Bandara DEO Sorong, sebuah awal |
Hutan,
malaria, konflik, jauh, mahal, itulah lima kata yang terlintas di pikiranku
tentang Irian Jaya atau saat ini dikenal dengan nama Papua. Suatu tempat di
ujung timur Indonesia, tempat di mana hutan hujan tropis perawan terhampar luas
dengan kekayaan alam seperti tanpa batas, namun sayang konflik masih mengisi
berita tentang Papua. Dengan segala kelebihan dan kekurangannyannya Papua
adalah tempat yang unik sekaligus menarik untuk dikunjungi. Sayangnya kondisi
keuangan membuat pergi ke Papua hanya sebatas angan. Tak terbayangkan bagiku
untuk sampai ke sana, yang katanya lebih mahal daripada ke Singapura atau
Malaysia. Jangankan Papua, untuk bisa traveling ke Taman Nasional Baluran dan
kawah Ijen aja harus nabung dan kerja 8 bulan dulu.
September
2013, lagi-lagi pekerjaan sebagai enumerator lah yang membawaku ke sana. Setelah
tertunda beberapa hari, akhirnya pada 27 Oktober 2013 aku dan sejumlah kawan
diberangkatkan ke Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat. Kami terbang dari Jogja
jam 9 malam, transit di Surabaya sebentar kemudian dilanjutkan ke Makassar. Di
bandara Sultan Hasanuddin transit selama tiga jam lebih. Waktu transit yang
lama kami manfaatkan untuk keliling bandara sambil foto-foto, setelah capek
tiduran sebentar di bangku ruang tunggu. Jam setengah lima subuh baru pesawat
berangkat dari Makassar menuju Sorong. Perlahan sang surya mulai menampakkan
wujudnya ketika pesawat berada di atas langit Maluku. Semburat cahaya merah
terpancar di ujung cakrawala langit utara. Moncong pesawat menghadap ke arah
timur, mungkin hanya pilot dan co pilot saja yang bisa menikmati sunrise di
langit Maluku ini.
Bandara
Domine Eduard Osok (DEO), Sorong pukul 7.55 WIT pesawat mendarat dengan selamat
di landasan pacu. Beberapa bangunan kecil, dan menara pengawas berdiri di
sekitar landasan. Setelah turun dari pesawat, kami langsung menuju ke ruang
tunggu kedatangan. Sebuah ruangan kecil tanpa sekat, hanya ada sebuah konveyor
bagasi, beberapa ruang kecil kantor maskapai penerbangan, dan toilet tentunya.
Bangku yang tersedia sangat terbatas, para penumpang tak terkecuali kami harus
duduk lesehan bersama barang bawaan yang seabreg sambil menunggu jemputan.
Sungguh suasana yang kontras bila dibandingkan bandara tempat kami transit sebelumnya.
Sorong
bukanlah tempat tujuan kami, namun karena penerbangan menuju Babo baru
diberangkatkan esok hari kami menginap semalam di sini. Hotel tempat kami
menginap letaknya tak jauh dari pantai. Malam harinya kami jalan-jalan ke
Tembok Berlin. Ini bukanlah Tembok Berlin di Jerman yang terkenal itu,
melainkan sebuah tempat di mana terdapat dinding penahan ombak yang cukup
panjang. Adanya dinding yang panjang itu yang membuat orang sini menyebutnya
Tembok Berlin. Di malam hari kawasan Tembok Berlin begitu ramai, banyak
pedagang di sepanjang tembok. Daerah ini memang dikenal sebagai tempat
nongkrongnya anak Sorong.
Pukul
7.45, pesawat twin otter yang kami tumpangi lepas landas dari bandara DEO
menuju ke Babo. Tak sampai sejam kemudian, pesawat sudah mendarat di bandara
Babo. Bandara ini cukup kecil, bisa dibilang lebih kecil dibandingkan dengan
bandara di Sorong. Hanya ada sebuah bangunan kecil memanjang di pinggiran
landasan. Di bagian atas bangunan itu tertulis “BANDAR UDARA BABO” dengan logo
matahari di sampingnya yang merupakan lambang sebuah perusahaan gas. Bandara
itu memang dikelola oleh perusahaan tersebut dan biasa digunakan untuk sebagai
tempat transit para karyawannya sebelum kemudian menyebar ke beberapa lokasi
tempat perusahaan beroperasi. Meskipun demikian, bandara ini juga dapat
didarati pesawat komersial seperti yang kami tumpangi ini.
Bandara
Babo tampak begitu sepi, wajar saja karena tak banyak penerbangan ke sini. Tak
banyak pula orang yang datang melalui bandara ini kecuali para karyawan perusahaan,
warga lokal yang beruntung, dan kami. Sepinya bandara membuat pengurusan bagasi
cepat kelar dan kamipun bisa segera melanjutkan perjalanan. Keluar dari
bandara, di kejauhan tampak seonggok besi tua yang berbentuk semacam setum.
Besi tua karatan itu teronggok begitu saja di pojokan bandara, tak ada yang
peduli padanya. Aku pun hanya bisa melihatnya dari kejauhan, tanpa ada minat
untuk sekadar melihat lebih dekat sosok tua itu. Mungkin itu hanyalah alat
perata aspal bekas biasa.
Setelah
pulang ke Jogja baru aku tahu dari internet kalau ternyata itu si tua karatan
itu adalah setum uap yang dipakai untuk membuat bandara Babo saat perang dunia
kedua lalu. Bandara Babo awalnya dibangun Belanda untuk tujuan penerbangan
sipil yang pada perkembangan selanjutnya diubah jadi lapangan terbang militer. Lapangan
terbang ini juga sempat berpindah ke tangan Jepang dan menjadi basis militer
strategis. Ternyata di balik sunyi bandara Babo menyimpan kisah sejarah
panasnya perang Pasifik.
rongsokan pesawat bekas Perang Pasifik |
Yah..
ngomong-ngomong udara di sini sangat panas. Sinar matahari sangat tidak ramah,
begitu menyengat. Kering, sepanjang mata memandang hanya tampak padang rumput
ilalang. Mana kampungnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar