Selasa, 17 April 2018

Jalan Panjang dari Ketapang ke Manismata


jalan panjang 
Perjalanan Panjang (2014)

Menjelang siang, dengan membawa barang seperlunya kami beragkat ke Manismata diantar pakai motor. Katanya jarak Ketapang – Manismata lebih dari 200 km. Jika pakai motor dapat ditempuh 4 hingga 6 jam perjalanan tergantung kondisi jalan dan kehandalan pemotor. Ada alternatif lain sebenarnya yaitu naik "Susi Air" dari Ketapang turun di lapangan terbang Harapan (milik sebuah perusahaan sawit) di Manismata. Meski terbilang mahal, harga tiket pesawat pun tak beda jauh dengan ongkos ojek Ketapang – Manismata. Namun sayangnya jadwal keberangkatan pesawat seminggu sekali. Tak ada waktu untuk menunggu jadwal pesawat itu.


Jalan aspal mulus masih memanjakan perjalanan selama berada di area kota. Setelah lewat perbatasan, jalan berlubang di sana-sini membuat motor meliuk-liuk berusaha menghindari lubang besar. Matahari panas menyengat, namun semilir angin laut sedikit menjadi penawar sengatannya. Tibalah kami di jalan pinggir pantai yang panjang membentang. Lurus hingga batas cakrawala seakan jalan ini tak ada habisnya. Antara lautan dan jalan nyaris tak ada penghalang, hanya ada pepohonan yang jarang-jarang dan semak-semak di tepi pantai. Angin laut selat Karimata dengan leluasa menerpa, kadang sedikit menggoyahkan motor yang melaju kencang.

Jalan aspal berakhir di suatu perkampungan, berganti dengan jalan tanah merah. Tekstur tanah sedikit lembab menyisakan bekas hujan semalam. Awal musim kemarau September 2014, hujan sesekali turun sekadar membasahi tanah sebentar saja. Laju motor masih sekencang tadi, tak peduli medan yang dilalui sekarang adalah tanah merah bertabur kerikil dan bebatuan kecil. Alhasil debu-debu merah jalanan beterbangan setelah diusik roda motor yang menggilasnya tanpa ampun. Sesekali laju motor terhambat oleh truk atau mobil yang bergerak relatif lambat. Debu-debu merah akan terhempas ke badan kami. Kadang debu-debu halus terhirup atau masuk ke mata meski wajah sudah tertutup kaca helm. Kalau sudah begini, pemotor harus segera melepaskan diri dari penderitaan dengan cara menyalip kendaraan di depan. 
rest area, Pagar Mentimun

Sekitar 2,5 jam perjalanan kami mampir untuk istirahat sejenak di warung pinggir pantai. Pagar Mentimun, begitu orang menyebut daerah ini. Dilalui jalan provinsi dan lokasinya yang sedikit adem membuat tempat ini strategis dijadikan tempat singgah. Pepohonan mengisi ruang kosong di sela-sela rumah dan warung yang berderet di tepi jalan. Sementara itu pohon cemara udang tumbuh di sepanjang pantai, memberi kesejukan di tengah panasnya udara pantai. Es kelapa muda membasahi tenggorokan yang sedari tadi mengering. Sangat menyegarkan, terasa sejuk di bawah pohon namun tetap dikawani debu-debu merah yang beterbangan akibat laju kendaraan.

Dirasa cukup istirahatnya, perjalanan dilanjutkan menuju arah Kendawangan. Masih lewat jalan yang sama, tanah merah berdebu. Jaket dan celana makin tebal selimut debunya. Untung aku pakai masker dari kain sehingga bisa sedikit meredam hempasan debu meski entah kenapa masih aja ada debu halus yang lolos masuk ke mulut. Tapi tetap saja, mata yang tak terlindungi terasa perih kemasukan debu. Kaca helm tak sanggup menangkal debu-debu yang beterbangan. Hampir dua jam kemudian sampailah kami di pertigaan Sungai Gantang. Banyak warung dan pertokoan di sekitar persimpangan, di sinilah tempat singgah kami selanjutnya.

Selepas makan siang, kami pun istirahat sebentar di Sungai Gantang. Katanya, ini masih setengah jalan. Padahal tulang-tulang ini rasanya sudah mau rontok karena guncangan selama perjalanan. Belum lagi mata yang terasa perih akibat kemasukan debu. Melihat kawan beli kacamata, aku pun ikutan beli di toko sebelah warung makan. Kacamata “gaul” berlensa pelangi itu aku kenakan saat perjalanan kembali dilanjutkan. Kini lengkap sudah pertahanan diri dari ancaman si debu-debu merah.

Kembali motor melaju di jalan tanah merah berdebu. Kali ini permukaan jalan tampak lebih tidak rata. Terdapat lubang dan gundukan di sana-sini, tak ada tempat untuk menghindar. Tak ada pilihan lain kecuali menerabas semua halangan itu. Untungnya pengendara motor yang kami tumpangi sudah lihai karena sering melalui jalur Ketapang – Manismata. Di pinggir jalan tampak tanah lapang yang kering kerontang, dan di kejauhan terlihat bukit dengan pohon-pohonnya yang hangus terbakar. Masih tersisa beberapa pohon di sekitar jalan. Pepohonan yang daun-daunnya tampak suram kemerahan berselimut debu.

Setelah melewati perkampungan tampak jembatan panjang yang sepertinya baru dibangun. Beberapa ratus meter sebelum jembatan, ada beberapa warga yang duduk-duduk di tengah jalan sambil memegang semacam ember kecil. Para pengendara yang melintas sudah mafhum apa mau mereka duduk di tengah jalan. Sembari melintas dimasukkanlah sejumlah uang ke ember kecil yang dipegang salah seorang warga. Untuk motor dikenakan 2 ribu, sedangkan mobil 10 ribu itulah kesepakatan tak tertulis yang mereka buat sepihak. Beberapa waktu yang lalu, memang belum ada jembatan di sini. Jadi untuk menyeberang sungai, biasanya memanfaatkan jasa perahu tambang/penyeberangan yang dikelola warga sekitar. Jalur perlintasan ini terbilang ramai sehingga warga sekitar mendapat manfaat besar dari jasa penyeberangan ini. Namun sejak dibangunnya jembatan, secara otomatis memutus pendapatan mereka. Jadi mungkin pungli ini mereka lakukan sebagai kompensasi akibat hilangnya mata pencaharian dari jasa penyeberangan.          
area tambang bauksit

Sekitar sejam perjalanan dari jembatan, kami melewati pabrik pengolahan Bauksit di Kendawangan. Jalanan di sekitar pabrik ini relatif lebih mulus dibanding jalan di kebun sawit tadi. Sesekali melintas truk sawit dari arah berlawanan, sesaat kemudian debu-debu merah berhamburan. Katanya, kalau pabrik sedang beroperasi biasanya tiap sore jalan ini selalu disiram air. Sehingga kondisi jalan cukup lembab dan mengurangi debu. Jalan yang kami lalui ini adalah milik perusahaan tambang bauksit yang digunakan untuk lalu lintas truk pengangkut hasil tambang. Matahari sudah condong ke barat, memancarkan cahaya kuning kemerahan. Menciptakan kesan gurun pasir saat sinarnya menerpa area pabrik bauksit. Berasa seperti ada di tengah gurun, Gurun Kalimantan.

Di sebelah kanan kiri jalan terhampar padang luas. Tanah putih, nyaris tak ada tumbuhan di sana. Hanya terlihat gundukan tanah putih di beberapa tempat. Di sinilah tempat penambangan bauksit berada. Jika sedang beroperasi akan banyak kendaraan proyek berlalu-lalang di sekitar sini. Namun kini tempat itu sepi, hampir tak terlihat kegiatan di sana. Kabarnya ada sedikit masalah antara pengelola tambang dengan warga sekitar sehingga untuk sementara aktivitas tambang dihentikan.

Selepas pabrik bauksit, kami memasuki area pabrik pengolahan sawit yang cukup besar. Kemudian dengan mengikuti jalan perusahaan sampailah kami kembali di area kebun sawit. Sebagian besar jalan di pedalaman seperti ini dulunya dibuat oleh perusahaan sawit dan bauksit. Sebelumnya tak ada jalan darat di sini. Hanya ada 2 pilihan, lewat sungai atau jalan setapak tengah hutan. Sehingga untuk menuju ke daerah hulu seperti Manismata butuh waktu hingga berhari-hari dari Ketapang atau kota terdekat lain. Sekarang, sejak dibangunnya jalan dan jembatan waktu tempuh dari Ketapang ke Manismata “cuma” 4 hingga 6 jam saja.
meniti jembatan kayu

Malam menjelang, kami singgah sebentar di Air Upas untuk makan malam. Air Upas merupakan kota kecamatan sehingga jika malam cukup terang karena sudah masuk listrik PLN yang menyala saat malam. Air Upas juga dilewati jalan Provinsi dan menjadi perlintasan yang cukup ramai. Kondisi jalan Provinsi yang masih berupa tanah merah, sekilas tampak sama dengan jalan kebun sawit yang ada di sekitarnya. Jalur tiang listriklah yang jadi penanda itu jalan provinsi atau sekadar jalan kebun sawit. Buat orang baru, mengikuti jalur tiang listrik adalah pilihan aman dan dijamin tak akan tersesat dan terjebak di tengah kebun sawit.
labirin sawit

Seusai rehat sebentar di Air Upas, kembali dilanjutkan perjalanan. Untuk menyingkat waktu perjalanan, kami lewat jalan pintas melalui “labirin” sawit. Jalan di tengah kebun sawit dengan banyak simpang, jika tidak terbiasa maka akan tersesat. Seperti labirin memang, karena jalan yang bersimpang itu tampak serupa dan saling terhubung sehingga tak direkomendasikan untuk orang baru dan pelupa. Jalan cukup sempit dan becek sehingga sangat licin karena berupa tanah merah. Beberapa kali motor mengalami selip tapi segera bisa dikendalikan karena kehandalan berkendara mereka sudah teruji.

Jam 20.30 akhirnya kami sampai di kota Manismata. Total 9,5 jam perjalanan dari Ketapang ke Manismata. Jauh lebih lambat dari perkiraan waktu yang “hanya” 6 jam. Padahal rasanya motor sudah dipacu begitu kencang. Tapi katanya itu tadi tergolong nyantai dan banyak istirahat. Duh.. jadi perjalanan yang merontokkan tulang dan lewat tanah merah berdebu, berbatu, berlubang, berpasir, dan berbatu, dibilang nyantai. Oke.. berarti orang sini hidupnya nyantai banget.



Lapangan Terbang (2016)

Pada bulan Juni 2016 saya berkesempatan kembali mengunjungi Manismata. Tapi rute yang ditempuh kali ini melalui Pangkalan Bun. Dari Bandar Udara Iskandar, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke Manismata. Terpaut 2 jam dari jarak Ketapang - Manismata, tak heran jika warga Manismata lebih sering pergi ke Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah) daripada ke ibukota kabupaten (Ketapang). Katanya jalan provinsi Ketapang - Manismata sudah diperbaiki. Aspal sudah tembus hingga wilayah Sungai Gantang, selebihnya masih berupa tanah merah seperti yang dulu. 

Sebenarnya ada pilihan transportasi alternatif yang lebih cepat dan nyaman yaitu menggunakan pesawat kecil dengan rute Ketapang - Manismata PP. Sudah sejak beberapa tahun lalu rute ini dibuka karena memang di Manismata ada lapangan terbang. Terdapat beberapa bangunan kecil semi permanen di samping landasan pacu yang berupa tanah dikeraskan. Panjang landasan hanya sekitar 1 km, memang diperuntukkan bagi pesawat perintis. Hanya ada plang kayu bertuliskan "Lapangan Terbang Harapan" yang tersembunyi di semak-semak menandakan fungsi dari tempat itu. Lapangan terbang ini dulunya milik sebuah perusahaan sawit, tapi sejak 2005 dihibahkan ke Pemkab Ketapang. 

Rute penerbangan ini dijadwalkan seminggu dua kali. Harga tiket pesawat itu normalnya sekitar 429 ribu, lebih mahal 29 ribu dibanding biaya naik mobil travel. Sepertinya selisih 29 ribu tak ada artinya karena bisa menghilangkan "keterguncangan" akibat naik mobil di jalan tanah merah berbatu diselingi jalan aspal berlubang sana-sini. Selain itu waktu perjalanan yang tadinya mencapai 5 - 6 jam bisa terpangkas menjadi tak lebih dari 40 menit. 
Lapangan Terbang Harapan, Manismata

Adanya rute penerbangan ini tentunya menjadi pilihan menarik bagi warga karena menawarkan kenyamanan dan tentunya kecepatan. Terlebih harga yang ditawarkan tak jauh beda dengan biaya mobil travel. Bahkan kabarnya kini ada subsidi dari pemerintah sehingga penumpang hanya tinggal membayar 200-an ribu saja. Namun tampaknya tak banyak warga yang mengakses penerbangan ini. Hingga saat ini warga masih setia melalui jalan provinsi yang memprihatinkan itu.   


yang Terlewatkan (2018)

suatu pantai di tepi jalan raya Ketapang - Kendawangan

Tahun 2018, untuk ketiga kalinya saya kembali ke Manismata. Namun kali ini hanya singgah sebentar, sekadar untuk cari sinyal. Maklum saja, saat itu kami ditugaskan di salah satu desa paling ujung di kecamatan Kendawangan yang susah sinyal. Desa Danau Buntar, berjarak sekitar sejam perjalanan dari kota kecamatan Manismata. Posisi desa itu lebih dekat ke Manismata dibanding dengan kota kecamatan Kendawangan yang berjarak 6 jam perjalanan dengan kondisi jalan buruk. Menumpang mobil salah seorang warga, kami menuju Manismata. Setiap akhir pekan, mereka menjemput tiga anak yang sekolah di salah satu SMP.

Kini muncul beberapa kafe kekinian bersanding dengan beberapa warung kopi. Selebihnya hampir tak ada perbedaan dibanding dua tahun yang lalu. Di akhir pekan seperti ini, Manismata diramaikan oleh mobil-mobil perusahaan. Akhir pekan menjadi waktu liburan bagi para staf dan manajer setelah hampir seminggu berada di tengah hutan sawit yang membosankan. Manismata jadi alternatif pilihan tempat liburan selain kota Ketapang atau Pangkalan Bun.
Manismata seusai hujan, mobil-mobil perusahaan berjajar di sisi jalan

Di kesempatan ketiga ini, saya kembali melewati rute darat dari kota Ketapang. Namun tujuannya bukan ke Manismata, melainkan ke beberapa desa di kecamatan Kendawangan. Untuk menuju desa pertama, rute yang dilalui sama seperti jalan menuju Manismata. Dari kota Ketapang menyisir pantai selatan Kalimantan, melewati Pagar Mentimun kemudian Sungai Gantang. Di sepanjang jalan terlihat pantai berpasir hitam berair keruh dan diselingi hutan bakau, sepintas nampak tidak menarik. Namun terdapat beberapa lokasi yang menarik untuk dikunjungi seperti Pagar Mentimun dan Padang 12.

Terletak di jalur lintas utama dan satu-satunya dari Ketapang ke Kendawangan dan Manis Mata, Pagar Mentimun menjadi salah satu titik persinggahan. Di sini terdapat beberapa warung yang menyediakan berbagai pilihan makanan dan minuman. Di Pagar Mentimun ini juga terdapat sebuah dermaga yang cukup instagramable. Tepat di seberang Pagar Mentimun, terdapat area Padang 12 yang terkenal dengan mistisnya. Konon di sana terdapat perkampungan yang ditinggali makhluk tak kasat mata namun menyerupai manusia. Bagi orang Kalimantan Barat, Padang 12 dikenal sebagai tempat angker dengan banyak versi cerita yang menguatkan keangkerannya. Ada yang bilang asal usul dinamakan Padang 12 karena area tersebut membentang sepanjang 12 kilometer. Di sepanjang area tersebut memang tidak ada bangunan, yang terlihat hanyalah padang rumput dengan batas barisan pepohonan di kejauhan. Konon katanya di balik pohon-pohon itu perkampungan makhluk gaib berada.    

Berbeda dengan empat tahun lalu, kali ini saya merasa nyaman menikmati mulusnya jalan aspal. Tapi kenyamanan itu hilang seketika setelah melewati ujung aspal terakhir beberapa kilometer dari Sungai Gantang. Selebihnya masih sama seperti dulu, jalan tanah merah yang berdebu saat kering dan ambyar saat basah. Kerikil, batu, dan lubang terangkai secara acak di sepanjang jalan yang katanya berstatus sebagai jalan provinsi.


menanti senja di atas jembatan Kelampai

Sekitar sejam kami merasakan guncangan demi guncangan, kalau tidak demikian namanya bukan daerah pedalaman. Kelampai adalah tujuan pertama kami, di daerah ini terdapat jembatan yang melintang di atas sungai Kendawangan. Kembali teringat empat tahun silam ketika melintas di jembatan Kelampai ini. Dulu untuk melintasinya kita harus memberikan sejumlah uang kepada warga yang berjaga di ujung jembatan. Mungkin mereka hanya kaget saja mendapati kenyataan bahwa dengan adanya jembatan baru berakibat hilangnya pekerjaan sebagai penyedia jasa penyeberangan. Sekarang sudah tidak ada lagi pungli semacam itu di jembatan Kelampai. Kita bebas melintas, termasuk bisa dengan leluasa menikmati senja. 

senja yang dinanti

8 komentar:

  1. manismata 1999 masih terkenang... tahun 1998 ada angkutan bus jurusan manismata menuju ketapang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saat saya ke sana tahun 2016 jumpa Damri Ketapang-Manismata PP, tapi sepertinya sepi penumpang. Entah sekarang masih ada atau tidak.

      Hapus
  2. teringat tahun 2011 perjalanan dr pontianak ke sampit lewat jalur ini hingga 2 hari ..sungguh perjalanan yg sangat melelahkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah.. jaman itu belum ada jembatan Tayan juga ya. Harus nyebrang sungai Kapuas pake kapal penyeberangan

      Hapus
  3. Ada yang tinggal di air Upas disini . Tlong saya mau kesana mencari seseorang hanya tidak tempat dia tinggal . Seingat saya di AirUpas SP2

    BalasHapus
  4. Manis mata, seolah tdk punya harapan memiliki jalan yg layak dan bisa disebut jalan.. Kami warga kootawaringin Lama seolah keluar negeri ketika masuk wil manis mata dan air upas.
    Debu, lumpur dan jalan tanah. Berbeada dgn wilayah kalteng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Pak, saat masuk Manismata dari Kalteng memang sangat terasa perbedaannya. Banyak warga di sana juga mengeluhkan buruknya akses jalan.

      Hapus