Keraton Ismahayana, Ngabang (dok. pribadi) |
Seorang lelaki
paruh baya menghampiri kami yang sedang bersantai di beranda. Hanya tersenyum,
lalu dia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk. Sebuah rumah panggung
kecil dengan warna kuning yang dominan dipermanis dengan warna hijau di bagian
pintu, jendela, dan tiang. Bagian beranda dibatasi pagar kayu bermotif unik
dibalut dengan warna kuning cerah. Enam pilar kayu berwarna hijau menjadi
bagian dari pagar beranda sekaligus menjadi selingan dari warna kuning yang
mendominasi. Di bagian tengah beranda terdapat lampu gantung klasik. Di samping
beranda, terdapat selasar kecil yang masih terhubung dengan beranda namun tidak
beratap. Bangunan beraksitektur khas Melayu itu cukup kecil, sama seperti
beberapa rumah di sekitarnya.
Kompleks Keraton
Ismahayana ini tak seperti kebanyakan keraton lain yang biasanya terdapat satu
bangunan megah sebagai istana raja. Namun di sini hanya terdapat beberapa
bangunan kecil yang identik baik ukuran maupun desainnya. Rumah panggung
beratap sirap dengan warna kuning yang dominan memberi kesan jadul dan unik.
Kini rumah khas Melayu seperti ini memang sudah sangat langka. Diantara
beberapa rumah itu terdapat satu rumah yang letaknya paling depan. Di rumah
itulah kami dipersilahkan masuk oleh Pak Udin, yang merupakan salah satu warga
keraton.
Rumah yang terletak
paling depan itu dulunya merupakan bagian dari istana keraton Kerajaan
Ismahayana. Istana Keraton Ismahayana dulu memang cukup besar dan megah. Namun
beberapa puluh tahun yang lalu istana mengalami kebakaran besar dan hanya
menyisakan bagian depan. Jadi hanya bangunan inilah yang masih terdapat bagian
yang asli, karena bangunan lain di bagian samping dan belakang sudah direnovasi
total. Sekarang rumah ini difungsikan sebagai museum, tempat memajang koleksi
kerajaan. Bangunan di sekitarnya difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat
kerajaan. Sementara itu keluarga Raja Alm. Gusti Suryansyah Amiruddin tinggal
di Pontianak. Saat kami berkunjung ke sana pada November 2016, Kerajaan sedang
berduka karena sekitar sebulan yang lalu sang Raja mangkat.
Keraton atau lebih
tepatnya disebut Museum Kerajaan Landak, berisi benda-benda peninggalan
kerajaan di masa lampau. Di ruang tamu terdapat foto-foto koleksi kerajaan
serta ada juga beberapa plakat dari kerajaan-kerajaan di Nusantara. Memasuki
ruang tengah, terdapat singgasana raja lengkap dengan hiasan-hiasannya. Selain
itu terdapat beberapa koleksi kerajaan lainnya seperti mahkota raja Landak,
Keris Sikanyut, sepasang pedang, tempat tidur panembahan, duplikat payung
kebesaran raja, dan dua kipas raja. Menariknya di kamar bagian belakang
tersimpan benda-benda bersejarah seperti sebuah meriam, permainan
dakon/congklak, dan seperangkat gamelan. Beberapa benda yang tersimpan di sini
menandakan adanya hubungan antara kerajaan Landak dengan Jawa.
koleksi barang peninggalan keraton Ismahayana (dok. pribadi) |
Diawali dengan
ekspedisi Pamalayu yang diinisiasi raja Singasari, Kertanegara. Ekspedisi
Pamalayu ini bertujuan untuk memperluas wilayah kerajaan ke daerah Sumatera
yang dimulai pada tahun 1275 hingga 1292. Saat raja Kertanegara wafat, para
punggawa dan prajurit ekspedisi ini kembali ke Jawa. Namun salah satu rombongan
yang dipimpin Ratu Sang Nata Pulang Pali I membelokkan armadanya ke Nusa
Tanjungpura (Kalimantan). Dengan menyisir sungai, akhirnya mereka tiba di
daerah Sekilap (kini masuk dalam wilayah kabupaten Landak) yang kemudian
diganti namanya menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur. Di Angrat
Batur inilah kerajaan Landak didirikan oleh Ratu Sang Nata Pulang Pali I,
sekaligus menjadikannya sebagai raja Landak pertama.
Berdiri pada tahun
1292, kerajaan Landak menjadi kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Dari tahun
1292 hingga sekarang, kerajaan Landak telah dipimpin oleh puluhan raja dan
wakilnya (sebagai pengganti sementara). Dalam kurun waktu lebih dari 7 abad,
sejarah kerajaan Landak dibagi dalam empat periode dan dua fase keagamaan.
Keempat periode tersebut didasarkan pada keberadaan istana kerajaan Landak yang
pernah menempati empat lokasi yang berbeda. Keempat lokasi tersebut adalah:
Ningrat Batur (1292 – 1472), Mungguk Ayu (1472 – 1703), Bandong (1703 – 1768),
dan Ngabang (1768 – sekarang).
Fase pertama
merupakan masa awal kerajaan yang masih berhaluan Hindu dan merupakan
kepercayaan dari pendiri kerajaan Landak. Pada fase pertama keraton masih
berada di Ningrat batur dan raja masih bergelar “Ratu Sang Nata Pulang Pali”.
Setelah Ratu Sang Nata Pulang Pali VII mangkat, kepemimpinan beralih ke putera
mahkota yaitu Pangeran Ismahayana. Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana,
pusat kerajaan dipindahkan ke daerah hulu sungai Landak (Mungguk Ayu). Pada
masa inilah pengaruh Islam masuk melalui orang-orang Bugis dan Banjar. Di
kemudian hari Pangeran Ismahayana masuk Islam dan dimulailah fase baru kerajaan
Landak yang bercorak Islam. Kemudian Kerajaan Landak berganti nama menjadi Kerajaan
Ismahayana Landak sesuai dengan nama raja pertama yang memeluk Islam. Hingga
saat ini nama “Ismahayana” tetap dipertahankan sebagai penanda bahwa kerajaan
ini pernah bercorak Hindu.
Tak lama kami
berada di dalam keraton Ismahayana yang mungil itu. Hanya ruang tengah, dua
kamar, dan ruang tamu yang bisa dikunjungi. Hari juga semakin sore, kami pun
berpamitan kepada Pak Udin. Pintu masuk pun ditutup, keraton kembali sepi.
Berbeda dengan bangunan keraton, halamannya yang cukup luas makin ramai
dikunjungi warga sekitar. Halaman keraton dimanfaatkan warga untuk menghabiskan
waktu sore dengan beragam kegiatan seperti jalan-jalan, bermain, hingga latihan
silat. Keraton ini memang cukup sederhana jika dibandingkan dengan
keraton/istana yang lain. Tapi di balik kesederhanaannya, Kerajaan Ismahayana
Landak menyimpan sejarah yang panjang.
Masjid Jami' Baiturrahman di komplek Keraton Ismahayana |
Tujuh abad sudah kerajaan ini berdiri, puluhan raja
memimpin silih berganti. Dimulai dengan kejayaan tambang emas dan intan, lalu
bertahan di masa penjajahan. Sempat mengalami kevakuman kekuasaan setelah
peristiwa pembantaian keluarga kerajaan di masa pendudukan Jepang. Namun pada
akhirnya kerajaan Landak kembali dibangkitkan oleh rakyat Landak sendiri
ditandai dengan diangkatnya Gusti Suryansyah Amirudin sebagai Raja Landak ke-39.
Sejarah kerajaan yang “seumuran” dengan Majapahit itu kembali berlanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar