Selasa, 25 April 2017

Musim Asap yang Menyesakkan, Akankah Terus Berulang?

Kota Nanga Pinoh dalam kepungan asap (Melawi, September 2015)
Kalimantan Barat, Musim Asap 2015. Kabut asap hampir merata menyelimuti semua Kabupaten/Kota dengan intensitas berbeda. Tak hanya Kalimantan Barat, bencana ini juga dialami hampir seluruh pulau Kalimantan dan banyak daerah lain di Nusantara. Pengaruh El Nino katanya yang menyebabkan kemarau berkepanjangan dan menyebabkan terbakarnya lahan gambut. Lalu apa/siapakah El Nino ini? Ah.. siapa pula yang peduli.

September 2015, asap sudah bertahan di udara selama 3 bulan. Hampir seminggu lamanya sinar matahari tak sampai ke bumi. Tebalnya kabut asap membuat matahari hanya nampak seperti lampu pijar, bulat kemerahan. Tersaput kabut, tak ada kehangatan mentari yang biasanya menyentuh kulit setiap hari. Panas dan pengap, terperangkap kabut asap. Seperti kubah kaca yang menyelimuti, kabut asap hanya mengijinkan panas matahari masuk tanpa boleh keluar. Alhasil kami terperangkap di dalam kubah bersama panas. Sesak nafas ini menghirup partikel asap sialan itu. Segala umpatan reflek keluar saat merasa tak tahan dengan udara yang begitu sesak. Tapi sepertinya si asap itu seakan tak peduli kalau sedang dicaci maki. Percuma saja, kabut asap masih setia bertahan di udara.

Kebakaran hutan dan lahan adalah pemicu masalah kabut asap ini. Entah terbakar, dibakar, atau gabungan dari keduanya. Berbagai pihak tertuduh melakukan pembakaran. Mulai dari perusahaan perkebunan hingga para petani ladang dituding menjadi penyebab kabut asap ini. Pembukaan lahan dengan cara dibakar bisa jadi merupakan cara yang paling efisien. Menurut salah seorang warga, pembakaran lahan bisa memangkas biaya pembukaan lahan menjadi hanya sepersepuluhnya (dibanding biaya pembukaan lahan secara konvensional dengan penebangan dan pembersihan lahan). Setelah dilakukan pengusutan memang ada sebagian oknum perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan. Tidak semua perusahaan perkebunan memang, hanya beberapa perusahaan nakal saja yang bertindak demikian. Tapi bagaimanapun juga publik tahunya yang bakar lahan adalah perusahaan, lebih khususnya lagi perusahaan sawit. Sudah sejak beberapa tahun belakangan perkebunan sawit banyak mendapat sorotan dan tuduhan. Berbagai isu kerusakan lingkungan dilekatkan ke perkebunan kelapa sawit, termasuk dituduh sebagai salah satu biang kerok bencana kabut asap ini.

hangus terbakar (Melawi, September 2015)
Sementara itu, ratusan bahkan mungkin ribuan titik api bermunculan dari ladang-ladang warga. Pembukaan lahan dengan cara dibakar memang sudah berlangsung sejak lama, mungkin sejak pertama kali manusia mengenal cara bercocok tanam. Pembukaan lahan dengan cara dibakar juga dinilai menjadi cara terbaik mengingat keterbatasan modal, tenaga, dan teknologi yang dimiliki. Sebenarnya mereka memiliki teknik pembakaran lahan tertentu untuk menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan membuat parit di batas lahan dan dilakukan pengawasan agar pembakaran lahan dapat dilokalisasi. Namun tak bisa dipungkiri dari ladang-ladang yang dibakar itulah asap yang menyelubungi udara berasal.
Merayap dalam kabut asap (Sintang, September 2015)
Berbagai aturan dibuat pemerintah untuk meminimalkan dampak kebakaran hutan. Salah satunya adalah dengan membatasi luasan lahan yang dibakar yakni maksimal seluas 2 hektar/KK. Selain itu perijinan terkait pembukaan lahan dengan cara ini juga diperketat. Bagi sebagian orang bagaimanapun juga pembakaran adalah tindakan pengrusakan. Tidak hanya merusak “hutan” tapi juga mengganggu lingkungan sekitar yang terdampak asap. Sehingga alangkah lebih baik jika pembakaran lahan/hutan dilarang dengan alasan apapun.
Namun menghilangkan praktek pembakaran lahan tidak sesederhana itu. Untuk perusahaan perkebunan bisa saja diharamkan melakukan pembakaran untuk membuka lahan. Mereka punya segalanya untuk membuka lahan secara “baik-baik”. Akan tetapi bagi warga lokal praktek seperti itu sulit dihilangkan. Selain karena sudah tradisi, pertanian ladang berpindah masih jadi mata pencaharian utama bagi warga di daerah hulu/pelosok. Bagi mereka berladang dapat memenuhi kebutuhan beras keluarga selama beberapa bulan. Dengan usaha dan waktu yang relatif minim, berladang masih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Warga masih memiliki banyak waktu untuk melakukan pekerjaan lain seperti berkebun karet dan beternak.

Mungkin pembukaan lahan secara tradisional memang harus dipertahankan dengan aturan khusus sebagai pengendali. Selain itu mereka biasanya memiliki teknik khusus untuk meminimalkan kerusakan lingkungan sehingga tak masalah jika cara tersebut tetap dipertahankan. Hanya saja masih perlu dipikirkan cara terbaik agar lingkungan, adat, dan tradisi dapat tetap lestari.  

Desa Sijang, Kabupaten Sambas musim kemarau 2016. Tepat setahun setelah bencana kabut asap yang katanya terparah sepanjang sejarah. Semenjak peristiwa itu, pemerintah dan warga setempat semakin berhati-hati menjaga lingkungannya. Mereka berupaya mencegah kebakaran hutan dan lahan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan melarang warga membakar lahan selama musim kemarau  ini. Aturan juga semakin diperketat dengan memberikan sanksi kepada warga yang kedapatan melanggar. Meskipun demikian masih saja beberapa kali terjadi kebakaran lahan, entah terbakar atau memang sengaja dibakar. Namun saat terjadi kebakaran mereka begitu sigap memadamkannya. Warga dibantu perusahaan perkebunan terdekat segera bertindak memadamkan api di suatu lahan yang memang sudah kering kerontang. Pemerintah dan Polsek setempat juga turut terlibat. Nampaknya mereka berusaha agar kejadian setahun silam tidak terulang.

Pasukan nasi bungkus pemadam api rehat sejenak (Sambas, Agustus 2016)

Musim kemarau dan asap memang tidak bisa dipisahkan. Cuaca kering dan kondisi lahan yang sensitif terpicu api memperbesar kemungkinan terjadinya kebakaran. Apalagi ditambah dengan kebiasaan pertanian ladang berpindah, munculnya asap adalah suatu keniscayaan. Jadi setiap kemarau pasti ada selubung asap yang menyelubungi langit dengan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh di Kalimantan Barat, ada perbedaan di tiga musim kemarau terakhir. Kabut asap paling parah terjadi pada tahun 2015. Selama tiga bulan udara sesak dipenuhi asap, jarak pandang tak lebih dari 30 meter, beberapa kali sekolah diliburkan karena saking pekatnya asap. Pada kemarau 2014, kabut asap terbilang sedang. Asap tampak cukup pekat di dataran rendah/daerah pantai. Bahkan kabut asap saat itu sampai ke pulau Penebang yang berjarak puluhan mil laut sebelah barat daratan Kalimantan. Meski terselubung asap aktivitas warga tak begitu terganggu, sudah biasa katanya. Dan pada kemarau 2016 lalu udara relatif bersih. Hujan sesekali turun di bulan Agustus dan pada bulan September hujan lebat mulai sering turun.

kabut asap tipis di Pulau Penebang, Selat Karimata (Kayong Utara Oktober 2014)
Faktor musim memang punya pengaruh besar terhadap keberadaan kabut asap. Saat musim kemarau kering seperti pada tahun 2015, asap begitu pekat dan bertahan begitu lama seiring hujan yang tak kunjung tiba. Namun pada musim kemarau basah pada 2016, asap hampir tak terlihat dan terasa. Keberadaan kabut asap juga berhasil ditekan karena adanya peraturan yang ketat serta usaha dari warga untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sepertinya mereka tidak ingin bencana asap tahun 2015 lalu kembali terulang. Musim dan kondisi cuaca sepertinya sulit untuk dikendalikan. Akan tetapi dibuatnya aturan terkait pembukaan lahan dapat menekan potensi kebakaran lahan dan hutan. Dan terakhir adanya dukungan dari masyarakat tak kalah pentingnya untuk mencegah kebakaran sekaligus menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar