Kota Nanga Pinoh dalam kepungan asap (Melawi, September 2015) |
Kalimantan Barat, Musim Asap
2015. Kabut asap hampir merata menyelimuti semua Kabupaten/Kota dengan
intensitas berbeda. Tak hanya Kalimantan Barat, bencana ini juga dialami hampir
seluruh pulau Kalimantan dan banyak daerah lain di Nusantara. Pengaruh El Nino
katanya yang menyebabkan kemarau berkepanjangan dan menyebabkan terbakarnya
lahan gambut. Lalu apa/siapakah El Nino ini? Ah.. siapa pula yang peduli.
September 2015, asap sudah
bertahan di udara selama 3 bulan. Hampir seminggu lamanya sinar matahari tak
sampai ke bumi. Tebalnya kabut asap membuat matahari hanya nampak seperti lampu
pijar, bulat kemerahan. Tersaput kabut, tak ada kehangatan mentari yang
biasanya menyentuh kulit setiap hari. Panas dan pengap, terperangkap kabut
asap. Seperti kubah kaca yang menyelimuti, kabut asap hanya mengijinkan panas
matahari masuk tanpa boleh keluar. Alhasil kami terperangkap di dalam kubah
bersama panas. Sesak nafas ini menghirup partikel asap sialan itu. Segala
umpatan reflek keluar saat merasa tak tahan dengan udara yang begitu sesak.
Tapi sepertinya si asap itu seakan tak peduli kalau sedang dicaci maki. Percuma
saja, kabut asap masih setia bertahan di udara.
Kebakaran hutan dan lahan adalah
pemicu masalah kabut asap ini. Entah terbakar, dibakar, atau gabungan dari keduanya.
Berbagai pihak tertuduh melakukan pembakaran. Mulai dari perusahaan perkebunan
hingga para petani ladang dituding menjadi penyebab kabut asap ini. Pembukaan
lahan dengan cara dibakar bisa jadi merupakan cara yang paling efisien. Menurut
salah seorang warga, pembakaran lahan bisa memangkas biaya pembukaan lahan
menjadi hanya sepersepuluhnya (dibanding biaya pembukaan lahan secara
konvensional dengan penebangan dan pembersihan lahan). Setelah dilakukan
pengusutan memang ada sebagian oknum perusahaan yang terbukti melakukan
pembakaran lahan. Tidak semua perusahaan perkebunan memang, hanya beberapa
perusahaan nakal saja yang bertindak demikian. Tapi bagaimanapun juga publik
tahunya yang bakar lahan adalah perusahaan, lebih khususnya lagi perusahaan
sawit. Sudah sejak beberapa tahun belakangan perkebunan sawit banyak mendapat
sorotan dan tuduhan. Berbagai isu kerusakan lingkungan dilekatkan ke perkebunan
kelapa sawit, termasuk dituduh sebagai salah satu biang kerok bencana kabut
asap ini.
hangus terbakar (Melawi, September 2015) |
Sementara itu, ratusan bahkan
mungkin ribuan titik api bermunculan dari ladang-ladang warga. Pembukaan lahan
dengan cara dibakar memang sudah berlangsung sejak lama, mungkin sejak pertama
kali manusia mengenal cara bercocok tanam. Pembukaan lahan dengan cara dibakar
juga dinilai menjadi cara terbaik mengingat keterbatasan modal, tenaga, dan
teknologi yang dimiliki. Sebenarnya mereka memiliki teknik pembakaran lahan
tertentu untuk menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan
membuat parit di batas lahan dan dilakukan pengawasan agar pembakaran lahan
dapat dilokalisasi. Namun tak bisa dipungkiri dari ladang-ladang yang dibakar
itulah asap yang menyelubungi udara berasal.
Merayap dalam kabut asap (Sintang, September 2015) |
Berbagai aturan dibuat pemerintah
untuk meminimalkan dampak kebakaran hutan. Salah satunya adalah dengan
membatasi luasan lahan yang dibakar yakni maksimal seluas 2 hektar/KK. Selain
itu perijinan terkait pembukaan lahan dengan cara ini juga diperketat. Bagi sebagian
orang bagaimanapun juga pembakaran adalah tindakan pengrusakan. Tidak hanya
merusak “hutan” tapi juga mengganggu lingkungan sekitar yang terdampak asap.
Sehingga alangkah lebih baik jika pembakaran lahan/hutan dilarang dengan alasan
apapun.
Namun menghilangkan praktek
pembakaran lahan tidak sesederhana itu. Untuk perusahaan perkebunan bisa saja
diharamkan melakukan pembakaran untuk membuka lahan. Mereka punya segalanya
untuk membuka lahan secara “baik-baik”. Akan tetapi bagi warga lokal praktek seperti
itu sulit dihilangkan. Selain karena sudah tradisi, pertanian ladang berpindah
masih jadi mata pencaharian utama bagi warga di daerah hulu/pelosok. Bagi
mereka berladang dapat memenuhi kebutuhan beras keluarga selama beberapa bulan.
Dengan usaha dan waktu yang relatif minim, berladang masih dapat diandalkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Warga masih memiliki banyak waktu untuk
melakukan pekerjaan lain seperti berkebun karet dan beternak.
Mungkin pembukaan lahan secara
tradisional memang harus dipertahankan dengan aturan khusus sebagai pengendali.
Selain itu mereka biasanya memiliki teknik khusus untuk meminimalkan kerusakan
lingkungan sehingga tak masalah jika cara tersebut tetap dipertahankan. Hanya saja
masih perlu dipikirkan cara terbaik agar lingkungan, adat, dan tradisi dapat
tetap lestari.
Desa Sijang, Kabupaten Sambas
musim kemarau 2016. Tepat setahun setelah bencana kabut asap yang katanya
terparah sepanjang sejarah. Semenjak peristiwa itu, pemerintah dan warga
setempat semakin berhati-hati menjaga lingkungannya. Mereka berupaya mencegah
kebakaran hutan dan lahan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan
melarang warga membakar lahan selama musim kemarau ini. Aturan juga semakin diperketat dengan
memberikan sanksi kepada warga yang kedapatan melanggar. Meskipun demikian
masih saja beberapa kali terjadi kebakaran lahan, entah terbakar atau memang
sengaja dibakar. Namun saat terjadi kebakaran mereka begitu sigap
memadamkannya. Warga dibantu perusahaan perkebunan terdekat segera bertindak
memadamkan api di suatu lahan yang memang sudah kering kerontang. Pemerintah
dan Polsek setempat juga turut terlibat. Nampaknya mereka berusaha agar kejadian
setahun silam tidak terulang.
Pasukan nasi bungkus pemadam api rehat sejenak (Sambas, Agustus 2016) |
Musim kemarau dan asap memang
tidak bisa dipisahkan. Cuaca kering dan kondisi lahan yang sensitif terpicu api
memperbesar kemungkinan terjadinya kebakaran. Apalagi ditambah dengan kebiasaan
pertanian ladang berpindah, munculnya asap adalah suatu keniscayaan. Jadi
setiap kemarau pasti ada selubung asap yang menyelubungi langit dengan intensitas
yang berbeda. Sebagai contoh di Kalimantan Barat, ada perbedaan di tiga musim
kemarau terakhir. Kabut asap paling parah terjadi pada tahun 2015. Selama tiga
bulan udara sesak dipenuhi asap, jarak pandang tak lebih dari 30 meter,
beberapa kali sekolah diliburkan karena saking pekatnya asap. Pada kemarau
2014, kabut asap terbilang sedang. Asap tampak cukup pekat di dataran
rendah/daerah pantai. Bahkan kabut asap saat itu sampai ke pulau Penebang yang
berjarak puluhan mil laut sebelah barat daratan Kalimantan. Meski terselubung
asap aktivitas warga tak begitu terganggu, sudah biasa katanya. Dan pada kemarau
2016 lalu udara relatif bersih. Hujan sesekali turun di bulan Agustus dan pada
bulan September hujan lebat mulai sering turun.
kabut asap tipis di Pulau Penebang, Selat Karimata (Kayong Utara Oktober 2014) |
Faktor musim memang punya pengaruh besar terhadap
keberadaan kabut asap. Saat musim kemarau kering seperti pada tahun 2015, asap
begitu pekat dan bertahan begitu lama seiring hujan yang tak kunjung tiba.
Namun pada musim kemarau basah pada 2016, asap hampir tak terlihat dan terasa.
Keberadaan kabut asap juga berhasil ditekan karena adanya peraturan yang ketat
serta usaha dari warga untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sepertinya
mereka tidak ingin bencana asap tahun 2015 lalu kembali terulang. Musim dan
kondisi cuaca sepertinya sulit untuk dikendalikan. Akan tetapi dibuatnya aturan
terkait pembukaan lahan dapat menekan potensi kebakaran lahan dan hutan. Dan
terakhir adanya dukungan dari masyarakat tak kalah pentingnya untuk mencegah
kebakaran sekaligus menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar