut dan biasa digunakan untuk sebagai tempat transit para karyawannya sebelum kemudian menyebar ke beberapa lokasi tempat perusahaan beroperasi. Meskipun demikian, bandara ini juga dapat didarati pesawat komersial seperti yang kami tumpangi ini.

Bandara Babo tampak begitu sepi, wajar saja karena tak banyak penerbangan ke sini. Tak banyak pula orang yang datang melalui bandara ini kecuali para karyawan perusahaan, warga lokal yang beruntung, dan kami. Sepinya bandara membuat pengurusan bagasi cepat kelar dan kamipun bisa segera melanjutkan perjalanan. Keluar dari bandara, di kejauhan tampak seonggok besi tua yang berbentuk semacam setum. Besi tua karatan itu teronggok begitu saja di pojokan bandara, tak ada yang peduli padanya. Aku pun hanya bisa melihatnya dari kejauhan, tanpa ada minat untuk sekadar melihat lebih dekat sosok tua itu. Mungkin itu hanyalah alat perata aspal bekas biasa.

Setelah pulang ke Jogja baru aku tahu dari internet kalau ternyata itu si tua karatan itu adalah setum uap yang dipakai untuk membuat bandara Babo saat perang dunia kedua lalu. Bandara Babo awalnya dibangun Belanda untuk tujuan penerbangan sipil yang pada perkembangan selanjutnya diubah jadi lapangan terbang militer. Lapangan terbang ini juga sempat berpindah ke tangan Jepang dan menjadi basis militer strategis. Ternyata di balik sunyi bandara Babo menyimpan kisah sejarah panasnya perang Pasifik.

rongsokan pesawat bekas Perang Pasifik
Yah.. ngomong-ngomong udara di sini sangat panas. Sinar matahari sangat tidak ramah, begitu menyengat. Kering, sepanjang mata memandang hanya tampak padang rumput ilalang. Mana kampungnya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar