jalan panjang |
Perjalanan Panjang (2014)
Menjelang siang, dengan membawa barang seperlunya kami beragkat ke Manismata diantar pakai motor. Katanya jarak Ketapang – Manismata lebih dari 200 km. Jika pakai motor dapat ditempuh 4 hingga 6 jam perjalanan tergantung kondisi jalan dan kehandalan pemotor. Ada alternatif lain sebenarnya yaitu naik "Susi Air" dari Ketapang turun di lapangan terbang Harapan (milik sebuah perusahaan sawit) di Manismata. Meski terbilang mahal, harga tiket pesawat pun tak beda jauh dengan ongkos ojek Ketapang – Manismata. Namun sayangnya jadwal keberangkatan pesawat seminggu sekali. Tak ada waktu untuk menunggu jadwal pesawat itu.
Menjelang siang, dengan membawa barang seperlunya kami beragkat ke Manismata diantar pakai motor. Katanya jarak Ketapang – Manismata lebih dari 200 km. Jika pakai motor dapat ditempuh 4 hingga 6 jam perjalanan tergantung kondisi jalan dan kehandalan pemotor. Ada alternatif lain sebenarnya yaitu naik "Susi Air" dari Ketapang turun di lapangan terbang Harapan (milik sebuah perusahaan sawit) di Manismata. Meski terbilang mahal, harga tiket pesawat pun tak beda jauh dengan ongkos ojek Ketapang – Manismata. Namun sayangnya jadwal keberangkatan pesawat seminggu sekali. Tak ada waktu untuk menunggu jadwal pesawat itu.
Jalan aspal mulus masih
memanjakan perjalanan selama berada di area kota. Setelah lewat perbatasan,
jalan berlubang di sana-sini membuat motor meliuk-liuk berusaha menghindari
lubang besar. Matahari panas menyengat, namun semilir angin laut sedikit
menjadi penawar sengatannya. Tibalah kami di jalan pinggir pantai yang panjang
membentang. Lurus hingga batas cakrawala seakan jalan ini tak ada habisnya.
Antara lautan dan jalan nyaris tak ada penghalang, hanya ada pepohonan yang
jarang-jarang dan semak-semak di tepi pantai. Angin laut selat Karimata dengan
leluasa menerpa, kadang sedikit menggoyahkan motor yang melaju kencang.
Jalan aspal berakhir di suatu
perkampungan, berganti dengan jalan tanah merah. Tekstur tanah sedikit lembab
menyisakan bekas hujan semalam. Awal musim kemarau September 2014, hujan sesekali turun sekadar membasahi tanah sebentar saja. Laju motor masih sekencang tadi, tak peduli medan
yang dilalui sekarang adalah tanah merah bertabur kerikil dan bebatuan kecil.
Alhasil debu-debu merah jalanan beterbangan setelah diusik roda motor yang
menggilasnya tanpa ampun. Sesekali laju motor terhambat oleh truk atau mobil
yang bergerak relatif lambat. Debu-debu merah akan terhempas ke badan kami. Kadang
debu-debu halus terhirup atau masuk ke mata meski wajah sudah tertutup kaca
helm. Kalau sudah begini, pemotor harus segera melepaskan diri dari penderitaan
dengan cara menyalip kendaraan di depan.
rest area, Pagar Mentimun |
Sekitar 2,5 jam perjalanan kami
mampir untuk istirahat sejenak di warung pinggir pantai. Pagar Mentimun, begitu
orang menyebut daerah ini. Dilalui jalan provinsi dan lokasinya yang sedikit
adem membuat tempat ini strategis dijadikan tempat singgah. Pepohonan mengisi
ruang kosong di sela-sela rumah dan warung yang berderet di tepi jalan.
Sementara itu pohon cemara udang tumbuh di sepanjang pantai, memberi kesejukan
di tengah panasnya udara pantai. Es kelapa muda membasahi tenggorokan yang
sedari tadi mengering. Sangat menyegarkan, terasa sejuk di bawah pohon namun
tetap dikawani debu-debu merah yang beterbangan akibat laju kendaraan.
Dirasa cukup istirahatnya, perjalanan
dilanjutkan menuju arah Kendawangan. Masih lewat jalan yang sama, tanah merah
berdebu. Jaket dan celana makin tebal selimut debunya. Untung aku pakai masker
dari kain sehingga bisa sedikit meredam hempasan debu meski entah kenapa masih
aja ada debu halus yang lolos masuk ke mulut. Tapi tetap saja, mata yang tak
terlindungi terasa perih kemasukan debu. Kaca helm tak sanggup menangkal
debu-debu yang beterbangan. Hampir dua jam kemudian sampailah kami di pertigaan
Sungai Gantang. Banyak warung dan pertokoan di sekitar persimpangan, di sinilah
tempat singgah kami selanjutnya.
Selepas makan siang, kami pun
istirahat sebentar di Sungai Gantang. Katanya, ini masih setengah jalan. Padahal tulang-tulang
ini rasanya sudah mau rontok karena guncangan selama perjalanan. Belum lagi mata
yang terasa perih akibat kemasukan debu. Melihat kawan beli kacamata, aku pun
ikutan beli di toko sebelah warung makan. Kacamata “gaul” berlensa pelangi itu
aku kenakan saat perjalanan kembali dilanjutkan. Kini lengkap sudah pertahanan
diri dari ancaman si debu-debu merah.
Kembali motor melaju di jalan
tanah merah berdebu. Kali ini permukaan jalan tampak lebih tidak rata. Terdapat
lubang dan gundukan di sana-sini, tak ada tempat untuk menghindar. Tak ada
pilihan lain kecuali menerabas semua halangan itu. Untungnya pengendara motor
yang kami tumpangi sudah lihai karena sering melalui jalur Ketapang –
Manismata. Di pinggir jalan tampak tanah lapang yang kering kerontang, dan di
kejauhan terlihat bukit dengan pohon-pohonnya yang hangus terbakar. Masih tersisa
beberapa pohon di sekitar jalan. Pepohonan yang daun-daunnya tampak suram
kemerahan berselimut debu.
Setelah melewati perkampungan tampak
jembatan panjang yang sepertinya baru dibangun. Beberapa ratus meter sebelum
jembatan, ada beberapa warga yang duduk-duduk di tengah jalan sambil memegang
semacam ember kecil. Para pengendara yang melintas sudah mafhum apa mau mereka
duduk di tengah jalan. Sembari melintas dimasukkanlah sejumlah uang ke ember
kecil yang dipegang salah seorang warga. Untuk motor dikenakan 2 ribu,
sedangkan mobil 10 ribu itulah kesepakatan tak tertulis yang mereka buat
sepihak. Beberapa waktu yang lalu, memang belum ada jembatan di sini. Jadi
untuk menyeberang sungai, biasanya memanfaatkan jasa perahu
tambang/penyeberangan yang dikelola warga sekitar. Jalur perlintasan ini terbilang
ramai sehingga warga sekitar mendapat manfaat besar dari jasa penyeberangan
ini. Namun sejak dibangunnya jembatan, secara otomatis memutus pendapatan
mereka. Jadi mungkin pungli ini mereka lakukan sebagai kompensasi akibat
hilangnya mata pencaharian dari jasa penyeberangan.
area tambang bauksit |
Sekitar sejam perjalanan dari
jembatan, kami melewati pabrik pengolahan Bauksit di Kendawangan. Jalanan di
sekitar pabrik ini relatif lebih mulus dibanding jalan di kebun sawit tadi.
Sesekali melintas truk sawit dari arah berlawanan, sesaat kemudian debu-debu
merah berhamburan. Katanya, kalau pabrik sedang beroperasi biasanya tiap sore
jalan ini selalu disiram air. Sehingga kondisi jalan cukup lembab dan
mengurangi debu. Jalan yang kami lalui ini adalah milik perusahaan tambang
bauksit yang digunakan untuk lalu lintas truk pengangkut hasil tambang.
Matahari sudah condong ke barat, memancarkan cahaya kuning kemerahan.
Menciptakan kesan gurun pasir saat sinarnya menerpa area pabrik bauksit. Berasa
seperti ada di tengah gurun, Gurun Kalimantan.
Di sebelah kanan kiri jalan terhampar padang luas. Tanah putih, nyaris tak ada tumbuhan di sana. Hanya terlihat gundukan tanah putih di beberapa tempat. Di sinilah tempat penambangan bauksit berada. Jika sedang beroperasi akan banyak kendaraan proyek berlalu-lalang di sekitar sini. Namun kini tempat itu sepi, hampir tak terlihat kegiatan di sana. Kabarnya ada sedikit masalah antara pengelola tambang dengan warga sekitar sehingga untuk sementara aktivitas tambang dihentikan.
Selepas pabrik bauksit, kami memasuki area pabrik pengolahan sawit yang cukup besar. Kemudian dengan mengikuti jalan perusahaan sampailah kami kembali di area kebun sawit. Sebagian besar jalan di pedalaman seperti ini dulunya dibuat oleh perusahaan sawit dan bauksit. Sebelumnya tak ada jalan darat di sini. Hanya ada 2 pilihan, lewat sungai atau jalan setapak tengah hutan. Sehingga untuk menuju ke daerah hulu seperti Manismata butuh waktu hingga berhari-hari dari Ketapang atau kota terdekat lain. Sekarang, sejak dibangunnya jalan dan jembatan waktu tempuh dari Ketapang ke Manismata “cuma” 4 hingga 6 jam saja.
Selepas pabrik bauksit, kami memasuki area pabrik pengolahan sawit yang cukup besar. Kemudian dengan mengikuti jalan perusahaan sampailah kami kembali di area kebun sawit. Sebagian besar jalan di pedalaman seperti ini dulunya dibuat oleh perusahaan sawit dan bauksit. Sebelumnya tak ada jalan darat di sini. Hanya ada 2 pilihan, lewat sungai atau jalan setapak tengah hutan. Sehingga untuk menuju ke daerah hulu seperti Manismata butuh waktu hingga berhari-hari dari Ketapang atau kota terdekat lain. Sekarang, sejak dibangunnya jalan dan jembatan waktu tempuh dari Ketapang ke Manismata “cuma” 4 hingga 6 jam saja.
meniti jembatan kayu |
Malam menjelang, kami singgah
sebentar di Air Upas untuk makan malam. Air Upas merupakan kota kecamatan
sehingga jika malam cukup terang karena sudah masuk listrik PLN yang menyala
saat malam. Air Upas juga dilewati jalan Provinsi dan menjadi perlintasan yang
cukup ramai. Kondisi jalan Provinsi yang masih berupa tanah merah, sekilas
tampak sama dengan jalan kebun sawit yang ada di sekitarnya. Jalur tiang
listriklah yang jadi penanda itu jalan provinsi atau sekadar jalan kebun sawit.
Buat orang baru, mengikuti jalur tiang listrik adalah pilihan aman dan dijamin
tak akan tersesat dan terjebak di tengah kebun sawit.
labirin sawit |
Seusai rehat sebentar di Air
Upas, kembali dilanjutkan perjalanan. Untuk menyingkat waktu perjalanan, kami
lewat jalan pintas melalui “labirin” sawit. Jalan di tengah kebun sawit dengan
banyak simpang, jika tidak terbiasa maka akan tersesat. Seperti labirin memang,
karena jalan yang bersimpang itu tampak serupa dan saling terhubung sehingga
tak direkomendasikan untuk orang baru dan pelupa. Jalan cukup sempit dan becek
sehingga sangat licin karena berupa tanah merah. Beberapa kali motor mengalami
selip tapi segera bisa dikendalikan karena kehandalan berkendara mereka sudah
teruji.
Jam 20.30 akhirnya kami sampai di kota Manismata. Total
9,5 jam perjalanan dari Ketapang ke Manismata. Jauh lebih lambat dari perkiraan
waktu yang “hanya” 6 jam. Padahal rasanya motor sudah dipacu begitu kencang.
Tapi katanya itu tadi tergolong nyantai dan banyak istirahat. Duh.. jadi
perjalanan yang merontokkan tulang dan lewat tanah merah berdebu, berbatu,
berlubang, berpasir, dan berbatu, dibilang nyantai. Oke.. berarti orang sini
hidupnya nyantai banget.
Lapangan Terbang (2016)
Pada bulan Juni 2016 saya berkesempatan kembali mengunjungi Manismata. Tapi rute yang ditempuh kali ini melalui Pangkalan Bun. Dari Bandar Udara Iskandar, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke Manismata. Terpaut 2 jam dari jarak Ketapang - Manismata, tak heran jika warga Manismata lebih sering pergi ke Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah) daripada ke ibukota kabupaten (Ketapang). Katanya jalan provinsi Ketapang - Manismata sudah diperbaiki. Aspal sudah tembus hingga wilayah Sungai Gantang, selebihnya masih berupa tanah merah seperti yang dulu.
Sebenarnya ada pilihan transportasi alternatif yang lebih cepat dan nyaman yaitu menggunakan pesawat kecil dengan rute Ketapang - Manismata PP. Sudah sejak beberapa tahun lalu rute ini dibuka karena memang di Manismata ada lapangan terbang. Terdapat beberapa bangunan kecil semi permanen di samping landasan pacu yang berupa tanah dikeraskan. Panjang landasan hanya sekitar 1 km, memang diperuntukkan bagi pesawat perintis. Hanya ada plang kayu bertuliskan "Lapangan Terbang Harapan" yang tersembunyi di semak-semak menandakan fungsi dari tempat itu. Lapangan terbang ini dulunya milik sebuah perusahaan sawit, tapi sejak 2005 dihibahkan ke Pemkab Ketapang.
Rute penerbangan ini dijadwalkan seminggu dua kali. Harga tiket pesawat itu normalnya sekitar 429 ribu, lebih mahal 29 ribu dibanding biaya naik mobil travel. Sepertinya selisih 29 ribu tak ada artinya karena bisa menghilangkan "keterguncangan" akibat naik mobil di jalan tanah merah berbatu diselingi jalan aspal berlubang sana-sini. Selain itu waktu perjalanan yang tadinya mencapai 5 - 6 jam bisa terpangkas menjadi tak lebih dari 40 menit.
Lapangan Terbang (2016)
Pada bulan Juni 2016 saya berkesempatan kembali mengunjungi Manismata. Tapi rute yang ditempuh kali ini melalui Pangkalan Bun. Dari Bandar Udara Iskandar, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke Manismata. Terpaut 2 jam dari jarak Ketapang - Manismata, tak heran jika warga Manismata lebih sering pergi ke Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah) daripada ke ibukota kabupaten (Ketapang). Katanya jalan provinsi Ketapang - Manismata sudah diperbaiki. Aspal sudah tembus hingga wilayah Sungai Gantang, selebihnya masih berupa tanah merah seperti yang dulu.
Sebenarnya ada pilihan transportasi alternatif yang lebih cepat dan nyaman yaitu menggunakan pesawat kecil dengan rute Ketapang - Manismata PP. Sudah sejak beberapa tahun lalu rute ini dibuka karena memang di Manismata ada lapangan terbang. Terdapat beberapa bangunan kecil semi permanen di samping landasan pacu yang berupa tanah dikeraskan. Panjang landasan hanya sekitar 1 km, memang diperuntukkan bagi pesawat perintis. Hanya ada plang kayu bertuliskan "Lapangan Terbang Harapan" yang tersembunyi di semak-semak menandakan fungsi dari tempat itu. Lapangan terbang ini dulunya milik sebuah perusahaan sawit, tapi sejak 2005 dihibahkan ke Pemkab Ketapang.
Rute penerbangan ini dijadwalkan seminggu dua kali. Harga tiket pesawat itu normalnya sekitar 429 ribu, lebih mahal 29 ribu dibanding biaya naik mobil travel. Sepertinya selisih 29 ribu tak ada artinya karena bisa menghilangkan "keterguncangan" akibat naik mobil di jalan tanah merah berbatu diselingi jalan aspal berlubang sana-sini. Selain itu waktu perjalanan yang tadinya mencapai 5 - 6 jam bisa terpangkas menjadi tak lebih dari 40 menit.
Lapangan Terbang Harapan, Manismata |
Adanya rute penerbangan ini tentunya menjadi pilihan menarik bagi warga karena menawarkan kenyamanan dan tentunya kecepatan. Terlebih harga yang ditawarkan tak jauh beda dengan biaya mobil travel. Bahkan kabarnya kini ada subsidi dari pemerintah sehingga penumpang hanya tinggal membayar 200-an ribu saja. Namun tampaknya tak banyak warga yang mengakses penerbangan ini. Hingga saat ini warga masih setia melalui jalan provinsi yang memprihatinkan itu.
yang Terlewatkan (2018)
yang Terlewatkan (2018)
suatu pantai di tepi jalan raya Ketapang - Kendawangan |
Tahun 2018, untuk ketiga kalinya saya kembali ke Manismata. Namun kali
ini hanya singgah sebentar, sekadar untuk cari sinyal. Maklum saja, saat itu
kami ditugaskan di salah satu desa paling ujung di kecamatan Kendawangan yang
susah sinyal. Desa Danau Buntar, berjarak sekitar sejam perjalanan dari kota
kecamatan Manismata. Posisi desa itu lebih dekat ke Manismata dibanding dengan
kota kecamatan Kendawangan yang berjarak 6 jam perjalanan dengan kondisi jalan
buruk. Menumpang mobil salah seorang warga, kami menuju Manismata. Setiap akhir
pekan, mereka menjemput tiga anak yang sekolah di salah satu SMP.
Kini muncul beberapa kafe kekinian bersanding dengan beberapa warung
kopi. Selebihnya hampir tak ada perbedaan dibanding dua tahun yang lalu. Di akhir
pekan seperti ini, Manismata diramaikan oleh mobil-mobil perusahaan. Akhir
pekan menjadi waktu liburan bagi para staf dan manajer setelah hampir seminggu
berada di tengah hutan sawit yang membosankan. Manismata jadi alternatif
pilihan tempat liburan selain kota Ketapang atau Pangkalan Bun.
Manismata seusai hujan, mobil-mobil perusahaan berjajar di sisi jalan |
Di kesempatan ketiga ini, saya kembali melewati rute darat dari kota
Ketapang. Namun tujuannya bukan ke Manismata, melainkan ke beberapa desa di
kecamatan Kendawangan. Untuk menuju desa pertama, rute yang dilalui sama
seperti jalan menuju Manismata. Dari kota Ketapang menyisir pantai selatan
Kalimantan, melewati Pagar Mentimun kemudian Sungai Gantang. Di sepanjang jalan
terlihat pantai berpasir hitam berair keruh dan diselingi hutan bakau, sepintas
nampak tidak menarik. Namun terdapat beberapa lokasi yang menarik untuk
dikunjungi seperti Pagar Mentimun dan Padang 12.
Terletak di jalur lintas utama dan satu-satunya dari Ketapang ke
Kendawangan dan Manis Mata, Pagar Mentimun menjadi salah satu titik
persinggahan. Di sini terdapat beberapa warung yang menyediakan berbagai
pilihan makanan dan minuman. Di Pagar Mentimun ini juga terdapat sebuah dermaga
yang cukup instagramable. Tepat di seberang Pagar Mentimun, terdapat area
Padang 12 yang terkenal dengan mistisnya. Konon di sana terdapat perkampungan
yang ditinggali makhluk tak kasat mata namun menyerupai manusia. Bagi orang
Kalimantan Barat, Padang 12 dikenal sebagai tempat angker dengan banyak versi
cerita yang menguatkan keangkerannya. Ada yang bilang asal usul dinamakan
Padang 12 karena area tersebut membentang sepanjang 12 kilometer. Di sepanjang
area tersebut memang tidak ada bangunan, yang terlihat hanyalah padang rumput
dengan batas barisan pepohonan di kejauhan. Konon katanya di balik pohon-pohon
itu perkampungan makhluk gaib berada.
Berbeda dengan empat tahun lalu, kali ini saya merasa nyaman menikmati
mulusnya jalan aspal. Tapi kenyamanan itu hilang seketika setelah melewati
ujung aspal terakhir beberapa kilometer dari Sungai Gantang. Selebihnya masih sama
seperti dulu, jalan tanah merah yang berdebu saat kering dan ambyar saat basah.
Kerikil, batu, dan lubang terangkai secara acak di sepanjang jalan yang katanya
berstatus sebagai jalan provinsi.
menanti senja di atas jembatan Kelampai |
Sekitar sejam kami merasakan guncangan demi
guncangan, kalau tidak demikian namanya bukan daerah pedalaman. Kelampai adalah
tujuan pertama kami, di daerah ini terdapat jembatan yang melintang di atas
sungai Kendawangan. Kembali teringat empat tahun silam ketika melintas di
jembatan Kelampai ini. Dulu untuk melintasinya kita harus memberikan sejumlah
uang kepada warga yang berjaga di ujung jembatan. Mungkin mereka hanya kaget
saja mendapati kenyataan bahwa dengan adanya jembatan baru berakibat hilangnya
pekerjaan sebagai penyedia jasa penyeberangan. Sekarang sudah tidak ada lagi
pungli semacam itu di jembatan Kelampai. Kita bebas melintas, termasuk bisa
dengan leluasa menikmati senja.
KETAPANG MANTAAAAAAAAAAAAPP
BalasHapusmanismata 1999 masih terkenang... tahun 1998 ada angkutan bus jurusan manismata menuju ketapang
BalasHapusSaat saya ke sana tahun 2016 jumpa Damri Ketapang-Manismata PP, tapi sepertinya sepi penumpang. Entah sekarang masih ada atau tidak.
Hapusteringat tahun 2011 perjalanan dr pontianak ke sampit lewat jalur ini hingga 2 hari ..sungguh perjalanan yg sangat melelahkan.
BalasHapusWah.. jaman itu belum ada jembatan Tayan juga ya. Harus nyebrang sungai Kapuas pake kapal penyeberangan
HapusAda yang tinggal di air Upas disini . Tlong saya mau kesana mencari seseorang hanya tidak tempat dia tinggal . Seingat saya di AirUpas SP2
BalasHapusManis mata, seolah tdk punya harapan memiliki jalan yg layak dan bisa disebut jalan.. Kami warga kootawaringin Lama seolah keluar negeri ketika masuk wil manis mata dan air upas.
BalasHapusDebu, lumpur dan jalan tanah. Berbeada dgn wilayah kalteng
Betul Pak, saat masuk Manismata dari Kalteng memang sangat terasa perbedaannya. Banyak warga di sana juga mengeluhkan buruknya akses jalan.
Hapus