“Dulu di sini
banyak orang Cina, tapi karena ada kerusuhan mereka pergi”. Sepotong cerita
dari seorang warga di salah satu desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Hanya sepotong itu saja ceritanya, tak lebih. Tidak dijelaskan alasan kepergian
orang-orang etnis Tionghoa maupun latar belakang kerusuhan itu. Usai
menceritakan cerita itu, dia pun diam sejenak. Kemudian melanjutkan dengan
pokok bahasan yang lain. Kerusuhan apa lagi ini? Waktu itu saya belum tahu
tentang kerusuhan yang melibatkan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Mungkinkah
itu kerusuhan 1998? Tapi mengapa itu bisa sampai ke pedalaman Kalimantan? Entah
kenapa, saya yang biasanya kepo tidak berusaha mengulik cerita yang terpotong
itu. Dan akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu tenggelam begitu saja, tak sempat
tertanya.
Beberapa bulan
kemudian, saya berkesempatan membaca buku tentang profil Kalimantan Barat. Satu
dari sekian banyak judul buku yang tersusun rapi dalam rak di rumah dinas Camat
Darit Kabupaten Landak. Sepertinya buku-buku di rak ini merupakan bantuan dari
Pemda setempat. Pada suatu bab dalam buku yang saya baca mengisahkan tentang
PGRS/PARAKU.
Pasukan Rakyat
Gerilya Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) menjadi
bagian dari sejarah Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun
60-an. Sejatinya PGRS/PARAKU merupakan pasukan sipil bentukan pemerintah
Indonesia untuk mendukung operasi TNI dalam konfrontasi melawan Malaysia dan
sekutunya. Tujuan dari operasi ini adalah untuk menggagalkan terbentuknya
Federasi Malaysia yang diduga menjadi perpanjangan tangan Inggris yang dapat
membahayakan Indonesia. Saat itu merupakan era perang dingin, dan posisi
Indonesia cenderung berseberangan dengan Inggris (blok barat) sehingga
pemerintah berusaha membendung pengaruh Barat di sekitar Indonesia.
Ratusan warga etnis
Tionghoa dari Kalimantan bagian Utara (Sarawak dan Sabah) bersedia dipindahkan
ke Kalimantan Barat untuk diberi pelatihan militer oleh TNI. Mereka bersedia
membantu Indonesia karena punya tujuan sama yaitu menggagalkan pembentukan
Federasi Malaysia namun dengan alasan yang berbeda yakni munculnya kecemasan
akan adanya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap warga Kalimantan
Utara, khususnya warga Tionghoa. Pasukan yang telah terlatih ini kemudian
membentuk PGRS/PARAKU. Mereka bahu membahu bersama TNI dan sukarelawan
Indonesia untuk “mengganyang” Malaysia (yang dibantu Inggris dan Australia).
Peristiwa 30
September 1965 menjadi pemicu peralihan kekuasaan. Orde Lama yang cenderung dekat
dengan blok timur, digantikan Orde Baru yang cenderung dekat dengan blok barat.
Konfrontasi dengan Malaysia pun diakhiri melalui perjanjian damai pada 11
Agustus 1966. Segala upaya dilakukan kedua negara untuk meredakan situasi yang
terlanjur memanas terutama di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mengimbau kepada
seluruh PGRS/PARAKU untuk menyerahkan diri. Hanya sebagian kecil saja yang
menaati, sisanya tetap bersikukuh melanjutkan perjuangan. Dimulailah penumpasan
“pemberontak” PGRS/PARAKU oleh TNI. Gerilyawan yang dulu menjadi kawan, kini
berubah menjadi lawan.
Berbekal ilmu
militer dari TNI, PGRS/PARAKU mampu memberikan perlawanan sengit. Pengalaman
bertahun-tahun berperang bersama TNI menjadikan mereka lebih matang dalam
bertempur. Mereka juga sudah paham betul taktik dan strategi perang TNI.
Alhasil, gerilyawan yang jumlahnya tak sampai seribu orang mampu menyulitkan
TNI. Berbagai upaya dilakukan untuk menumpas PGRS/PARAKU, termasuk dengan
mengusir warga Tionghoa yang tinggal di pedalaman. Mereka dicurigai sebagai
pendukung logistik bagi PGRS/PARAKU.
Pada pertengahan
tahun 1967, beberapa tokoh Dayak di pedalaman Kabupaten Bengkayang ditemukan
tewas. Di saat yang bersamaan gencar diberitakan dari Radio Republik Indonesia
(RRI) regional Pontianak, tokoh Dayak dibunuh etnis Tionghoa yang menjadi
anggota PGRS/Paraku. Situasi makin memanas ketika muncul pemberitaan di RRI
Pontianak, mengatasnamakan Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray. Gubernur Kalimantan
Barat (1959 –
1966) yang juga merupakan tokoh Dayak tersebut menyatakan perang terhadap PGRS/Paraku.
Dampak pengumuman di RRI regional Pontianak membuat kemarahan suku Dayak serentak di
sepanjang perbatasan, sehingga terjadilah aksi pengusiran disertai kekerasan.
J. C. Oevaang
Oeray, kaget karena namanya dicatut Kodam XII/Tanjungpura dalam pemberitaan dan
pengumuman di RRI regional Pontianak, akhirnya turun tangan melerai, tapi
korban sudah terlanjur berjatuhan. Oevaang Oeray turun tangan, kerusuhan
berhasil dihentikan. Pengungsi pun mengalir ke daerah Pontianak dan Singkawang.
Setidaknya 8 ribu orang
tewas, meliputi 3 ribu selama kerusuhan dan 5 ribu tewas di pengungsian. Mantan
Sekretaris Jenderal Laskar Pangsuma Kalimantan Barat, Hugo Mungok (89 tahun),
mengatakan, warga suku Dayak dalam keadaan terpaksa berbuat onar tahun 1967.
Kedua etnis yang
telah hidup berdampingan ratusan tahun tiba-tiba terpisah dalam konflik
politik. Kawan berubah menjadi lawan, tak punya pilihan warga Dayak melakukan
pengusiran. Konflik politik yang melibatkan tentara dengan “pemberontak”
melebar menjadi konflik antar etnis. Garis batas dipertegas, meski sudah sejak lama telah melebur. Sebuah batas yang membuat sekat pemisah antara kawan dan lawan. Orang
di luar sekat harus disikat, karena mereka musuh yang telah menginjak-injak
martabat. Isu rasial memang sangat sensitif. Sialnya, isu itu sering
dimanfaatkan pihak lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Penggalan cerita
yang terputus itu akhirnya tersambung meski tak sepenuhnya utuh. Tidak banyak artikel yang membahas tentang
PGRS/PARAKU. Sejarah PGRS/PARAKU memiliki banyak versi dan cenderung
tersembunyi. Kisah ini menjadi bagian dari catatan sejarah kelam di
tahun 60-an. Saat di mana garis batas dipertegas, perbedaan ditajamkan,
disertai ancaman yang mengerikan. Hubungan erat yang telah terjalin ratusan
tahun hancur dalam sekejap. Keramahan warga di pedalaman seketika berubah
menjadi kekejaman, pembataian pun tak terhindarkan. Mungkin memang ada baiknya dulu
saya tidak berusaha mengulik lebih dalam tentang peristiwa itu. Sepertinya mereka berusaha untuk melupakan
kejadian yang memilukan itu meski tak sepenuhnya bisa terlupa.
Catatan Kecil:
Akhir tahun 2016 saya secara kebetulan membaca buku sejarah Kalimantan
Barat. Di salah satu bab yang membahas tentang PGRS/PARAKU mengingatkan saya
pada cerita salah seorang warga beberapa bulan sebelumnya. Karena penasaran,
saya coba telusuri sejarah PGRS/PARAKU melalui internet. Kisah PGRS/PARAKU
memiliki beberapa versi dan cenderung tersembunyi. Tak banyak artikel yang
membahas secara tuntas. Dengan informasi yang sangat terbatas, sangat mungkin
dalam artikel ini terdapat banyak kekurangan.
Sumber.. www.netralitas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar