Senin, 03 Februari 2020

Kisah Pilu Masa Lalu tentang PGRS/PARAKU

hutan Kalimantan



“Dulu di sini banyak orang Cina, tapi karena ada kerusuhan mereka pergi”. Sepotong cerita dari seorang warga di salah satu desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Hanya sepotong itu saja ceritanya, tak lebih. Tidak dijelaskan alasan kepergian orang-orang etnis Tionghoa maupun latar belakang kerusuhan itu. Usai menceritakan cerita itu, dia pun diam sejenak. Kemudian melanjutkan dengan pokok bahasan yang lain. Kerusuhan apa lagi ini? Waktu itu saya belum tahu tentang kerusuhan yang melibatkan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Mungkinkah itu kerusuhan 1998? Tapi mengapa itu bisa sampai ke pedalaman Kalimantan? Entah kenapa, saya yang biasanya kepo tidak berusaha mengulik cerita yang terpotong itu. Dan akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu tenggelam begitu saja, tak sempat tertanya.

Beberapa bulan kemudian, saya berkesempatan membaca buku tentang profil Kalimantan Barat. Satu dari sekian banyak judul buku yang tersusun rapi dalam rak di rumah dinas Camat Darit Kabupaten Landak. Sepertinya buku-buku di rak ini merupakan bantuan dari Pemda setempat. Pada suatu bab dalam buku yang saya baca mengisahkan tentang PGRS/PARAKU.

Pasukan Rakyat Gerilya Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) menjadi bagian dari sejarah Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun 60-an. Sejatinya PGRS/PARAKU merupakan pasukan sipil bentukan pemerintah Indonesia untuk mendukung operasi TNI dalam konfrontasi melawan Malaysia dan sekutunya. Tujuan dari operasi ini adalah untuk menggagalkan terbentuknya Federasi Malaysia yang diduga menjadi perpanjangan tangan Inggris yang dapat membahayakan Indonesia. Saat itu merupakan era perang dingin, dan posisi Indonesia cenderung berseberangan dengan Inggris (blok barat) sehingga pemerintah berusaha membendung pengaruh Barat di sekitar Indonesia.

Ratusan warga etnis Tionghoa dari Kalimantan bagian Utara (Sarawak dan Sabah) bersedia dipindahkan ke Kalimantan Barat untuk diberi pelatihan militer oleh TNI. Mereka bersedia membantu Indonesia karena punya tujuan sama yaitu menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia namun dengan alasan yang berbeda yakni munculnya kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap warga Kalimantan Utara, khususnya warga Tionghoa. Pasukan yang telah terlatih ini kemudian membentuk PGRS/PARAKU. Mereka bahu membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia untuk “mengganyang” Malaysia (yang dibantu Inggris dan Australia).

Peristiwa 30 September 1965 menjadi pemicu peralihan kekuasaan. Orde Lama yang cenderung dekat dengan blok timur, digantikan Orde Baru yang cenderung dekat dengan blok barat. Konfrontasi dengan Malaysia pun diakhiri melalui perjanjian damai pada 11 Agustus 1966. Segala upaya dilakukan kedua negara untuk meredakan situasi yang terlanjur memanas terutama di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mengimbau kepada seluruh PGRS/PARAKU untuk menyerahkan diri. Hanya sebagian kecil saja yang menaati, sisanya tetap bersikukuh melanjutkan perjuangan. Dimulailah penumpasan “pemberontak” PGRS/PARAKU oleh TNI. Gerilyawan yang dulu menjadi kawan, kini berubah menjadi lawan.

Berbekal ilmu militer dari TNI, PGRS/PARAKU mampu memberikan perlawanan sengit. Pengalaman bertahun-tahun berperang bersama TNI menjadikan mereka lebih matang dalam bertempur. Mereka juga sudah paham betul taktik dan strategi perang TNI. Alhasil, gerilyawan yang jumlahnya tak sampai seribu orang mampu menyulitkan TNI. Berbagai upaya dilakukan untuk menumpas PGRS/PARAKU, termasuk dengan mengusir warga Tionghoa yang tinggal di pedalaman. Mereka dicurigai sebagai pendukung logistik bagi PGRS/PARAKU.

Pada pertengahan tahun 1967, beberapa tokoh Dayak di pedalaman Kabupaten Bengkayang ditemukan tewas. Di saat yang bersamaan gencar diberitakan dari Radio Republik Indonesia (RRI) regional Pontianak, tokoh Dayak dibunuh etnis Tionghoa yang menjadi anggota PGRS/Paraku. Situasi makin memanas ketika muncul pemberitaan di RRI Pontianak, mengatasnamakan Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray. Gubernur Kalimantan Barat (1959 – 1966) yang juga merupakan tokoh  Dayak tersebut menyatakan perang terhadap PGRS/Paraku. Dampak pengumuman di RRI regional Pontianak membuat kemarahan suku Dayak serentak di sepanjang perbatasan, sehingga terjadilah aksi pengusiran disertai kekerasan.

J. C. Oevaang Oeray, kaget karena namanya dicatut Kodam XII/Tanjungpura dalam pemberitaan dan pengumuman di RRI regional Pontianak, akhirnya turun tangan melerai, tapi korban sudah terlanjur berjatuhan. Oevaang Oeray turun tangan, kerusuhan berhasil dihentikan. Pengungsi pun mengalir ke daerah Pontianak dan Singkawang. Setidaknya 8 ribu orang tewas, meliputi 3 ribu selama kerusuhan dan 5 ribu tewas di pengungsian. Mantan Sekretaris Jenderal Laskar Pangsuma Kalimantan Barat, Hugo Mungok (89 tahun), mengatakan, warga suku Dayak dalam keadaan terpaksa berbuat onar tahun 1967.

Kedua etnis yang telah hidup berdampingan ratusan tahun tiba-tiba terpisah dalam konflik politik. Kawan berubah menjadi lawan, tak punya pilihan warga Dayak melakukan pengusiran. Konflik politik yang melibatkan tentara dengan “pemberontak” melebar menjadi konflik antar etnis. Garis batas dipertegas, meski sudah sejak lama telah melebur. Sebuah batas yang membuat sekat pemisah antara kawan dan lawan. Orang di luar sekat harus disikat, karena mereka musuh yang telah menginjak-injak martabat. Isu rasial memang sangat sensitif. Sialnya, isu itu sering dimanfaatkan pihak lain untuk mencapai tujuan tertentu. 

Penggalan cerita yang terputus itu akhirnya tersambung meski tak sepenuhnya utuh. Tidak banyak artikel yang membahas tentang PGRS/PARAKU. Sejarah PGRS/PARAKU memiliki banyak versi dan cenderung tersembunyi. Kisah ini menjadi bagian dari catatan sejarah kelam di tahun 60-an. Saat di mana garis batas dipertegas, perbedaan ditajamkan, disertai ancaman yang mengerikan. Hubungan erat yang telah terjalin ratusan tahun hancur dalam sekejap. Keramahan warga di pedalaman seketika berubah menjadi kekejaman, pembataian pun tak terhindarkan. Mungkin memang ada baiknya dulu saya tidak berusaha mengulik lebih dalam tentang peristiwa itu. Sepertinya mereka berusaha untuk melupakan kejadian yang memilukan itu meski tak sepenuhnya bisa terlupa.                          
Catatan Kecil:
Akhir tahun 2016 saya secara kebetulan membaca buku sejarah Kalimantan Barat. Di salah satu bab yang membahas tentang PGRS/PARAKU mengingatkan saya pada cerita salah seorang warga beberapa bulan sebelumnya. Karena penasaran, saya coba telusuri sejarah PGRS/PARAKU melalui internet. Kisah PGRS/PARAKU memiliki beberapa versi dan cenderung tersembunyi. Tak banyak artikel yang membahas secara tuntas. Dengan informasi yang sangat terbatas, sangat mungkin dalam artikel ini terdapat banyak kekurangan.


Sumber.. www.netralitas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar